Share

Pisah Ranjang

Penulis: Rou Hui
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-03 10:13:04

Kaca jendela di samping kiri Vivian seperti menjadi benda paling menarik yang membuat perempuan itu terus mengarahkan pandangannya ke sana. Tidak ada yang tahu bahwa apa yang sedang ia lihat bukanlah deretan bangunan di pinggir jalan yang mereka lewati. Otak Vivian sedang memproyeksikan kejadian sembilan tahun silam saat jalinan asmaranya dengan Revan baru seumur jagung.

"Saya sekolahkan Vivian tinggi-tinggi bukan buat hidup susah sama kamu!" Vivian yang baru keluar dari kamar mendengar mamanya menghardik Revan tanpa belas kasihan di ruang tamu. "Buat makan sendiri aja masih susah kok berani-beraninya ajak anak gadis orang pacaran!"

Merasa terkejut, Vivian langsung mengintip untuk melihat wajah Revan. Ia semakin terkejut karena sang kekasih justru terlihat begitu tenang dan masih bisa tersenyum saat menjawab hinaan yang ia terima.

"Sekarang saya memang masih susah, tapi nggak lama lagi saya pasti bisa membahagiakan anak Tante." Kata-kata Revan membuat perasaan Vivian melayang. Andaikata saat itu Vivian tahu apa yang menyebabkan Revan bisa begitu percaya diri, ia tidak akan dengan bodohnya malah terkesima dan semakin mencintai pemuda itu.

"Ngomongnya nanti saja kalau sudah ada bukti! Bayar kuliah aja nggak mampu, mau jadi apa kamu! Bisa-bisa nanti anak saya kamu suruh kerja banting tulang!" sembur mama Vivian lagi dengan ekspresi wajah nyata menunjukkan rasa jijik.

Vivian langsung memunculkan diri dan menegur mamanya. Ia tidak terima harga diri sang kekasih diinjak-injak bagai kain pembersih alas kaki. "Ma! Kenapa ngomong kayak gitu sama Revan?!"

Wajah sang mama semakin murka. Ia menoleh dan memaki putrinya. "Dasar gobl*k! Anak nggak berguna! Dikasih kuliah di tempat mahal bukannya belajar sungguh-sungguh malah pacaran sama laki-laki nggak jelas!"

Vivian yakin seratus persen, definisi laki-laki tidak jelas yang dimaksud oleh mamanya sangat berhubungan dengan materi. Akan tetapi Vivian memang tidak sedang mencari laki-laki dari keluarga kaya. Ketidaksetaraan status sosial hanya akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Ia lebih memilih laki-laki yang mencintainya, yang mau berjuang bersama untuk mencapai kebahagiaan.

Selama beberapa bulan masa pendekatan, Vivian telah melihat bagaimana usaha Revan demi mendapatkan status sebagai kekasihnya. Penolakan dari mama Vivian juga tidak membuat pemuda itu gentar. Revan memang tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah Vivian sejak kejadian itu, tetapi mereka sering bertemu di tempat lain.

Pemuda itu tidak pernah keberatan dengan destinasi kencan yang dipilih oleh Vivian. Revan rela mengendarai sepeda motor lebih dari 120 kilometer untuk mengantar Vivian melihat air terjun di Kota Batu. Saat Vivian mengatakan ingin melihat singa, pemuda itu tanpa ragu mengajaknya pergi ke taman safari yang terletak jauh di luar kota.

Tentu saja tidak setiap saat hubungannya dengan Revan baik-baik saja. Sama halnya dengan air laut yang mengalami pasang-surut, perjalanan asmara mereka juga diwarnai putus-sambung. Revan kerap mengucapkan kata putus ketika sedang marah, seringnya karena ia merasa Vivian tidak mencintai dirinya sebesar rasa cintanya pada perempuan itu.

"Kita putus aja. Katanya cinta, tapi nggak mau dicium!"

Vivian teringat salah satu momen ketika dirinya diputus oleh Revan. Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil, mengingat kepolosannya sendiri. Saat itu ia terlalu gugup karena Revan tiba-tiba berniat menciumnya. Pada akhirnya ia mendorong Revan menjauh, tanpa sengaja menggunakan kekuatan lebih besar daripada semestinya.

Kata putus yang terucap dari bibir Revan biasanya akan diikuti dengan menghilangnya pemuda itu selama beberapa hari. Vivian menyebutnya kekanak-kanakan. Sikap labil pemuda itu sempat membuat Vivian cemas. Namun lambat laun ia mulai terbiasa. Bagaimanapun parahnya pertengkaran mereka, Revan akan selalu kembali padanya.

Sama seperti saat Revan berpamitan padanya sebelum pergi selama bertahun-tahun. "Aku ngelakuin ini demi masa depan kita. Kalau semua ini sudah selesai, aku bakal segera kembali dan melamar kamu," janji pemuda itu sambil menyematkan cincin perak bertahktakan permata imitasi di jari manis tangan kirinya. Cincin perak itu belakangan Vivian ketahui ternyata adalah cincin emas putih dengan batu berlian asli.

Enam tahun setelah itu Revan benar-benar kembali untuk melamarnya. Namun pemuda itu telah menjadi sosok yang berbeda, sosok yang sebenarnya tidak pernah Vivian harapkan.

***

Terdengar suara gemuruh dari lambung yang sudah lama belum diisi. Lamunan masa lalu saat Vivian berpacaran dengan Revan terhenti begitu saja oleh suara memalukan yang keluar dari perut perempuan itu. Mata Vivian melirik sang suami yang sedang berkonsentrasi penuh mengemudi, sedikit pun tidak menoleh padanya.

Dia bener-bener udah berubah, pikir Vivian sedih sambil memejamkan matanya. Dulu Revan akan menjadi orang paling cerewet dan pemaksa begitu mendapati Vivian terlambat makan sebentar saja. Kini Revan seperti tak peduli padanya. Vivian mendesah dalam hati sambil tetap terpejam.

Gerakan mobil yang melaju konstan di jalan raya membuat tubuh lelah Vivian serasa diayun-ayun. Ia ketiduran. Saat terbangun, mobil yang ia naiki sudah tidak bergerak. Revan juga tidak ada di sebelahnya. Setelah mengerjapkan mata beberapa kali dan memperhatikan bangunan di hadapannya, barulah ia menyadari mobil mereka tengah berhenti di pelataran parkir sebuah restoran masakan China, dengan mesin mobil dibiarkan tetap menyala.

Satu lagi hal yang diingat oleh Vivian ketika ia dan Revan berpacaran dulu. Laki-laki itu tidak pernah mau makan di sembarang tempat. Kebersihan menjadi hal yang sangat penting saat mereka memilih tempat makan. Vivian menyesali ketidakpekaannya. Seharusnya ia sudah menyadari saat itu, bahwa gaya hidup sang kekasih sangat berbeda jauh dengannya.

Pintu di samping kursi pengemudi dibuka dari luar. Revan masuk dan meletakkan bungkusan yang ia pegang di kursi bagian belakang. Aroma makanan seketika merebak di dalam mobil. Liur Vivian hampir menetes. Tiba-tiba ia merasa sangat lapar.

Vivian menduga Revan memilih tidak makan di tempat karena sudah mendekati jam tutup restoran. Lagi pula lokasinya sangat dekat dengan rumah mereka. Perempuan itu kembali memandang wajah sang suami, berharap diajak bicara. Sayangnya Revan tetap bungkam hingga mereka tiba di rumah.

Memasuki rumah, asisten rumah tangga mereka sudah tidak terlihat. Supatmi memang punya kebiasaan tidur cepat. Vivian juga memilih langsung tidur. Rasa laparnya tergantikan oleh rasa marah karena diabaikan oleh Revan.

"Makan dulu," ucap Revan singkat untuk mencegah Vivian naik ke kamar. Perempuan itu menurutinya.

Mereka pergi ke ruang makan dan bergantian mencuci tangan. Vivian memindahkan makanan di dalam bungkusan ke atas piring. Rupanya Revan membeli sup jagung kepiting dan kwetiaw goreng. Rasa hangat menjalar di hati Vivian. Suaminya membelikan makanan kesukaannya.

Keduanya makan sambil duduk berhadapan. Karena merasa tersentuh dengan perhatian Revan, Vivian memutuskan untuk sedikit menurunkan gengsinya. Ia mengajak bicara sang suami walaupun mereka masih dalam keadaan perang dingin. "Makasih ya udah beliin makanan kesukaanku," ucapnya memberi senyum tulus.

Revan tampak mengernyit. Ia menatap sang istri dengan wajah mengejek. "Jangan ge-er. Aku memang lagi pengen sup jagung."

"Oh," sahut Vivian tidak menyembunyikan rasa kecewanya. "Seingatku dulu kamu nggak suka makan sup jagung."

"Tenggorokanku nggak enak gara-gara kena asap rokok, pengen makan yang berkuah."

Tangan Vivian mencengkeram sendoknya kuat-kuat. "Sorry. Papaku memang perokok berat. Harusnya tadi kamu menghindar."

"Lucu ya," kata Revan tiba-tiba tersenyum sinis dan menatap tajam Vivian. "Dua tahun menikah, aku baru tahu kalau papa mertuaku ternyata seorang perokok berat dan pemabuk."

"Yeah, harusnya dulu aku ceritain. Supaya kamu nggak jadi nikahin aku," balas Vivian sengit.

Sepasang mata hitam Revan memberi tatapan kecewa pada Vivian. "Apa lagi hal yang nggak kamu ceritain ke aku soal keluargamu?"

Vivian langsung meletakkan sendok yang sedang dipegangnya dan mendorong piringnya menjauh. "Aku udah kenyang," ucapnya lalu berdiri.

Kakinya melangkah meninggalkan ruang makan. Namun di ambang pintu yang memisahkan ruang makan dengan ruang tengah, kalimat Revan terdengar begitu mengejutkan.

"Mulai besok aku pindah ke apartemen."

Vivian sontak membalik tubuhnya. "Pindah? Kenapa?" tuntutnya.

"Karena kita akan segera bercerai. Lebih baik kita nggak tinggal satu rumah lagi. Besok pengacaraku akan memasukkan berkas perceraian kita ke pengadilan. Aku harap kamu bisa bekerjasama supaya semuanya berjalan lancar."

Revan mengucapkan seluruh kalimatnya dengan sangat tenang, seolah perceraian tidak berarti apa-apa baginya, seolah ia tidak sabar untuk segera berpisah dengan Vivian.

Mata Vivian tiba-tiba terasa pedih dan basah. Ia naik ke kamarnya tanpa mengatakan apa pun. Saat menapaki tangga, air mata itu dibiarkannya bergulir deras. Baginya tidak mengapa meneteskan air mata, selama tidak ada yang melihat.

Di dalam kamar ia merenung, mengingat kalimat menyakitkan yang keluar dari mulut papanya setiap malam, yang diucapkan laki-laki itu setelah menenggak bir beberapa botol banyaknya.

Vani perempuan s*ndal! Hamil sama laki-laki brengsek itu! Dia bukan anakku! Sampai kapan pun aku nggak mau terima dia jadi anakku!

Vivian mengerjap dan bulir-bulir air mata kembali membasahi pipinya. Ia memikirkan sang suami. Akankah keadaan menjadi lebih baik bila sejak awal ia menceritakan semuanya pada Revan?

Bab terkait

  • DIPAKSA BERCERAI   Tanggung Jawab Anak

    Vivian pernah mendengar bahwa cara paling efektif untuk menyingkirkan kesedihan adalah dengan menyibukkan diri. Karena itu, selama tujuh hari setelah Revan meninggalkan rumah mereka, ia semakin gila bekerja. Berangkat pagi sekali dan pulang sangat larut, agar sesampainya ia di rumah, yang perlu dilakukannya hanyalah tidur. Vivian tidak memberi dirinya kesempatan untuk memikirkan suami labilnya itu. Ia yakin setelah beberapa waktu, laki-laki itu akan menyesal telah meninggalkannya. Seperti yang sudah-sudah, Revan akan selalu kembali padanya. Asal jangan selingkuh saja, pikirnya. Kalau itu terjadi, ia bersumpah akan menghancurkan Revan dan siapa pun perempuan sialan itu. Niat Vivian untuk melupakan masalah rumah tangganya terbantu dengan adanya kesibukan baru di kantor. Menjelang hari raya Imlek, ia dan para Relationship Manager menyiapkan bingkisan yang akan diberikan kepada para debitur yang merayakan Tahun Baru China. Vivian sendiri secara pribadi juga mengantarkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-04
  • DIPAKSA BERCERAI   Menghapus Utang Budi

    David, adik Vivian, keluar dari kamar dengan muka berminyak dan rambut berantakan. Karena rumah mereka kecil, suara pertengkaran di ruang tamu terdengar hingga ke kamar dan memaksanya untuk bangun.Mata pemuda itu tampak merah akibat begadang setiap malam. Ia mengucek matanya yang masih terasa berat dan menatap jengkel pada dua orang perempuan di ruang tamu."Mama sama Kak Vivi nggak bosen apa berantem terus? Sincia malah berantem, nanti rejekinya dipatok ayam baru nangis bareng."Kedua perempuan yang diajak bicara itu sama-sama melotot padanya. Mama Vivian yang lebih dulu angkat bicara. "Yang ada dipatok burung kamu!" hardiknya menatap bagian bawah tubuh David. "Nggak tahu malu! Cepat mandi sana, pakai baju merah yang kemarin Mama belikan!" bentaknya, lalu meninggalkan kedua anaknya untuk duduk di samping suaminya yang sedang menonton berita.Vivian juga jadi melihat bagian bawah tubuh David. Sesuatu terlihat menyembul di balik boxer bergambar kartun Spo

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-05
  • DIPAKSA BERCERAI   Sebuah Kesempatan

    Beep beep beep ...! "Hiiisshhh ...." Erangan kesal keluar dari bibir Vivian saat ponselnya membunyikan alarm dengan suara mengagetkan. Alih-alih terbangun, ia malah membenahi posisi tidurnya agar lebih nyaman, tidak menghiraukan ponsel yang terus berbunyi. Akan tetapi suara itu semakin lama semakin mengganggu. Vivian terpaksa bangkit. Dengan gerakan kasar ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Ada dua pilihan yang muncul pada layar ponsel. Tanpa pikir panjang perempuan itu menekan tulisan "snooze", lalu kembali tidur dalam balutan selimut. Sepuluh menit kemudian alarmnya kembali berbunyi. Vivian menyingkap selimutnya dengan perasaan frustrasi. Rasa-rasanya ia belum puas terpejam. Berbagai terpaan masalah membuatnya sulit tidur beberapa hari belakangan. Jangan lupakan uang seratus juta rupiah yang telah ditransfernya ke rekening Tante Maya. Ia bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Hatinya menjerit tidak rela. Butuh waktu tidak sebentar untuk mengumpul

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-06
  • DIPAKSA BERCERAI   Mengambil Keputusan

    "Aku kasih kamu waktu satu minggu untuk berpikir." Ultimatum yang Revan cetuskan sebelum meninggalkan rumah untuk kedua kalinya itu berputar-putar dalam pikiran Vivian, menyisakan kegelisahan yang menghantui hari-harinya. Ia sangat menyadari, kesempatan yang diberikan oleh sang suami adalah peluang terakhir mereka untuk bersama. Jika ia tidak mau mengundurkan diri dari pekerjaan, maka rumah tangga mereka akan benar-benar berakhir. Lalu mana yang harus Vivian pilih? Selama beberapa hari ia benar-benar memikirkannya, mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap keputusan yang akan diambilnya kelak. Namun semakin memikirkannya, ia semakin merasa bimbang dan tertekan. Vivian mengembuskan napas keras-keras, berharap beban hidup yang tengah menghimpitnya akan terurai bersamaan dengan udara yang keluar dari hidung. Namun ia tidak merasa lega sedikit pun. Sadar dirinya sedang tidak fokus, perempuan itu menghentikan kegiatannya memeriksa e-mail penting yang masuk

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-07
  • DIPAKSA BERCERAI   Kamu Salah Paham

    Untuk sesaat, waktu seakan berhenti berputar bagi Vivian. Ia berdiri terpaku di tempat. Mendengar perempuan lain mengaku sebagai pacar suami adalah mimpi buruk bagi istri mana pun. Ia meneliti wajah Vanessa, mencari tanda-tanda kebohongan dari wajah cantik di hadapannya. Namun paras memikat perempuan itu justru menimbulkan syak wasangka dalam diri Vivian. Mungkinkah Vanessa adalah penyebab Revan ingin bercerai darinya?"Bisa beritahu saya nama pacar kamu?" Vivian berusaha bersikap tenang kendati emosinya sedang memuncak. Akal sehat membuatnya berhasil menahan diri untuk tidak menarik rambut Vanessa. Lagi pula perempuan itu sama sekali tidak menyebut nama Revan. Setelah sekian lama, bisa saja Revan telah memindahkan kepemilikan griya tawang tersebut kepada orang lain.Pikiran positif Vivian malah disambut oleh senyum mengejek yang terbentuk di bibir Vanessa. "Lebih baik kamu pulang. Suamimu pasti nggak berharap melihat kamu di sini," katanya, lalu masuk meninggalkan Viv

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-09
  • DIPAKSA BERCERAI   Belum Percaya

    Vivian tidak lagi berniat menghindar. Ia mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata dan membalas tatapan Revan. Kebencian terlihat jelas dari sorot mata itu.Melihat itu, Revan menghela napas. Rasa senangnya yang sempat muncul lantaran mendapati sang istri cemburu, hilang begitu saja. "Kita harus bicara," ucapnya serius."Nggak ada yang perlu dibicarain, Rev!" Vivian menyentak tangannya yang sedang dipegang erat oleh Revan. "Dulu aku sudah pernah bilang, kan? Sekali kamu berkhianat, saat itu juga pernikahan kita berakhir!"Revan kembali mencengkeram lengan Vivian dengan tenaga yang lebih kuat daripada sebelumnya. "Dengar! Kalau pernikahan kita harus berakhir, aku nggak akan membiarkannya berakhir karena kesalahpahaman!"Pada saat itu, pintu lift terbuka. Vivian dan Revan otomatis menghentikan pertengkaran dan menggeser posisi berdiri mereka untuk memberi jalan pada orang yang baru saja keluar dari lift. Dari sudut matanya, Vivian melihat sepasang pria dan

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-11
  • DIPAKSA BERCERAI   Ya, Aku Percaya

    "Kalian seperti udah lama kenal."Kalimat itu bukan lagi sebuah pertanyaan. Baru sekarang Vivian sadar pembicaraan antara Revan dan Vanessa tidak seperti rekan bisnis yang baru pertama kali bertemu. Kecurigaannya langsung terbukti karena Revan sama sekali tidak menyangkal."Kami sudah kenal sebelumnya, tapi dia bukan pacarku.""Trus apa? One night stand kamu?""Hanya teman yang pernah sama-sama kuliah di Amerika.""Wow ...." Vivian mendecakkan lidahnya dengan gaya dramatis. "Ternyata sudah kenal sejak kuliah di Amerika. Kenapa baru cerita sekarang?""Memangnya kamu pernah tertarik dengan kehidupan kuliahku?""Nggak usah muter-muter, Rev. Kamu nggak cerita karena takut aku curiga, 'kan?"Revan menutup matanya sambil mengembuskan napas lelah. Ekspresi wajahnya seolah mengatakan ia bosan menghadapi tuduhan Vivian. "Kamu tanya langsung aja sama dia," putusnya setelah membuka mata.Laki-laki itu mengambil ponselnya dan melaku

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-14
  • DIPAKSA BERCERAI   Yang Penting Aku dan Kamu Bahagia

    Revan menatap terpana Vivian yang menangis untuk kedua kalinya malam itu. Percaya atau tidak, selama sembilan tahun menjalin hubungan dengan Vivian, belum pernah sekalipun ia melihat perempuan itu meneteskan air mata. Hati Vivian bagaikan terbuat dari batu intan yang keras dan tidak mudah tergores.Namun kini batu intan itu seolah kehilangan ketegarannya. Hal itu menimbulkan penyesalan dalam batin Revan. Seandainya ia lebih bijak dan tidak gegabah melontarkan ajakan bercerai, istrinya tidak akan merasa terluka hingga menangis tersedu-sedu seperti sekarang.Tanpa pikir panjang ia segera memeluk tubuh sang istri, berharap perempuan itu mendapatkan rasa nyaman dari tubuh mereka yang saling merapat. Kata maaf baru saja akan terucap dari bibirnya ketika tiba-tiba ia mendengar kalimat tak terduga."Kamu terlalu baik, Rev. Aku merasa nggak pantas jadi istri kamu.""Kenapa bilang begitu?" tanya Revan terkejut. "Nggak ada yang pantas jadi istriku selain kamu."

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-19

Bab terbaru

  • DIPAKSA BERCERAI   Once a Liar Always a Liar

    Langkah Vivian terasa berat saat melintasi halaman parkir kantor Revan. Sebenarnya ia enggan datang ke sana. Hubungannya dengan orang tua Revan tidak bisa dikatakan baik, walau juga tidak bisa dibilang buruk. Sikap mertuanya yang tak acuh membuat Vivian merasa tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga besar suaminya itu."Selamat siang, Pak. Saya Vivian ada janji bertemu dengan Pak Perdana." Vivian memberi senyum sopan kepada petugas keamanan yang berjaga di depan pintu masuk."Silakan masuk, Ibu Vivian."Seperti yang Vivian duga, petugas keamanan di kantor Revan telah mendapat informasi soal kedatangannya. Ia langsung diantar ke ruang tunggu tamu. Tidak sampai lima menit kemudian, seorang perempuan yang memperkenalkan diri sebagai sekretaris papa Revan mendatanginya."Mari, Bu Vivian. Bapak dan Ibu Perdana sudah menunggu di ruangannya." Sekretaris bernama Johanna itu berbicara dengan sikap profesional yang sempurna.Vivian berjalan mengikuti sang sekretaris dengan perasaan cemas ya

  • DIPAKSA BERCERAI   Panggilan Mendadak

    Perasaan Vivian jadi tidak enak karena Vanessa juga bertolak ke Jakarta hari itu. Tadi malam ia dan Revan sempat mengobrol sebentar soal Vanessa. Ternyata biduanita itu tidak seorang diri ke Surabaya. Ke mana pun pergi, ia selalu didampingi oleh manajer dan asistennya yang kebetulan sedang keluar ketika Vivian datang tadi malam. Namun bukan berarti Vivian boleh merasa tenang. "Kamu nggak bakal ketemu Vanessa di sana kan, Rev?""Astaga, Vi." Vivian dapat membayangkan ekspresi bosan Revan ketika menjawab pertanyaan darinya. "Enggaklah. Penyelesaian kontrak dengan Vanessa sudah aku delegasikan ke Devan. Kamu bisa ikut ke Jakarta kalau nggak percaya."Itu adalah sebuah ajakan yang mustahil Vivian terima. Timnya sedang dikejar tenggat waktu. Tidak harus lembur saja ia sudah sangat bersyukur. "Aku nggak bisa. Kerjaanku nggak mungkin aku tinggal, apalagi sebentar lagi aku resign.""Tapi aku nggak bisa pergi dengan tenang kalau kamu terus curiga begini.""Kamu ngomong apa sih? Pergi dengan ten

  • DIPAKSA BERCERAI   Setelah Malam yang Panjang

    "Bangun, Sayang. Nanti kamu telat ke kantor."Revan yang hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya itu mengulangi panggilannya kepada Vivian. Setengah jam yang lalu ia telah mencoba membangunkan Vivian, tetapi istrinya itu tampak masih pulas. Ia memutuskan untuk memberi perempuan itu sedikit waktu menikmati tidur nyenyaknya. Setelah mandi, ia membangunkan kembali sang istri dengan suara lembut.Suara Revan yang awalnya terdengar samar itu semakin jelas masuk ke indera pendengaran Vivian. Ia segera membuka matanya dan mendapati sang suami tengah tersenyum menatap dirinya."Ugh ... capek banget badanku." Vivian merenggangkan tubuhnya sebelum mengubah posisi tidurnya menjadi posisi duduk."Kalau capek nggak usah masuk hari ini. Istirahat dulu." Revan memberi usul. Mereka baru saja melalui malam yang panjang dan menguras energi. Pukul satu dini hari ia dan Vivian baru tiba di rumah. Wajar jika istrinya itu kini merasa lelah."Aku har

  • DIPAKSA BERCERAI   Yang Penting Aku dan Kamu Bahagia

    Revan menatap terpana Vivian yang menangis untuk kedua kalinya malam itu. Percaya atau tidak, selama sembilan tahun menjalin hubungan dengan Vivian, belum pernah sekalipun ia melihat perempuan itu meneteskan air mata. Hati Vivian bagaikan terbuat dari batu intan yang keras dan tidak mudah tergores.Namun kini batu intan itu seolah kehilangan ketegarannya. Hal itu menimbulkan penyesalan dalam batin Revan. Seandainya ia lebih bijak dan tidak gegabah melontarkan ajakan bercerai, istrinya tidak akan merasa terluka hingga menangis tersedu-sedu seperti sekarang.Tanpa pikir panjang ia segera memeluk tubuh sang istri, berharap perempuan itu mendapatkan rasa nyaman dari tubuh mereka yang saling merapat. Kata maaf baru saja akan terucap dari bibirnya ketika tiba-tiba ia mendengar kalimat tak terduga."Kamu terlalu baik, Rev. Aku merasa nggak pantas jadi istri kamu.""Kenapa bilang begitu?" tanya Revan terkejut. "Nggak ada yang pantas jadi istriku selain kamu."

  • DIPAKSA BERCERAI   Ya, Aku Percaya

    "Kalian seperti udah lama kenal."Kalimat itu bukan lagi sebuah pertanyaan. Baru sekarang Vivian sadar pembicaraan antara Revan dan Vanessa tidak seperti rekan bisnis yang baru pertama kali bertemu. Kecurigaannya langsung terbukti karena Revan sama sekali tidak menyangkal."Kami sudah kenal sebelumnya, tapi dia bukan pacarku.""Trus apa? One night stand kamu?""Hanya teman yang pernah sama-sama kuliah di Amerika.""Wow ...." Vivian mendecakkan lidahnya dengan gaya dramatis. "Ternyata sudah kenal sejak kuliah di Amerika. Kenapa baru cerita sekarang?""Memangnya kamu pernah tertarik dengan kehidupan kuliahku?""Nggak usah muter-muter, Rev. Kamu nggak cerita karena takut aku curiga, 'kan?"Revan menutup matanya sambil mengembuskan napas lelah. Ekspresi wajahnya seolah mengatakan ia bosan menghadapi tuduhan Vivian. "Kamu tanya langsung aja sama dia," putusnya setelah membuka mata.Laki-laki itu mengambil ponselnya dan melaku

  • DIPAKSA BERCERAI   Belum Percaya

    Vivian tidak lagi berniat menghindar. Ia mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata dan membalas tatapan Revan. Kebencian terlihat jelas dari sorot mata itu.Melihat itu, Revan menghela napas. Rasa senangnya yang sempat muncul lantaran mendapati sang istri cemburu, hilang begitu saja. "Kita harus bicara," ucapnya serius."Nggak ada yang perlu dibicarain, Rev!" Vivian menyentak tangannya yang sedang dipegang erat oleh Revan. "Dulu aku sudah pernah bilang, kan? Sekali kamu berkhianat, saat itu juga pernikahan kita berakhir!"Revan kembali mencengkeram lengan Vivian dengan tenaga yang lebih kuat daripada sebelumnya. "Dengar! Kalau pernikahan kita harus berakhir, aku nggak akan membiarkannya berakhir karena kesalahpahaman!"Pada saat itu, pintu lift terbuka. Vivian dan Revan otomatis menghentikan pertengkaran dan menggeser posisi berdiri mereka untuk memberi jalan pada orang yang baru saja keluar dari lift. Dari sudut matanya, Vivian melihat sepasang pria dan

  • DIPAKSA BERCERAI   Kamu Salah Paham

    Untuk sesaat, waktu seakan berhenti berputar bagi Vivian. Ia berdiri terpaku di tempat. Mendengar perempuan lain mengaku sebagai pacar suami adalah mimpi buruk bagi istri mana pun. Ia meneliti wajah Vanessa, mencari tanda-tanda kebohongan dari wajah cantik di hadapannya. Namun paras memikat perempuan itu justru menimbulkan syak wasangka dalam diri Vivian. Mungkinkah Vanessa adalah penyebab Revan ingin bercerai darinya?"Bisa beritahu saya nama pacar kamu?" Vivian berusaha bersikap tenang kendati emosinya sedang memuncak. Akal sehat membuatnya berhasil menahan diri untuk tidak menarik rambut Vanessa. Lagi pula perempuan itu sama sekali tidak menyebut nama Revan. Setelah sekian lama, bisa saja Revan telah memindahkan kepemilikan griya tawang tersebut kepada orang lain.Pikiran positif Vivian malah disambut oleh senyum mengejek yang terbentuk di bibir Vanessa. "Lebih baik kamu pulang. Suamimu pasti nggak berharap melihat kamu di sini," katanya, lalu masuk meninggalkan Viv

  • DIPAKSA BERCERAI   Mengambil Keputusan

    "Aku kasih kamu waktu satu minggu untuk berpikir." Ultimatum yang Revan cetuskan sebelum meninggalkan rumah untuk kedua kalinya itu berputar-putar dalam pikiran Vivian, menyisakan kegelisahan yang menghantui hari-harinya. Ia sangat menyadari, kesempatan yang diberikan oleh sang suami adalah peluang terakhir mereka untuk bersama. Jika ia tidak mau mengundurkan diri dari pekerjaan, maka rumah tangga mereka akan benar-benar berakhir. Lalu mana yang harus Vivian pilih? Selama beberapa hari ia benar-benar memikirkannya, mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap keputusan yang akan diambilnya kelak. Namun semakin memikirkannya, ia semakin merasa bimbang dan tertekan. Vivian mengembuskan napas keras-keras, berharap beban hidup yang tengah menghimpitnya akan terurai bersamaan dengan udara yang keluar dari hidung. Namun ia tidak merasa lega sedikit pun. Sadar dirinya sedang tidak fokus, perempuan itu menghentikan kegiatannya memeriksa e-mail penting yang masuk

  • DIPAKSA BERCERAI   Sebuah Kesempatan

    Beep beep beep ...! "Hiiisshhh ...." Erangan kesal keluar dari bibir Vivian saat ponselnya membunyikan alarm dengan suara mengagetkan. Alih-alih terbangun, ia malah membenahi posisi tidurnya agar lebih nyaman, tidak menghiraukan ponsel yang terus berbunyi. Akan tetapi suara itu semakin lama semakin mengganggu. Vivian terpaksa bangkit. Dengan gerakan kasar ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Ada dua pilihan yang muncul pada layar ponsel. Tanpa pikir panjang perempuan itu menekan tulisan "snooze", lalu kembali tidur dalam balutan selimut. Sepuluh menit kemudian alarmnya kembali berbunyi. Vivian menyingkap selimutnya dengan perasaan frustrasi. Rasa-rasanya ia belum puas terpejam. Berbagai terpaan masalah membuatnya sulit tidur beberapa hari belakangan. Jangan lupakan uang seratus juta rupiah yang telah ditransfernya ke rekening Tante Maya. Ia bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Hatinya menjerit tidak rela. Butuh waktu tidak sebentar untuk mengumpul

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status