Waradana mengambil satu golok di dapur. Bukan senjata yang biasa digunakannya untuk bertarung, hanya golok untuk memotong kayu bakar. Setelah itu dia bergegas menuju kandang kuda.
Dua kuda piaraannya terus meringkih nampak panik karena kagaduhan dan kengerian yang datang menghampiri. Hal itu membuat Waradana cukup kerepotan menenangkan mereka.
Dia segera meletakkan pelana di masing-masing punggung kuda tersebut dan menggiring keduanya ke perkarangan rumah.
“Cepat naik,” seru Waradana pada istri dan anaknya. “Kuda ini tidak akan bertahan berlama-lama di sini.”
Kedua ibu dan anak itu langsung menaiki satu kuda, sementara Waradana menunggangi satu kuda lainnya. Waradana menepuk beberapa kali pinggul kuda yang ditunggangi Arsih dan anaknya. Mereka pun pergi tanpa membawa apa-apa.
“Rangkahasa, ikutlah dengan kami! Kita bisa
Sudah begitu lama dia bertarung seorang diri seperti orang gila. Makhluk-makhluk tak jelas itu terus saja bermunculan dari dalam hutan.Di saat Rangkahasa lengah karena lelahnya, satu roh jahat mendekat dan memegang kepalanya. Sepertinya roh itu mencoba merusak pikirannya. Ranghasa pun merintih, menahan tekanan yang begitu berat di kepalanya.“Berhentilah memaksakan diri, kau tak akan bisa lepas dari kami,” ujar roh tersebut yang berbicara langsung ke dalam kepalanya.Rangkahasa memegangi kepala, nampak tersiksa dengan kegilaan yang mulai membebani pikirannya.“Apa yang membebanimu? Kenapa begitu keras untuk melawannya. Akhiri saja semua ini, karena kau tak akan pernah bisa lepas dari kami.”Roh jahat itu masih saja membisikkan kata-kata di dalam kepala Rangkahasa, memaksanya untuk berpasrah diri, unt
Merasa sudah tak mungkin untuk terus bertahan di sana, Rangkahasa memilih kabur meninggalkan tempat tersebut. Satu dedemit yang sebelumnya di tebas oleh Waradana ternyata masih berdiri. Bahkan golok itu masih tertancap di kepalanya.Rangkahasa terkepung, dan tak bisa lagi melihat ruang baginya untuk melarikan diri. Tentu dia masih bisa bergerak sedikit lagi, tapi dia mulai merasa putus asa. Karena dia tahu semua itu tak akan ada habisnya.Namun ternyata, Waradana kembali dengan kudanya. Dia memacu kuda tersebut, mengambil kembali goloknya yang tertancap di kepala satu dedemit. Ditariknya golok itu sembari mendorong tubuh dedemit itu dengan kaki. Setelah itu dia kembali menebaskan golok itu pada pangkal lehernya.“Rangkahasa!” teriaknya saat melihat Rangkhasa sudah mulai terkepung.Dia menghentak sedikit badan kuda dengan tumitnya, memaksanya untuk berlari ke ar
Asap hitam pekat membumbung di tepi hutan itu. Membuat perkarangan rumah Waradana dipenuhi oleh bau tidak sedap dari mayat yang terbakar. Meski selama ini Rangkahasa sudah terbiasa bersimbah darah dan berlumuran daging cincang dari para dedemit, dia sama sekali tak tahan dengan bau mereka setelah dibakar Waradana.“Mau kemana kau Rangkahasa?” tanya Waradana melihat Rangkahasa tiba-tiba berlari menjauhi pembakaran bangkai dedemit tersebut.Rangkahasa memilih menjauh, pergi ke pemadian untuk membersihkan dirinya. Jubah yang semalaman baru dibuatkan Lastri untuknya sudah begitu kotor oleh darah yang mengering. Untungnya, baju di dalamnya tak terlalu kotor. Dia pun mencuci jubah tersebut dan sekalian mandi.Setelah itu dia kembali dengan menjinjing jubah yang masih basah. Tak mungkin di pakainya dalam keadaan seperti itu.Rangkahasa berjalan menuju bangku panjang d
Di hari berikutnya, di sisi timur dari Gunung Jompang, prajurit yang dipimpin oleh Panglima Abimana masih bertahan di dekat Benteng Watukalis. Sementara prajurit dari Gamawuruh yang menguasai benteng tersebut belum juga keluar dari sana. Beberapa orang prajurit pemanah juga sudah bersiaga di sisi timur sungai Bhagawanta. Mereka di sana untuk berjaga-jaga, mencegah kemungkinan datangnya bantuan dari kerajaan Gamawuruh lewat sungai. Sementara itu, utusan dari Benteng Kemuning yang berada di perbatasan sisi tenggara Cakradwipa juga sudah datang. Mereka melintas di sebuah jembatan yang membentang di dekat muara sungai, terus bergerak menuju perkemahan pasukan Panglima Abimana. “Lapor, Panglima! Utusan dari Benteng Kemuning sudah datang membawakan persediaan makanan untuk tujuh hari,” papar Senopati Reswara. “Apa sudah ada pesan dari prajurit musuh yang menguasai Benteng Watukalis?” tanya Panglima Abimana. “Belum, Panglima!” jawab Reswara singkat. “Persediaan makanan mereka akan habis
Malam itu juga, Panglima Abimana mengumumkan pada prajuritnya tetang bergabungnya sisa-sisa dari Panji Keris Bertuah ke dalam pasukannya. Mereka menyambut berita itu dengan suka cita bersamaan dengan keberhasilan mereka merebut kembali Benteng Watukalis. Kemudian Panglima Abimana menghampiri keenam pendekar tangguh itu, menyampaikan ucapan selamatnya secara pribadi. “Tapi sugguh sangat disayangkan, teman kalian yang bernama Yasa itu menolak tawaranku,” ujar Abimana di tengah-tengah suka cita mereka. Hal itu langsung membuat mereka tersekat, bahkan ada yang tersedak ketika sedang minum. Abimana sama sekali tidak tahu bahwa Yasa membuat keputusan itu tanpa memberi tahu yang lainnya. Dia pun pergi meninggalkan enam orang pendekar itu tanpa menyadari hal itu. Lindo Aji langsung menaruh kembali kendi minumannya, tak bisa lagi menikmati pesta tersebut. Tanpa berkata ap
Sudah beberapa hari dia belum makan apa-apa, ataupun minum. Sejauh ini dia bertahan tergerak oleh hasratnya untuk bertahan hidup. Sekarang dengan tubuh yang begitu lemah, Mergo masih saja memaksakan diri untuk mendaki gunung tersebut.Sementara itu, sosok misterius itu selalu mengikuti, dengan wajah polosnya terus saja menanyakan hal yang sama padanya.“Apa yang kau inginkan?”“Apa yang menggerakkanmu?”“Mengapa kau bersikeras mendaki gunung ini?”“Tidak kah kau lapar ataupun haus?”Namun Mergo diam saja. Dia sudah yakin sosok itu tahu apa yang sedang dia lakukan, dan dia juga tahu sosok itu hanya mencoba mengalihkan perhatiannya.“Kau lihat anjing-anjing hutan itu? Mereka masih mengikutimu. Kenapa tidak kau kuliti saja mereka dan memakan dagin
Keinginan dan hasrat manusia memang tak pernah ada habisnya. Ada yang berusaha memenuhinya dengan cara yang menurutnya mulia. Ada juga yang harus merenggut impian orang lain untuk memenuhi ambisi pribadinya, dan itu pun sering kali dinilainya masih mulia, menurutnya. Sudah ratusan tahun, tak terhitung jumlah nyawa yang sudah dikorbankan. Perang dan pembantaian silih berganti memakan ribuan nyawa. Ada yang berkorban demi kehormatan. Ada yang berkorban, mengambil resiko demi mengangkat harkat dan martabat keluarga. Ada yang gugur demi memastikan kebahagian dari orang-orang yang berarti untuknya. Namun satu hal yang berlaku sama untuk mereka semua, semuanya mati dalam satu misi pemenuhan ambisi seorang raja. “Pertahankan barisan kalian. Jangan gentar!” “Musuh tak akan mengasihani kalian meski kalian memohon.”
Setelah perperangan yang terjadi di siang hari, tempat itu kembali digenangi oleh darah dan potongan-potongan tubuh para dedemit. Memang jumlah mereka tak sebanyak yang sebelumnya dia temui di rumah Waradana, dan Rangkahasa pun menggunakan itu sebagai objek latihannya.Rangkahasa tahu bahwa dia tak bisa sepenuhnya menghindar dari kondisi seperti itu. Mau tak mau, dia harus membiasakan diri dan berusaha menjadi lebih kuat.Dia senantiasa bergerak, namun selalu berusaha untuk mengurangi gerak-gerakan yang tak berguna. Setiap kali pedang itu diayunkannya, potongan lengan para dedemit berterbangan di mana-mana. Karena tahu jumlah mereka tak terlalu ramai, Rangkahasa tidak langsung membunuh mereka.“Cepatlah berdiri,” bukankah aku yang kalian inginkan?” serunya lirih menunggu para dedemit itu kembali bangkit.Karena terlalu sibuk bermain dengan para dedemit it
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann