Share

54. Kisah Agni dan Yama

Author: NVR
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Dan namaku sendiri adalah Lesayu,” pria separuh baya bertubuh bungkuk itu memperkenalkan diri. Ia palingkan wajah, melihat ke arah perempuan muda di dekatnya. “Keluarlah dulu. Biar aku yang menjaganya.”

“Baik, Ayah.” Eshal bangkit berdiri. “Oh, iya. Ayah,” langkahnya sesaat tertunda, ia telengkan kepala, “jangan lupa, manusia itu harus segera meminum ramuannya.”

Lesayu mengangguk halus, lalu melirik ke arah pintu. Memberikan kode agar anaknya segera keluar dari ruangan.

Setelah menyaksikan punggung Eshal menghilang di balik pintu kayu, lekas-lekas Lesayu mengalihkan perhatian ke arah Marca. “Tenangkan dulu dirimu. Kau harus banyak-banyak beristirahat. Lukamu cukup parah.”

“Apa yang sudah kau lakukan kepadaku? Di mana ini?”

“Kami membawa kalian ke desa kami. Desa Sikmatu.” Lesayu beringsut mendekat ke arah Marca. “Ini. Minumlah,” ucapnya semb

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   55. Penelusuran

    Ia sendiri tak pernah berencana untuk melakukan ini semua. Intuisinya yang menggiring langkah kakinya hingga sampai di rumah masa kecil yang sudah beberapa tahun tak pernah ia kunjungi lagi. Seharusnya juga tidak untuk saat ini.Di ujung malam menuju pagi, pintu kayu berserat kasar itu diketuk secara berendeng. Jelas sekarang bukan waktu yang tepat untuk datang bertamu, tetapi Rea tak peduli. Ada hal penting yang harus segera ia selesaikan.Pintu terbuka, dan seorang pria separuh baya yang muncul dari balik pintu seketika mencureng dengan kedua mata memerah.“Apa kebiasaan burukmu itu tidak dapat kau rubah sedikit saja?” tukas Bunaga. Melihat kedatangan anak semata wayangnya, ia tampak bersungut-sungut.“Apa yang telah Ayah rencanakan?”Sambil berkacak pinggang, Bunaga memandang lekat-lekat wajah Rea. “Sudah berapa kali aku memperingatkanmu untuk tidak mencampuri urusanku?”“Aku tidak akan pern

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   56. Pertemuam Empat Jenderal

    Sang surya kini tengah menempati singgasana tertingginya di atas langit sana, namun entah mengapa, cahayanya bagai redup. Tertutup kepulan awan pekat. Tak ada rintik hujan. Hanya kilatan cahaya yang terus-terusan menyambar.Di tengah-tengah himpitan jajaran bangunan yang tinggi menjulang, sebuah bangunan besar yang tengah dikerubungi oleh banyak orang tampak temaram. Di dalamnya, suasana terasa begitu menegangkan. Mencekam. Mengerikan.Ketiga sosok pria separuh baya duduk bersama dengan wajah terlipat. Mereka tengah menantikan kehadiran seseorang. Ini adalah kali pertama, sejak terakhir kali mereka berada di satu ruangan yang sama. Hampir dua puluh tahun lamanya.Meja besar berbentuk persegi menjadi pemisah antara satu dan yang lainnya. Mereka bertiga telah bersepakat untuk tetap duduk saling berjauhan. Dari dulu memang seperti itu. Tak ada satu pun dari mereka yang mau berdekatan, kecuali dengan satu tujuan.Seorang pria berusia separuh baya—berper

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   57. Mereka, yang Mengintai dan Menunggu

    Sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh ayahnya, Eshal telah menyiapkan beberapa gelas air bersih yang ia letakkan di dekat nampan. Air di dalam gelas-gelas itu akan digunakan untuk mengguyur wajah Marca yang sudah tak sadarkan diri sejak semalam.Semoga ini benar-benar berhasil, memegang satu gelas berisikan air, batin Eshal mulai meragu. Tepat ke arah wajah Marca, Eshal menyiramkan air dalam gelas itu. Sekejap, kelopak mata, beserta mulut Marca membuka. Tarikan napas panjang spontan dilakukan. Kedua paru-parunya seakan menagih jatah udara segar dalam jumlah besar.“Di mana aku?” terengah, Marca bertanya.“Kau masih di rumahku.”Dengan mata sembap, Marca berusaha menatap lamat-lamat perempuan muda di sampingnya. “Apa aku belum mati?” ia bertanya kembali.“Sayangnya belum. Kalau sudah kau pasti tidak akan bisa lagi berbincang denganku seperti ini.”Merasa tugasnya telah usai, Eshal

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   58. Kakek dan Cucunya

    Di mata Kuja, Bunaga, kakeknya, adalah sosok paling misterius yang tak mungkin Kuja selami jalan pikirannya. Selama ini, meski berstatus sebagai seorang cucu, Kuja tak pernah mengenal Bunaga layaknya seorang cucu mengenal kakeknya. Hubungan mereka berdua tak lebih dari seorang Tetua dan penduduk desa.Bunaga sendiri adalah seorang Tetua Desa yang dikenal memiliki kepribadian tertutup. Ia akan bicara seperlunya. Bertindak seminimal mungkin. Ia tidak akan ikut berdebat dalam pengambilan keputusan jikalau hal yang didebatkan itu bukanlah urusan penting. Dan acap kali, keputusan yang diambil oleh Bunaga justru menjadi satu-satunya keputusan yang paling jitu untuk menyelesaikan permasalahan yang dianggap terlampau rumit bagi banyak orang. Dan lagi, teruntuk sebagian besar penduduk desa, Bunaga sering dianggap sebagai pemimpin yang sebenarnya.Sambil menimang-nimang keputusan yang telah ia ambil, Kuja berjalan pelan meninggalkan rumah. Hatinya kecut. Sebenarnya, Kuja tak yak

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   59. Pertolongan Berikutnya

    Denging suara hewan-hewan kecil menggiring langkah mereka untuk semakin jauh memasuki daerah hutan desa Neras. Dengan penuh kewaspadaan, Wakaru memutar bola matanya. Perangkap bisa ada di mana saja. Ia dan rombongan harus tetap berhati-hati jika tak ingin terperosok ke salah satu jebakan yang kemungkinan besar ada di depan.Dalam sekejap, sekelumit pergerakan kecil menarik perhatian semua orang.“Siapa itu?” tanya Sanna, setengah berseru.Berjalan di posisi paling depan, Wakaru menoleh ke belakang. “Bodoh! Kecilkan suaramu!” desisnya.“Ba—baik, Wakaru.”“Kita harus tetap waspada. Jangan terlalu banyak bicara. Musuh kita kali ini bisa saja mengintai dari sudut yang tak kan pernah kita duga.”Beberapa Penjaga desa Podom di balik punggung Wakaru sontak menganggukkan kepala. Segera, mereka kembali melanjutkan perjalanan dengan pandangan mata tetap awas mengamati sekitar.Sementara itu,

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   60. Perjanjian Kerja Sama

    Jika saja Eshal sempat menemukan alasan yang pas untuk menolak perintah ayahnya, pastinya tanpa berpikir panjang alasan itu sudah langsung terlontar keluar dari mulutnya. Sejak awal kedatangan rombongan tamu yang datang tanpa diundang, Eshal sudah sependapat dengan sepupunya—Axelle—ia tak akan sudi menerima orang-orang asing untuk masuk ke desa mereka. Kembali.“Ke mana kita akan pergi?” memecah kesunyian, berjalan tepat di belakang Eshal, Buda mengajukan pertanyaan.Eshal yang bertugas memimpin barisan tak memberikan respons apa pun. Baginya, pertanyaan itu sama sekali tak butuh jawaban.“Eshal!” dari kejauhan, seorang lelaki berteriak memanggil.Eshal mengerling. Suara itu terlalu familier untuk diabaikan. Di ujung penglihatannya, ada seorang lelaki bertubuh tinggi dengan dada bidang yang terlihat tengah berlari secara tergesa. Axelle?“Ada apa?” tanya Eshal.“Apa yang kau laku

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   61. Danau Suci

    Usai melewati beberapa rumah penduduk, Eshal membawa rombongannya ke ujung tembok batu yang terlihat gagah menjulang. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu besi. Dari dalam saku celana, ia meraih sebuah anak kunci. Eshal lalu memasukkan anak kunci itu ke dalam lubang pintu. Perlahan, memutarnya searah jarum jam.Pelan-pelan, tangan Eshal bergerak meraih tuas. Bersiap memutarnya. “Sebentar lagi kita akan memasuki daerah bebas,” ucapnya kepada para Penjaga desa Jamahitpa. “Bersiaplah.”Tuas pun diputar, dan pintu besi di hadapan Eshal membuka. Cahaya matahari seketika menyengat nyalang. Dari sorot matanya, Marcapada merasa area hutan di depannya sungguh sangat jauh berbeda dari area hutan yang pernah ia lewati sebelumnya. Di sana, pohon-pohon tumbuh jarang dan saling berjauhan. Sejauh pandangan mata ditebarkan, tak tampak satu pun semak belukar yang biasanya bergumul mesra dengan batang pohon ataupun berbagai macam tumbuhan lain.&ldquo

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   62. Batas Waktu

    Sebelum menaiki hewan tunggangannya, ke arah dua makhluk bersisik yang masih lahap menyantap daging manusia, Muriel menoleh.“Muriel. Kau mau ke mana lagi?” tanya Mormo yang melihat Muriel telah naik ke atas punggung hewan berbulu putih.Tak menjawab, Muriel justru melenggang pergi. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.“Kurang ajar,” damprat Behemoth yang langsung bangkit berdiri.“Sudahlah, Behemoth. Biarkan saja,” kata Mormo sambil menyeka sisa-sisa darah di sekitar mulutnya. Wujudnya kini telah kembali berubah menjadi manusia. “Muriel memang seperti itu.”“Tetapi kali ini dia benar-benar keterlaluan. Dia sama sekali tak menganggap kita ada.”Tak lagi menyahuti, perhatian Mormo justru teralih ke arah lain. Ia merasa ada pergerakan mencurigakan dari balik semak belukar yang posisinya berada lumayan jauh dari tempatnya berdiri sekarang.“Ada apa, Mormo?”&ldq

Latest chapter

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   75. Kebenaran Baru

    Ada rasa tak percaya yang membayanginya sejak kali pertama ia melangkah masuk melewati pintu gerbang. Tak sedetik pun Marca terbayang akan berada di dalam Istana. Semua ini jelas bukanlah impiannya. Akan tetapi, menampakkan kaki di antah berantah yang disebut banyak orang sebagai tempat paling mewah, membuatnya serasa memeluk impiannya sendiri. Soma, kau lihat ini, aku berhasil sampai di Istana. Seutas senyum samar bersarang malu-malu di wajah Marca. Ia melihat persis segala hal yang dulu pernah dikatakan oleh Soma. Di tempat itu, segala hal memang tampak terbuat dari emas. Di area lapang beralaskan ribuan batu yang tak beraturan namun disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk dipijak, Marca membaur bersama segerombolan lelaki berwajah lelah lainnya. Setelah sekilas menyapukan pandangan, Marca pun menyadari, bahwa dirinya, dan semua lelaki yang baru tiba di Istana, tengah ditontoni oleh ratusan manusia yang tersebar di segala penjuru. Wajah-wajah itu ter

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   74. Pintu Gerbang Istana

    Buda menelengkan kepala ke arah belakang. Pandangannya sesaat mengamati sekitar.“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Marca. Perhatiannya ikut teralih.“Kurasa tidak. Tetapi kita tak boleh berhenti. Kita harus terus lari. Matahari sudah hampir tenggelam.”∆“Kenapa kalian kembali?” kedua mata Wakaru membundar lebar ketika melihat Muriel dan Mormo berjalan ke arah berlawanan. “Apa semua orang sudah kalian bunuh?”“Tinggal tersisa lima,” jawab Mormo.“Dua,” sela Muriel.“Iya. Dua maksudku. Dua orang.”“Lalu kenapa tak kalian habisi mereka sekalian?”“Kami tak mau Ayah marah. Tadi kami sudah terlalu dekat ke pintu gerbang.”“Paman tidak akan marah.”“Siapa yang bilang?” potong Mormo. “Jelas-jelas Ayah sudah melarang kami untuk tidak mendekati pintu Gerbang I

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   73. Detik-detik Akhir

    Napas Darangga kian memburu tatkala ia kembali harus mengelak dari sebuah sabetan pedang yang menyasar tepat ke bagian leher. Sebelum lawan di hadapannya kembali melancarkan serangan, ia memanfaatkan celah waktu sempit itu untuk menghirup napas dalam-dalam. Ia harus terus bertahan, walau tak tahu akan sampai kapan. Saat ini situasi jelas tak berpihak kepada dirinya. Satu-satunya senjata yang Darangga bawa dari desa Sikmatu sudah tak mungkin dipergunakan karena bilah pedangnya telah patah menjadi dua. Kini, yang bisa ia lakukan hannyalah terus menghindar dari serangan bertubi yang dilancarkan oleh seorang lelaki berkulit hitam di depannya. Sembari menarik napas panjang, pandangan Darangga sekilas beredar. Dari ujung penglihatannya, area di sekitar tempatnya berdiri tampak begitu sunyi. Sepi. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda akan datangnya pertolongan. Belum genap ia mengambil napas, sebuah serangan kembali menghampiri. Kaweni tak henti-hentinya terkikik ge

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   71. Akhir Kesetiaan

    Darangga mesti memosisikan diri untuk berjalan merangkak jika tak ingin berpapasan dengan salah seorang Penjaga desa Dansu. Sekumpulan ilalang setinggi lutut sudah cukup menyamarkan tubuhnya agar dapat menyaru dengan alam sekitar.Beberapa kali suara riuh menghampiri pendengaran, tetapi Darangga sama sekali tak mengidahkan. Untuk mengisi kembali tenaga, Darangga pun menghentikan sejenak pergerakannya. Sekilas, kepalanya mendongak. Di atas langit sana, matahari sudah mulai turun ke arah barat. Hari beranjak gelap.Waktuku hampir habis, batin Darangga. Aku harus bergegas. Ia kembali melanjutkan pergerakan. Sekumpulan kerikil kecil yang menyebar hampir di setiap bagian sabana membuatnya meringis tatkala tubuhnya mesti tergores berulang kali oleh bebatuan mungil yang runcingnya bukan main.Akan tetapi, mendadak pergerakan Darangga kembali terhenti. Ekor matanya langsung mendarat ke sepasang kaki yang jaraknya kin

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   72. Menjelang Gerhana Bulan

    Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   70. Dendam

    Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   69. Permadani Warna Kuning

    Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   68. Musuh Bebuyutan

    Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak

  • Segitiga Penguasa - Sudut Pertama   67. Lengah

    Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter

DMCA.com Protection Status