Setetes darah meluncur mulus dari dagu menuju hingga ke kening. Melewati sehelai rambut, dan lalu terjun bebas, berceceran di tanah.
Basah kuyup terguyur peluh dan darah, dengan posisi tangan dan kaki terikat, kedua lelaki malang itu tengah digantung dengan posisi terbalik. Pakaian keduanya nyaris compang-camping. Memar, lebam, dan sederet luka sayatan, menghiasi sekujur tubuh. Rambut mereka berdua tergerai jatuh. Kusut berantakan.
Setengah sadar, Gunawan mengeram pelan. Kelopak matanya membuka perlahan. Di ujung penglihatannya yang masih samar, tertangkap bayangan saudara kembarnya, Paramarta, persis berada di sebelahnya.
Gunawan membuka mulut, mencoba bersuara, memanggil nama adiknya. Namun sayang, realita yang hadir ternyata sangat jauh berbeda dari ekspektasinya. Suaranya malah nyaris terdengar seperti racauan. Menyerah, ia pun akhirnya hanya bisa menghela napas. Antara kesal, dan pasrah.
Di tengah lingkup malam yang menyelimuti langit tanpa sedikit p
Ruangan besar itu terasa pengap walau di dalamnya sudah minim barang-barang dan hanya dihuni oleh satu orang. Seorang pria separuh baya berperawakan tegap berdiri mematung menghadap ke sebuah lukisan besar yang terpasang kokoh di dinding ruangan. Sedari tadi, kedua tangan pria itu masih setia bertaut di belakang pinggang. Di dalam kepalanya, ada berbagai macam hal yang terus ia pikirkan. Pintu lebar berdaun ganda di balik punggung pria separuh baya berambut panjang itu tiba-tiba di ketuk dari luar. Usai menghela napas, pria itu membalikkan badan. Pintu besar itu pun terbuka dengan sendirinya. Tatkala menemukan Tuannya masih berada jauh di ujung ruangan, seorang lelaki yang tengah berada di bawah bingkai pintu tertegun dengan mulut menganga. Sekejap timbul sebuah tanya, siapa yang tadi membukakan pintu? “Ada apa prajurit?” tanya pria separuh baya itu. Setelah dua-tiga kali mengedipkan mata, lelaki itu tersadar kalau Tuannya tengah mengajukan p
Tangkas, Wakaru menunduk, menghindari sabetan pedang dari arah depan. Ia lalu berkelit, kali ini mengelak dari tendangan yang menyasar ke bagian perut.Suara erangan terdengar dari arah samping, Wakaru mengerling. Sorot matanya seketika menemukan Sakda yang telah meringkuk di atas tanah. Ia lantas melihat berkeliling. Pemandangan serupa tertangkap jelas di mana-mana. Hanya dalam jendela waktu singkat, satu per satu Penjaga desa Podom dapat dijatuhkan dengan mudah.Sialan! Sepertinya sudah tak ada harapan untuk menang, batin Wakaru. Ia kembali melakukan pergerakan, menghindari sebuah tebasan.“Aku dapat poin,” salah seorang Penjaga desa Dansu berjanggut panjang berseru. Baru saja, ia membuat salah seorang Penjaga desa Podom terkusruk mencium tanah.“Itu poinku,” sahut Ranggung cepat-cepat. “Jangan asal ngomong kau, Kaweni.”“Bagaimana bisa? Jelas-jelas itu poinku. Aku yang tadi menendangnya hi
Kocar-kacir, Wakaru dan keempat Penjaga desa Podom lainnya berlarian ke sembarang arah. Menghindari kejaran para Penjaga desa Dansu. Mereka berlari tunggang-langgang, penuh ketakutan, layaknya tengah dikejar kematian.Akan tetapi, tak semua Penjaga desa Dansu melakukan pengejaran. Tiga orang tetap diam di tempat. Perlahan namun pasti, mereka bertiga mulai melangkah, mendekat ke rombongan Penjaga desa Neras.“Kau siap, Wipasa?” tanya Kausiki. Air mukanya tampak serius.“Aku lebih siap dari siapa pun,” Wipasa menjawab disertai senyum simpul. Sedari tadi, satu tangannya telah bersiap memegangi senjata.“Kalian ini pasti para Penjaga dari desa Neras, iya, kan?” dengan tatapan penuh selidik, salah seorang Penjaga desa Dansu bertanya. Dari yang terlihat, lelaki itu memiliki tubuh proporsional. Dada bidang. Badan tegap. Dan jalaran otot yang menggeliat di kedua tanganya yang besar. Meski memiliki tubuh atletik, namun wajah lel
Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter
Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak
Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag
Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga
Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den