Share

50. Di Persimpangan

Penulis: NVR
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ada gentar yang tiba-tiba hadir di dalam benaknya. Ini adalah kali pertama, sejak terakhir kali Kuja mendekat ke ruangan yang dulu dianggapnya paling menakutkan. Di tempatnya berdiri, sebelum satu kakinya menaiki anak tangga, Kuja menandaskan ludahnya terlebih dahulu. Berusaha membuang jauh-jauh semua ingatan mengerikan tentang tempat itu. Setelah mantap membulatkan tekad, ia pun akhirnya menaiki anak tangga itu satu per satu.

Seiring langkah kakinya yang terus menapaki setiap anak tangga menuju ke lantai dua, putaran lamunan justru menggiring Kuja untuk kembali ke masa lalu. Masa kanak-kanaknya dulu. Kala itu, Kuja kecil yang tak kunjung menemukan Marca—yang tengah bersembunyi entah di mana—celingak-celinguk mencari sambil terus-terusan menyerukan satu nama. “Marca … Marca ….”

Tak ada jawaban, Marca masih belum ditemukan. Lekas-lekas Kuja mengangkat kepala. “Marca ... apa kau ada di atas sana?”

Perlahan, anak pe

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   51. Menggerakkan Bidak

    Mendapati sosok tiga penunggang hewan berbulu di depan mata, sekejap nyali Wakaru menciut. Ekor matanya tak mungkin salah mengenali lelaki bertubuh gemuk bernama Mormo yang kini tengah memandangnya dengan seringai mengancam. Di samping Mormo, ada lelaki berbadan tegap bernama Muriel yang hanya menatapnya dengan mulut terkatup. Terus membisu di atas hewan tunggangan, air muka Muriel seolah tak menunjukkan ekspresi apa pun. Sementara itu, berada hanya satu langkah di depan, seorang lelaki bertubuh kurus terus membelalak seram. Mengintimidasi, sekaligus mengancam. “Apa yang sudah kau lakukan? Berani sekali kau mengambil jatah makanan kami!” bentak Behemoth di atas punggung hewan berbulu abu-abu. Air mukanya tampak sedang marah besar. Wakaru hanya tertunduk dengan bibir tertutup. Mau bagaimana pun, jelas ia tak kan mungkin menang jika berhadapan dengan Tiga Kanibal. Pertemuan tak terduga dengan Tiga Kanibal sama sekali tak masuk dalam rencana yang telah ia susun. N

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   52. Orang-orang Di Balik Kabut

    Setelah menerima perintah dari Wakaru lekas-lekas Katan melakukan pergerakan. Perlahan, langkah kakinya terhitung satu demi satu. Kedua matanya begitu awas memperhatikan setiap gerakan yang mencurigakan. Seolah hendak menjerat hewan buruan. Jika tak ingin sasaran kabur karena suara berlebih, ia harus melakukan pergerakan setenang mungkin. Lembut. Pelan. Menyaru dengan suara alam. Baru beberapa langkah dari tempatnya semula, di ujung penglihatan, dari balik batang pohon, Katan menangkap sekelebat pergerakan. Sigap, senjata andalannya segera dipersiapkan, tergenggam erat menggunakan kedua tangan. Hati-hati, ia pun berjalan menuju ke salah satu pohon besar berdaun rindang. Dengan penuh kewaspadaan, Katan mengendap-ngendap, mendekat. Setelah jaraknya hanya tinggal terpaut satu langkah, dengan lincah ia melompat sambil mengayunkan pedangnya ke balik batang pohon. Celingak-celinguk, kedua bola mata Katan langsung memindai keberadaan seseorang. Kosong. Ternyata tak ada siap

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   53. Embusan Napas Terakhir

    Sehelai kain kotor kembali dimasukkan ke dalam kuali kecil berisikan air. Kain polos yang sejatinya berwarna putih resik itu kini telah berubah warna. Menjadi merah. Pekat. Bercampur darah.Bersebelahan dengan kuali kecil berisikan beberapa helai kain kotor, tergeletak seonggok tubuh manusia berperawakan tinggi besar. Bibir manusia itu tampak membiru. Wajahnya pucat pasi. Pergerakan napasnya terlihat samar-samar.“Lelaki ini sudah tak mungkin lagi terselamatkan.” Seorang perempuan separuh baya bangkit berdiri. Di sebelahnya, seorang pria bertubuh bungkuk menghela napas. Begitu jelas, ada rona kesedihan terpancar dari air mukanya.“Kalau begitu, kita tunggu sampai dia mengembuskan napas terakhir,” ucap pria bertubuh bungkuk, lirih.Orang-orang yang berdiri di sekitar tubuh lelaki berperawakan tinggi besar itu memandang dengan penuh rasa iba. Walau bukan bagian dari mereka, namun menyaksikan proses kematian secara langsung selalu men

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   54. Kisah Agni dan Yama

    “Dan namaku sendiri adalah Lesayu,” pria separuh baya bertubuh bungkuk itu memperkenalkan diri. Ia palingkan wajah, melihat ke arah perempuan muda di dekatnya. “Keluarlah dulu. Biar aku yang menjaganya.”“Baik, Ayah.” Eshal bangkit berdiri. “Oh, iya. Ayah,” langkahnya sesaat tertunda, ia telengkan kepala, “jangan lupa, manusia itu harus segera meminum ramuannya.”Lesayu mengangguk halus, lalu melirik ke arah pintu. Memberikan kode agar anaknya segera keluar dari ruangan.Setelah menyaksikan punggung Eshal menghilang di balik pintu kayu, lekas-lekas Lesayu mengalihkan perhatian ke arah Marca. “Tenangkan dulu dirimu. Kau harus banyak-banyak beristirahat. Lukamu cukup parah.”“Apa yang sudah kau lakukan kepadaku? Di mana ini?”“Kami membawa kalian ke desa kami. Desa Sikmatu.” Lesayu beringsut mendekat ke arah Marca. “Ini. Minumlah,” ucapnya semb

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   55. Penelusuran

    Ia sendiri tak pernah berencana untuk melakukan ini semua. Intuisinya yang menggiring langkah kakinya hingga sampai di rumah masa kecil yang sudah beberapa tahun tak pernah ia kunjungi lagi. Seharusnya juga tidak untuk saat ini.Di ujung malam menuju pagi, pintu kayu berserat kasar itu diketuk secara berendeng. Jelas sekarang bukan waktu yang tepat untuk datang bertamu, tetapi Rea tak peduli. Ada hal penting yang harus segera ia selesaikan.Pintu terbuka, dan seorang pria separuh baya yang muncul dari balik pintu seketika mencureng dengan kedua mata memerah.“Apa kebiasaan burukmu itu tidak dapat kau rubah sedikit saja?” tukas Bunaga. Melihat kedatangan anak semata wayangnya, ia tampak bersungut-sungut.“Apa yang telah Ayah rencanakan?”Sambil berkacak pinggang, Bunaga memandang lekat-lekat wajah Rea. “Sudah berapa kali aku memperingatkanmu untuk tidak mencampuri urusanku?”“Aku tidak akan pern

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   56. Pertemuam Empat Jenderal

    Sang surya kini tengah menempati singgasana tertingginya di atas langit sana, namun entah mengapa, cahayanya bagai redup. Tertutup kepulan awan pekat. Tak ada rintik hujan. Hanya kilatan cahaya yang terus-terusan menyambar.Di tengah-tengah himpitan jajaran bangunan yang tinggi menjulang, sebuah bangunan besar yang tengah dikerubungi oleh banyak orang tampak temaram. Di dalamnya, suasana terasa begitu menegangkan. Mencekam. Mengerikan.Ketiga sosok pria separuh baya duduk bersama dengan wajah terlipat. Mereka tengah menantikan kehadiran seseorang. Ini adalah kali pertama, sejak terakhir kali mereka berada di satu ruangan yang sama. Hampir dua puluh tahun lamanya.Meja besar berbentuk persegi menjadi pemisah antara satu dan yang lainnya. Mereka bertiga telah bersepakat untuk tetap duduk saling berjauhan. Dari dulu memang seperti itu. Tak ada satu pun dari mereka yang mau berdekatan, kecuali dengan satu tujuan.Seorang pria berusia separuh baya—berper

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   57. Mereka, yang Mengintai dan Menunggu

    Sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh ayahnya, Eshal telah menyiapkan beberapa gelas air bersih yang ia letakkan di dekat nampan. Air di dalam gelas-gelas itu akan digunakan untuk mengguyur wajah Marca yang sudah tak sadarkan diri sejak semalam.Semoga ini benar-benar berhasil, memegang satu gelas berisikan air, batin Eshal mulai meragu. Tepat ke arah wajah Marca, Eshal menyiramkan air dalam gelas itu. Sekejap, kelopak mata, beserta mulut Marca membuka. Tarikan napas panjang spontan dilakukan. Kedua paru-parunya seakan menagih jatah udara segar dalam jumlah besar.“Di mana aku?” terengah, Marca bertanya.“Kau masih di rumahku.”Dengan mata sembap, Marca berusaha menatap lamat-lamat perempuan muda di sampingnya. “Apa aku belum mati?” ia bertanya kembali.“Sayangnya belum. Kalau sudah kau pasti tidak akan bisa lagi berbincang denganku seperti ini.”Merasa tugasnya telah usai, Eshal

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   58. Kakek dan Cucunya

    Di mata Kuja, Bunaga, kakeknya, adalah sosok paling misterius yang tak mungkin Kuja selami jalan pikirannya. Selama ini, meski berstatus sebagai seorang cucu, Kuja tak pernah mengenal Bunaga layaknya seorang cucu mengenal kakeknya. Hubungan mereka berdua tak lebih dari seorang Tetua dan penduduk desa.Bunaga sendiri adalah seorang Tetua Desa yang dikenal memiliki kepribadian tertutup. Ia akan bicara seperlunya. Bertindak seminimal mungkin. Ia tidak akan ikut berdebat dalam pengambilan keputusan jikalau hal yang didebatkan itu bukanlah urusan penting. Dan acap kali, keputusan yang diambil oleh Bunaga justru menjadi satu-satunya keputusan yang paling jitu untuk menyelesaikan permasalahan yang dianggap terlampau rumit bagi banyak orang. Dan lagi, teruntuk sebagian besar penduduk desa, Bunaga sering dianggap sebagai pemimpin yang sebenarnya.Sambil menimang-nimang keputusan yang telah ia ambil, Kuja berjalan pelan meninggalkan rumah. Hatinya kecut. Sebenarnya, Kuja tak yak

Bab terbaru

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   75. Kebenaran Baru

    Ada rasa tak percaya yang membayanginya sejak kali pertama ia melangkah masuk melewati pintu gerbang. Tak sedetik pun Marca terbayang akan berada di dalam Istana. Semua ini jelas bukanlah impiannya. Akan tetapi, menampakkan kaki di antah berantah yang disebut banyak orang sebagai tempat paling mewah, membuatnya serasa memeluk impiannya sendiri. Soma, kau lihat ini, aku berhasil sampai di Istana. Seutas senyum samar bersarang malu-malu di wajah Marca. Ia melihat persis segala hal yang dulu pernah dikatakan oleh Soma. Di tempat itu, segala hal memang tampak terbuat dari emas. Di area lapang beralaskan ribuan batu yang tak beraturan namun disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk dipijak, Marca membaur bersama segerombolan lelaki berwajah lelah lainnya. Setelah sekilas menyapukan pandangan, Marca pun menyadari, bahwa dirinya, dan semua lelaki yang baru tiba di Istana, tengah ditontoni oleh ratusan manusia yang tersebar di segala penjuru. Wajah-wajah itu ter

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   74. Pintu Gerbang Istana

    Buda menelengkan kepala ke arah belakang. Pandangannya sesaat mengamati sekitar.“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Marca. Perhatiannya ikut teralih.“Kurasa tidak. Tetapi kita tak boleh berhenti. Kita harus terus lari. Matahari sudah hampir tenggelam.”∆“Kenapa kalian kembali?” kedua mata Wakaru membundar lebar ketika melihat Muriel dan Mormo berjalan ke arah berlawanan. “Apa semua orang sudah kalian bunuh?”“Tinggal tersisa lima,” jawab Mormo.“Dua,” sela Muriel.“Iya. Dua maksudku. Dua orang.”“Lalu kenapa tak kalian habisi mereka sekalian?”“Kami tak mau Ayah marah. Tadi kami sudah terlalu dekat ke pintu gerbang.”“Paman tidak akan marah.”“Siapa yang bilang?” potong Mormo. “Jelas-jelas Ayah sudah melarang kami untuk tidak mendekati pintu Gerbang I

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   73. Detik-detik Akhir

    Napas Darangga kian memburu tatkala ia kembali harus mengelak dari sebuah sabetan pedang yang menyasar tepat ke bagian leher. Sebelum lawan di hadapannya kembali melancarkan serangan, ia memanfaatkan celah waktu sempit itu untuk menghirup napas dalam-dalam. Ia harus terus bertahan, walau tak tahu akan sampai kapan. Saat ini situasi jelas tak berpihak kepada dirinya. Satu-satunya senjata yang Darangga bawa dari desa Sikmatu sudah tak mungkin dipergunakan karena bilah pedangnya telah patah menjadi dua. Kini, yang bisa ia lakukan hannyalah terus menghindar dari serangan bertubi yang dilancarkan oleh seorang lelaki berkulit hitam di depannya. Sembari menarik napas panjang, pandangan Darangga sekilas beredar. Dari ujung penglihatannya, area di sekitar tempatnya berdiri tampak begitu sunyi. Sepi. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda akan datangnya pertolongan. Belum genap ia mengambil napas, sebuah serangan kembali menghampiri. Kaweni tak henti-hentinya terkikik ge

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   71. Akhir Kesetiaan

    Darangga mesti memosisikan diri untuk berjalan merangkak jika tak ingin berpapasan dengan salah seorang Penjaga desa Dansu. Sekumpulan ilalang setinggi lutut sudah cukup menyamarkan tubuhnya agar dapat menyaru dengan alam sekitar.Beberapa kali suara riuh menghampiri pendengaran, tetapi Darangga sama sekali tak mengidahkan. Untuk mengisi kembali tenaga, Darangga pun menghentikan sejenak pergerakannya. Sekilas, kepalanya mendongak. Di atas langit sana, matahari sudah mulai turun ke arah barat. Hari beranjak gelap.Waktuku hampir habis, batin Darangga. Aku harus bergegas. Ia kembali melanjutkan pergerakan. Sekumpulan kerikil kecil yang menyebar hampir di setiap bagian sabana membuatnya meringis tatkala tubuhnya mesti tergores berulang kali oleh bebatuan mungil yang runcingnya bukan main.Akan tetapi, mendadak pergerakan Darangga kembali terhenti. Ekor matanya langsung mendarat ke sepasang kaki yang jaraknya kin

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   72. Menjelang Gerhana Bulan

    Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   70. Dendam

    Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   69. Permadani Warna Kuning

    Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   68. Musuh Bebuyutan

    Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   67. Lengah

    Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter

DMCA.com Protection Status