Home / Fantasi / Segitiga Penguasa - Sudut Pertama / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Segitiga Penguasa - Sudut Pertama: Chapter 61 - Chapter 70

75 Chapters

61. Danau Suci

Usai melewati beberapa rumah penduduk, Eshal membawa rombongannya ke ujung tembok batu yang terlihat gagah menjulang. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu besi. Dari dalam saku celana, ia meraih sebuah anak kunci. Eshal lalu memasukkan anak kunci itu ke dalam lubang pintu. Perlahan, memutarnya searah jarum jam.Pelan-pelan, tangan Eshal bergerak meraih tuas. Bersiap memutarnya. “Sebentar lagi kita akan memasuki daerah bebas,” ucapnya kepada para Penjaga desa Jamahitpa. “Bersiaplah.”Tuas pun diputar, dan pintu besi di hadapan Eshal membuka. Cahaya matahari seketika menyengat nyalang. Dari sorot matanya, Marcapada merasa area hutan di depannya sungguh sangat jauh berbeda dari area hutan yang pernah ia lewati sebelumnya. Di sana, pohon-pohon tumbuh jarang dan saling berjauhan. Sejauh pandangan mata ditebarkan, tak tampak satu pun semak belukar yang biasanya bergumul mesra dengan batang pohon ataupun berbagai macam tumbuhan lain.&ldquo
Read more

62. Batas Waktu

Sebelum menaiki hewan tunggangannya, ke arah dua makhluk bersisik yang masih lahap menyantap daging manusia, Muriel menoleh.“Muriel. Kau mau ke mana lagi?” tanya Mormo yang melihat Muriel telah naik ke atas punggung hewan berbulu putih.Tak menjawab, Muriel justru melenggang pergi. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.“Kurang ajar,” damprat Behemoth yang langsung bangkit berdiri.“Sudahlah, Behemoth. Biarkan saja,” kata Mormo sambil menyeka sisa-sisa darah di sekitar mulutnya. Wujudnya kini telah kembali berubah menjadi manusia. “Muriel memang seperti itu.”“Tetapi kali ini dia benar-benar keterlaluan. Dia sama sekali tak menganggap kita ada.”Tak lagi menyahuti, perhatian Mormo justru teralih ke arah lain. Ia merasa ada pergerakan mencurigakan dari balik semak belukar yang posisinya berada lumayan jauh dari tempatnya berdiri sekarang.“Ada apa, Mormo?”&ldq
Read more

63. Mengungkap Kebenaran

Setetes darah meluncur mulus dari dagu menuju hingga ke kening. Melewati sehelai rambut, dan lalu terjun bebas, berceceran di tanah.Basah kuyup terguyur peluh dan darah, dengan posisi tangan dan kaki terikat, kedua lelaki malang itu tengah digantung dengan posisi terbalik. Pakaian keduanya nyaris compang-camping. Memar, lebam, dan sederet luka sayatan, menghiasi sekujur tubuh. Rambut mereka berdua tergerai jatuh. Kusut berantakan.Setengah sadar, Gunawan mengeram pelan. Kelopak matanya membuka perlahan. Di ujung penglihatannya yang masih samar, tertangkap bayangan saudara kembarnya, Paramarta, persis berada di sebelahnya.Gunawan membuka mulut, mencoba bersuara, memanggil nama adiknya. Namun sayang, realita yang hadir ternyata sangat jauh berbeda dari ekspektasinya. Suaranya malah nyaris terdengar seperti racauan. Menyerah, ia pun akhirnya hanya bisa menghela napas. Antara kesal, dan pasrah.Di tengah lingkup malam yang menyelimuti langit tanpa sedikit p
Read more

64. Persiapan

Ruangan besar itu terasa pengap walau di dalamnya sudah minim barang-barang dan hanya dihuni oleh satu orang. Seorang pria separuh baya berperawakan tegap berdiri mematung menghadap ke sebuah lukisan besar yang terpasang kokoh di dinding ruangan. Sedari tadi, kedua tangan pria itu masih setia bertaut di belakang pinggang. Di dalam kepalanya, ada berbagai macam hal yang terus ia pikirkan. Pintu lebar berdaun ganda di balik punggung pria separuh baya berambut panjang itu tiba-tiba di ketuk dari luar. Usai menghela napas, pria itu membalikkan badan. Pintu besar itu pun terbuka dengan sendirinya. Tatkala menemukan Tuannya masih berada jauh di ujung ruangan, seorang lelaki yang tengah berada di bawah bingkai pintu tertegun dengan mulut menganga. Sekejap timbul sebuah tanya, siapa yang tadi membukakan pintu? “Ada apa prajurit?” tanya pria separuh baya itu. Setelah dua-tiga kali mengedipkan mata, lelaki itu tersadar kalau Tuannya tengah mengajukan p
Read more

65. Awal Pertarungan

Tangkas, Wakaru menunduk, menghindari sabetan pedang dari arah depan. Ia lalu berkelit, kali ini mengelak dari tendangan yang menyasar ke bagian perut. Suara erangan terdengar dari arah samping, Wakaru mengerling. Sorot matanya seketika menemukan Sakda yang telah meringkuk di atas tanah. Ia lantas melihat berkeliling. Pemandangan serupa tertangkap jelas di mana-mana. Hanya dalam jendela waktu singkat, satu per satu Penjaga desa Podom dapat dijatuhkan dengan mudah.Sialan! Sepertinya sudah tak ada harapan untuk menang, batin Wakaru. Ia kembali melakukan pergerakan, menghindari sebuah tebasan.“Aku dapat poin,” salah seorang Penjaga desa Dansu berjanggut panjang berseru. Baru saja, ia membuat salah seorang Penjaga desa Podom terkusruk mencium tanah.“Itu poinku,” sahut Ranggung cepat-cepat. “Jangan asal ngomong kau, Kaweni.”“Bagaimana bisa? Jelas-jelas itu poinku. Aku yang tadi menendangnya hi
Read more

66. Tikus

Kocar-kacir, Wakaru dan keempat Penjaga desa Podom lainnya berlarian ke sembarang arah. Menghindari kejaran para Penjaga desa Dansu. Mereka berlari tunggang-langgang, penuh ketakutan, layaknya tengah dikejar kematian.Akan tetapi, tak semua Penjaga desa Dansu melakukan pengejaran. Tiga orang tetap diam di tempat. Perlahan namun pasti, mereka bertiga mulai melangkah, mendekat ke rombongan Penjaga desa Neras.“Kau siap, Wipasa?” tanya Kausiki. Air mukanya tampak serius.“Aku lebih siap dari siapa pun,” Wipasa menjawab disertai senyum simpul. Sedari tadi, satu tangannya telah bersiap memegangi senjata.“Kalian ini pasti para Penjaga dari desa Neras, iya, kan?” dengan tatapan penuh selidik, salah seorang Penjaga desa Dansu bertanya. Dari yang terlihat, lelaki itu memiliki tubuh proporsional. Dada bidang. Badan tegap. Dan jalaran otot yang menggeliat di kedua tanganya yang besar. Meski memiliki tubuh atletik, namun wajah lel
Read more

67. Lengah

Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter
Read more

68. Musuh Bebuyutan

Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆ Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak
Read more

69. Permadani Warna Kuning

Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag
Read more

70. Dendam

Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status