BAGIAN 46
Akhirnya, dengan sedikit menaruh perasaan kesal, aku pun bergerak atas instruksi Pak Dosen tersayang. Gegas aku memasak di dapur. Membuatkan menu-menu makanan yang diminta oleh Mbak Reva—si ratu sejagad.
Bi Dilah bukannya tak ikut jengkel. Walaupun hanya berstatus pembantu rumah tangga, tetapi beliau sudah seperti mamaku sendiri. Paham benar dengan apa yang tengah kurasakan.
“Mbak Mila, sabar-sabar ya, Mbak. Semoga, kedatangan nyonya besar itu tidak membuat kita jadi semakin spaneng.” Bi Dilah menguatkanku saat beliau tengah fokus memasak rendang daging sapi dan sup iga di satu kompor yang sama. Sedang aku sendiri, tengah menghidangkan kepiting asam manis yang baru saja selesai kuangkat dari wajan.
&n
BAGIAN 47 “Yan! Ya ampun, rindu sekali aku sama kamu, adikku tercinta!” Pekik heboh Mbak Reva memecah kesunyian di antara aku, Mas Sofyan, dan Syifa. Setelah menghabiskan sepanjang perjalanan hanya dengan saling diam satu sama lain, akhirnya, aku mendengarkan suara jeritan juga. Aku hanya bisa terpaku membisu tatkala melihat kakak iparku menghambur ke arah Mas Sofyan. Perempuan bertubuh tinggi langsing yang mengenakan celana ketat berwarna khaki dan kemeja putih poloh berlengan panjang serta kerudung motif abu-abu yang hanya menutupi sebagian kepalanya itu langsung memeluk suamiku erat. Dia sibuk memberikan cipika-cipiki kepada Mas Sofyan, tanpa mau menoleh sedikit pun ke arah aku maupun Syifa. Dia pikir, kami berdua ini patung selamat datang kali, ya? “Mbak Reva, bagaimana kabarnya? Tadi di pesawat tidak ada kendala, kan?” tanya Mas Sofyan sambil merangkul kakak nomor duanya tersebut. Sengaja kutatap Mbak Reva yang menyemir rambutnya dengan warna
BAGIAN 48 “Belagu amat istrimu, Yan! Kelakuannya sudah seperti nyonya besar saja! Mengerikan! Bekas janda punya anak bawaan aja, bisa sesok ratu ini ke suami. Istighfar, Mil!” Mbak Reva ngomel-ngomel panjang kali lebar. Suara cemprengnya yang terdengar seperti kaleng rombeng atau radio butut itu membuat telingaku sangat kebisingan. Namun, bukan Mila namanya kalau tidak memberikan perlawanan. “Hati-hati kalau bicara, Mbak. Biasanya, kalau ada orang yang ngata-ngatain janda, habis itu bisa ikutan jadi janda juga, lho.” Aku sengaja menoleh. Kuberikan senyuman tersengit yang pernah kumiliki kepada Mbak Reva. Perempuan berambut pirang itu langsung mengecimus bibir tebalnya. Dia masuk dan duduk di bangku belakang, kemudian membanting pintu dengan kasar. Masa bodoh! Aku tidak peduli. Kalau pintu mobil ini sampai lepas, berarti dia yang harus mengganti. Mas Sofyan terlihat agak gopoh memasuki mobil. Rautnya berubah agak cemas. Dia duduk di ku
BAGIAN 49 Sepanjang perjalanan menuju rumah baruku dan Mas Sofyan, kami berempat saling diam seribu bahasa. Mbak Reva yang semula berapi-api dan penuh energi negatif, mendadak jadi bisu. Aku bersyukur karena Mas Sofyan akhirnya berani menegur perempuan kasar itu. Coba kalau dibiarkan terus-terusan. Bisa semakin besar kepala dia. Sesampainya di halaman parkir rumah, aku dan Syifa bergegas keluar dari mobil. Anakku sudah tidak menangis lagi. Namun, dari raut wajahnya, tampak betul bahwa si Syifa masih badmood dan sedih. Kasihan dia. Masih kecil, tapi harus ikut-ikutan tertekan di tengah situasi genting yang orangtuanya hadapi. Tanpa menghiraukan Mas Sofyan apalagi Mbak Reva, aku mengajak Syifa untuk masuk. Kupimpin tangannya menuju kamar. Di dalam kamar yang bernuansa serba pink dan dihiasi dengan banyak mainan-mainan berbentuk karakter Minnie Mouse itu, Syifa tampak lesu tak bersemangat. Kuantar dia hingga ke atas ranjangnya yang beralaskan sprei war
BAGIAN 50 “Nggak, Sayang. Papa nggak akan pergi dari sisi kita. Tante Reva adalah orang yang baik. Bunda yakin, pasti beliau tidak akan tega membuat Papa pergi dari Syifa maupun Bunda.” Kubujuk Syifa dengan segenap perasaan luluh lantak di jiwa. Anak ini sangat pintar. Dia begitu peka, meski usianya masih terbilang sangat kecil. Waktu yang telah menempanya menjadi lebih dewasa dari usia yang sebenarnya. Aku betul-betul kasihan kepada Syifa. Tok! Tok! Tok! Terdengar pintu kamar Syifa diketuk dari luar sebanyak tiga kali. Bergegas aku turun dari ranjang anakku. Syifa pun ikut turun juga. Dia berjalan di belakang tubuhku dengan gerakan mengendap. Kubuka pintu perlahan. Ternyata Mas Sofyan. Lelaki itu telah berganti pakaian dengan kaus oblong warna marun polos dan celana jins pendek di bawah lutut. Suamiku tersenyum santai sembari menatapku dalam. “Bunda sayang, kita sebaiknya keluar dulu, yuk? Ngobrol-ngobrol sama Tante Reva. Aj
BAGIAN 51 “Ini nasinya, Tante Reva. Jangan bengong begitu, dong. Nanti lalatnya masuk ke mulut.” Kupastikan senyuman yang terukir di bibir ini sangat menusuk Mbak Reva. Piring yang kusodorkan ke arah Mbak Reva pun disambar dengan gerakan yang sangat kasar. Perempuan berpakaian seksi dan sangat tidak sopan itu langsung mengerucut masam bibirnya. Mukanya berubah merah padam. Penuh dendam sekaligus amarah. Terserah, Mbak. Jengkelnya hatimu bukan tanggung jawabku. Inilah aku dan segala isi rumah tanggaku. Kamu tidak suka? Silakan angkat kaki dari sini! Kulihat, Mbak Reva menyendok lauk pauk dengan semau hati. Kuahnya sampai berceceran ke mana-mana. Bi Dilah yang kebetulan mengantarkan air minum untuk kami pun kulihat melirik sekilas ke arah meja yang ditempati Mbak Reva. Semuanya kotor sekaligus berantakan. Cangkang kepiting saja dia letakan di atas meja, padahal sudah disiapkan wadah kotornya. “Silakan minumannya, Mbak Mila.” Bi Dilah menua
BAGIAN 52 “Duh, malah pada ngobrol, ya!” Mbak Reva tiba-tiba mendatangi kami. Perempuan itu tadinya kami biarkan asyik duduk di meja sembari memainkan ponselnya, setelah puas menandaskan lauk pauk yang terhidang di meja. Untung saja, pagi tadi kami masak banyak. Masih ada yang kami sisihkan dan disimpan dalam wadah bertutup rapat. Itulah yang rencananya bakal dihidangkan untuk makan siang tadi. Aku dan Bi Dilah yang sedari tadi bercakap-cakap dengan suara pelan pun mendadak menoleh ke belakang. Mbak Reva yang berpakaian seperti cabe-cabean pinggir jalan itu ternyata dengan sangat tahu dirinya tengah membawa piring dan gelas kotor miliknya tadi. Kupikir, setelah kami selesai membereskan meja dan mengangkut semua wadah kotor terkecuali piring serta gelas miliknya, perempuan itu akan meninggalkan benda kotor tersebut di atas meja begitu saja. Ya, aku tidak berharap kalau dia mau usung-usung barang kotor itu sampai ke wastafel. Sudah bisa menebaklah, seperti apa ta
BAGIAN 53 “Insyaallah nggak akan marah, Ummi. Ada apa, Mi? Aku sampai deg-degan dengarnya,” ucapku sembari memegang dada sendiri. “B-begini … Mil. Maaf ya, Mila sebelumnya. Ummi sama Abi kehabisan beras, gas, sama bumbu-bumbu dapur. Sedangkan, Ummi nggak pegang uang sepeser pun. A-apa boleh, Ummi pinjam uangnya Mila dulu?” Aku langsung mengembuskan napas lega. Oh, ternyata hanya mau pinjam uang, toh? Aku kira ada apa! Ummi membuatku terkejut saja. “Ya Allah, Mi. Ternyata, hanya itu masalahnya, toh?” tanyaku kepada Ummi. “I-iya, Mila. Ummi nggak enak mau ngomongnya ke kamu. Takut kalian risih. Soalnya, ini kan, masalah sensitif, Mila. Suamimu kira-kira ngebolehin nggak, ya?” Nada bicara Ummi terdengar sangat hati-hati. Dia pasti merasa sangat segan dan tak enakan. Apalagi, sekarang statusku bukanlah menantunya lagi. Namun, bagiku semua itu tidak ada masalah. Dia adalah nenek kandung dari anakku, Syifa. Apa salahnya untukku mem
BAGIAN 54 “Ckckck! Hebat kamu, Mila. Betul-betul hebat sekali. Mulutmu sangat membuatku terkejut, lho. Aku benar-benar syok rasanya!” ucap Mbak Reva sambil terus menerus menggelengkan kepalanya. Aku mendengus. Dia pikir, hanya dia yang syok? Dia pikir, cuma dia saja yang bisa menyudutkan orang lain dengan lidahnya yang setajam pedang itu? “Apa yang Mbak tuai adalah hasil dari apa yang Mbak tabur. Mbak lupa, seperti apa perkataan Mbak Reva barusan kepadaku? Kalau Mbak pengen aku hormat kepada Mbak, tolong lakukanlah penghormatan itu terlebih dahulu kepada lawan bicaranya Mbak. Maaf, di sini aku tidak mau berkelahi atau adu mulut.” Aku berucap dingin. Memperhatikan wajah Mbak Reva yang masih pias itu dari atas hingga ke bawah dengan ekspresi sengit. “Aku hanya ingin mengingatkan ya, Mila. Karma itu ada!” Aku terkekeh kecil. Aneh manusia ini. Apa-apaan dia membawa-bawa karma segala? Memangnya, aku habis melakukan apa?
Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang
Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik
Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is
Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak
Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs
Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai
Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti