Home / Fantasi / Segitiga Penguasa - Sudut Pertama / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Segitiga Penguasa - Sudut Pertama: Chapter 41 - Chapter 50

75 Chapters

41. Perjamuan yang Tak Diharapkan

Teko emas itu tengah dimiringkan dengan sudut yang pas untuk menumpahkan isi di dalamnya. Aliran Curcas terjun bebas dari moncong teko menuju ke satu cangkir bambu berukuran mungil. Di dekatnya, cangkir-cangkir lain menunggu giliran.Segala hidangan tersaji di atas meja panjang. Saloth menempati posisi tepat di bagian kepala meja. Bertengger di sana, ia bak seorang komandan. Di sebelah kiri dan kanan, para Penjaga dari kedua desa saling duduk berhadapan. Para Penjaga desa Podom menduduki baris sebelah kanan, sementara para Penjaga desa Jamahitpa terduduk di sisi seberang.“Mana yang harus kumakan lebih dulu?” Wrahaspati bergumam. Kedua tangannya telah berada dalam posisi siap sedia untuk meraih apa pun di depannya. Hanya dalam hitungan detik, kedua tangan gemuk itu bergerak gesit.“Tunggu!” duduk tepat di hadapan Wrahaspati, Sakda menyergah dengan suara tinggi. Semua orang spontan melirik ke satu arah.“Ada apa?” tanya
Read more

42. Mencari Jawaban

Matahari kini telah hampir berada di atas ubun-ubun, tetapi ketiga lelaki itu masih tak berniat untuk beranjak dari tempat mereka sekarang. Dari selepas perjamuan besar yang mendadak terasa menjengahkan, mereka bertiga memilih untuk tak kembali beristirahat seperti yang telah diinstruksikan.Sebuah pohon besar di pinggir danau dengan dedaunan yang rindang menjadi pilihan. Bisa dibilang, pertemuan mereka kali ini sama sekali tak direncanakan. Terbesit begitu saja dalam kepala Darangga, bahwa kepergian Gunawan harus segera mereka diskusikan.Dua orang yang kini menemaninya pun tak terpikirkan sebelumnya. Tadi, di Ruang Peristirahaan, sesaat setelah pandangannya berkeliling, Darangga merasa bahwa Marca adalah orang yang pas untuk ia ajak berdiskusi. Ia lantas mengirimkan isyarat berupa lirikan mata, yang ternyata dipahami juga oleh Buda. Setelah sedikit berbasa-basi agar tak ada yang curiga, dan agar pertemuan mereka tak diketahui oleh para Penjaga ataupun penduduk desa P
Read more

43. Ibu dan Anak

Nampan-nampan besar berisikan berbagai macam hidangan kembali diantar ke Ruang Peristirahatan. Ini adalah perjamuan makan terakhir sebelum menuju keberangkatan.“Maafkan kami. Seharusnya malam ini kita makan malam sambil berkumpul bersama-sama lagi. Tapi⸺”“Kau tak harus meminta maaf sampai berulang kali seperti itu,” sela Darangga, "semua ini berada di luar kehendak kita. Tidak ada juga yang menyangka, kalau semuanya akan terjadi seperti ini."Wakaru mangut-mangut. Wajahnya yang lugu tampak berhiaskan senyum hangat. “Terima kasih atas pengertiannya. Oh, iya. Bagaimana keadaan kalian semua?” perhatiannya beralih ke arah Paramarta. “Bagaimana dengan luka di perutmu?”“Lukaku sudah mulai pulih. Ini hanya tinggal sedikit luka goresan saja,” jawab Paramarta sambil memegangi bekas luka di bagian perutnya yang masih dibalut kain putih.“Baguslah kalau begitu. Berarti besok kita sudah benar
Read more

44. Di Ujung Malam

Keheningan malam membuat kedelapan lelaki itu tertidur begitu lelap. Mereka harus benar-benar rehat. Perjalanan yang akan mereka tempuh masih sangat panjang. Esok hari, belum tentu akan ada kemewahan yang sama seperti hari ini.Dengan penuh kehati-hatian, pintu itu dibuka perlahan. Seorang lelaki melangkah masuk. Menyelinap. Menempatkan dirinya tepat di depan sebuah ranjang. Ia menilik. Di hadapannya, seorang lelaki tengah tertidur pulas. Momen yang tepat. Ia pun tersenyum.Kedua tangan lelaki itu lalu terangkat sambil memegangi senjata. Beberapa orang di belakangnya melakukan pergerakan serupa. Mereka mengambil posisi masing-masing. Semua berjalan sesuai rencana. Tepat di ujung malam, mereka akan berpesta. Dalam sekejap, sebuah pedang mengayun ganas ke arah depan.∆ Di balik kelopak mata yang tertutup rapat, Marca seakan diseret ke sebuah tempat yang tak pernah ia datangi sebelumnya. Tempat asing tak berpenghuni. Celingak-celinguk ia mencar
Read more

45. Melarikan Diri

Matanya tak dapat terpejam meski ia begitu kepingin. Sedari tadi Kuja hanya memandang lamat-lamat ke langit-langit kamar. Pikirannya terus berkelana. Padahal dari dulu, di dalam hidupnya, jarang sekali Kuja menampung kesedihan. Semua dibiarkan mengalir tanpa harus ada yang dibendung. Kini, satu per satu kesedihan itu muncul. Tak terkendali. Ia bahkan tak dapat mengantisipasi.Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dari luar. Lekas-lekas Kuja berpura-pura memejamkan mata. Memiringkan posisi tidurnya.“Apa kau sudah tidur, Kuja?” Rea melangkah masuk. Ia duduk di atas ranjang. Kedua matanya langsung memindai tubuh anak perempuannya mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Tak ia duga, tubuh Kuja sekarang sudah jauh lebih tinggi dari yang ia perkirakan. Rambut hitam itu lebih lebat dari yang ia ingat dulu. Rea tersadar, anak perempuannya kini telah benar-benar beranjak menjadi wanita dewasa. “Ibu minta maaf, Kuja. Seharusnya dari dulu semua ini kuceritakan kepad
Read more

46. Dia Tetap Saudaraku

Terengah-engah, lelaki berambut panjang yang dikepang tiga di bagian belakang itu berusaha merangkak menuju pintu. Deretan luka di sekujur tubuhnya tak henti-hentinya mengeluarkan darah segar. Rasa panas yang entah datangnya dari mana seakan membakar tubuhnya dari dalam. Rasa nyeri menggerogoti semangatnya untuk terus bertahan hidup. Sambil mengerang kesakitan, Gunawan kembali melirik ke arah pintu yang sesaat lalu terlihat diliputi cahaya. Akankah masih ada harapan? Ia mulai bertanya-tanya.Gunawan masih ingat betul pada detik-detik terakhir sebelum tubuhnya berakhir menggantung di sebuah bangunan yang ia rasa dijadikan sebagai gudang. Tepat ketika sorot matanya menemukan penampakan mengerikan sekaligus menjijikkan di dalam bangunan besar beratap terbuka. Tatkala ia terlalu terpaku melihat apa yang ada, hingga ia sendiri pun tak sadar, beberapa orang telah mengendap-ngendap di balik punggungnya. Dengan cepat mereka membekap mulut, dan menarik paksa tubuh Gunawa
Read more

47. Ritual Penghabisan

Sejak memutuskan untuk menjadikan sebuah bangunan tak terkunci sebagai tempat persembunyian, tepat ketika salah satu dari mereka membuka pintu, seketika bau anyir menyergap bagai ucapan selamat datang. Tak ada waktu untuk memilah tempat yang lebih baik. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, mereka harus terima.Dengan posisi berjongkok di dalam kegelapan, Wrahaspati mulai merasakan mual yang menjadi-jadi. Perutnya seolah diremas kuat-kuat dari dalam.“Di sini bau sekali, aku tak sanggup. Aku pergi saja,” ujar Wrahaspati sembari membekap mulut dengan tangan, bersiap keluar.“Hentikan, dia!” sergah Darangga.Spontan, Tumpak segera mengait erat lengan Wrahaspati. “Tolong jangan keluar, Tuan,” pintanya.“Apa kau tak mencium bau busuk ini. Dasar, Budak tak berguna!” damprat Wrahaspati.“Aku menciumnya. Aku juga mencium aroma busuk, Tuan. Tapi kalau kau keluar sekarang, kita semua bisa keta
Read more

48. Lorong Rahasia

Serenceng kunci tak sengaja jatuh ke tanah.“Kenapa kau malah menjatuhkannya? Cepat ambil. Segera buka pintunya,” perintah Ludo kepada seorang lelaki bertubuh gemuk.“Maafkan aku, Kak,” ucap lelaki muda itu. Ini adalah kali pertama dirinya mendapat tugas di dalam sebuah kelompok besar. Walau hanya berperan sebagai juru kunci dadakan, namun tugas itu sudah sangat berarti untuk kelangsungan hidupnya ke depan.Menangkap suara mencurigakan, seketika Ludo mengerling ke arah kanan. Dengan cepat ia beringsut ke sumber suara yang baru saja ia dengar.Tiba di salah satu gudang penyimpanan, hati-hati Ludo melangkah mendekat. Sorot matanya seketika tertumbuk pada sebersit cahaya yang menyembul dari sela-sela pintu kayu. Sekejap, ia menoleh ke belakang. “Kau! Yang membawa kunci! Segera buka pintu ini!”∆ Pintu besi berdaun ganda itu memang sengaja tak ditutup rapat. Menyisakan celah yang cukup untuk meny
Read more

49. Pintu Keluar

Persiapan mereka kali ini telah benar-benar matang. Walau perjalanan yang dilakukan beberapa saat ke depan lebih cepat dari yang telah direncanakan, namun semua yang mereka butuhkan sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Rombongan Penjaga dari desa Podom itu akan meninggalkan desa tepat sebelum pagi datang.Memiliki tenaga paling kuat, Ludo mengangkut sekaligus satu buntelan kain berwarna hitam berukuran cukup besar. Di dalamnya, beberapa kotak mungil berwarna biru tua dan merah menyala tertumpuk menjadi satu.“Aku baru tahu kalau setiap desa punya kotak kerajaan dengan warna yang berbeda,” gumam Ludo“Aku juga,” sahut Pusendo. “Memang sangat disayangkan karena kita tidak berhasil menangkap semua tikus-tikus itu. Tetapi setidaknya kita tidak terlalu rugi. Paling tidak, semua kotak kerajaan milik mereka sudah berhasil kita dapatkan.”“Dan sepertinya, semua kotak kerajaan milik Penjaga desa Jamahitpa, berisikan mendali
Read more

50. Di Persimpangan

Ada gentar yang tiba-tiba hadir di dalam benaknya. Ini adalah kali pertama, sejak terakhir kali Kuja mendekat ke ruangan yang dulu dianggapnya paling menakutkan. Di tempatnya berdiri, sebelum satu kakinya menaiki anak tangga, Kuja menandaskan ludahnya terlebih dahulu. Berusaha membuang jauh-jauh semua ingatan mengerikan tentang tempat itu. Setelah mantap membulatkan tekad, ia pun akhirnya menaiki anak tangga itu satu per satu.Seiring langkah kakinya yang terus menapaki setiap anak tangga menuju ke lantai dua, putaran lamunan justru menggiring Kuja untuk kembali ke masa lalu. Masa kanak-kanaknya dulu. Kala itu, Kuja kecil yang tak kunjung menemukan Marca—yang tengah bersembunyi entah di mana—celingak-celinguk mencari sambil terus-terusan menyerukan satu nama. “Marca … Marca ….”Tak ada jawaban, Marca masih belum ditemukan. Lekas-lekas Kuja mengangkat kepala. “Marca ... apa kau ada di atas sana?”Perlahan, anak pe
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status