Aku menarik nafas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak lalu membuang napas perlahan. Kepalaku terasa sakit karena terlalu lama menangis. Abraham beranjak dari duduknya dan tidak lama kemudian dia kembali membawa segelas teh hangat dan memberikannya kepadaku."Terima kasih, Bram," icapku seraya menyesap sedikit demi teh manis yang terlalu kemanisan itu."Habisin, jangan nyisa. Mubadzir!" perintahnya."Iya, Bram. Ini teh manisnya kaya kolak, manis banget!" Aku meneguk teh buatan Abraham hingga tandas."Karena yang minum orangnya manis, Mayla!" Aku menggigit bibir sambil melirik wajah Abraham yang sedang serius menatap layar laptop. Mungkin saat ini wajahku sudah bersemu merah karena pujiannya. Sebab sudah lama tidak ada orang memujiku."Jangan lirak-lirik, nanti naksir!" celetuknya tanpa menoleh.Dih, siapa juga yang bakalan naksir sama dia. Aku nggak mau saingan sama Andita, karena sudah pasti aku akan kalah. Andita masih muda, cantik, sedangkan aku sudah emak-emak, calon
Read more