All Chapters of Terima Kasih Telah Merebut Suamiku: Chapter 41 - Chapter 50

88 Chapters

41

BAGIAN 41             “Mila, Karmila mantan menantuku.” Abi memanggilku dengan suaranya yang serak. Degupan jantungku kian cepat tatkala terdengar derap langkah kaki sekaligus bunyi ketukan tongkat di ubin.             Mau tak mau, aku mengangkat kepala. Terkesiap aku menatap sosok yang tengah dipapah oleh suamiku dan Ummi. Lelaki itu tampak sangat lesu, kurus, dan bahkan … rambutnya kini semakin tipis dan hampir botak penuh di bagian depannya. Ya Allah … ini Abi? Abi yang dahulu masih segar bugar dan tampak begitu gagah, mengapa kini berubah sangat drastis hingga aku hampir saja tak lagi mengenalinya.             “A-abi ….” Aku memanggil beliau dengan suara lirih. Mulutku sempat menganga heran untuk setengah detik, tapi lekas kusadari bahwa keterkejutanku ini tentu tak akan membuat sosok Abi nyam
Read more

42

BAGIAN 42             Mas Sofyan sampai ke rumah kami tepat pukul 21.00 malam. Pria itu sejak siang mengurusi keperluan Mas Faisal dan memfasilitasi kedua orangtuanya untuk menjenguk putra semata wayang mereka. Aku sebenarnya tak enak hati dengan Mas Sofyan. Baik hati sekali pria itu. Dia rela berletih-letih di sela kesibukannya mengajar sebagai dosen, hanya untuk mengurusi orang lain yang bukan bagian penting dalam hidupnya.             Kusambut kehadiran Mas Sofyan dengan penuh suka cita. Bahkan, Syifa yang sudah mengantuk pun, rela terjaga hanya untuk menunggu kehadiran sang papa sambungnya.             “Papa! Kenapa lama sekali?” tanya Syifa sambil menghambur ke arah Mas Sofyan. Bocah kecil itu memeluk papanya dengan sangat erat. Mas Sofyan yang bahkan belum bertukar pakaian sejak pagi itu pun
Read more

43

BAGIAN 43            Aku pagi-pagi sekali bangun. Bahkan sebelum azan Subuh berkumandang pun, aku memilih untuk membuka mata lebar-lebar meski sebenarnya aku masih agak mengantuk. Ya, mau bagaimana lagi? Perintah Mas Sofyan tak mungkin aku abaikan begitu saja. Apalagi ini menyangkut masalah saudara kandungnya.            Gegas aku keluar kamar. Rumah terasa sunyi dan sepi. Bahkan pembantu kami, Bi Dilah, belum terjaga dari tidurnya.            Aku pun berjalan menuju dapur. Membersihkan setiap sudut dapur yang sebenarnya sudah dibereskan tadi malam oleh Bi Dilah.            Tak hanya membereskan dapur, aku juga menyiapkan bumbu-bumbu yang akan dipakai untuk memasak pagi ini. Bumbu yang kupakai semuanya kuulek sendiri. Tidak ada yang me
Read more

44

BAGIAN 44            Saat aku kembali ke kamar untuk salat Subuh, kudapati Mas Sofyan sudah bangun dan mengangkat telepon di atas ranjang. Pria itu duduk dengan muka yang masih sembab dan rambut yang acak-acakan. Kutatap dia dengan penuh tanya di kepala. Siapa yang menghubungi suamiku pagi-pagi begini?            “Iya, Mbak. Siap. Aku sudah pesan ke istriku untuk makanan yang mau pengen.” Ucapan Mas Sofyan membuatku tertegun sejenak di ambang pintu.            “Siap, Mbak. Jam delapan aku sudah standby di bandara. Mbak Reva nggak usah khawatir nunggu lama di sana.” Mas Sofyan lantas melirik ke arahku. Dia mungkin sudah menyadari bahwa ada istrinya di ambang pintu sini.            “Sini,” ucap Mas Sof
Read more

45

BAGIAN 45            Setelah mandi sambil sempat bersimbah air mata lara, aku keluar dalam keadaan telah memakai handuk di kepala dan kimono putih yang menutupi tubuh hingga lutut. Kulihat, Mas Sofyan turun dari ranjang kala melihat aku datang dengan langkah yang sedikit ragu. Pria itu menatapku. Tatapannya tampak teduh. Namun, tetap saja aku sedikit kikuk. Mengingat, di telepon tadi sikapku memang sangat kekanakan ketika berbicara dengan Mbak Reva.            “Salat duluan, Mila. Aku juga mau mandi,” ucap Mas Sofyan. Bicara pria itu lembut. Dia juga terlihat senyum sambil menenteng handuk dan pakaian ganti. Aku yang sudah deg-degan kini mulai lega. Syukurlah, dia tidak marah, pikirku.            “Iya, Mas. Aku salat duluan, ya.”      &
Read more

46

BAGIAN 46            Akhirnya, dengan sedikit menaruh perasaan kesal, aku pun bergerak atas instruksi Pak Dosen tersayang. Gegas aku memasak di dapur. Membuatkan menu-menu makanan yang diminta oleh Mbak Reva—si ratu sejagad.            Bi Dilah bukannya tak ikut jengkel. Walaupun hanya berstatus pembantu rumah tangga, tetapi beliau sudah seperti mamaku sendiri. Paham benar dengan apa yang tengah kurasakan.            “Mbak Mila, sabar-sabar ya, Mbak. Semoga, kedatangan nyonya besar itu tidak membuat kita jadi semakin spaneng.” Bi Dilah menguatkanku saat beliau tengah fokus memasak rendang daging sapi dan sup iga di satu kompor yang sama. Sedang aku sendiri, tengah menghidangkan kepiting asam manis yang baru saja selesai kuangkat dari wajan.     &n
Read more

47

BAGIAN 47 “Yan! Ya ampun, rindu sekali aku sama kamu, adikku tercinta!” Pekik heboh Mbak Reva memecah kesunyian di antara aku, Mas Sofyan, dan Syifa. Setelah menghabiskan sepanjang perjalanan hanya dengan saling diam satu sama lain, akhirnya, aku mendengarkan suara jeritan juga. Aku hanya bisa terpaku membisu tatkala melihat kakak iparku menghambur ke arah Mas Sofyan. Perempuan bertubuh tinggi langsing yang mengenakan celana ketat berwarna khaki dan kemeja putih poloh berlengan panjang serta kerudung motif abu-abu yang hanya menutupi sebagian kepalanya itu langsung memeluk suamiku erat. Dia sibuk memberikan cipika-cipiki kepada Mas Sofyan, tanpa mau menoleh sedikit pun ke arah aku maupun Syifa. Dia pikir, kami berdua ini patung selamat datang kali, ya? “Mbak Reva, bagaimana kabarnya? Tadi di pesawat tidak ada kendala, kan?” tanya Mas Sofyan sambil merangkul kakak nomor duanya tersebut. Sengaja kutatap Mbak Reva yang menyemir rambutnya dengan warna
Read more

48

BAGIAN 48 “Belagu amat istrimu, Yan! Kelakuannya sudah seperti nyonya besar saja! Mengerikan! Bekas janda punya anak bawaan aja, bisa sesok ratu ini ke suami. Istighfar, Mil!” Mbak Reva ngomel-ngomel panjang kali lebar. Suara cemprengnya yang terdengar seperti kaleng rombeng atau radio butut itu membuat telingaku sangat kebisingan. Namun, bukan Mila namanya kalau tidak memberikan perlawanan. “Hati-hati kalau bicara, Mbak. Biasanya, kalau ada orang yang ngata-ngatain janda, habis itu bisa ikutan jadi janda juga, lho.” Aku sengaja menoleh. Kuberikan senyuman tersengit yang pernah kumiliki kepada Mbak Reva. Perempuan berambut pirang itu langsung mengecimus bibir tebalnya. Dia masuk dan duduk di bangku belakang, kemudian membanting pintu dengan kasar. Masa bodoh! Aku tidak peduli. Kalau pintu mobil ini sampai lepas, berarti dia yang harus mengganti. Mas Sofyan terlihat agak gopoh memasuki mobil. Rautnya berubah agak cemas. Dia duduk di ku
Read more

49

BAGIAN 49 Sepanjang perjalanan menuju rumah baruku dan Mas Sofyan, kami berempat saling diam seribu bahasa. Mbak Reva yang semula berapi-api dan penuh energi negatif, mendadak jadi bisu. Aku bersyukur karena Mas Sofyan akhirnya berani menegur perempuan kasar itu. Coba kalau dibiarkan terus-terusan. Bisa semakin besar kepala dia. Sesampainya di halaman parkir rumah, aku dan Syifa bergegas keluar dari mobil. Anakku sudah tidak menangis lagi. Namun, dari raut wajahnya, tampak betul bahwa si Syifa masih badmood dan sedih. Kasihan dia. Masih kecil, tapi harus ikut-ikutan tertekan di tengah situasi genting yang orangtuanya hadapi. Tanpa menghiraukan Mas Sofyan apalagi Mbak Reva, aku mengajak Syifa untuk masuk. Kupimpin tangannya menuju kamar. Di dalam kamar yang bernuansa serba pink dan dihiasi dengan banyak mainan-mainan berbentuk karakter Minnie Mouse itu, Syifa tampak lesu tak bersemangat. Kuantar dia hingga ke atas ranjangnya yang beralaskan sprei war
Read more

50

BAGIAN 50 “Nggak, Sayang. Papa nggak akan pergi dari sisi kita. Tante Reva adalah orang yang baik. Bunda yakin, pasti beliau tidak akan tega membuat Papa pergi dari Syifa maupun Bunda.” Kubujuk Syifa dengan segenap perasaan luluh lantak di jiwa. Anak ini sangat pintar. Dia begitu peka, meski usianya masih terbilang sangat kecil. Waktu yang telah menempanya menjadi lebih dewasa dari usia yang sebenarnya. Aku betul-betul kasihan kepada Syifa. Tok! Tok! Tok! Terdengar pintu kamar Syifa diketuk dari luar sebanyak tiga kali. Bergegas aku turun dari ranjang anakku. Syifa pun ikut turun juga. Dia berjalan di belakang tubuhku dengan gerakan mengendap. Kubuka pintu perlahan. Ternyata Mas Sofyan. Lelaki itu telah berganti pakaian dengan kaus oblong warna marun polos dan celana jins pendek di bawah lutut. Suamiku tersenyum santai sembari menatapku dalam. “Bunda sayang, kita sebaiknya keluar dulu, yuk? Ngobrol-ngobrol sama Tante Reva. Aj
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status