Semua Bab Keris Bunga Bangkai: Bab 41 - Bab 50

197 Bab

41 - Rencana Yasa

Kedua orang itu terlihat serius berdiskusi di dekat peta besar yang terhampar di atas meja. Panglima Abimana nampak menggeser-geser bidak seperti mengikuti penjelasan rencana dari Yasa. Sementara itu, Senopati Reswara dan yang lainnya hanya bisa terdiam mengikuti dari kejauhan. “Merancang semua ini di kepalamu, sepertinya kau benar-benar paham wilayah ini,” ujar Abimana masih memperhatikan lembaran peta. “Apa Tuan pernah mendengar nama Perampok Macan Kumbang?” tanya Yasa. “Siapa mereka? Aku tidak pernah mendengar nama seperti itu,” balas Abimana. “Wajar Tuan tak pernah mendengarnya. Jika tidak, tentu Tuan akan mengirim pasukan untuk membasmi kami semua,” jelas Yasa sedikit tersenyum lirih. Panglima Abimana pun menoleh ke arah Yasa, nampak mengerutkan keningnya melihat senyuman tersebut. “Sebelum memutuskan menjadi prajurit bayaran, kami dan Mergo hanyalah sekelompok perampok gunung. Mungkin semua daerah ini adalah kekuasaan Kerajaan Cakradwipa. Namun ada kalanya kami berpikir ba
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-15
Baca selengkapnya

42 - Terlalu Mudah

Di saat prajurit Gamawuruh sibuk mempersiapkan diri, tiba-tiba satu panah berapi menancap di salah satu tenda mereka. Prajurit yang sadar dari mana arah datangnya panah tersebut segera menoleh ke sisi barat pantai. Beberapa panah berapi lain melayang di udara menyasar ke arah perkemahan mereka. Sementara itu, ada begitu banyak pasukan berkuda menyisir garis pantai dari arah barat. Para prajurit Gamawuruh menjadi kalut. Sebagian yang sibuk memadamkan api sekarang memilih menjauh karena prajurit berkuda itu sudah begitu dekat. Beberapa prajurit lain bergegas melapor pada pimpinan mereka. Satu orang prajurit yang tadi merupakan mata-mata datang memberikan laporan. “Panglima, Panglima! Ada serangan dari arah barat!” teriaknya panik.  Panglima perang itu pun segera keluar dari tendanya. Begitu dia sampai di luar, kuda yang ditunggangi Reswara melompat dari bel
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-16
Baca selengkapnya

43 - Impian Tanpa Makna

Setelah itu dia terus berjalan tertatih dengan kaki kirinya yang masih ngilu dan nyeri. Yasa memperhatikan satu persatu prajurit yang ditawan. Tentu dia sadar juga tak mungkin di antara mereka itu ada Rangkahasa dan Mergo. Karena jika ada, tentu Reswara sudah mengenalinya.   Hanya saja, sepertinya Yasa belum mau dan belum siap untuk berputus asa. Dia terus memeriksa wajah mereka satu persatu, terasa seperti orang bodoh saja karena dia sendiri tahu kedua orang itu pasti tidak ada di sana.   Teman-temannya dari Panji Keris Bertuah pun datang dan langsung berlarian menghampirinya.     “Bagaimana, Yasa?” tanya Lindo Aji.     Yasa menoleh ke arahnya, mulai terlihat pasrah dan putus asa. Sesaat kemudian matanya terlihat sedikit berlinang. Namun kemudian rinai hujan pun menerpa wajahnya dan menyamarkan tangisnya.   Tiba-tiba salah seorang prajurit memanggil Sen
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-16
Baca selengkapnya

44 - Sepasang Jiwa Muda

Sedikit mundur beberapa saat sebelumnya, masih di hari yang sama sebelum langit gelap. Di sisi lain lereng Gunung Jompang, Rangkahasa yang sudah beberapa hari menetap di rumah Waradana mulai merasakan perasaan yang tidak biasa. Senja itu, dia membawa dua buah suluh yang dia buat sendiri dari bambu, dan menaruhnya di tepi kebun yang membatasi perkarangan rumah. Sudah ada cukup banyak suluh yang dia pasang mengelilingi perkarangan tersebut sejak dua hari sebelumnya. Dia pun menyalakannya satu persatu sebelum malam tiba. Keramahan Waradana dan keluarganya telah membuatnya merasa nyaman dan melupakan sesuatu yang penting. Sudah beberapa hari ini dia sama sekali tidak didatangi oleh roh-roh jahat di malam hari. Pada hal itu satu-satunya alasan dia untuk tidak lagi kembali ke hutan.  “Sepertinya kau sedang mengkhawatirkan sesuatu,” ujar Waradana di saat Rangkahasa sedang termenung menatapi pedangnya.
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-17
Baca selengkapnya

45 - Menerima Takdir

Wajah keduanya mulai memerah. Nafas mereka saling beradu, dan dada mereka pun mulai semakin sesak. Namun mereka berdua tetap tak ingin menjauh. Cukup lama mereka seperti itu, dan Lastri pun semakin kesulitan menahan diri dan mulai merapatkan bibirnya ke salah satu ujung bibir Rangkahasa. Rangkahasa hanya mematung. Bibir merekapun hanya sedikit saling menyentuh, namun nafas mereka mulai semakin memburu. Lastri menutup matanya, mulai mencoba untuk kembali mengendalikan diri. Namun ujung hidungnya terus menempel di pipi Rangkahasa, tak kunjung menjauh dari wajah pemuda tersebut. Dan tiba-tiba saja satu teriakan histeris menyentak kesadaran kedua remaja yang sedang dimabuk asmara itu, melepaskan mereka dari gairah yang membelenggu keduanya.  “Bapaak! Bapaaaak!!”  Teriakan Arsih dari dalam rumah membuat Lastri tersadar. Begitu juga dengan Rangkaha
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-17
Baca selengkapnya

46 - Malam Yang Melelahkan

Waradana mengambil satu golok di dapur. Bukan senjata yang biasa digunakannya untuk bertarung, hanya golok untuk memotong  kayu bakar. Setelah itu dia bergegas menuju kandang kuda.   Dua kuda piaraannya terus meringkih nampak panik karena kagaduhan dan kengerian yang datang menghampiri. Hal itu membuat Waradana cukup kerepotan menenangkan mereka.   Dia segera meletakkan pelana di masing-masing punggung kuda tersebut dan menggiring keduanya ke perkarangan rumah.     “Cepat naik,” seru Waradana pada istri dan anaknya. “Kuda ini tidak akan bertahan berlama-lama di sini.”     Kedua ibu dan anak itu langsung menaiki satu kuda, sementara Waradana menunggangi satu kuda lainnya. Waradana menepuk beberapa kali pinggul kuda yang ditunggangi Arsih dan anaknya. Mereka pun pergi tanpa membawa apa-apa.     “Rangkahasa, ikutlah dengan kami! Kita bisa
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-18
Baca selengkapnya

47 - Ikatan

Sudah begitu lama dia bertarung seorang diri seperti orang gila. Makhluk-makhluk tak jelas itu terus saja bermunculan dari dalam hutan. Di saat Rangkahasa lengah karena lelahnya, satu roh jahat mendekat dan memegang kepalanya. Sepertinya roh itu mencoba merusak pikirannya. Ranghasa pun merintih, menahan tekanan yang begitu berat di kepalanya.  “Berhentilah memaksakan diri, kau tak akan bisa lepas dari kami,” ujar roh tersebut yang berbicara langsung ke dalam kepalanya.  Rangkahasa memegangi kepala, nampak tersiksa dengan kegilaan yang mulai membebani pikirannya.  “Apa yang membebanimu? Kenapa begitu keras untuk melawannya. Akhiri saja semua ini, karena kau tak akan pernah bisa lepas dari kami.”  Roh jahat itu masih saja membisikkan kata-kata di dalam kepala Rangkahasa, memaksanya untuk berpasrah diri, unt
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-18
Baca selengkapnya

48 - Akhir Dari Mimpi Buruk

Merasa sudah tak mungkin untuk terus bertahan di sana, Rangkahasa memilih kabur meninggalkan tempat tersebut. Satu dedemit yang sebelumnya di tebas oleh Waradana ternyata masih berdiri. Bahkan golok itu masih tertancap di kepalanya. Rangkahasa terkepung, dan tak bisa lagi melihat ruang baginya untuk melarikan diri. Tentu dia masih bisa bergerak sedikit lagi, tapi dia mulai merasa putus asa. Karena dia tahu semua itu tak akan ada habisnya. Namun ternyata, Waradana kembali dengan kudanya. Dia memacu kuda tersebut, mengambil kembali goloknya yang tertancap di kepala satu dedemit. Ditariknya golok itu sembari mendorong tubuh dedemit itu dengan kaki. Setelah itu dia kembali menebaskan golok itu pada pangkal lehernya.  “Rangkahasa!” teriaknya saat melihat Rangkhasa sudah mulai terkepung.  Dia menghentak sedikit badan kuda dengan tumitnya, memaksanya untuk berlari ke ar
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-18
Baca selengkapnya

49 - Hidup Dalam Pelarian

Asap hitam pekat membumbung di tepi hutan itu. Membuat perkarangan rumah Waradana dipenuhi oleh bau tidak sedap dari mayat yang terbakar. Meski selama ini Rangkahasa sudah terbiasa bersimbah darah dan berlumuran daging cincang dari para dedemit, dia sama sekali tak tahan dengan bau mereka setelah dibakar Waradana.  “Mau kemana kau Rangkahasa?” tanya Waradana melihat Rangkahasa tiba-tiba berlari menjauhi pembakaran bangkai dedemit tersebut.  Rangkahasa memilih menjauh, pergi ke pemadian untuk membersihkan dirinya. Jubah yang semalaman baru dibuatkan Lastri untuknya sudah begitu kotor oleh darah yang mengering. Untungnya, baju di dalamnya tak terlalu kotor. Dia pun mencuci jubah tersebut dan sekalian mandi. Setelah itu dia kembali dengan menjinjing jubah yang masih basah. Tak mungkin di pakainya dalam keadaan seperti itu. Rangkahasa berjalan menuju bangku panjang d
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-19
Baca selengkapnya

50 - Keputusan Yasa

Di hari berikutnya, di sisi timur dari Gunung Jompang, prajurit yang dipimpin oleh Panglima Abimana masih bertahan di dekat Benteng Watukalis. Sementara prajurit dari Gamawuruh yang menguasai benteng tersebut belum juga keluar dari sana. Beberapa orang prajurit pemanah juga sudah bersiaga di sisi timur sungai Bhagawanta. Mereka di sana untuk berjaga-jaga, mencegah kemungkinan datangnya bantuan dari kerajaan Gamawuruh lewat sungai. Sementara itu, utusan dari Benteng Kemuning yang berada di perbatasan sisi tenggara Cakradwipa juga sudah datang. Mereka melintas di sebuah jembatan yang membentang di dekat muara sungai, terus bergerak menuju perkemahan pasukan Panglima Abimana. “Lapor, Panglima! Utusan dari Benteng Kemuning sudah datang membawakan persediaan makanan untuk tujuh hari,” papar Senopati Reswara. “Apa sudah ada pesan dari prajurit musuh yang menguasai Benteng Watukalis?” tanya Panglima Abimana. “Belum, Panglima!” jawab Reswara singkat. “Persediaan makanan mereka akan habis
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-19
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
20
DMCA.com Protection Status