Kesunyian menyambut Vivian saat ia memasuki rumah. Perempuan itu mengganti stiletto-nya dengan sandal dan melangkah tanpa suara menapaki lantai granit berpola abstrak menuju kamar tidurnya. Ia ingin segera beristirahat. Kakinya terasa pegal setelah dua jam lamanya menginjak pedal Honda Brio miliknya di jalanan padat merayap kota metropolitan.
Surabaya semakin hari semakin padat, ramai dan macet. Perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya tak pernah kurang dari satu jam. Mata Vivian melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam, kurang beberapa menit saja. Perlahan ia membuka pintu kamar.
Pemandangan di balik pintu langsung melecut emosinya. Kemeja, celana panjang lengkap dengan sabuk yang masih membelit, juga handuk basah tergeletak begitu saja di lantai. Ia menatap tajam pada empunya barang.
"Kamu tuh ya, nggak bisa berubah. Apa sih susahnya masukin baju kotor ke keranjang? Ini sabuk juga kenapa nggak dilepas?! Aku capek pulang kerja harus beres-beres lagi!" Gerutuan panjang Vivian menjadi sapaan pertamanya pada suami yang tidak ia jumpa dari pagi hingga malam.
Suami Vivian menipiskan bibir mendengar omelan perempuan itu. Sepasang matanya memperhatikan sang istri yang mengambil pakaian kotor miliknya sambil bersungut-sungut. Pakaian itu dilempar ke dalam keranjang dekat pintu kamar mandi. Orang yang melemparnya kini duduk menghadap cermin besar meja rias.
"Badanku capek banget. Macet parah hari ini!" keluh Vivian di sela kegiatannya membersihkan makeup dengan kapas dan susu pembersih.
Setelah beberapa detik berlalu tanpa mendapat tanggapan, Vivian menoleh untuk melayangkan protes pada suaminya. "Kok kamu diem aja?"
Laki-laki tampan itu mengedikkan bahu. "Mau bilang apa? Kamu sendiri yang nggak mau pakai sopir."
Vivian dalam hati membenarkan kata-kata suaminya. Masalah sopir memang sempat membuat mereka bertengkar hebat. Sang suami ingin Vivian diantar sopir sebagaimana layaknya istri seorang lelaki mapan dan sukses. Sebaliknya, Vivian ingin mandiri dan mengemudi sendiri.
Perempuan itu bungkam dan lebih memilih untuk mandi. Tidak lama. Ia keluar dari kamar mandi memakai piyama berenda, terlihat manis seperti gadis remaja. Rasa rileks setelah mandi membuatnya mengantuk dan ingin tidur. Vivian naik ke ranjang dan membaringkan diri di samping suaminya yang sedang memangku laptop.
Baru saja terpejam, ia kembali membuka matanya saat merasakan tubuhnya mendapat beban berat. Pandangannya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Revan Halim, suami yang baru saja mendeklarasikan keinginannya dengan memerangkap tubuh Vivian di bawah tubuh kokohnya.
"Aku capek, Rev." Vivian menolak dengan kalimat klise.
"Kapan kamu pernah nggak capek?"
"Kamu jangan maksa lah." Tangan Vivian sedikit mendorong dada Revan agar beranjak dari tubuhnya.
Serta-merta Revan bangkit. Mulutnya terkatup rapat dengan rahang mengeras. Laki-laki itu meninggalkan ranjang dan berjalan menuju pintu.
"Kamu mau ke mana?" tanya Vivian ikut berdiri.
"Jajan!"
"Kamu udah gila ya?!" bentak Vivian.
Revan berbalik. Tatapan penuh murkanya menghunjam Vivian. "Sebagai istri yang nggak mau melayani suami, kamu nggak berhak protes kalo aku jajan!"
"Aku udah bilang lagi capek. Kamu nggak akan mati cuma karena nggak ngeseks!"
Vivian sekali pun tidak merasa bersalah menolak keinginan Revan. Baginya kehidupan pernikahan bukan cuma soal kesenangan di bawah perut. Ikatan sakral itu membutuhkan kompromi untuk menyatukan dua hal berbeda. Suami yang pengertian tidak seharusnya memaksa istri yang sedang lelah, bukan?
Sikap waspada Vivian langsung muncul saat melihat Revan dengan wajah menakutkan berjalan menerjang dirinya. Ia mengira laki-laki itu akan memberi tamparan atas mulut lancangnya. Matanya terpejam pasrah, sebelum kemudian merasakan kedua bahunya didorong dan tubuhnya dijatuhkan ke ranjang. Detik itu juga ia merasakan bibir kenyal sang suami menangkup bibirnya, dan tangan yang bergerak lihai menyentuh bagian sensitif tubuhnya.
"Stop it, Rev!" teriak Vivian marah sambil memukul-mukul punggung Revan. Ia benci dipaksa, dan tidak biasanya Revan memaksa.
"I can't!"
Sepertinya sudah kepalang tanggung bagi Revan. Ia tidak mengindahkan penolakan sang istri. Bibirnya yang basah kembali menelusuri kulit mulus Vivian, di tempat yang ia tahu menjadi kelemahan perempuan itu.
Kata orang tindakan tak selalu sejalan dengan pikiran. Vivian benar-benar membuktikannya malam itu. Kala mulutnya melontarkan penolakan, tubuhnya justru bereaksi pada sentuhan Revan. Napas Vivian tersendat menahan hasrat yang dibangkitkan dengan paksa. Benteng pertahanannya jebol. Ia takluk dan membalas pagutan Revan.
Suara lenguhan terdengar saat tubuh mereka melebur jadi satu. Pinggul Revan bergerak cepat memberi kenikmatan bagi mereka berdua. Vivian mendesah keras dan mencengkeram punggung sang suami. Laki-laki itu tak pernah gagal mengantarnya ke pintu surga. Dan tidak seperti biasanya, Revan kali ini lebih buas, lebih menuntut, dan ... lebih lama.
***
Seharusnya aktivitas bercinta menumbuhkan kasih sayang pada rumah tangga yang gersang, serupa air hujan yang menyirami tanah tandus padang pasir. Selayaknya penyatuan tubuh itu juga menyatukan hati mereka. Kenyataannya, hal itu tidak berlaku bagi pasangan Revan dan Vivian.
"Aku mau cerai," ucap Revan tiba-tiba keesokan paginya.
Vivian yang sedang sibuk memulas concealer pada lehernya seketika menolehkan kepala. "Nggak lucu, Rev!"
Ketika pacaran dulu Revan juga sering mengucapkan kata putus kala mereka bertengkar. Laki-laki itu pula yang dengan tidak tahu malu mengajak berbaikan, dan atas nama cinta, Vivian selalu menerima ajakan Revan untuk kembali.
Namun, dalam pernikahan mereka, inilah kali pertama kata cerai terucap. Vivian mendengus. Minta cerai setelah tadi malam menggaulinya bagai harimau kelaparan? Suaminya itu pasti sedang bergurau, bukan?
"Daripada becanda gak jelas, lihatin leher aku masih kelihatan merah nggak? Gara-gara kamu semalem—"
"Aku serius," potong Revan cepat dan tegas.
Nada bicara Revan berhasil menarik perhatian penuh Vivian. Ia berjalan mendekat dan menatap lekat-lekat wajah suaminya itu. Dulu wajah oriental Revan, dengan tatapan dingin menusuk dari sepasang mata sipitnya selalu berhasil membuat jantung Vivian berdebar tak karuan. Namun sekarang rasanya ia ingin sekali menggaruk wajah itu dengan kukunya yang tajam terawat.
"Are you out of your mind? Gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba minta cerai?" tuntut Vivian meminta penjelasan.
"Bosan aja."
Seketika dada Vivian bagai ditusuk ribuan jarum. Perempuan mana yang tidak sakit hati mendengar suami minta cerai dengan alasan bosan, di saat pernikahan baru berjalan dua tahun.
"Kalo bosan sama aku kenapa semalam nidurin aku, Sialan!" umpat Vivian mengepalkan jemarinya.
Revan tersenyum miring. "Itu kenang-kenangan sebelum kita bercerai."
Vivian menipiskan bibirnya dengan geram. Wajah suaminya semakin mengundang untuk ditampar. Ia bertanya-tanya apakah Revan sedang mengerjainya.
Sayangnya tidak ada hal spesial pada hari itu. Ulang tahunnya? Jelas bukan. Hari jadi pernikahan? Baru saja bulan lalu. Tanggal jadian? Entah kapan, Vivian sudah lupa.
Mata Vivian lalu menyipit curiga. "Ada perempuan lain?"
Hanya itu alasan yang masuk akal bukan?
"Enggak."
"Jadi kenapa?!" tuntut Vivian lagi.
"Udah aku jawab tadi."
PLAK!
Sebuah tamparan benar-benar melayang ke wajah rupawan Revan.
"Bosan katamu? Bener-bener sialan ya! Kamu anggap aku mainan yang bisa dibuang setelah kamu bosan? Laki-laki macam apa kamu, hah?! Anggap pernikahan cuma main-main!"
Tiba-tiba tangan Revan melesat cepat mencengkeram lengan Vivian, menariknya maju dan melesakkan tubuhnya ke tubuh tegap lelaki itu. Vivian dapat merasakan embusan napas hangat Revan dari setiap kalimat yang didesiskan lelaki itu di telinganya.
"Sebelum kamu tanya aku laki-laki macam apa, tanyakan ke diri kamu sendiri kamu istri macam apa!" Punggung tegap berbalut kemeja mahal itu menghilang dari pandangan Vivian, disusul suara debuman pintu.
Lama Vivian berdiri terpaku setelah Revan meninggalkan kamar, tiba-tiba hilang kemampuan untuk berpikir. Ia baru bergerak ketika fungsi otaknya telah kembali, membentuk sebuah kesimpulan.Suaminya tidak sedang bercanda. Revan serius ingin menceraikannya.Intuisi Vivian mendesaknya untuk bergegas menyusul Revan, untuk mengajak lelaki itu berbicara. Dia pergi ke ruang makan, tempat Revan setiap pagi menonton berita streaming di ponsel, ditemani secangkir kopi panas dan menu sarapan favorit.Namun meja makan itu kini kosong. Segelas kopi berdiri di atasnya, dengan isi yang masih utuh. Roti panggang mentega yang telah disiapkan oleh Supatmi, asisten rumah tangga mereka, juga sama sekali tidak disentuh.Supatmi yang biasa dipanggil Mbak Mi itu baru saja masuk ke ruang makan. Ia membawa segelas jus apel untuk Vivian yang menjadikannya menu wajib setiap pagi."Tuan nggak sarapan, Mbak?" Vivian bertanya sambil memandangi gelas jus apelnya."Endak, N
Tidak mudah memaksa otak berpikir logis di saat suasana hati sedang semrawut. Beberapa orang bahkan kehilangan kemampuan itu. Sama halnya dengan Vivian. Dalam waktu hanya sepuluh menit yang disediakan oleh Revan, ia dipaksa untuk memilih kalimatnya dengan cepat dan tepat. Namun ia gagal. Bukannya membujuk sang suami dengan permainan kata-kata yang mampu mempengaruhi pikiran lawan bicara bak seorang diplomat, yang keluar dari mulut Vivian malah kalimat impulsif yang ia sendiri menyesal telah mengatakannya : Hamil dan punya anak. "Kalau itu yang aku mau?" Revan mengulang kalimat Vivian dengan penekanan pada 'yang aku mau'. "Ya." "Bukan mau kamu?" Vivian mengerjap ragu. Reaksi sang istri membuat Revan mendecakkan lidah. "Kamu bersedia punya anak cuma supaya nggak aku ceraikan?" "Aku juga mau punya anak kok." Tapi enggak sekarang, tambah Vivian dalam hati. "Pekerjaan kamu gimana?" "Ya nggak gimana-gimana. Aku tetap
Mobil kecil yang dikemudikan Vivian bergerak stabil menuju selatan Surabaya. Perjalanan yang tidak terlalu panjang, tetapi tetap saja mobil itu harus beberapa kali berhenti saat bertemu dengan kemacetan dan lampu lalu lintas yang berubah merah. "Ah sial!" umpat Vivian memukul gagang setir saat mobilnya terjebak antrian panjang di jalan sempit menuju perbatasan antar kota. Perut lapar dan pikiran kacau turut menambah kekesalannya. Kemacetan itu baru terurai setelah Vivian melewati sebuah pertigaan tempat bersilangnya kendaraan dari dalam dan luar kota Surabaya. Supermarket besar di sisi kiri menjadi penanda Vivian telah tiba di area perumahan yang dituju. Tak lama kemudian mobil putih metalik miliknya melintas di bawah gapura bertuliskan "Selamat Datang di Kabupaten Sidoarjo". Dari situ, hanya butuh waktu tidak sampai sepuluh menit untuk sampai di rumah orang tua Vivian. Sidoarjo tak kalah padat dengan Surabaya. Pertambahan drastis jumlah penduduk membuat kebu
Sebelum menerima takdirnya sebagai penerus bisnis keluarga, Revan Halim pernah menjadi seorang pemberontak. Jiwa muda meledak-ledak membuatnya memilih jalan ekstrem memprotes rencana perjodohan antara dirinya dengan putri dari sahabat sang ayah. Bagi Revan, pergi dari rumah adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depannya dari pernikahan paksa. Indekos di daerah kampus yang ramai, hari-harinya ia habiskan dengan bermain game di warnet. Revan menikmati kebebasan hidup yang baru ia reguk. Masalah keuangan tidak dipusingkannya. Ia bisa kapan saja meminta pada neneknya, satu-satunya orang yang selalu mendukung apa pun keputusannya. Pertemuan pertamanya dengan Vivian terjadi pada masa itu. Di depan sebuah warnet game yang beroperasi dekat universitas swasta ternama di Surabaya Timur, Revan Halim berjumpa dengan jodohnya. Setidaknya begitulah yang ia pikirkan pada saat itu. Sikap Vivian yang cuek saat turun dari motor dan penampilannya yang apa adanya me
Kaca jendela di samping kiri Vivian seperti menjadi benda paling menarik yang membuat perempuan itu terus mengarahkan pandangannya ke sana. Tidak ada yang tahu bahwa apa yang sedang ia lihat bukanlah deretan bangunan di pinggir jalan yang mereka lewati. Otak Vivian sedang memproyeksikan kejadian sembilan tahun silam saat jalinan asmaranya dengan Revan baru seumur jagung. "Saya sekolahkan Vivian tinggi-tinggi bukan buat hidup susah sama kamu!" Vivian yang baru keluar dari kamar mendengar mamanya menghardik Revan tanpa belas kasihan di ruang tamu. "Buat makan sendiri aja masih susah kok berani-beraninya ajak anak gadis orang pacaran!" Merasa terkejut, Vivian langsung mengintip untuk melihat wajah Revan. Ia semakin terkejut karena sang kekasih justru terlihat begitu tenang dan masih bisa tersenyum saat menjawab hinaan yang ia terima. "Sekarang saya memang masih susah, tapi nggak lama lagi saya pasti bisa membahagiakan anak Tante." Kata-kata Revan membuat perasaan Vivian melayang. Andai
Vivian pernah mendengar bahwa cara paling efektif untuk menyingkirkan kesedihan adalah dengan menyibukkan diri. Karena itu, selama tujuh hari setelah Revan meninggalkan rumah mereka, ia semakin gila bekerja. Berangkat pagi sekali dan pulang sangat larut, agar sesampainya ia di rumah, yang perlu dilakukannya hanyalah tidur. Vivian tidak memberi dirinya kesempatan untuk memikirkan suami labilnya itu. Ia yakin setelah beberapa waktu, laki-laki itu akan menyesal telah meninggalkannya. Seperti yang sudah-sudah, Revan akan selalu kembali padanya. Asal jangan selingkuh saja, pikirnya. Kalau itu terjadi, ia bersumpah akan menghancurkan Revan dan siapa pun perempuan sialan itu. Niat Vivian untuk melupakan masalah rumah tangganya terbantu dengan adanya kesibukan baru di kantor. Menjelang hari raya Imlek, ia dan para Relationship Manager menyiapkan bingkisan yang akan diberikan kepada para debitur yang merayakan Tahun Baru China. Vivian sendiri secara pribadi juga mengantarkan
David, adik Vivian, keluar dari kamar dengan muka berminyak dan rambut berantakan. Karena rumah mereka kecil, suara pertengkaran di ruang tamu terdengar hingga ke kamar dan memaksanya untuk bangun.Mata pemuda itu tampak merah akibat begadang setiap malam. Ia mengucek matanya yang masih terasa berat dan menatap jengkel pada dua orang perempuan di ruang tamu."Mama sama Kak Vivi nggak bosen apa berantem terus? Sincia malah berantem, nanti rejekinya dipatok ayam baru nangis bareng."Kedua perempuan yang diajak bicara itu sama-sama melotot padanya. Mama Vivian yang lebih dulu angkat bicara. "Yang ada dipatok burung kamu!" hardiknya menatap bagian bawah tubuh David. "Nggak tahu malu! Cepat mandi sana, pakai baju merah yang kemarin Mama belikan!" bentaknya, lalu meninggalkan kedua anaknya untuk duduk di samping suaminya yang sedang menonton berita.Vivian juga jadi melihat bagian bawah tubuh David. Sesuatu terlihat menyembul di balik boxer bergambar kartun Spo
Beep beep beep ...! "Hiiisshhh ...." Erangan kesal keluar dari bibir Vivian saat ponselnya membunyikan alarm dengan suara mengagetkan. Alih-alih terbangun, ia malah membenahi posisi tidurnya agar lebih nyaman, tidak menghiraukan ponsel yang terus berbunyi. Akan tetapi suara itu semakin lama semakin mengganggu. Vivian terpaksa bangkit. Dengan gerakan kasar ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Ada dua pilihan yang muncul pada layar ponsel. Tanpa pikir panjang perempuan itu menekan tulisan "snooze", lalu kembali tidur dalam balutan selimut. Sepuluh menit kemudian alarmnya kembali berbunyi. Vivian menyingkap selimutnya dengan perasaan frustrasi. Rasa-rasanya ia belum puas terpejam. Berbagai terpaan masalah membuatnya sulit tidur beberapa hari belakangan. Jangan lupakan uang seratus juta rupiah yang telah ditransfernya ke rekening Tante Maya. Ia bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Hatinya menjerit tidak rela. Butuh waktu tidak sebentar untuk mengumpul
Langkah Vivian terasa berat saat melintasi halaman parkir kantor Revan. Sebenarnya ia enggan datang ke sana. Hubungannya dengan orang tua Revan tidak bisa dikatakan baik, walau juga tidak bisa dibilang buruk. Sikap mertuanya yang tak acuh membuat Vivian merasa tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga besar suaminya itu."Selamat siang, Pak. Saya Vivian ada janji bertemu dengan Pak Perdana." Vivian memberi senyum sopan kepada petugas keamanan yang berjaga di depan pintu masuk."Silakan masuk, Ibu Vivian."Seperti yang Vivian duga, petugas keamanan di kantor Revan telah mendapat informasi soal kedatangannya. Ia langsung diantar ke ruang tunggu tamu. Tidak sampai lima menit kemudian, seorang perempuan yang memperkenalkan diri sebagai sekretaris papa Revan mendatanginya."Mari, Bu Vivian. Bapak dan Ibu Perdana sudah menunggu di ruangannya." Sekretaris bernama Johanna itu berbicara dengan sikap profesional yang sempurna.Vivian berjalan mengikuti sang sekretaris dengan perasaan cemas ya
Perasaan Vivian jadi tidak enak karena Vanessa juga bertolak ke Jakarta hari itu. Tadi malam ia dan Revan sempat mengobrol sebentar soal Vanessa. Ternyata biduanita itu tidak seorang diri ke Surabaya. Ke mana pun pergi, ia selalu didampingi oleh manajer dan asistennya yang kebetulan sedang keluar ketika Vivian datang tadi malam. Namun bukan berarti Vivian boleh merasa tenang. "Kamu nggak bakal ketemu Vanessa di sana kan, Rev?""Astaga, Vi." Vivian dapat membayangkan ekspresi bosan Revan ketika menjawab pertanyaan darinya. "Enggaklah. Penyelesaian kontrak dengan Vanessa sudah aku delegasikan ke Devan. Kamu bisa ikut ke Jakarta kalau nggak percaya."Itu adalah sebuah ajakan yang mustahil Vivian terima. Timnya sedang dikejar tenggat waktu. Tidak harus lembur saja ia sudah sangat bersyukur. "Aku nggak bisa. Kerjaanku nggak mungkin aku tinggal, apalagi sebentar lagi aku resign.""Tapi aku nggak bisa pergi dengan tenang kalau kamu terus curiga begini.""Kamu ngomong apa sih? Pergi dengan ten
"Bangun, Sayang. Nanti kamu telat ke kantor."Revan yang hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya itu mengulangi panggilannya kepada Vivian. Setengah jam yang lalu ia telah mencoba membangunkan Vivian, tetapi istrinya itu tampak masih pulas. Ia memutuskan untuk memberi perempuan itu sedikit waktu menikmati tidur nyenyaknya. Setelah mandi, ia membangunkan kembali sang istri dengan suara lembut.Suara Revan yang awalnya terdengar samar itu semakin jelas masuk ke indera pendengaran Vivian. Ia segera membuka matanya dan mendapati sang suami tengah tersenyum menatap dirinya."Ugh ... capek banget badanku." Vivian merenggangkan tubuhnya sebelum mengubah posisi tidurnya menjadi posisi duduk."Kalau capek nggak usah masuk hari ini. Istirahat dulu." Revan memberi usul. Mereka baru saja melalui malam yang panjang dan menguras energi. Pukul satu dini hari ia dan Vivian baru tiba di rumah. Wajar jika istrinya itu kini merasa lelah."Aku har
Revan menatap terpana Vivian yang menangis untuk kedua kalinya malam itu. Percaya atau tidak, selama sembilan tahun menjalin hubungan dengan Vivian, belum pernah sekalipun ia melihat perempuan itu meneteskan air mata. Hati Vivian bagaikan terbuat dari batu intan yang keras dan tidak mudah tergores.Namun kini batu intan itu seolah kehilangan ketegarannya. Hal itu menimbulkan penyesalan dalam batin Revan. Seandainya ia lebih bijak dan tidak gegabah melontarkan ajakan bercerai, istrinya tidak akan merasa terluka hingga menangis tersedu-sedu seperti sekarang.Tanpa pikir panjang ia segera memeluk tubuh sang istri, berharap perempuan itu mendapatkan rasa nyaman dari tubuh mereka yang saling merapat. Kata maaf baru saja akan terucap dari bibirnya ketika tiba-tiba ia mendengar kalimat tak terduga."Kamu terlalu baik, Rev. Aku merasa nggak pantas jadi istri kamu.""Kenapa bilang begitu?" tanya Revan terkejut. "Nggak ada yang pantas jadi istriku selain kamu."
"Kalian seperti udah lama kenal."Kalimat itu bukan lagi sebuah pertanyaan. Baru sekarang Vivian sadar pembicaraan antara Revan dan Vanessa tidak seperti rekan bisnis yang baru pertama kali bertemu. Kecurigaannya langsung terbukti karena Revan sama sekali tidak menyangkal."Kami sudah kenal sebelumnya, tapi dia bukan pacarku.""Trus apa? One night stand kamu?""Hanya teman yang pernah sama-sama kuliah di Amerika.""Wow ...." Vivian mendecakkan lidahnya dengan gaya dramatis. "Ternyata sudah kenal sejak kuliah di Amerika. Kenapa baru cerita sekarang?""Memangnya kamu pernah tertarik dengan kehidupan kuliahku?""Nggak usah muter-muter, Rev. Kamu nggak cerita karena takut aku curiga, 'kan?"Revan menutup matanya sambil mengembuskan napas lelah. Ekspresi wajahnya seolah mengatakan ia bosan menghadapi tuduhan Vivian. "Kamu tanya langsung aja sama dia," putusnya setelah membuka mata.Laki-laki itu mengambil ponselnya dan melaku
Vivian tidak lagi berniat menghindar. Ia mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata dan membalas tatapan Revan. Kebencian terlihat jelas dari sorot mata itu.Melihat itu, Revan menghela napas. Rasa senangnya yang sempat muncul lantaran mendapati sang istri cemburu, hilang begitu saja. "Kita harus bicara," ucapnya serius."Nggak ada yang perlu dibicarain, Rev!" Vivian menyentak tangannya yang sedang dipegang erat oleh Revan. "Dulu aku sudah pernah bilang, kan? Sekali kamu berkhianat, saat itu juga pernikahan kita berakhir!"Revan kembali mencengkeram lengan Vivian dengan tenaga yang lebih kuat daripada sebelumnya. "Dengar! Kalau pernikahan kita harus berakhir, aku nggak akan membiarkannya berakhir karena kesalahpahaman!"Pada saat itu, pintu lift terbuka. Vivian dan Revan otomatis menghentikan pertengkaran dan menggeser posisi berdiri mereka untuk memberi jalan pada orang yang baru saja keluar dari lift. Dari sudut matanya, Vivian melihat sepasang pria dan
Untuk sesaat, waktu seakan berhenti berputar bagi Vivian. Ia berdiri terpaku di tempat. Mendengar perempuan lain mengaku sebagai pacar suami adalah mimpi buruk bagi istri mana pun. Ia meneliti wajah Vanessa, mencari tanda-tanda kebohongan dari wajah cantik di hadapannya. Namun paras memikat perempuan itu justru menimbulkan syak wasangka dalam diri Vivian. Mungkinkah Vanessa adalah penyebab Revan ingin bercerai darinya?"Bisa beritahu saya nama pacar kamu?" Vivian berusaha bersikap tenang kendati emosinya sedang memuncak. Akal sehat membuatnya berhasil menahan diri untuk tidak menarik rambut Vanessa. Lagi pula perempuan itu sama sekali tidak menyebut nama Revan. Setelah sekian lama, bisa saja Revan telah memindahkan kepemilikan griya tawang tersebut kepada orang lain.Pikiran positif Vivian malah disambut oleh senyum mengejek yang terbentuk di bibir Vanessa. "Lebih baik kamu pulang. Suamimu pasti nggak berharap melihat kamu di sini," katanya, lalu masuk meninggalkan Viv
"Aku kasih kamu waktu satu minggu untuk berpikir." Ultimatum yang Revan cetuskan sebelum meninggalkan rumah untuk kedua kalinya itu berputar-putar dalam pikiran Vivian, menyisakan kegelisahan yang menghantui hari-harinya. Ia sangat menyadari, kesempatan yang diberikan oleh sang suami adalah peluang terakhir mereka untuk bersama. Jika ia tidak mau mengundurkan diri dari pekerjaan, maka rumah tangga mereka akan benar-benar berakhir. Lalu mana yang harus Vivian pilih? Selama beberapa hari ia benar-benar memikirkannya, mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap keputusan yang akan diambilnya kelak. Namun semakin memikirkannya, ia semakin merasa bimbang dan tertekan. Vivian mengembuskan napas keras-keras, berharap beban hidup yang tengah menghimpitnya akan terurai bersamaan dengan udara yang keluar dari hidung. Namun ia tidak merasa lega sedikit pun. Sadar dirinya sedang tidak fokus, perempuan itu menghentikan kegiatannya memeriksa e-mail penting yang masuk
Beep beep beep ...! "Hiiisshhh ...." Erangan kesal keluar dari bibir Vivian saat ponselnya membunyikan alarm dengan suara mengagetkan. Alih-alih terbangun, ia malah membenahi posisi tidurnya agar lebih nyaman, tidak menghiraukan ponsel yang terus berbunyi. Akan tetapi suara itu semakin lama semakin mengganggu. Vivian terpaksa bangkit. Dengan gerakan kasar ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Ada dua pilihan yang muncul pada layar ponsel. Tanpa pikir panjang perempuan itu menekan tulisan "snooze", lalu kembali tidur dalam balutan selimut. Sepuluh menit kemudian alarmnya kembali berbunyi. Vivian menyingkap selimutnya dengan perasaan frustrasi. Rasa-rasanya ia belum puas terpejam. Berbagai terpaan masalah membuatnya sulit tidur beberapa hari belakangan. Jangan lupakan uang seratus juta rupiah yang telah ditransfernya ke rekening Tante Maya. Ia bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Hatinya menjerit tidak rela. Butuh waktu tidak sebentar untuk mengumpul