Home / Romansa / DIPAKSA BERCERAI / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of DIPAKSA BERCERAI: Chapter 1 - Chapter 10

17 Chapters

Aku Mau Cerai

Kesunyian menyambut Vivian saat ia memasuki rumah. Perempuan itu mengganti stiletto-nya dengan sandal dan melangkah tanpa suara menapaki lantai granit berpola abstrak menuju kamar tidurnya. Ia ingin segera beristirahat. Kakinya terasa pegal setelah dua jam lamanya menginjak pedal Honda Brio miliknya di jalanan padat merayap kota metropolitan. Surabaya semakin hari semakin padat, ramai dan macet. Perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya tak pernah kurang dari satu jam. Mata Vivian melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam, kurang beberapa menit saja. Perlahan ia membuka pintu kamar. Pemandangan di balik pintu langsung melecut emosinya. Kemeja, celana panjang lengkap dengan sabuk yang masih membelit, juga handuk basah tergeletak begitu saja di lantai. Ia menatap tajam pada empunya barang. "Kamu tuh ya, nggak bisa berubah. Apa sih susahnya masukin baju kotor ke keranjang? Ini sabuk juga kenapa nggak dilepas?! Aku capek pulang kerja harus
Read more

Aku Bersedia

Lama Vivian berdiri terpaku setelah Revan meninggalkan kamar, tiba-tiba hilang kemampuan untuk berpikir. Ia baru bergerak ketika fungsi otaknya telah kembali, membentuk sebuah kesimpulan.Suaminya tidak sedang bercanda. Revan serius ingin menceraikannya.Intuisi Vivian mendesaknya untuk bergegas menyusul Revan, untuk mengajak lelaki itu berbicara. Dia pergi ke ruang makan, tempat Revan setiap pagi menonton berita streaming di ponsel, ditemani secangkir kopi panas dan menu sarapan favorit.Namun meja makan itu kini kosong. Segelas kopi berdiri di atasnya, dengan isi yang masih utuh. Roti panggang mentega yang telah disiapkan oleh Supatmi, asisten rumah tangga mereka, juga sama sekali tidak disentuh.Supatmi yang biasa dipanggil Mbak Mi itu baru saja masuk ke ruang makan. Ia membawa segelas jus apel untuk Vivian yang menjadikannya menu wajib setiap pagi."Tuan nggak sarapan, Mbak?" Vivian bertanya sambil memandangi gelas jus apelnya."Endak, N
Read more

Antara Punya Anak dan Karir

Tidak mudah memaksa otak berpikir logis di saat suasana hati sedang semrawut. Beberapa orang bahkan kehilangan kemampuan itu. Sama halnya dengan Vivian. Dalam waktu hanya sepuluh menit yang disediakan oleh Revan, ia dipaksa untuk memilih kalimatnya dengan cepat dan tepat. Namun ia gagal. Bukannya membujuk sang suami dengan permainan kata-kata yang mampu mempengaruhi pikiran lawan bicara bak seorang diplomat, yang keluar dari mulut Vivian malah kalimat impulsif yang ia sendiri menyesal telah mengatakannya : Hamil dan punya anak. "Kalau itu yang aku mau?" Revan mengulang kalimat Vivian dengan penekanan pada 'yang aku mau'. "Ya." "Bukan mau kamu?" Vivian mengerjap ragu. Reaksi sang istri membuat Revan mendecakkan lidah. "Kamu bersedia punya anak cuma supaya nggak aku ceraikan?" "Aku juga mau punya anak kok." Tapi enggak sekarang, tambah Vivian dalam hati. "Pekerjaan kamu gimana?" "Ya nggak gimana-gimana. Aku tetap
Read more

Melanggar Kesepakatan

Mobil kecil yang dikemudikan Vivian bergerak stabil menuju selatan Surabaya. Perjalanan yang tidak terlalu panjang, tetapi tetap saja mobil itu harus beberapa kali berhenti saat bertemu dengan kemacetan dan lampu lalu lintas yang berubah merah. "Ah sial!" umpat Vivian memukul gagang setir saat mobilnya terjebak antrian panjang di jalan sempit menuju perbatasan antar kota. Perut lapar dan pikiran kacau turut menambah kekesalannya. Kemacetan itu baru terurai setelah Vivian melewati sebuah pertigaan tempat bersilangnya kendaraan dari dalam dan luar kota Surabaya. Supermarket besar di sisi kiri menjadi penanda Vivian telah tiba di area perumahan yang dituju. Tak lama kemudian mobil putih metalik miliknya melintas di bawah gapura bertuliskan "Selamat Datang di Kabupaten Sidoarjo". Dari situ, hanya butuh waktu tidak sampai sepuluh menit untuk sampai di rumah orang tua Vivian. Sidoarjo tak kalah padat dengan Surabaya. Pertambahan drastis jumlah penduduk membuat kebu
Read more

Pertemuan Pertama

Sebelum menerima takdirnya sebagai penerus bisnis keluarga, Revan Halim pernah menjadi seorang pemberontak. Jiwa muda meledak-ledak membuatnya memilih jalan ekstrem memprotes rencana perjodohan antara dirinya dengan putri dari sahabat sang ayah. Bagi Revan, pergi dari rumah adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depannya dari pernikahan paksa. Indekos di daerah kampus yang ramai, hari-harinya ia habiskan dengan bermain game di warnet. Revan menikmati kebebasan hidup yang baru ia reguk. Masalah keuangan tidak dipusingkannya. Ia bisa kapan saja meminta pada neneknya, satu-satunya orang yang selalu mendukung apa pun keputusannya. Pertemuan pertamanya dengan Vivian terjadi pada masa itu. Di depan sebuah warnet game yang beroperasi dekat universitas swasta ternama di Surabaya Timur, Revan Halim berjumpa dengan jodohnya. Setidaknya begitulah yang ia pikirkan pada saat itu. Sikap Vivian yang cuek saat turun dari motor dan penampilannya yang apa adanya me
Read more

Pisah Ranjang

Kaca jendela di samping kiri Vivian seperti menjadi benda paling menarik yang membuat perempuan itu terus mengarahkan pandangannya ke sana. Tidak ada yang tahu bahwa apa yang sedang ia lihat bukanlah deretan bangunan di pinggir jalan yang mereka lewati. Otak Vivian sedang memproyeksikan kejadian sembilan tahun silam saat jalinan asmaranya dengan Revan baru seumur jagung. "Saya sekolahkan Vivian tinggi-tinggi bukan buat hidup susah sama kamu!" Vivian yang baru keluar dari kamar mendengar mamanya menghardik Revan tanpa belas kasihan di ruang tamu. "Buat makan sendiri aja masih susah kok berani-beraninya ajak anak gadis orang pacaran!" Merasa terkejut, Vivian langsung mengintip untuk melihat wajah Revan. Ia semakin terkejut karena sang kekasih justru terlihat begitu tenang dan masih bisa tersenyum saat menjawab hinaan yang ia terima. "Sekarang saya memang masih susah, tapi nggak lama lagi saya pasti bisa membahagiakan anak Tante." Kata-kata Revan membuat perasaan Vivian melayang. Andai
Read more

Tanggung Jawab Anak

Vivian pernah mendengar bahwa cara paling efektif untuk menyingkirkan kesedihan adalah dengan menyibukkan diri. Karena itu, selama tujuh hari setelah Revan meninggalkan rumah mereka, ia semakin gila bekerja. Berangkat pagi sekali dan pulang sangat larut, agar sesampainya ia di rumah, yang perlu dilakukannya hanyalah tidur. Vivian tidak memberi dirinya kesempatan untuk memikirkan suami labilnya itu. Ia yakin setelah beberapa waktu, laki-laki itu akan menyesal telah meninggalkannya. Seperti yang sudah-sudah, Revan akan selalu kembali padanya. Asal jangan selingkuh saja, pikirnya. Kalau itu terjadi, ia bersumpah akan menghancurkan Revan dan siapa pun perempuan sialan itu. Niat Vivian untuk melupakan masalah rumah tangganya terbantu dengan adanya kesibukan baru di kantor. Menjelang hari raya Imlek, ia dan para Relationship Manager menyiapkan bingkisan yang akan diberikan kepada para debitur yang merayakan Tahun Baru China. Vivian sendiri secara pribadi juga mengantarkan
Read more

Menghapus Utang Budi

David, adik Vivian, keluar dari kamar dengan muka berminyak dan rambut berantakan. Karena rumah mereka kecil, suara pertengkaran di ruang tamu terdengar hingga ke kamar dan memaksanya untuk bangun.Mata pemuda itu tampak merah akibat begadang setiap malam. Ia mengucek matanya yang masih terasa berat dan menatap jengkel pada dua orang perempuan di ruang tamu."Mama sama Kak Vivi nggak bosen apa berantem terus? Sincia malah berantem, nanti rejekinya dipatok ayam baru nangis bareng."Kedua perempuan yang diajak bicara itu sama-sama melotot padanya. Mama Vivian yang lebih dulu angkat bicara. "Yang ada dipatok burung kamu!" hardiknya menatap bagian bawah tubuh David. "Nggak tahu malu! Cepat mandi sana, pakai baju merah yang kemarin Mama belikan!" bentaknya, lalu meninggalkan kedua anaknya untuk duduk di samping suaminya yang sedang menonton berita.Vivian juga jadi melihat bagian bawah tubuh David. Sesuatu terlihat menyembul di balik boxer bergambar kartun Spo
Read more

Sebuah Kesempatan

Beep beep beep ...! "Hiiisshhh ...." Erangan kesal keluar dari bibir Vivian saat ponselnya membunyikan alarm dengan suara mengagetkan. Alih-alih terbangun, ia malah membenahi posisi tidurnya agar lebih nyaman, tidak menghiraukan ponsel yang terus berbunyi. Akan tetapi suara itu semakin lama semakin mengganggu. Vivian terpaksa bangkit. Dengan gerakan kasar ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Ada dua pilihan yang muncul pada layar ponsel. Tanpa pikir panjang perempuan itu menekan tulisan "snooze", lalu kembali tidur dalam balutan selimut. Sepuluh menit kemudian alarmnya kembali berbunyi. Vivian menyingkap selimutnya dengan perasaan frustrasi. Rasa-rasanya ia belum puas terpejam. Berbagai terpaan masalah membuatnya sulit tidur beberapa hari belakangan. Jangan lupakan uang seratus juta rupiah yang telah ditransfernya ke rekening Tante Maya. Ia bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Hatinya menjerit tidak rela. Butuh waktu tidak sebentar untuk mengumpul
Read more

Mengambil Keputusan

"Aku kasih kamu waktu satu minggu untuk berpikir." Ultimatum yang Revan cetuskan sebelum meninggalkan rumah untuk kedua kalinya itu berputar-putar dalam pikiran Vivian, menyisakan kegelisahan yang menghantui hari-harinya. Ia sangat menyadari, kesempatan yang diberikan oleh sang suami adalah peluang terakhir mereka untuk bersama. Jika ia tidak mau mengundurkan diri dari pekerjaan, maka rumah tangga mereka akan benar-benar berakhir. Lalu mana yang harus Vivian pilih? Selama beberapa hari ia benar-benar memikirkannya, mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap keputusan yang akan diambilnya kelak. Namun semakin memikirkannya, ia semakin merasa bimbang dan tertekan. Vivian mengembuskan napas keras-keras, berharap beban hidup yang tengah menghimpitnya akan terurai bersamaan dengan udara yang keluar dari hidung. Namun ia tidak merasa lega sedikit pun. Sadar dirinya sedang tidak fokus, perempuan itu menghentikan kegiatannya memeriksa e-mail penting yang masuk
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status