Seperti yang sudah-sudah, kedatangan tamu bermobil mewah apalagi bernomor seri plat B, akan membuat keramaian tersendiri. Satu persatu para tetangga, terutama kaum wanita mulai berdatangan, tepat di saat Om Gunadi dan Om Tito mulai turun dari kendaraannya. Godaan-godaan genit nan merayu pun langsung terdengar, ditambah dengan suara cekikikan genit khas perempuan."Sarah apa kabar?" tanya Om Gunadi, tepat saat langkah kakinya mulai menjejak di teras rumah. Aku tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Ba-baik, Om."Terlihat, kedua tangan Om Tito yang berdiri di belakang Om Gunadi, menenteng dua kantong plastik belanjaan ukuran besar, yang aku tidak tahu apa isinya."Duduk dulu, Om." Aku mempersilahkan kedua tamu dari Jakarta itu untuk duduk terlebih dahulu di bangku teras rumah, mereka pun mengikuti saranku. "Mau minum apa, Om?" tanyaku kepada mereka berdua."Tidak usah Sarah, kami baru saja minum. Oh, iya, emakmu mana?" tanya Om Gunadi, sementara aku masih berdiri di hadapan mereka, dan Om
"Hal itu akan saya bicarakan nanti, Bu. Saya ingin bicara dengan Sarah terlebih dahulu," jawab Om Gunadi, dan emak tidak berani untuk memaksa, lantas kembali menemui tetangga yang masih berkerumun di halaman depan rumah. "Memangnya, perasaan Om Gunadi seperti apa?" tanyaku pelan, aku tidak paham tentang perasaan, yang aku tahu dan aku rasakan, ada rasa sakit saat Zulham berjalan menjauh, dengan kepala yang menunduk, dan langkahnya yang gontai.'Apakah hati Zulham juga merasakan sesakit ini? Atau mungkin dia lebih sakit' tanya hatiku."Rasanya, selalu ingin ketemu dengan, Sarah," jawabnya. Senyumnya merekah. "Oh, iya, saya punya hadiah buat Sarah." Sembari Om Gunadi mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Aku terus saja memperhatikannya.Gunadi lantas memberikan kepadaku, sebentuk kotak persegi empat berukuran lumayan besar, dengan kulit seperti beludru berwarna merah darah. Terkesan indah dan mahal."Ini apa, Om?" Gunadi tersenyum, wajah kami terasa sangat dekat, tubuhnya pun tercium ar
Aku pasrah, tidak tahu harus memberikan alasan apa untuk menolak mencium Kang Gunadi, selain hanya mengikuti perintah emak. Aku pun memang harus berterima kasih atas pemberian benda berharga berupa kalung emas untukku. Kang Gunadi memperlakukan aku layaknya seorang ratu. Kupejamkan mataku dan mulai mendekati bibirku ke pipi Kang Gunadi. Hampir saja pipi itu tersentuh lembut, mendadak terdengar suara perempuan dan anak-anak yang berteriak kencang karena ketakutan. Mereka yang tadinya banyak berkerumun di depan rumahku, kemudian pada lari berhamburan tunggang langgang. Suasana benar-benar tidak terkendali. Reflek kutarik kembali wajahku sebelum sempat menyentuh pipi Kang Gunadi. Terlihat jelas kekecewaan pada raut wajah pengusaha kaya dari Jakarta tersebut. Aku, emak,dan Kang Gunadi, lantas berdiri kemudian menghambur ke sisi pembatas teras rumah. Sebuah perkelahian sedang terjadi. Bukan, bukan sebuah perkelahian, tetapi lebih tepatnya sebuah peristiwa pengeroyokan. Terlihat satu oran
"Kamu menemui pemuda yang bernama Zulham itu, ya, Sarah." Emak masih tidak percaya dengan ucapanku, berhenti sesaat menatapku dalam. Tetapi cepat-cepat kumenarik tangan emak, bersikap seolah-olah ingin segera menemui Kang Gunadi."Ayuk, Mak, cepetan dikit atuh," ucapku, malah sekarang aku yang seperti sedang menyeret-nyeret emak untuk berjalan sedikit lebih cepat. Dan untungnya, emak hanya mengikuti saja tidak lagi mengajakku bicara. Om Gunadi, yang sekarang kupanggil dengan kata akang di depan namanya, terlihat masih terduduk di bangku teras rumah, membelakangi kami yang datang dari arah halaman. Tempat di mana kendaraan mewah Kang Gunadi terparkir. Ternyata masih ramai seperti sedia kala. Satu per satu, warga mulai berkumpul kembali. Kebanyakan membicarakan tentang keributan tadi, berbicara dengan bahasa asli suku mayoritas di kampung ini.Kang Gunadi menoleh, tepat di saat aku dan emak mulai menginjak lantai teras rumah. Tidak berbicara ataupun bertanya, hanya melempar senyum saja
Sebuah taman indah nan mempesona terpampang di depan mata. Suasananya teduh sekali, dengan pohon-pohon rindang tanpa sampah daun mengering. Semua pohon berbuah masak, tidak ada satu pun buah-buahan muda. Sungai-sungai mengalir dengan beragam warna. Ada yang seperti susu, madu, Syrup, semua menebarkan aroma wangi menyegarkan. Hanya rumah-rumah megah nan indah yang terlihat, yang jauh lebih indah dengan yang pernah kulihat sejauh ini. Hampir separuh bangunannya terbuat dari emas, dengan banyak taburan warna-warni kristal seperti berlian dan permata beragam warna. Penduduk wanitanya berwajah cantik-cantik, lebih cantik dari yang pernah kulihat di televisi. Sedangkan yang pria terlihat tampan gagah rupawan. Pakaian yang mereka kenakan bagus-bagus dan mewah, tidak ada satu pun orang tua atau pun anak-anak yang terlihat sejauh mataku memandang, semua terlihat berusia muda belia. Semua wajah terlihat bahagia dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Mereka saling bertegur sapa,
Pagi menjelang, hatiku benar-benar gelisah. Mimpi yang sama selama dua malam berturut-turut, juga tentang jawaban Teh Niken menyangkut penyakit yang dideritanya, membuat hati ini menjadi risau. Takut, jika penyakit yang menimpa Teh Niken juga akan mengenaiku. Di bangku depan teras rumah ini aku menyendiri dan merenung, masih teringat ucapan si teteh semalam."Teteh positif HIV, Rah, penyakit yang belum diketemukan obatnya," ucapTeh Niken, menjawab pertanyaanku semalam, sembari terisak-isak."Teteh hanya tinggal menunggu waktu. Teteh takut, Sarahh ...." Tangisannya semakin keras terdengar."Teteh ingin bertobat, tetapi bagaimana caranya? Cara salat pun teteh tidak paham, ditambah Emak yang masih terus memaksa teteh untuk terus melayani tamu. Teteh hanya bisa pasrah, Sarahh." Kasihan sekali aku melihat keadaan Teh Niken. Ingin sekali memeluknya, tetapi Teh Niken menolak dan melarangku. Pintanya hanya satu kepadaku, sebelum dia keluar dari kamarku karena mendengar aku berteriak-teriak k
Aku segera pergi meninggalkan Zulham, untuk kembali pulang ke rumah. Setelah berjanji tadi akan menemuinya lagi malam nanti.Niatku sudah bulat, Teh Niken pun mendukung malah terus menyuruhku, untuk segera pergi dari kampung ini.Sesampainya di rumah, terlihat emak sedang sibuk bertelepon di bangku depan teras rumah, bangku yang sama dengan yang kududuki tadi sebelum bertemu dengan Zulham. Paras wajahnya seperti menyimpan amarah. Aku pun segera duduk di depan emak, tidak beberapa lama, dia pun mematikan sambungan teleponnya."Nelpon siapa, Mak?" tanyaku ke emak, mataku terus saja menatapnya. Untuk terus mengingat wajahnya, jikalau aku jadi pergi nanti, lalu kangen dengan emak. Karena walau bagaimana pun, emak tetap ibu kandung yang melahirkan aku. Aku tidak tahu, sampai berapa lama kepergianku nanti. Seburuk apa pun sifat dan kelakuan emak, dia tetap adalah seorang ibu. Aku pasti akan merindukannya nanti."Si Astuti benar-benar keterlaluan, pergi berhari-hari, telepon nggak diangkat,
Dengan motor tua miliknya, bapak mencoba mencari keberadaan Teh Astuti ke kota kabupaten. Aku menolak saat bapak memintaku untuk menemaninya. Niatku sudah bulat, akan pergi dengan Zulham malam ini juga. Karena hanya malam ini kesempatan terakhirku untuk bisa pergi dari rumah. Sedangkan besok malam, kemungkinan Om Gunadi akan datang menjemputku, dan langsung mengajak ke bandara untuk menemaninya liburan beberapa hari di Bali dan Lombok.Menjelang sore, Teh Niken yang sudah kuberi tahu akan rencana kepergianku malam nanti memintaku untuk menemui dia di kamarnya. Wajahnya semakin terlihat pucat, tubuhnya pun terlihat tidak bertenaga. Dia selalu mengeluh mudah cape, tulang-tulangnya terasa sakit, padahal tidak melakukan aktivitas apa pun di rumah. Sepertinya, penyakit yang sudah dideritanya mempengaruhi stamina tubuhnya."Duduk, Rah," ucapnya, menyuruh aku duduk di bangku rias, berhadapan langsung dengan Teh Niken yang duduk bersila di atas ranjang dengan sebuah bantal di atas pangkuannya
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti