Home / Romansa / Suami Miskinku Ternyata Konglomerat / Chapter 341 - Chapter 350

All Chapters of Suami Miskinku Ternyata Konglomerat: Chapter 341 - Chapter 350

395 Chapters

Part 340 Mengangkat Derajat

Mobil mewah Om Gunadi pun meninggalkan desa kami. Beberapa orang tetangga langsung mengerubungi aku dan emak, juga Kang Wawan. Mereka mencari-cari informasi, berapa besar yang orang kota itu bayarkan untuk harga kegadisanku. Aku bergegas menghindari dan berniat kembali ke rumah. Sementara bagi emak, ini adalah saatnya untuk menyombongkan diri, jika sekarang harga keperawanan putrinya adalah yang tertinggi di kampung ini. Bersuara kencang saat dirinya bercerita, mungkin juga agar terdengar oleh Mak Neti. Ada kesan ingin menyombongkan diri, jika aku anaknya ternyata mampu mengalahkan putrinya si emak. Selepas menyeberang jalan untuk kembali ke rumah, sudut mataku menangkap sosok Zulham dari kejauhan yang sedang berdiri sendiri di bawah sebuah pohon besar sisi jalan yang lumayan gelap, karena sebagian tidak mampu tertembus oleh cahaya lampu penerangan yang terhalang oleh rindangnya pepohonan. Namun aku yakin, jika itu memang Zulham, dan sepertinya Zulham juga sudah tahu bahwa aku sudah
last updateLast Updated : 2023-07-29
Read more

Part 341 Yang Termahal

Saat aku masih merasa bimbang, harus menemui Zulham atau tidak, terdengar suara emak memanggilku kembali. Bergegas kembali ke luar kamar untuk menemui emak di ruang tamu."Ada apa, Mak?" "Emak mau pergi sebentar, biasa ... keliling kampung," jawabnya, lalu berjalan menuju pintu keluar, tubuhnya penuh dengan perhiasan. Sepertinya emak ingin memamerkan perhiasan gelang terbaru yang baru saja dibelinya. Dan juga pastinya dia akan bercerita dengan bangganya, bila harga kegadisanku adalah yang termahal di desa ini. Mungkin emak sudah kangen bercerita seperti itu, karena hanya kakakku Teh Niken yang pernah menjadi termahal sebelum dikalahkan oleh Asmunah putrinya Mak Enah, sementara Teh Astuti jauh di bawah mereka berdua. Dengan uang mudah yang didapatkan emak dari Teh Niken yang kerja di kota dan Teh Astuti, toh hidup kami tetap saja tidak kaya-kaya, atau karena emak dan bapak kecanduan berjudi? Bapak dengan judi kartu dan sabung ayam, sementara emak dengan judi angka pakong dan judi bun
last updateLast Updated : 2023-07-29
Read more

Part 342 Tidak Takut Dosa

"Benar, Kak," jawabku pelan atas pertanyaan Zulham, dan aku tidak mungkin berbohong. Mungkin sekarang, satu kampung sudah tahu semua tentang kabar itu. Dan sebenarnya bukan lah hal yang aneh bagi mereka, justru yang menganggap aneh itu karena orang tersebut tidak tahu kebiasaan yang berlaku di desa ini, dan Zulham termasuk salah satu dari orang aneh tersebut.Zulham pun terdiam sesaat, namun matanya terkesan seperti ada rasa kecewa, atau mungkin hanya dugaan aku saja. Zulham kemudian kembali bertanya hal yang sebenarnya sudah dia tanyakan tetapi belum sempat aku jawab."Kamu tidak takut dosa, Rah?"Aku menghela napas panjang, mengalihkan pandanganku dari Zulham, kembali menatap pesawahan di seberang sungai. "Kata emak, kami lebih takut jika tidak bisa makan dibandingkan dengan dosa, biarkan hal dosa menjadi urusan lain. Lagipula, bukan hanya kami yang melakukannya. Bahkan, mungkin ada jauh lebih parah dari kami.""Maaf ya, Rah. Kakak pikir ucapan emak tidaklah tepat. Di sisi lain, bu
last updateLast Updated : 2023-07-29
Read more

Part 343 Sudah Tidak Laku

Sarah mengerjapkan matanya. Air sebening kristal sudah memenuhi penglihatannya. Netranya berkaca-kaca. Kembali teringat tentang masa lalunya di desa ini. "Teh Sarah kenapa?" tegur Susan dengan hati-hati, takut mengagetkan. Susan mencondongkan tubuhnya untuk lebih mendekati Sarah. "Tidak apa-apa, Mbak Susan. Saya hanya jadi teringat tentang masa lalu," jawab Sarah pelan."Jika kisah masa lalu Teh Sarah membuat Teteh menjadi sedih, sebaiknya tidak usah diteruskan, Teh?" Sarah tersenyum mendengar ucapan Susan yang mengkhawatirkan keadaan dirinya. "Tidak apa-apa, Mbak. Sebenarnya, ini untuk pertama kalinya saya bercerita kepada orang lain tentang masa lalu saya dan desa ini. Mungkin, dengan bercerita sama Mbak Susan, bisa membuat hati saya menjadi lebih tenang. "Tapi, itu pun jika Mbak Susan kembali berkenan untuk mendengarkan.""Tentu saya sangat berkenan, Teh. Saya memang ingin tahu tentang sejarah desa tempat tinggal Teh Sarah ini. Dengan senang hati, saya akan setia untuk mendenga
last updateLast Updated : 2023-07-30
Read more

Part 344 Berdebar Tak Menentu

Hanya aku yang menjawab salam Zulham, emak sendiri terlihat seperti acuh tak acuh saja, atau mungkin juga karena emak tidak mengenal pemuda itu sebagai anaknya Kang Danu, orang yang paling berpengaruh di desa ini, selain pak kades. Karena setahuku, menurut cerita dari Mak Neti, jika di saat mudanya emak memiliki hubungan yang dekat dengan Kang Danu, entah sebagai apa kedekatan mereka dahulu. Aku hampiri Zulham dengan perasaan yang campur aduk. Ada rasa kesal karena mendengar ucapannya tadi pagi, tetapi ada rasa senang juga, melihat Zulham berani berkunjung ke rumahku. Hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, ternyata Zulham memiliki jiwa ksatria. Zulham mengangguk ke emak seperti tanda perkenalan, tetapi kulihat emak acuh-acuh saja, tidak membalas anggukannya Zulham bahkan langsung memalingkan muka dengan wajah yang cemberut, lalu kembali sibuk memasang judi togel."Ada perlu apa?" tanyaku ketus, sembari mengalihkan pandangan ke arah jalan Kampung, ingin memberikan kesan kepada
last updateLast Updated : 2023-07-30
Read more

Part 345 Jangan Macam Macam

"Tadi itu siapa, Rah?" tanya emak, sedikit mengagetkan aku."Zulham, Mak," jawabku."Zulham yang mana, kok Emak baru lihat?" tanyanya lagi."Zulham anaknya Kang Danu, Mak. Mungkin baru sekitar dua Minggu kurang tinggal di kampung sini. Emak terlihat berpikir, seperti sedang mengingat-ingat."Ohh, anaknya si Rina, istri pertamanya Danu, yang beda kecamatan," jelas emak."Iya, Mak," kataku, membenarkan. "Ibunya sekarang sudah meninggal, jadi Zulham sekarang ikut dengan Bapaknya," jelasku lagi."Trus dia, ngapain ke sini nemuin kamu?" tanya emak, menyelidik. Aku terdiam, tidak langsung menjawab.'Apa aku ceritakan saja sama Emak, jika Zulham ingin melamar aku' ucap bathinku. 'Ah, tetapi tidak usah, aku pun belum tahu, Zulham itu serius atau tidak' "Kamu ditanya diam saja, Rah," tegur emak, sembari menepuk bahuku."Eh, itu, Mak, Kak Zulham hanya ingin main saja," kataku, memberikan alasan."Memangnya kenapa, Mak?" balik, aku yang bertanya. Kulihat dari wajah emak, ada rasa tidak suka."I
last updateLast Updated : 2023-07-30
Read more

Part 346 Berbeda Dengan yang Lain

"Kamu mau bicara apa, Rah?"Aku terdiam sebentar, tidak langsung menjawab pertanyaan Iroh. Mencoba mengatur debar jantung, membuang nafas perlahan. Baru mulai bicara. "Zulham ingin mengajakku menikah, Roh," bisikku pelan, sedikit bergetar suaraku saat memberitahukan Iroh tentang itu. Sahabatku itu terlihat terkejut, mungkin dia pun pastinya tidak menyangka."Kamu beneran, Rah, kapan?" tanya Iroh, menatapku dalam."Beneran, Roh, tadi sore Zulham datang sendiri ke rumah, mengutarakan maksudnya," jelasku lagi. "Terus, Kamu terima nggak?" Aku hanya menggeleng."Aku belum sempat kasih jawaban, Roh.""Ko, bisa?" tanya Iroh lagi."Emak keburu memanggilku tadi." "Kamunya mau, nggak?" aku terdiam sesaat. Dilema antara Zulham dan Om Gunadi yang sudah memberikan uang panjer. "Aku masih bingung, Roh," jawabku lagi."Bingung kenapa?""Entahlah, Roh, aku masih ragu-ragu.""Ragu-ragu kenapa, Rah?""Sepertinya, baru dua hari aku mengenal Zulham. Masa bisa secepat itu," jawabku."Rah, kata sebagia
last updateLast Updated : 2023-07-31
Read more

Part 347 Satu Guru Satu Ilmu

"Sarah mau bicara, Mak."Emak sembari mengembuskan asap rokok, lalu menyesap perlahan kopi dinginnya, dan kembali meletakkan gelas kopi di atas meja."Kamu mau ngomong apa?" tanya emak, lalu kembali mengisap rokok putihnya."Ada yang ingin me-la--""Menah." Kang Danu keluar dari dalam rumah, wajahnya masih terlihat berpeluh, memotong pembicaraanku, sembari mengancingkan baju kemejanya. Senyum kepuasan tergambar dari wajahnya."Gimana Dan, lama juga, memang masih perkasa seperti dulu," goda emak, sembari tertawa genit, dan aku justru yang merasa jengah atas ucap dan sikap emak. Yah, walaupun sudah berumur, paras wajah emak memang masih terlihat cantik, untuk ukuran seumurnya. Emak tidak ikut bertani, juga berladang, begitupun dengan bapak. Sepetak lahan pertanian milik kami pun dikelola oleh petani penggarap. Jadi, kulit tubuh dan wajah emak, tidak pernah terkena cahaya matahari dalam waktu lama, alat-alat perawatan tubuhnya pun banyak di kamarnya."Bakatmu, sepertinya menurun pada ana
last updateLast Updated : 2023-07-31
Read more

Part 348 Sudah Terbiasa

Sebelum ke kamar Teh Niken, aku harus melewati kamar utama terlebih dahulu, kamar emak dan bapak. Terdengar suara dari dalam kamar emak, suara-suara yang sering kudengar dari semenjak aku kecil, entah itu dari kamar Teh Astuti atau pun dari kamar Teh Niken, begitupun kamar emak. Aku benar-benar sudah terbiasa, tidak lagi merasa aneh.Kuketuk pintu kamar Teh Niken perlahan, sembari memanggil-manggil namanya."Teh ... teteh ... ini Sarah, Teh." Terus saja aku memanggil, sembari mengetuk daun pintu."Ada apa, Sar." Terdengar jawaban dari dalam kamar."Sarah ingin bicara, Teh," ucapku lagi. Sambil terus mengetuk-ngetuk pintu kamarnya pelan."Kamu mau bicara apa?" tanyanya lagi, sedikit serak suaranya terdengar."Ijinkan Sarah masuk dulu, Teh, sebentar saja," pintaku pelan, kepada si teteh. Perlahan pintu kamar pun terbuka, tetapi tanpa menyuruh masuk, Teh Niken langsung berbalik kembali, dan duduk di sisi ranjangnya, matanya terlihat sembab, sepertinya dia baru saja selesai menangis. Aku
last updateLast Updated : 2023-07-31
Read more

Part 349 Hadiah Istimewa

Seperti yang sudah-sudah, kedatangan tamu bermobil mewah apalagi bernomor seri plat B, akan membuat keramaian tersendiri. Satu persatu para tetangga, terutama kaum wanita mulai berdatangan, tepat di saat Om Gunadi dan Om Tito mulai turun dari kendaraannya. Godaan-godaan genit nan merayu pun langsung terdengar, ditambah dengan suara cekikikan genit khas perempuan."Sarah apa kabar?" tanya Om Gunadi, tepat saat langkah kakinya mulai menjejak di teras rumah. Aku tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Ba-baik, Om."Terlihat, kedua tangan Om Tito yang berdiri di belakang Om Gunadi, menenteng dua kantong plastik belanjaan ukuran besar, yang aku tidak tahu apa isinya."Duduk dulu, Om." Aku mempersilahkan kedua tamu dari Jakarta itu untuk duduk terlebih dahulu di bangku teras rumah, mereka pun mengikuti saranku. "Mau minum apa, Om?" tanyaku kepada mereka berdua."Tidak usah Sarah, kami baru saja minum. Oh, iya, emakmu mana?" tanya Om Gunadi, sementara aku masih berdiri di hadapan mereka, dan Om
last updateLast Updated : 2023-07-31
Read more
PREV
1
...
3334353637
...
40
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status