BAGIAN 54 “Ckckck! Hebat kamu, Mila. Betul-betul hebat sekali. Mulutmu sangat membuatku terkejut, lho. Aku benar-benar syok rasanya!” ucap Mbak Reva sambil terus menerus menggelengkan kepalanya. Aku mendengus. Dia pikir, hanya dia yang syok? Dia pikir, cuma dia saja yang bisa menyudutkan orang lain dengan lidahnya yang setajam pedang itu? “Apa yang Mbak tuai adalah hasil dari apa yang Mbak tabur. Mbak lupa, seperti apa perkataan Mbak Reva barusan kepadaku? Kalau Mbak pengen aku hormat kepada Mbak, tolong lakukanlah penghormatan itu terlebih dahulu kepada lawan bicaranya Mbak. Maaf, di sini aku tidak mau berkelahi atau adu mulut.” Aku berucap dingin. Memperhatikan wajah Mbak Reva yang masih pias itu dari atas hingga ke bawah dengan ekspresi sengit. “Aku hanya ingin mengingatkan ya, Mila. Karma itu ada!” Aku terkekeh kecil. Aneh manusia ini. Apa-apaan dia membawa-bawa karma segala? Memangnya, aku habis melakukan apa?
BAGIAN 55 “Maaf ya, Mas. Sepertinya, dari ucapanmu ada yang salah dan membuatku kurang berkenan.” Kujawab dengan sangat sinis omongannya Mas Sofyan. Pria itu mendadak terkesiap. Ada penyesalan di air mukanya. “Bukan begitu—” “Bukan begitu apanya?” potongku bersungut-sungut. “Satu, aku tidak pernah memaksamu supaya menolong Mas Faisal. Dua, yang pertama mengajak untuk menemui dia di RSJ kan, kamu sendiri. Tiga, tolong jangan membuat aku yang seolah-olah sudah membebanimu dengan masalah ayahnya Syifa, ya! Sama sekali nggak apple to apple untuk membandingkan masalah Mbak Revamu yang berisik dan kurang ajar itu dengan masalahmu yang menolong Mas Faisal. Aku nggak suka kamu bikin seolah-olah aku punya utang budi yang besar gara-gara kamu menolong mantan suamiku, Mas!” Kutuding wajah Mas Sofyan tanpa ragu. Sebenarnya, aku enggan berbuat kurang ajar kepadanya seperti ini. Akan tetapi, rasa-rasanya ucapan Mas Sofyan yang tadi agak keterlalua
BAGIAN 56 Sehari sudah Mbak Reva berada di rumah kami. Setelah aku sempat bertengkar beberapa kali dengannya serta dengan suamiku sendiri, untungnya di pagi hari ini tak ada perdebatan yang begitu berarti. Aku bangun pagi-pagi, kemudian salat Subuh, tetapi tidak langsung turun ke dapur seperti kemarin. Kupinta izin kepada suamiku agar aku bisa beristirahat sejenak untuk berkutat di dapur. Mas Sofyan dengan penuh perhatian memberikanku izin. Dia bilang, aku bebas mau istirahat sampai jam berapa pun. Bahkan dia bilang kalau mau lanjut tidur lagi juga tidak apa-apa. “Kalau mau tidur lagi, ya tidur aja, Sayang,” ucap Mas Sofyan sambil mengusap-usap keningku. Pria yang baru selesai tadarus satu halaman Alquran itu menatapku manis. Sedang aku, tengah berbaring di atas kasur kami yang empuk sambil memainkan ponselku. “Nggak ah, Mas. Kan, nggak baik tidur habis salat Subuh. Aku baring-baring aja dulu, Mas. Nanti kalau masih capek, jam enam pagi baru tidur,”
Bagian 57 Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk tiga kali. Aku yang sedang enak-enaknya terlelap tidur demi mengusir lelah di tubuh, terpaksa harus membuka mata lebar-lebar. Terdengar, ketukan di pintu pun semakin cepat dan nyaring suaranya. Dahiku sampai mengernyit sendiri. Siapa yang dengan tidak sabarannya mengetuk pintu begitu? “Sebentar!” pekikku parau. Aku pun perlahan bergerak. Turun dari tempat tidur sambil mengucek-ngucek mata yang masih ‘sepet’. Refleks mulutku menguap lebar dan buru-buru kututupi dengan telapak. Masih mengantuk, pikirku. Padahal, pukul enam tadi pagi aku sudah tertidur saking lelahnya. Beginilah kalau sedang hamil muda. Syukur-syukur cuma capek dan ngantuk biasa. Untungnya tidak dengan drama mual muntah hingga masuk rumah sakit segala. Nauzubillah, sih! Ceklek! Aku membuka kunci kenop pintu. Sontak diriku kaget saat melihat Mbak Reva sedang memegang pergelangan tangan Syifa. Anakku sudah
Bagian 58 Aku menutup kembali pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Kutuntun Syifa menuju ranjangku. Gadis kecil itu masih mengenakan seragam sekolahnya sambil memanggul tas ransel berwarna pink. Sedari tadi, anak sulungku itu tak bicara. Wajahnya pun seperti sedih. “Syifa, Bunda minta maaf, ya. Tadi lama nggak nungguinnya?” tanyaku sambil duduk di samping Syifa. Kami berdua sama-sama duduk di atas ranjang. Kubantu Syifa untuk melepaskan jilbab seragam yang dia pakai. “Nggak kok, Bun. Cuma nunggu sebentar aja. Tadi, langsung dibawa sama Tante Reva makan. Terus dibeliin es krim sama cokelat juga. Tante Reva pas jemput Syifa baik banget, Bun. Bercanda juga sama Syifa. Cuma, kenapa pas sudah pulang jadi galak ya, Bun? Syifa jadi takut.” Kepala Syifa langsung kuraih dan kusandarkan dalam dekapanku. Aku semakin menyesal dan merasa bersalah saja sebab sudah membuat mentalnya terusik sebab kemarahan Mbak Reva barusan. Mbak Reva memang aneh. D
Bagian 59 Aku dan Syifa sudah selesai salat Zuhur berjamaah di kamar milik gadis kecil itu. Segera saja kutidurkan Syifa di atas ranjangnya. Tak memerlukan waktu lama, anak sulungku pun tertidur pulas setelah diselimutkan serta distelkan AC dengan suhu 23 derajat selsius. Gegas aku keluar dari kamar Syifa. Tentu dengan gerakan berjinjit supaya dia tidak kaget dan kembali terjaga. Setelah itu, aku berjalan cepat menuju ruang makan karena sudah merasa kelaparan yang teramat sangat. “Bi Dilah!” sapaku kepada pembantu setia kami yang ternyata tengah mencuci singkong di wastafel. Cukup banyak singkong yang dia cuci. Bonggolannya besar-besar. Mungkin kalau ditimbang nyaris sepuluh kilogram. Aku sampai kaget juga kenapa bisa ada singkong sebanyak itu. “Iya, Mbak Mila,” sahut Bi Dilah sambil menoleh. Raut wajah Bi Dilah tak tersenyum. Beliau malah terlihat lelah dan keringat di dahinya mengucur sebesar biji jagung. Lekas kudekati
Bagian 60 “Bercandamu itu sama sekali tidak lucu, Mil!” Mbak Reva terdengar sangat keki. Aku sih, mana mau peduli? Terserah dia mau bicara apa. Aku lanjutkan saja makanku tanpa mau menoleh ke belakang lagi. “Bi Dilah, Bi Dilah! Singkongnya udah dipotong-potong belum?!” Mbak Reva kemudian berteriak sekencang-kencangnya hingga telingaku terasa berdenging saking suara itu terdengar berisik. Kupandangi punggung Mbak Reva yang berjalan masuk ke arah pintu menuju dapur yang berada di sebelah timur. Aku hanya mengernyitkan dahi. Mbak Reva ini sangat-sangat tidak tahu diri. Kapan kiranya dia didepak suamiku dari rumah kami? Aku sudah muak dan bosan sekali melihat tingkah lakunya serta mendengar jerit demi jeritan tidak pentingnya. “Ini barusan dicuci, Mbak Reva. Baru mau dikupas sama dipotong-potong. Soalnya masih banyak tanah di kulitnya. Kalau dipotong langsung, bikin kotor talenan.” Terdengar olehku suara sahutan Bi Dilah. Suara itu jelas menunjukkan rasa kesal yang tertahankan. A
Bagian 61 Piring kotor sisaku makan tadi sengaja kuletakkan di atas meja begitu saja. Aku tak memasukkannya ke dalam tudung saji malahan. Buru-buru aku pun berjalan menuju kamar sebelum si Mbak Reva keluar dari dapur. Tidak mau berpapasan wajah dengannya. Muak! Malas sekali. Daripada nanti janinku malah mirip mukanya dia. Ogah! Nauzubillah, pokoknya. Jangan sampai kejadian! Kukunci pintu kamar dari dalam. Aku mencuci tangan di kamar mandi dalam saja. Setelah itu aku pun duduk di atas ranjang sembari memainkan ponsel. Sebentar lagi aku akan mengetik bab terbaru yang bakalan tayang di cerita bersambung dengan judul terbaru karyaku. Cerita bersambung itu memiliki genre drama rumah tangga, seperti cerita-cerita sebelumnya yang pernah kutulis hingga membuat namaku melambung di jagat blantika platform baca novel online. Dari menjadi penulis novel inilah aku bisa menyambung hidup saat diriku menjanda. Cukup lumayan hasilnya. Bahkan bisa kutansfer untuk b
Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang
Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik
Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is
Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak
Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs
Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai
Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti