Tidak mudah memaksa otak berpikir logis di saat suasana hati sedang semrawut. Beberapa orang bahkan kehilangan kemampuan itu. Sama halnya dengan Vivian. Dalam waktu hanya sepuluh menit yang disediakan oleh Revan, ia dipaksa untuk memilih kalimatnya dengan cepat dan tepat.
Namun ia gagal. Bukannya membujuk sang suami dengan permainan kata-kata yang mampu mempengaruhi pikiran lawan bicara bak seorang diplomat, yang keluar dari mulut Vivian malah kalimat impulsif yang ia sendiri menyesal telah mengatakannya : Hamil dan punya anak.
"Kalau itu yang aku mau?" Revan mengulang kalimat Vivian dengan penekanan pada 'yang aku mau'.
"Ya."
"Bukan mau kamu?"
Vivian mengerjap ragu.
Reaksi sang istri membuat Revan mendecakkan lidah. "Kamu bersedia punya anak cuma supaya nggak aku ceraikan?"
"Aku juga mau punya anak kok." Tapi enggak sekarang, tambah Vivian dalam hati.
"Pekerjaan kamu gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Aku tetap kerja."
Suasana menjadi hening. Satu detik terasa sangat lama saat keduanya saling bertatapan dalam keheningan yang menegangkan. Vivian dapat melihat sepasang mata hitam milik Revan menyiratkan ketidaksukaan ketika mengucapkan pertanyaan berikutnya.
"Kamu mau tetap kerja saat udah punya anak?"
"Ya," jawab Vivian tegas. Ia sudah banyak mengalah bukan? Apa Revan pikir hamil dan melahirkan itu perkara kecil? Sungguh terlalu kalau suaminya itu juga menyuruhnya untuk melepas pekerjaan.
Revan terlihat menghembuskan napas. Ia bertanya dengan rahang mengeras menahan emosi. "Kamu mau anak kita diasuh pembantu?"
"Babysitter, Rev, beda sama pembantu. Mereka punya kompetensi merawat dan mengasuh anak."
"I don't care!" teriak Revan tiba-tiba. "Babysitter atau pembantu, mereka bukan ibu kandungnya!"
"Jadi mau kamu gimana?!" Vivian ikut berteriak.
Raut wajah Revan terlihat sangat keras saat menjawab pertanyaan sang istri. "Kamu berhenti kerja."
Vivian membuang napas dengan gusar, merasa malas mengungkit lagi masalah yang pernah membuat mereka bertengkar. Apa salahnya dengan bekerja? Karirnya sedang menanjak. Bahkan kerja kerasnya sudah membuahkan hasil : sebuah city car putih metalik yang dibelinya empat tahun lalu secara kredit.
Apa Revan mengharapkan istri yang duduk manis di rumah, yang hanya menengadahkan tangan pada suami saat ada yang ingin dibeli? Tidak. Vivian tidak bisa dan tidak ingin menjadi istri seperti itu. Seorang wanita harus mandiri dan bisa mencari uang sendiri.
Vivian berusaha membujuk sang suami. "Rev, teman-temanku banyak yang tetap kerja biarpun udah punya anak. Suami mereka sama sekali nggak keberatan tuh."
Tentu saja kalimat pembujuk itu membuat aura wajah Revan semakin suram. Suami mana yang suka dibandingkan dengan laki-laki lain? Bibir lelaki itu terkatup ratap dengan sorot mata sangat tajam menusuk Vivian.
"Setelah kita cerai kamu bebas cari suami yang enggak melarang istrinya kerja," ucap Revan dingin. "Sekarang keluar. Waktu kamu habis."
"F*ck you!" teriak Vivian.
Kalau sedang marah, Vivian akan kembali ke sifat aslinya, suka mengumpat. Sembilan tahun menjalin hubungan dengan Vivian, telinga Revan sudah kenyang mendengar umpatan wanita itu. Ia sama sekali tidak terkejut.
Namun Vivian belum selesai.
"Kalau sampai aku hamil, jangan harap aku bakal ijinin anak itu panggil kamu papa!" gertaknya dan melangkah penuh amarah menuju pintu.
"Bullsh*t," balas Revan sinis.
Tangan Vivian telah membuka pintu saat ia menoleh untuk memberi balasan telak. "Jangan lupa semalam kamu keluar di dalam."
***
Hal baik yang masih bisa disyukuri oleh Vivian adalah pagi itu dia tidak terlambat datang ke kantor. Jarak dari kantor Revan dengan kantornya sangat dekat, bahkan kedua tempat itu masih beralamatkan di jalan yang sama, hanya berbeda nomor.
Setelah turun dari mobil, ia menegakkan bahunya dan berjalan penuh percaya diri dengan bibir yang selalu siap tersenyum untuk menyapa rekan kerja. Ia berusaha melupakan masalah rumah tangganya dengan memusatkan perhatian penuh pada pekerjaan.
Di meja kerja panjang bersekat yang menampung tiga orang, Vivian duduk di bagian paling ujung dan menyalakan laptop. Setelah tadi malam lembur memeriksa proposal kredit yang dibuat oleh Ryan, salah satu Relationship Manager (RM), kini ia membaca formulir ijin keluar kantor yang dibuat oleh Andre, RM yang lain.
"Visit ke Global Electronic bawakan Spiku Resep Kuno, bosnya suka sekali makan itu," sarannya pada sang RM yang langsung mengacungkan jempol.
"Jangan lupa follow up rekening UD Yara, supaya pengajuannya bisa masuk sistem bulan ini," tambah Vivian lagi.
"Beres, Bu. Hari ini pasti gol." Andre menjawab dengan mantap.
Vivian terkekeh dan memuji. "Wah kencang ini, tiap bulan signing."
"Harus dong, Bu. Biar bisa cepat beli rumah."
"Lho, nggak jadi beli Yaris?" celetuk Vivian penasaran.
"Nggak, Bu rumah lebih penting. Apalagi sudah ada anak begini. Saya mau kasih tempat tinggal yang nyaman buat mereka, nggak ngekos terus," terang Andre dengan wajah penuh tekad.
Vivian tertegun. Ada sedikit perasaan tidak nyaman menelusup di hatinya. Usia Andre lebih muda darinya, tetapi lelaki itu telah memiliki seorang anak. Namun dengan gelengan kecil segera ditepisnya rasa gelisah itu. Prioritas setiap orang tidak sama. Untuk saat ini, anak belum menjadi prioritas seorang Vivian.
Parameter kebahagiaan seseorang bukan dilihat dari ada tidaknya anak. Terkadang kita merasa tidak bahagia karena merasa hidup orang lain lebih baik, karena orang lain memiliki apa yang tidak kita miliki.
Sebagian orang mungkin bahagia setelah memiliki anak, tetapi tidak sedikit pula yang menjadi tertekan karenanya. Vivian percaya bahagia tidaknya seseorang ditentukan oleh diri orang itu sendiri. Sekali lagi Vivian berusaha meyakinkan dirinya, bahwa ia bahagia.
Menjadi marketing bank adalah karir yang dijalani dengan bahagia oleh Vivian. Ia benar-benar memulainya dari bawah, mulai dari marketing Kredit Tanpa Agunan hingga kini menjadi seorang Team Leader Marketing Small Medium Enterprise alias Usaha Kecil Menengah.
Tujuh tahun perjalanan karir yang tidak singkat. Ia pasti berbohong bila mengatakan pekerjaan ini tidak berat. Sangat berat malah. Namun Vivian menikmati seluruh prosesnya. Ia bangga dengan hasil yang didapatnya dari pekerjaan ini.
Tanpa sadar helaan napas berat Vivian hembuskan dari hidung dan mulutnya karena teringat akan permintaan sang suami. Bila Revan bahagia dengan memiliki anak, ia akan mengabulkannya. Namun karirnya tidak boleh diusik.
Setelah memantapkan keputusannya, Vivian kembali memusatkan konsentrasi pada pekerjaan, membantu Relationship Manager mencapai target mereka. Bukan semata demi pencapaian dirinya sebagai seorang kepala tim. Ia juga ingin anggota timnya merengkuh sukses.
Kumandang adzan isya sudah terdengar dari masjid besar dekat kantor Vivian, tetapi wanita itu masih asyik dengan tuts keyboard mengetik laporan. Matanya bergantian melihat layar datar komputer dan dokumen di meja. Ia menjeda kegiatannya setelah mendengar ponselnya berbunyi untuk kesekian kalinya. Dari nada deringnya ia sudah tahu siapa yang menelepon. Vivian menerimanya dengan kesal.
"Halo, Ma? Kan sudah aku bilang, kalo aku nggak angkat telpon berarti lagi sibuk. Mama telpon terus bikin kupingku sakit!"
Suara mama Vivian terdengar tak kalah kesal. "Durhaka kamu, Vi, bentak-bentak Mama!"
"Mama telpon kenapa?" tanya Vivian tanpa basa-basi.
"Masih tanya kenapa?!" Suara sang mama terdengar melengking di seberang. "Kamu lupa ulang tahu mama sendiri?!"
"Selamat ulang tahun," jawab Vivian datar.
"Kamu nggak datang makan-makan di rumah? Mama sudah undang tetangga sama teman-teman mama. Masak anak sendiri malah nggak datang? Jangan bikin mama malu!"
"Bilang aja aku sibuk."
Sibuk hanya alasan. Sebenarnya, Vivian malas bertemu dengan orang-orang yang diundang oleh mamanya itu.
"Kamu itu cuma pegawai kantoran tapi sibuknya ngalah-ngalahin suamimu yang punya perusahaan! Suamimu saja sudah datang dari tadi!"
"Apa, Ma?!" Vivian terkesiap hingga melompat bangkit dari kursinya.
"Revan suamimu sudah datang!"
"Kenapa dia bisa datang? Mama undang dia?" Suara Vivian meninggi karena emosi.
"Masak menantu sendiri nggak diundang? Mama kan juga mau pamer menantu kebanggaan mama. Kamu nggak lihat muka temen-temen mama tadi. Sekarang nggak ada yang berani meremehkan keluarga kita lagi!"
"Ya ampun, Ma! Udah aku bilang jangan undang Revan!" seru Vivian marah.
Setelah mematikan telepon, Vivian duduk sambil memegang pelipisnya yang berdenyut. Hubungan keluarganya dengan Revan tidak dekat. Suaminya itu bahkan hendak menggugat cerai dirinya. Lalu untuk apa ia datang ke rumah orang tua Vivian? Jangan-jangan hendak menyampaikan rencana perceraian mereka?
"Nggak akan kubiarkan!" geram Vivian. Ia bergegas membereskan meja kerja dan tergesa-gesa meninggalkan ruang kantornya.
Mobil kecil yang dikemudikan Vivian bergerak stabil menuju selatan Surabaya. Perjalanan yang tidak terlalu panjang, tetapi tetap saja mobil itu harus beberapa kali berhenti saat bertemu dengan kemacetan dan lampu lalu lintas yang berubah merah. "Ah sial!" umpat Vivian memukul gagang setir saat mobilnya terjebak antrian panjang di jalan sempit menuju perbatasan antar kota. Perut lapar dan pikiran kacau turut menambah kekesalannya. Kemacetan itu baru terurai setelah Vivian melewati sebuah pertigaan tempat bersilangnya kendaraan dari dalam dan luar kota Surabaya. Supermarket besar di sisi kiri menjadi penanda Vivian telah tiba di area perumahan yang dituju. Tak lama kemudian mobil putih metalik miliknya melintas di bawah gapura bertuliskan "Selamat Datang di Kabupaten Sidoarjo". Dari situ, hanya butuh waktu tidak sampai sepuluh menit untuk sampai di rumah orang tua Vivian. Sidoarjo tak kalah padat dengan Surabaya. Pertambahan drastis jumlah penduduk membuat kebu
Sebelum menerima takdirnya sebagai penerus bisnis keluarga, Revan Halim pernah menjadi seorang pemberontak. Jiwa muda meledak-ledak membuatnya memilih jalan ekstrem memprotes rencana perjodohan antara dirinya dengan putri dari sahabat sang ayah. Bagi Revan, pergi dari rumah adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depannya dari pernikahan paksa. Indekos di daerah kampus yang ramai, hari-harinya ia habiskan dengan bermain game di warnet. Revan menikmati kebebasan hidup yang baru ia reguk. Masalah keuangan tidak dipusingkannya. Ia bisa kapan saja meminta pada neneknya, satu-satunya orang yang selalu mendukung apa pun keputusannya. Pertemuan pertamanya dengan Vivian terjadi pada masa itu. Di depan sebuah warnet game yang beroperasi dekat universitas swasta ternama di Surabaya Timur, Revan Halim berjumpa dengan jodohnya. Setidaknya begitulah yang ia pikirkan pada saat itu. Sikap Vivian yang cuek saat turun dari motor dan penampilannya yang apa adanya me
Kaca jendela di samping kiri Vivian seperti menjadi benda paling menarik yang membuat perempuan itu terus mengarahkan pandangannya ke sana. Tidak ada yang tahu bahwa apa yang sedang ia lihat bukanlah deretan bangunan di pinggir jalan yang mereka lewati. Otak Vivian sedang memproyeksikan kejadian sembilan tahun silam saat jalinan asmaranya dengan Revan baru seumur jagung. "Saya sekolahkan Vivian tinggi-tinggi bukan buat hidup susah sama kamu!" Vivian yang baru keluar dari kamar mendengar mamanya menghardik Revan tanpa belas kasihan di ruang tamu. "Buat makan sendiri aja masih susah kok berani-beraninya ajak anak gadis orang pacaran!" Merasa terkejut, Vivian langsung mengintip untuk melihat wajah Revan. Ia semakin terkejut karena sang kekasih justru terlihat begitu tenang dan masih bisa tersenyum saat menjawab hinaan yang ia terima. "Sekarang saya memang masih susah, tapi nggak lama lagi saya pasti bisa membahagiakan anak Tante." Kata-kata Revan membuat perasaan Vivian melayang. Andai
Vivian pernah mendengar bahwa cara paling efektif untuk menyingkirkan kesedihan adalah dengan menyibukkan diri. Karena itu, selama tujuh hari setelah Revan meninggalkan rumah mereka, ia semakin gila bekerja. Berangkat pagi sekali dan pulang sangat larut, agar sesampainya ia di rumah, yang perlu dilakukannya hanyalah tidur. Vivian tidak memberi dirinya kesempatan untuk memikirkan suami labilnya itu. Ia yakin setelah beberapa waktu, laki-laki itu akan menyesal telah meninggalkannya. Seperti yang sudah-sudah, Revan akan selalu kembali padanya. Asal jangan selingkuh saja, pikirnya. Kalau itu terjadi, ia bersumpah akan menghancurkan Revan dan siapa pun perempuan sialan itu. Niat Vivian untuk melupakan masalah rumah tangganya terbantu dengan adanya kesibukan baru di kantor. Menjelang hari raya Imlek, ia dan para Relationship Manager menyiapkan bingkisan yang akan diberikan kepada para debitur yang merayakan Tahun Baru China. Vivian sendiri secara pribadi juga mengantarkan
David, adik Vivian, keluar dari kamar dengan muka berminyak dan rambut berantakan. Karena rumah mereka kecil, suara pertengkaran di ruang tamu terdengar hingga ke kamar dan memaksanya untuk bangun.Mata pemuda itu tampak merah akibat begadang setiap malam. Ia mengucek matanya yang masih terasa berat dan menatap jengkel pada dua orang perempuan di ruang tamu."Mama sama Kak Vivi nggak bosen apa berantem terus? Sincia malah berantem, nanti rejekinya dipatok ayam baru nangis bareng."Kedua perempuan yang diajak bicara itu sama-sama melotot padanya. Mama Vivian yang lebih dulu angkat bicara. "Yang ada dipatok burung kamu!" hardiknya menatap bagian bawah tubuh David. "Nggak tahu malu! Cepat mandi sana, pakai baju merah yang kemarin Mama belikan!" bentaknya, lalu meninggalkan kedua anaknya untuk duduk di samping suaminya yang sedang menonton berita.Vivian juga jadi melihat bagian bawah tubuh David. Sesuatu terlihat menyembul di balik boxer bergambar kartun Spo
Beep beep beep ...! "Hiiisshhh ...." Erangan kesal keluar dari bibir Vivian saat ponselnya membunyikan alarm dengan suara mengagetkan. Alih-alih terbangun, ia malah membenahi posisi tidurnya agar lebih nyaman, tidak menghiraukan ponsel yang terus berbunyi. Akan tetapi suara itu semakin lama semakin mengganggu. Vivian terpaksa bangkit. Dengan gerakan kasar ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Ada dua pilihan yang muncul pada layar ponsel. Tanpa pikir panjang perempuan itu menekan tulisan "snooze", lalu kembali tidur dalam balutan selimut. Sepuluh menit kemudian alarmnya kembali berbunyi. Vivian menyingkap selimutnya dengan perasaan frustrasi. Rasa-rasanya ia belum puas terpejam. Berbagai terpaan masalah membuatnya sulit tidur beberapa hari belakangan. Jangan lupakan uang seratus juta rupiah yang telah ditransfernya ke rekening Tante Maya. Ia bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Hatinya menjerit tidak rela. Butuh waktu tidak sebentar untuk mengumpul
"Aku kasih kamu waktu satu minggu untuk berpikir." Ultimatum yang Revan cetuskan sebelum meninggalkan rumah untuk kedua kalinya itu berputar-putar dalam pikiran Vivian, menyisakan kegelisahan yang menghantui hari-harinya. Ia sangat menyadari, kesempatan yang diberikan oleh sang suami adalah peluang terakhir mereka untuk bersama. Jika ia tidak mau mengundurkan diri dari pekerjaan, maka rumah tangga mereka akan benar-benar berakhir. Lalu mana yang harus Vivian pilih? Selama beberapa hari ia benar-benar memikirkannya, mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap keputusan yang akan diambilnya kelak. Namun semakin memikirkannya, ia semakin merasa bimbang dan tertekan. Vivian mengembuskan napas keras-keras, berharap beban hidup yang tengah menghimpitnya akan terurai bersamaan dengan udara yang keluar dari hidung. Namun ia tidak merasa lega sedikit pun. Sadar dirinya sedang tidak fokus, perempuan itu menghentikan kegiatannya memeriksa e-mail penting yang masuk
Untuk sesaat, waktu seakan berhenti berputar bagi Vivian. Ia berdiri terpaku di tempat. Mendengar perempuan lain mengaku sebagai pacar suami adalah mimpi buruk bagi istri mana pun. Ia meneliti wajah Vanessa, mencari tanda-tanda kebohongan dari wajah cantik di hadapannya. Namun paras memikat perempuan itu justru menimbulkan syak wasangka dalam diri Vivian. Mungkinkah Vanessa adalah penyebab Revan ingin bercerai darinya?"Bisa beritahu saya nama pacar kamu?" Vivian berusaha bersikap tenang kendati emosinya sedang memuncak. Akal sehat membuatnya berhasil menahan diri untuk tidak menarik rambut Vanessa. Lagi pula perempuan itu sama sekali tidak menyebut nama Revan. Setelah sekian lama, bisa saja Revan telah memindahkan kepemilikan griya tawang tersebut kepada orang lain.Pikiran positif Vivian malah disambut oleh senyum mengejek yang terbentuk di bibir Vanessa. "Lebih baik kamu pulang. Suamimu pasti nggak berharap melihat kamu di sini," katanya, lalu masuk meninggalkan Viv
Langkah Vivian terasa berat saat melintasi halaman parkir kantor Revan. Sebenarnya ia enggan datang ke sana. Hubungannya dengan orang tua Revan tidak bisa dikatakan baik, walau juga tidak bisa dibilang buruk. Sikap mertuanya yang tak acuh membuat Vivian merasa tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga besar suaminya itu."Selamat siang, Pak. Saya Vivian ada janji bertemu dengan Pak Perdana." Vivian memberi senyum sopan kepada petugas keamanan yang berjaga di depan pintu masuk."Silakan masuk, Ibu Vivian."Seperti yang Vivian duga, petugas keamanan di kantor Revan telah mendapat informasi soal kedatangannya. Ia langsung diantar ke ruang tunggu tamu. Tidak sampai lima menit kemudian, seorang perempuan yang memperkenalkan diri sebagai sekretaris papa Revan mendatanginya."Mari, Bu Vivian. Bapak dan Ibu Perdana sudah menunggu di ruangannya." Sekretaris bernama Johanna itu berbicara dengan sikap profesional yang sempurna.Vivian berjalan mengikuti sang sekretaris dengan perasaan cemas ya
Perasaan Vivian jadi tidak enak karena Vanessa juga bertolak ke Jakarta hari itu. Tadi malam ia dan Revan sempat mengobrol sebentar soal Vanessa. Ternyata biduanita itu tidak seorang diri ke Surabaya. Ke mana pun pergi, ia selalu didampingi oleh manajer dan asistennya yang kebetulan sedang keluar ketika Vivian datang tadi malam. Namun bukan berarti Vivian boleh merasa tenang. "Kamu nggak bakal ketemu Vanessa di sana kan, Rev?""Astaga, Vi." Vivian dapat membayangkan ekspresi bosan Revan ketika menjawab pertanyaan darinya. "Enggaklah. Penyelesaian kontrak dengan Vanessa sudah aku delegasikan ke Devan. Kamu bisa ikut ke Jakarta kalau nggak percaya."Itu adalah sebuah ajakan yang mustahil Vivian terima. Timnya sedang dikejar tenggat waktu. Tidak harus lembur saja ia sudah sangat bersyukur. "Aku nggak bisa. Kerjaanku nggak mungkin aku tinggal, apalagi sebentar lagi aku resign.""Tapi aku nggak bisa pergi dengan tenang kalau kamu terus curiga begini.""Kamu ngomong apa sih? Pergi dengan ten
"Bangun, Sayang. Nanti kamu telat ke kantor."Revan yang hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya itu mengulangi panggilannya kepada Vivian. Setengah jam yang lalu ia telah mencoba membangunkan Vivian, tetapi istrinya itu tampak masih pulas. Ia memutuskan untuk memberi perempuan itu sedikit waktu menikmati tidur nyenyaknya. Setelah mandi, ia membangunkan kembali sang istri dengan suara lembut.Suara Revan yang awalnya terdengar samar itu semakin jelas masuk ke indera pendengaran Vivian. Ia segera membuka matanya dan mendapati sang suami tengah tersenyum menatap dirinya."Ugh ... capek banget badanku." Vivian merenggangkan tubuhnya sebelum mengubah posisi tidurnya menjadi posisi duduk."Kalau capek nggak usah masuk hari ini. Istirahat dulu." Revan memberi usul. Mereka baru saja melalui malam yang panjang dan menguras energi. Pukul satu dini hari ia dan Vivian baru tiba di rumah. Wajar jika istrinya itu kini merasa lelah."Aku har
Revan menatap terpana Vivian yang menangis untuk kedua kalinya malam itu. Percaya atau tidak, selama sembilan tahun menjalin hubungan dengan Vivian, belum pernah sekalipun ia melihat perempuan itu meneteskan air mata. Hati Vivian bagaikan terbuat dari batu intan yang keras dan tidak mudah tergores.Namun kini batu intan itu seolah kehilangan ketegarannya. Hal itu menimbulkan penyesalan dalam batin Revan. Seandainya ia lebih bijak dan tidak gegabah melontarkan ajakan bercerai, istrinya tidak akan merasa terluka hingga menangis tersedu-sedu seperti sekarang.Tanpa pikir panjang ia segera memeluk tubuh sang istri, berharap perempuan itu mendapatkan rasa nyaman dari tubuh mereka yang saling merapat. Kata maaf baru saja akan terucap dari bibirnya ketika tiba-tiba ia mendengar kalimat tak terduga."Kamu terlalu baik, Rev. Aku merasa nggak pantas jadi istri kamu.""Kenapa bilang begitu?" tanya Revan terkejut. "Nggak ada yang pantas jadi istriku selain kamu."
"Kalian seperti udah lama kenal."Kalimat itu bukan lagi sebuah pertanyaan. Baru sekarang Vivian sadar pembicaraan antara Revan dan Vanessa tidak seperti rekan bisnis yang baru pertama kali bertemu. Kecurigaannya langsung terbukti karena Revan sama sekali tidak menyangkal."Kami sudah kenal sebelumnya, tapi dia bukan pacarku.""Trus apa? One night stand kamu?""Hanya teman yang pernah sama-sama kuliah di Amerika.""Wow ...." Vivian mendecakkan lidahnya dengan gaya dramatis. "Ternyata sudah kenal sejak kuliah di Amerika. Kenapa baru cerita sekarang?""Memangnya kamu pernah tertarik dengan kehidupan kuliahku?""Nggak usah muter-muter, Rev. Kamu nggak cerita karena takut aku curiga, 'kan?"Revan menutup matanya sambil mengembuskan napas lelah. Ekspresi wajahnya seolah mengatakan ia bosan menghadapi tuduhan Vivian. "Kamu tanya langsung aja sama dia," putusnya setelah membuka mata.Laki-laki itu mengambil ponselnya dan melaku
Vivian tidak lagi berniat menghindar. Ia mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata dan membalas tatapan Revan. Kebencian terlihat jelas dari sorot mata itu.Melihat itu, Revan menghela napas. Rasa senangnya yang sempat muncul lantaran mendapati sang istri cemburu, hilang begitu saja. "Kita harus bicara," ucapnya serius."Nggak ada yang perlu dibicarain, Rev!" Vivian menyentak tangannya yang sedang dipegang erat oleh Revan. "Dulu aku sudah pernah bilang, kan? Sekali kamu berkhianat, saat itu juga pernikahan kita berakhir!"Revan kembali mencengkeram lengan Vivian dengan tenaga yang lebih kuat daripada sebelumnya. "Dengar! Kalau pernikahan kita harus berakhir, aku nggak akan membiarkannya berakhir karena kesalahpahaman!"Pada saat itu, pintu lift terbuka. Vivian dan Revan otomatis menghentikan pertengkaran dan menggeser posisi berdiri mereka untuk memberi jalan pada orang yang baru saja keluar dari lift. Dari sudut matanya, Vivian melihat sepasang pria dan
Untuk sesaat, waktu seakan berhenti berputar bagi Vivian. Ia berdiri terpaku di tempat. Mendengar perempuan lain mengaku sebagai pacar suami adalah mimpi buruk bagi istri mana pun. Ia meneliti wajah Vanessa, mencari tanda-tanda kebohongan dari wajah cantik di hadapannya. Namun paras memikat perempuan itu justru menimbulkan syak wasangka dalam diri Vivian. Mungkinkah Vanessa adalah penyebab Revan ingin bercerai darinya?"Bisa beritahu saya nama pacar kamu?" Vivian berusaha bersikap tenang kendati emosinya sedang memuncak. Akal sehat membuatnya berhasil menahan diri untuk tidak menarik rambut Vanessa. Lagi pula perempuan itu sama sekali tidak menyebut nama Revan. Setelah sekian lama, bisa saja Revan telah memindahkan kepemilikan griya tawang tersebut kepada orang lain.Pikiran positif Vivian malah disambut oleh senyum mengejek yang terbentuk di bibir Vanessa. "Lebih baik kamu pulang. Suamimu pasti nggak berharap melihat kamu di sini," katanya, lalu masuk meninggalkan Viv
"Aku kasih kamu waktu satu minggu untuk berpikir." Ultimatum yang Revan cetuskan sebelum meninggalkan rumah untuk kedua kalinya itu berputar-putar dalam pikiran Vivian, menyisakan kegelisahan yang menghantui hari-harinya. Ia sangat menyadari, kesempatan yang diberikan oleh sang suami adalah peluang terakhir mereka untuk bersama. Jika ia tidak mau mengundurkan diri dari pekerjaan, maka rumah tangga mereka akan benar-benar berakhir. Lalu mana yang harus Vivian pilih? Selama beberapa hari ia benar-benar memikirkannya, mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap keputusan yang akan diambilnya kelak. Namun semakin memikirkannya, ia semakin merasa bimbang dan tertekan. Vivian mengembuskan napas keras-keras, berharap beban hidup yang tengah menghimpitnya akan terurai bersamaan dengan udara yang keluar dari hidung. Namun ia tidak merasa lega sedikit pun. Sadar dirinya sedang tidak fokus, perempuan itu menghentikan kegiatannya memeriksa e-mail penting yang masuk
Beep beep beep ...! "Hiiisshhh ...." Erangan kesal keluar dari bibir Vivian saat ponselnya membunyikan alarm dengan suara mengagetkan. Alih-alih terbangun, ia malah membenahi posisi tidurnya agar lebih nyaman, tidak menghiraukan ponsel yang terus berbunyi. Akan tetapi suara itu semakin lama semakin mengganggu. Vivian terpaksa bangkit. Dengan gerakan kasar ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Ada dua pilihan yang muncul pada layar ponsel. Tanpa pikir panjang perempuan itu menekan tulisan "snooze", lalu kembali tidur dalam balutan selimut. Sepuluh menit kemudian alarmnya kembali berbunyi. Vivian menyingkap selimutnya dengan perasaan frustrasi. Rasa-rasanya ia belum puas terpejam. Berbagai terpaan masalah membuatnya sulit tidur beberapa hari belakangan. Jangan lupakan uang seratus juta rupiah yang telah ditransfernya ke rekening Tante Maya. Ia bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Hatinya menjerit tidak rela. Butuh waktu tidak sebentar untuk mengumpul