Sebelum menerima takdirnya sebagai penerus bisnis keluarga, Revan Halim pernah menjadi seorang pemberontak. Jiwa muda meledak-ledak membuatnya memilih jalan ekstrem memprotes rencana perjodohan antara dirinya dengan putri dari sahabat sang ayah. Bagi Revan, pergi dari rumah adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depannya dari pernikahan paksa.
Indekos di daerah kampus yang ramai, hari-harinya ia habiskan dengan bermain game di warnet. Revan menikmati kebebasan hidup yang baru ia reguk. Masalah keuangan tidak dipusingkannya. Ia bisa kapan saja meminta pada neneknya, satu-satunya orang yang selalu mendukung apa pun keputusannya.
Pertemuan pertamanya dengan Vivian terjadi pada masa itu. Di depan sebuah warnet game yang beroperasi dekat universitas swasta ternama di Surabaya Timur, Revan Halim berjumpa dengan jodohnya. Setidaknya begitulah yang ia pikirkan pada saat itu.
Sikap Vivian yang cuek saat turun dari motor dan penampilannya yang apa adanya menjadi pemandangan segar bagi mata Revan yang sudah terbiasa melihat gaya glamor putri konglomerat. Ia masih ingat betul, saat itu Vivian mengenakan hoodie biru muda bergambar Mickey Mouse dan celana jeans hitam yang robek besar di kedua bagian lututnya.
Ia jadi ingin tahu seperti apa rupa gadis yang gestur tubuhnya telah sangat menarik perhatiannya itu. Dengan sendirinya jantung Revan berdebar kencang menanti gadis itu melepas helm teropong yang menutup penuh kepalanya. Bagaikan menonton sebuah film yang diputar dengan gerak lambat, Revan memperhatikan setiap gerakan kecil gadis itu.
Saat tangan Vivian menyugar rambut panjangnya yang berantakan sembari menoleh tanpa arti ke arah Revan, detik itu juga seorang Revan Halim merasakan tusukan panah asmara pada jantungnya. Menarik. Ia terpesona pada pandangan pertama.
Beberapa hari kemudian, Revan melancarkan aksinya mendekati gadis itu.
"Ini game kesukaan aku juga. Mau main bareng?"
Mendekati seorang gamer tentu harus dimulai dari game yang ia sukai. Revan meninggalkan game tembak-menembak kesayangannya dan menggantinya dengan game kompetisi menari yang selalu dimainkan oleh Vivian di warnet.
"Wah level kamu udah tinggi!" seru Vivian kagum melihat level karakter milik Revan. "Udah lama ya mainnya?"
Revan menyeringai pada gadis itu. "Belum lama kok."
Bukan bunga, perhiasan atau barang romantis lainnya, melainkan karakter game berlevel 35 yang paling berjasa mendekatkan hubungan Revan dengan Vivian. Karakter itu dibelinya dari seorang penjual karakter game di F*cebook dengan harga tidak murah. Mereka kerap main bersama. Wajah cemberut Vivian setiap kali gadis itu kalah darinya terlihat sangat menggemaskan.
"Kita couple-an yuk?" Hanya ajakan untuk memasangkan karakter mereka dalam game, tetapi jantung Revan telah berdebar tak karuan. Ia mengiakannya tanpa ragu, sangat yakin setelah itu mereka juga akan segera menjadi pasangan di dunia nyata. Karakter mereka lalu menikah dan saling memanggil dengan sebutan "pii" dan "mii", kependekan dari papi dan mami. Sangat romantis bukan?
Akan tetapi, dunia nyata tidak seindah dunia maya. Berbulan-bulan Vivian hanya menganggap Revan sebagai partner main game yang asyik dan menyenangkan. Sebaliknya, laki-laki itu terperosok semakin dalam ke jurang bernama cinta.
Kuat, mandiri dan bebas, Vivian berhasil menghancurkan stigma seorang perempuan yang selama ini melekat kuat dalam benak Revan.
"Kamu jam segini belum pulang, nggak dicariin orang tuamu?" tanya Revan suatu hari saat mereka berjalan beriringan menuju tempat motor mereka terparkir usai bermain di warnet.
Vivian menggeleng. "Nggak. Mereka percaya aku nggak bakal macem-macem."
"Kok bisa gitu?" Revan tidak bisa tidak merasa takjub, karena sejak lahir hidupnya berada dalam kendali penuh orang tua. Jadwal belajar, waktu bermain, apa yang dimakan, dan dengan siapa ia bergaul, semua sudah ditentukan.
Vivian mengenakan helm teropong lalu mengedikkan sebelah bahunya tak acuh. "Ya karena aku memang nggak macem-macem orangnya," jawabnya sambil mengangkat kaki kanannya melewati jok motor. Bahkan caranya naik motor seperti seorang laki-laki, pikir Revan saat itu. Namun anehnya ia justru menganggap gadis itu keren.
Saat rasa cinta di dadanya tumbuh semakin besar dan tak tertahankan lagi, Revan memutuskan untuk mengutarakannya. Pemuda itu bertekad menyudahi hubungan platonik di antara mereka berdua. Ia memberanikan diri mengajak Vivian makan di sebuah kafe tak jauh dari warnet dan menyatakan perasaannya di sana.
"Vi, gimana kalo kita couple-an sungguhan?"
Revan ingat betul reaksi Vivian saat mendengar ajakan darinya. Sangat datar. "Maksud kamu pacaran?" tanya gadis itu padanya sambil mengerjapkan kedua matanya.
"Iya pacaran. Aku udah lama suka kamu."
"Oh." Gadis itu kembali menunduk dan melanjutkan makannya.
Hati Revan langsung mencelos. Ia pikir Vivian menolaknya, sebelum kemudian mendengar gadis itu bertanya dengan wajah tak mengerti. "Tapi kenapa? Apa yang bikin kamu bisa suka sama aku?"
Revan menatap kedua bola mata Vivian, berharap jawabannya mampu meluluhkan hati gadis itu. "Karena kamu beda sama perempuan lain yang aku kenal. Kamu kuat dan mandiri."
Ironis sekali, pikir Revan sembilan tahun kemudian sambil memandang tajam pada istri yang baru saja membangkitkan kemarahannya. Kemandirian Vivian yang dulu membuatnya tergila-gila pada perempuan itu, kini justru menjadi alasan Revan ingin bercerai darinya.
"Kamu makin hari makin kurang ajar sama suami!" bentaknya mengeluarkan amarah.
Vivian membuka mulutnya untuk membantah. "Aku cuma nggak suka kamu seenaknya—"
"Apa salahnya kasih hadiah ke mertua yang lagi ulang tahun?" tuntut Revan tanpa menunggu Vivian menyelesaikan kalimatnya.
"Hadiah yang kamu kasih terlalu mahal!"
"Lantas kenapa kalau mahal? Dua tahun kita menikah, kamu belum bisa menerima kenyataan kalau aku orang kaya?" balas Revan sengit.
Vivian memejamkan matanya, merasa lelah dengan seluruh pertengkaran mereka. "Aku cuma minta kamu nggak kasih apa-apa ke keluargaku. Apa sesusah itu melakukannya?" jawabnya dengan suara yang semakin menegaskan rasa lelahnya.
"Lalu apa peranku sebagai suami kamu, Vi? Kamu nggak pernah mau pakai uangku, kamu melarang aku membantu keluargamu, kamu nggak membiarkan teman-temanmu tahu kalau aku ini suamimu!" Revan memukul gagang setir dengan keras untuk meluapkan rasa frustrasinya.
Suara ketukan di kaca jendela menjeda sejenak pertengkaran sepasang suami-istri itu. Entah sejak kapan satpam perumahan Vivian keluar dari pos penjagaannya dan menatap garang pada Revan dari balik kaca jendela. Sepertinya ia mengira Vivian baru saja mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Revan menurunkan kaca jendelanya dan tersenyum pada satpam tersebut. Tak ada lagi sisa kemarahan di wajahnya. Namun orang yang disenyuminya itu tidak membalas. Satpam itu melempar pandangan penuh penilaian pada Revan, lalu beralih memperhatikan Vivian. "Apa ada masalah, Bu?"
"Oh nggak ada kok, Pak. Tadi saya cuma becanda sama suami saya. Biasa kalau becanda suka nggak sadar tempat. Ini juga udah mau pulang," jawab Vivian cepat-cepat sambil memaksakan senyum pada bibirnya yang tiba-tiba terasa kering. Dalam hati ia memarahi dirinya karena tidak mampu berakting sebaik Revan.
"Baik kalau begitu. Hati-hati di jalan, Pak, Bu." Satpam itu terlihat lega. Ia memberi senyum sopan sebelum kembali ke tempatnya semula.
Karena sadar tidak ada gunanya melanjutkan pertengkaran mereka di tempat itu, Revan mulai menjalankan kembali kendaraannya. Ia mengemudi dengan bibir terkatup rapat, menahan amarah yang masih meledak-ledak di kepalanya.
Kalau mesin waktu benar-benar ada, Revan pasti telah membelinya seberapa mahal pun harganya. Ia ingin kembali ke masa sembilan tahun silam untuk mencegah dirinya melakukan kebodohan. Ia bersumpah tidak akan pernah pergi dari rumah orang tuanya. Ia akan menurut saja dijodohkan dengan siapa pun itu. Perempuan pilihan orang tuanya pasti tidak lebih buruk daripada istri yang sedang duduk di sampingnya ini, pikirnya muram.
Lucunya, tekad untuk mempertahankan hubungannya dengan Vivianlah yang kala itu membuatnya dengan tidak tahu malu kembali ke kenyamanan rumah yang ia tinggalkan. Ia masih ingat betul saat pertama kalinya menjemput Vivian untuk berangkat kuliah, dua bulan setelah mereka resmi berpacaran.
Karena takut terlambat, Revan datang sangat pagi. Vivian masih mandi ketika ia tiba di rumah gadis itu. Ruang tamu tempatnya duduk menunggu terasa semakin sempit saat ia mulai diinterogasi olah mama sang kekasih.
"Kamu satu kampus sama anak saya?"
"Saya belum kuliah, Tante," jawab Revan jujur. Ia memang berencana masuk kuliah pada semester berikutnya, di kampus yang sama dengan Vivian.
"Kamu tinggal di mana?"
"Saya ngekos di Tenggilis."
"Asli mana?"
"Surabaya."
"Kenapa ngekos? Nggak punya rumah?"
Revan sempat ragu menjawab. Tidak mungkin ia mengatakan sedang minggat dari rumah orang tua. "Iya nggak punya," jawabnya terpaksa berbohong.
Alis mama Vivian hampir menyatu mendengarnya. "Orang tua kamu kerja apa?"
"Jualan makanan, Tante." Saat itu Revan tidak merasa berbohong. Perusahaan milik keluarganya memang memproduksi berbagai produk makanan dan minuman.
Mama Vivian mendengus keras. "Kamu kira saya akan mengijinkan anak saya pacaran sama laki-laki yang nggak punya masa depan seperti kamu?" bentak wanita itu, lalu melirik tajam ke arah pagar rumah.
Revan mengikuti arah pandangan mata mama Vivian. Di bawah tatapan jijik wanita itu, sepeda motor bebek warna hitam keluaran tahun 2004 yang ia gunakan untuk menjemput sang kekasih tampak terparkir menyedihkan.
Kaca jendela di samping kiri Vivian seperti menjadi benda paling menarik yang membuat perempuan itu terus mengarahkan pandangannya ke sana. Tidak ada yang tahu bahwa apa yang sedang ia lihat bukanlah deretan bangunan di pinggir jalan yang mereka lewati. Otak Vivian sedang memproyeksikan kejadian sembilan tahun silam saat jalinan asmaranya dengan Revan baru seumur jagung. "Saya sekolahkan Vivian tinggi-tinggi bukan buat hidup susah sama kamu!" Vivian yang baru keluar dari kamar mendengar mamanya menghardik Revan tanpa belas kasihan di ruang tamu. "Buat makan sendiri aja masih susah kok berani-beraninya ajak anak gadis orang pacaran!" Merasa terkejut, Vivian langsung mengintip untuk melihat wajah Revan. Ia semakin terkejut karena sang kekasih justru terlihat begitu tenang dan masih bisa tersenyum saat menjawab hinaan yang ia terima. "Sekarang saya memang masih susah, tapi nggak lama lagi saya pasti bisa membahagiakan anak Tante." Kata-kata Revan membuat perasaan Vivian melayang. Andai
Vivian pernah mendengar bahwa cara paling efektif untuk menyingkirkan kesedihan adalah dengan menyibukkan diri. Karena itu, selama tujuh hari setelah Revan meninggalkan rumah mereka, ia semakin gila bekerja. Berangkat pagi sekali dan pulang sangat larut, agar sesampainya ia di rumah, yang perlu dilakukannya hanyalah tidur. Vivian tidak memberi dirinya kesempatan untuk memikirkan suami labilnya itu. Ia yakin setelah beberapa waktu, laki-laki itu akan menyesal telah meninggalkannya. Seperti yang sudah-sudah, Revan akan selalu kembali padanya. Asal jangan selingkuh saja, pikirnya. Kalau itu terjadi, ia bersumpah akan menghancurkan Revan dan siapa pun perempuan sialan itu. Niat Vivian untuk melupakan masalah rumah tangganya terbantu dengan adanya kesibukan baru di kantor. Menjelang hari raya Imlek, ia dan para Relationship Manager menyiapkan bingkisan yang akan diberikan kepada para debitur yang merayakan Tahun Baru China. Vivian sendiri secara pribadi juga mengantarkan
David, adik Vivian, keluar dari kamar dengan muka berminyak dan rambut berantakan. Karena rumah mereka kecil, suara pertengkaran di ruang tamu terdengar hingga ke kamar dan memaksanya untuk bangun.Mata pemuda itu tampak merah akibat begadang setiap malam. Ia mengucek matanya yang masih terasa berat dan menatap jengkel pada dua orang perempuan di ruang tamu."Mama sama Kak Vivi nggak bosen apa berantem terus? Sincia malah berantem, nanti rejekinya dipatok ayam baru nangis bareng."Kedua perempuan yang diajak bicara itu sama-sama melotot padanya. Mama Vivian yang lebih dulu angkat bicara. "Yang ada dipatok burung kamu!" hardiknya menatap bagian bawah tubuh David. "Nggak tahu malu! Cepat mandi sana, pakai baju merah yang kemarin Mama belikan!" bentaknya, lalu meninggalkan kedua anaknya untuk duduk di samping suaminya yang sedang menonton berita.Vivian juga jadi melihat bagian bawah tubuh David. Sesuatu terlihat menyembul di balik boxer bergambar kartun Spo
Beep beep beep ...! "Hiiisshhh ...." Erangan kesal keluar dari bibir Vivian saat ponselnya membunyikan alarm dengan suara mengagetkan. Alih-alih terbangun, ia malah membenahi posisi tidurnya agar lebih nyaman, tidak menghiraukan ponsel yang terus berbunyi. Akan tetapi suara itu semakin lama semakin mengganggu. Vivian terpaksa bangkit. Dengan gerakan kasar ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Ada dua pilihan yang muncul pada layar ponsel. Tanpa pikir panjang perempuan itu menekan tulisan "snooze", lalu kembali tidur dalam balutan selimut. Sepuluh menit kemudian alarmnya kembali berbunyi. Vivian menyingkap selimutnya dengan perasaan frustrasi. Rasa-rasanya ia belum puas terpejam. Berbagai terpaan masalah membuatnya sulit tidur beberapa hari belakangan. Jangan lupakan uang seratus juta rupiah yang telah ditransfernya ke rekening Tante Maya. Ia bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Hatinya menjerit tidak rela. Butuh waktu tidak sebentar untuk mengumpul
"Aku kasih kamu waktu satu minggu untuk berpikir." Ultimatum yang Revan cetuskan sebelum meninggalkan rumah untuk kedua kalinya itu berputar-putar dalam pikiran Vivian, menyisakan kegelisahan yang menghantui hari-harinya. Ia sangat menyadari, kesempatan yang diberikan oleh sang suami adalah peluang terakhir mereka untuk bersama. Jika ia tidak mau mengundurkan diri dari pekerjaan, maka rumah tangga mereka akan benar-benar berakhir. Lalu mana yang harus Vivian pilih? Selama beberapa hari ia benar-benar memikirkannya, mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap keputusan yang akan diambilnya kelak. Namun semakin memikirkannya, ia semakin merasa bimbang dan tertekan. Vivian mengembuskan napas keras-keras, berharap beban hidup yang tengah menghimpitnya akan terurai bersamaan dengan udara yang keluar dari hidung. Namun ia tidak merasa lega sedikit pun. Sadar dirinya sedang tidak fokus, perempuan itu menghentikan kegiatannya memeriksa e-mail penting yang masuk
Untuk sesaat, waktu seakan berhenti berputar bagi Vivian. Ia berdiri terpaku di tempat. Mendengar perempuan lain mengaku sebagai pacar suami adalah mimpi buruk bagi istri mana pun. Ia meneliti wajah Vanessa, mencari tanda-tanda kebohongan dari wajah cantik di hadapannya. Namun paras memikat perempuan itu justru menimbulkan syak wasangka dalam diri Vivian. Mungkinkah Vanessa adalah penyebab Revan ingin bercerai darinya?"Bisa beritahu saya nama pacar kamu?" Vivian berusaha bersikap tenang kendati emosinya sedang memuncak. Akal sehat membuatnya berhasil menahan diri untuk tidak menarik rambut Vanessa. Lagi pula perempuan itu sama sekali tidak menyebut nama Revan. Setelah sekian lama, bisa saja Revan telah memindahkan kepemilikan griya tawang tersebut kepada orang lain.Pikiran positif Vivian malah disambut oleh senyum mengejek yang terbentuk di bibir Vanessa. "Lebih baik kamu pulang. Suamimu pasti nggak berharap melihat kamu di sini," katanya, lalu masuk meninggalkan Viv
Vivian tidak lagi berniat menghindar. Ia mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata dan membalas tatapan Revan. Kebencian terlihat jelas dari sorot mata itu.Melihat itu, Revan menghela napas. Rasa senangnya yang sempat muncul lantaran mendapati sang istri cemburu, hilang begitu saja. "Kita harus bicara," ucapnya serius."Nggak ada yang perlu dibicarain, Rev!" Vivian menyentak tangannya yang sedang dipegang erat oleh Revan. "Dulu aku sudah pernah bilang, kan? Sekali kamu berkhianat, saat itu juga pernikahan kita berakhir!"Revan kembali mencengkeram lengan Vivian dengan tenaga yang lebih kuat daripada sebelumnya. "Dengar! Kalau pernikahan kita harus berakhir, aku nggak akan membiarkannya berakhir karena kesalahpahaman!"Pada saat itu, pintu lift terbuka. Vivian dan Revan otomatis menghentikan pertengkaran dan menggeser posisi berdiri mereka untuk memberi jalan pada orang yang baru saja keluar dari lift. Dari sudut matanya, Vivian melihat sepasang pria dan
"Kalian seperti udah lama kenal."Kalimat itu bukan lagi sebuah pertanyaan. Baru sekarang Vivian sadar pembicaraan antara Revan dan Vanessa tidak seperti rekan bisnis yang baru pertama kali bertemu. Kecurigaannya langsung terbukti karena Revan sama sekali tidak menyangkal."Kami sudah kenal sebelumnya, tapi dia bukan pacarku.""Trus apa? One night stand kamu?""Hanya teman yang pernah sama-sama kuliah di Amerika.""Wow ...." Vivian mendecakkan lidahnya dengan gaya dramatis. "Ternyata sudah kenal sejak kuliah di Amerika. Kenapa baru cerita sekarang?""Memangnya kamu pernah tertarik dengan kehidupan kuliahku?""Nggak usah muter-muter, Rev. Kamu nggak cerita karena takut aku curiga, 'kan?"Revan menutup matanya sambil mengembuskan napas lelah. Ekspresi wajahnya seolah mengatakan ia bosan menghadapi tuduhan Vivian. "Kamu tanya langsung aja sama dia," putusnya setelah membuka mata.Laki-laki itu mengambil ponselnya dan melaku
Langkah Vivian terasa berat saat melintasi halaman parkir kantor Revan. Sebenarnya ia enggan datang ke sana. Hubungannya dengan orang tua Revan tidak bisa dikatakan baik, walau juga tidak bisa dibilang buruk. Sikap mertuanya yang tak acuh membuat Vivian merasa tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga besar suaminya itu."Selamat siang, Pak. Saya Vivian ada janji bertemu dengan Pak Perdana." Vivian memberi senyum sopan kepada petugas keamanan yang berjaga di depan pintu masuk."Silakan masuk, Ibu Vivian."Seperti yang Vivian duga, petugas keamanan di kantor Revan telah mendapat informasi soal kedatangannya. Ia langsung diantar ke ruang tunggu tamu. Tidak sampai lima menit kemudian, seorang perempuan yang memperkenalkan diri sebagai sekretaris papa Revan mendatanginya."Mari, Bu Vivian. Bapak dan Ibu Perdana sudah menunggu di ruangannya." Sekretaris bernama Johanna itu berbicara dengan sikap profesional yang sempurna.Vivian berjalan mengikuti sang sekretaris dengan perasaan cemas ya
Perasaan Vivian jadi tidak enak karena Vanessa juga bertolak ke Jakarta hari itu. Tadi malam ia dan Revan sempat mengobrol sebentar soal Vanessa. Ternyata biduanita itu tidak seorang diri ke Surabaya. Ke mana pun pergi, ia selalu didampingi oleh manajer dan asistennya yang kebetulan sedang keluar ketika Vivian datang tadi malam. Namun bukan berarti Vivian boleh merasa tenang. "Kamu nggak bakal ketemu Vanessa di sana kan, Rev?""Astaga, Vi." Vivian dapat membayangkan ekspresi bosan Revan ketika menjawab pertanyaan darinya. "Enggaklah. Penyelesaian kontrak dengan Vanessa sudah aku delegasikan ke Devan. Kamu bisa ikut ke Jakarta kalau nggak percaya."Itu adalah sebuah ajakan yang mustahil Vivian terima. Timnya sedang dikejar tenggat waktu. Tidak harus lembur saja ia sudah sangat bersyukur. "Aku nggak bisa. Kerjaanku nggak mungkin aku tinggal, apalagi sebentar lagi aku resign.""Tapi aku nggak bisa pergi dengan tenang kalau kamu terus curiga begini.""Kamu ngomong apa sih? Pergi dengan ten
"Bangun, Sayang. Nanti kamu telat ke kantor."Revan yang hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya itu mengulangi panggilannya kepada Vivian. Setengah jam yang lalu ia telah mencoba membangunkan Vivian, tetapi istrinya itu tampak masih pulas. Ia memutuskan untuk memberi perempuan itu sedikit waktu menikmati tidur nyenyaknya. Setelah mandi, ia membangunkan kembali sang istri dengan suara lembut.Suara Revan yang awalnya terdengar samar itu semakin jelas masuk ke indera pendengaran Vivian. Ia segera membuka matanya dan mendapati sang suami tengah tersenyum menatap dirinya."Ugh ... capek banget badanku." Vivian merenggangkan tubuhnya sebelum mengubah posisi tidurnya menjadi posisi duduk."Kalau capek nggak usah masuk hari ini. Istirahat dulu." Revan memberi usul. Mereka baru saja melalui malam yang panjang dan menguras energi. Pukul satu dini hari ia dan Vivian baru tiba di rumah. Wajar jika istrinya itu kini merasa lelah."Aku har
Revan menatap terpana Vivian yang menangis untuk kedua kalinya malam itu. Percaya atau tidak, selama sembilan tahun menjalin hubungan dengan Vivian, belum pernah sekalipun ia melihat perempuan itu meneteskan air mata. Hati Vivian bagaikan terbuat dari batu intan yang keras dan tidak mudah tergores.Namun kini batu intan itu seolah kehilangan ketegarannya. Hal itu menimbulkan penyesalan dalam batin Revan. Seandainya ia lebih bijak dan tidak gegabah melontarkan ajakan bercerai, istrinya tidak akan merasa terluka hingga menangis tersedu-sedu seperti sekarang.Tanpa pikir panjang ia segera memeluk tubuh sang istri, berharap perempuan itu mendapatkan rasa nyaman dari tubuh mereka yang saling merapat. Kata maaf baru saja akan terucap dari bibirnya ketika tiba-tiba ia mendengar kalimat tak terduga."Kamu terlalu baik, Rev. Aku merasa nggak pantas jadi istri kamu.""Kenapa bilang begitu?" tanya Revan terkejut. "Nggak ada yang pantas jadi istriku selain kamu."
"Kalian seperti udah lama kenal."Kalimat itu bukan lagi sebuah pertanyaan. Baru sekarang Vivian sadar pembicaraan antara Revan dan Vanessa tidak seperti rekan bisnis yang baru pertama kali bertemu. Kecurigaannya langsung terbukti karena Revan sama sekali tidak menyangkal."Kami sudah kenal sebelumnya, tapi dia bukan pacarku.""Trus apa? One night stand kamu?""Hanya teman yang pernah sama-sama kuliah di Amerika.""Wow ...." Vivian mendecakkan lidahnya dengan gaya dramatis. "Ternyata sudah kenal sejak kuliah di Amerika. Kenapa baru cerita sekarang?""Memangnya kamu pernah tertarik dengan kehidupan kuliahku?""Nggak usah muter-muter, Rev. Kamu nggak cerita karena takut aku curiga, 'kan?"Revan menutup matanya sambil mengembuskan napas lelah. Ekspresi wajahnya seolah mengatakan ia bosan menghadapi tuduhan Vivian. "Kamu tanya langsung aja sama dia," putusnya setelah membuka mata.Laki-laki itu mengambil ponselnya dan melaku
Vivian tidak lagi berniat menghindar. Ia mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata dan membalas tatapan Revan. Kebencian terlihat jelas dari sorot mata itu.Melihat itu, Revan menghela napas. Rasa senangnya yang sempat muncul lantaran mendapati sang istri cemburu, hilang begitu saja. "Kita harus bicara," ucapnya serius."Nggak ada yang perlu dibicarain, Rev!" Vivian menyentak tangannya yang sedang dipegang erat oleh Revan. "Dulu aku sudah pernah bilang, kan? Sekali kamu berkhianat, saat itu juga pernikahan kita berakhir!"Revan kembali mencengkeram lengan Vivian dengan tenaga yang lebih kuat daripada sebelumnya. "Dengar! Kalau pernikahan kita harus berakhir, aku nggak akan membiarkannya berakhir karena kesalahpahaman!"Pada saat itu, pintu lift terbuka. Vivian dan Revan otomatis menghentikan pertengkaran dan menggeser posisi berdiri mereka untuk memberi jalan pada orang yang baru saja keluar dari lift. Dari sudut matanya, Vivian melihat sepasang pria dan
Untuk sesaat, waktu seakan berhenti berputar bagi Vivian. Ia berdiri terpaku di tempat. Mendengar perempuan lain mengaku sebagai pacar suami adalah mimpi buruk bagi istri mana pun. Ia meneliti wajah Vanessa, mencari tanda-tanda kebohongan dari wajah cantik di hadapannya. Namun paras memikat perempuan itu justru menimbulkan syak wasangka dalam diri Vivian. Mungkinkah Vanessa adalah penyebab Revan ingin bercerai darinya?"Bisa beritahu saya nama pacar kamu?" Vivian berusaha bersikap tenang kendati emosinya sedang memuncak. Akal sehat membuatnya berhasil menahan diri untuk tidak menarik rambut Vanessa. Lagi pula perempuan itu sama sekali tidak menyebut nama Revan. Setelah sekian lama, bisa saja Revan telah memindahkan kepemilikan griya tawang tersebut kepada orang lain.Pikiran positif Vivian malah disambut oleh senyum mengejek yang terbentuk di bibir Vanessa. "Lebih baik kamu pulang. Suamimu pasti nggak berharap melihat kamu di sini," katanya, lalu masuk meninggalkan Viv
"Aku kasih kamu waktu satu minggu untuk berpikir." Ultimatum yang Revan cetuskan sebelum meninggalkan rumah untuk kedua kalinya itu berputar-putar dalam pikiran Vivian, menyisakan kegelisahan yang menghantui hari-harinya. Ia sangat menyadari, kesempatan yang diberikan oleh sang suami adalah peluang terakhir mereka untuk bersama. Jika ia tidak mau mengundurkan diri dari pekerjaan, maka rumah tangga mereka akan benar-benar berakhir. Lalu mana yang harus Vivian pilih? Selama beberapa hari ia benar-benar memikirkannya, mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap keputusan yang akan diambilnya kelak. Namun semakin memikirkannya, ia semakin merasa bimbang dan tertekan. Vivian mengembuskan napas keras-keras, berharap beban hidup yang tengah menghimpitnya akan terurai bersamaan dengan udara yang keluar dari hidung. Namun ia tidak merasa lega sedikit pun. Sadar dirinya sedang tidak fokus, perempuan itu menghentikan kegiatannya memeriksa e-mail penting yang masuk
Beep beep beep ...! "Hiiisshhh ...." Erangan kesal keluar dari bibir Vivian saat ponselnya membunyikan alarm dengan suara mengagetkan. Alih-alih terbangun, ia malah membenahi posisi tidurnya agar lebih nyaman, tidak menghiraukan ponsel yang terus berbunyi. Akan tetapi suara itu semakin lama semakin mengganggu. Vivian terpaksa bangkit. Dengan gerakan kasar ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Ada dua pilihan yang muncul pada layar ponsel. Tanpa pikir panjang perempuan itu menekan tulisan "snooze", lalu kembali tidur dalam balutan selimut. Sepuluh menit kemudian alarmnya kembali berbunyi. Vivian menyingkap selimutnya dengan perasaan frustrasi. Rasa-rasanya ia belum puas terpejam. Berbagai terpaan masalah membuatnya sulit tidur beberapa hari belakangan. Jangan lupakan uang seratus juta rupiah yang telah ditransfernya ke rekening Tante Maya. Ia bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Hatinya menjerit tidak rela. Butuh waktu tidak sebentar untuk mengumpul