Semua Bab Bimantara Pendekar Kaki Satu: Bab 131 - Bab 140

582 Bab

131. Mayat-Mayat Hidup

“Apakah kami semua harus menjadi pejabat istana?” tanya Bimantara heran.“Iya, itulah kenapa Perguruan Matahari Berdiri. Para pendekar akan diakui dan akan menjadi penjaga Nusantara dengan penuh hormat. Seperti itulah para pendekar pendahulu kalian. Sekarang semuanya sudah menyebar di tiga kerajaan Nusantara. Ada yang menjadi kepala wilayah. Ada yang dipilih menjadi Panglima dan ada yang dipilih menjadi pejabat-pejabat istana yang mengurus para prajurit di istana,” jawab Kepala Perguruan.Tiba-tiba Bimantara teringat akan upacara ikrar yang akan diadakan Yang Mulia Raja untuk Pangeran Sakai dan Dahayu. Jika Bimantara tak berhasil mencegahnya, dia pasti tak akan sanggup berada di dalam kerajaan Nusantara Timur. Karena di sana nanti dia akan melihat Dahayu dan Pangeran Sakai hidup bersama.“Sekarang kembalilah ke asrmamu. Nusantara sedang terancam bahaya. Akan berat untuk kalian menghadapinya. Saya berharap kalian bisa bergabung denga
Baca selengkapnya

132. Prajurit Bayangan

“Berarti para arwah leluhur juga telah bangkit kembali karena ajian pembangkit kematian itu,” ucap Pendekar Pedang Emas dengan terkejut.“Iya. Sekarang kita lanjutkan saja pengajaran pada murid-murid. Biarlah mayat-mayat hidup itu ditangangi oleh para lulusan perguruan matahari. Mayat-mayat hidup itu tak akan bisa sampai ke sini.”“Baik, Tuan Guru Besar,” ucap Pendekar Pedang Emas.***Bimantara memasuki gua sambil membawa obor dengan sedih. Setiba  di rongga gua besar tempatnya biasa berlatih dengan Ki Walang, dia duduk sambil merenung. Di pikirannya masih tentang Dahyu dan Pangeran Sakai yang akan dinikahkan oleh Yang Mulia Raja. Tak lama kemudian cahaya putih datang ke hadapannya.Bimantara tampak tersenyum senang ketika mendapati cahaya putih itu berubah menjadi arwah Ki Walang.“Tuan Guru!” teriak Bimantara dengan bahagia.“Apa kau sedang bersedih?” tanya Ki Walang
Baca selengkapnya

133. Serangan Mayat-Mayat Hidup

Sebuah perkampungan tampak sunyi. Suara burung hantu terdengar di salah satu batang pohon. Tak lama kemudian sekawanan burung gagak  berdatangan lalu hinggap di atas pohon besar di tengah-tengah kampung itu.Di sebuah rumah, bayi tiba-tiba menangis. Ibunya terbangun lalu segera menggendong bayi itu. Bayinya terus saja menangis. Suaminya datang dengan heran.“Di atas pohon kudengar suara-suara burung gagak, istriku. Aku khawatir akan terjadi sesuatu! Sepertinya kita harus pergi malam ini juga meninggalkan kampung,” ajak suaminya dengan khawatir.“Bukankah sudah biasa burung gagak hinggap di salah satu batang pohon di kampung kita, suamiku?” tanya istrinya sambil menenangkan bayinya yang masih menangis. Istrinya menyusui bayinya, namun bayinya tampak enggan. Istrinya heran.“Kenapa dia tidak mau menyusu, suamiku?” tanya istrinya heran. “Ayo, Nak. Ini sudah larut malam! Kamu harus tidur!” pinta sang istri
Baca selengkapnya

134. Kesatria Baja

“Dari pakaiannya sepertinya dia adalah sang kesatria baja yang bangkit dari tidurnya!”Bimnatar pun langsung memasuki kampung dan menghubuskan pedangnya pada leher-leher mayat-mayat hidup yang sedang berlarian mengejar warga. Para prajurit bercahaya di belakangnya pun membantunya menebas leher para mayat-mayat itu.Seorang pendekar bertopeng berdiri menghadang Bimantara sambil membacakan mantra. Tak lama kemudian para prajurit cahaya itu langsung menghilang dari sana. Bimantara heran. Kini dia sendirian dari sana. Namun dia tidak takut. Dua pendekar yang  masih mengintip di dalam semak-semak tampak terbelalak melihat para prajurit bercahaya itu tiba-tiba lenyap dari pandangan mereka.“Dasar penjahaaat!” teriak Bimantara lalu melompat dari kudanya dan langsung mengarahkan pedangnya pada pendekar bertopeng itu.Bimantara pun mengeluarkan jurus-jurusnya untuk melawan pendekar bertopeng itu. Pendekar bertopeng tampak piawai mengel
Baca selengkapnya

135. Nyanyian Pemanggil Peri

“Iya! Mereka menggunakannya untuk ritual penambah kekuatan mereka,” jawab Ki Walang. Bimantara terdiam mendengarnya. “Istirahatlah! Aku harus pergi, nanti aku akan kembali lagi dan nanti malam kau harus kembali ke pulau seberang untuk membasmi para mayat hidup yang akan didatangkan kembali oleh perguruan tengkorak!” ucap Ki Walang. “Baik, Tuan Guru!” “Jadilah murid terbaikku!” Ki Walang tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Bimantara melepas pelindung kepalanya dan melepas satu persatu pakaian bajanya. Setelah itu dia duduk tampak menerawang jauh. “Jaga dirimu baik-baik, Kek. Semoga kau aman di sana,” ucap Bimantara dalam hatinya. *** Panglima Sada datang menghadap Raja Dwilaga di singgasananya. “Ampun, Yang Mulia. Mayat-mayat hidup kabarnya telah berhasil menyerang sebuah desa, namun seorang kesatria memakai pakaian baja telah berhasil membasmi semuanya. Saat ini hamba telah memerintahkan seluruh pasukan untu
Baca selengkapnya

136. Menemui Ibu

“Kau tidak berhak melarangku menemui Dahayu,” tegas Bimantara.Pangeran Sakai mendekat padanya.“Tak pantas lelaki lain mendekati calon ratu dari seorang Pangeran,” ucap Pangeran Sakai dengan amarah.“Sebagai lelaki kau tidak punya harga diri,” ucap Bimantara sambil tersenyum sinis. “Harusnya kau tidak memaksakan diri untuk menikah dengan gadis yang tidak mencintaimu!”Pangeran Sakai geram mendengarnya. Dia pun langsung mengeluarkan jurusnya. Bimantara pun bersiap melawannya. Sesaat kemudian Pendekar Rambut Emas datang dengan melompat dan mendarat di hadapan mereka berdua. Pendekar Rambut Emas melilitkan selendang merahnya ke tubuh Bimantara dan Pangeran Sakai hinggu dua tubuh itu tergulung menjadi satu. Tubuh mereka berdua berputar-putar terikat gulungan selendang merah itu.“Silakan kalau kalian mau bertarung!” teriak Pendekar Rambut Emas dengan marah kepada mereka berdua.Bimanta
Baca selengkapnya

137. Saksi Cinta

Dahayu berlari ke arah arwah perempuan berjubah putih itu. Dahayu mencoba memeluknya namun dia tidak bisa menyentuh tubuh ibunya.“Kau sudah dewasa sekarang,” ucap ibunya.Dahayu terus saja menangis, dia tak bisa berucap apa-apa lagi. Bimantara tampak haru melihatnya.“Jangan pernah membenci orang-orang kerajaan yang telah membunuh ibu. Ibulah yang salah, Nak,” kata ibunya. “Harusnya ibu tidak menikah dengan ayahmu!”“Ibu tidak boleh berkata begitu. Ayah sangat mencintai ibu,” ucap Dahayu.“Ibu tahu.”“Setiap tanggal kematian ibu, ayah selalu datang ke pemakan ibu,” ucap Dahayu.Ibunya menangis mendengarnya.“Aku akan menuruti nasehatmu, Ibu.”Ibunya mengangguk lalu menoleh pada Bimantara. “Anak muda,” panggilnya.Bimantara mendekat padanya. “Iya,” jawab Bimantara.“Terima kasih telah mempertemu
Baca selengkapnya

138. Jejak Perang

Tak lama kemudian Bimantara memajukan wajahnya ke wajah Dahayu. Dua bibirnya bertemu. Bimantara memeluk Dahayu dengan erat. Tangan Dahayu meremas punggung Bimantara dalam pelukannya. Untuk pertama kalinya Bimantara lupa akan semuanya. Kunang-kunang berdatangan menerangi ruangan gua. Angin sepoi-sepoi memasuki ruangan gua dari arah mulut gua. Sepasangan kekasih itu memadu kasih tak ada yang bisa menghentikannya. Dua birahi muda itu merajai mereka.Cahaya putih datang lalu membentuk bulatan yang menutupi sepasang kekasih yang masih sibuk memadu kasih. Mereka terkurung di dalam bulatan cahaya putih itu hingga ruangan gua tampak sangat terang seolah cahaya bulan dipindahkan ke dalam sana.***Hari sudah malam. Bimantara dan Dahayu terbaring  lelap di atas jerami. Tubuh Dahayu memeluk erat tubuh Bimantara dengan meletakkan tangannya di dada Bimantara. Mereka sudah tidak mengenakan sehelai benang pun lagi. Sesaat kemudian Dahayu terbangun. Dia buru-buru bangkit d
Baca selengkapnya

139. Dosa Yang Tak Semestinya

Dahayu keluar dari mulut gua. Dia terkejut mendapati Pangeran Sakai berdiri di hadapannya. Dahayu tidak tahu sejak kapan Pangeran Sakai berada di sana.“Apa yang kamu lakukan di dalam?” tanya Pangeran Sakai geram.“Memangnya kenapa?”“Kau calon istriku, tak pantas berada di dalam gua bersama lelaki lain,” bentak Pangeran Sakai.“Kau tidak berhak melarangku untuk melakukan apapun yang ingin aku lakukan,” jawab Dahayu.“Setelah ujian terakhir kita mencari kitab sakti selesai, kita akan menikah. Tak ada yang bisa mencegahnya,” ucap Pangeran Sakai geram.“Aku akan mencoba melawannya! Karena aku tidak mencintaimu!” tegas Dahayu.“Tapi ini semua karena ulahmu yang telah membohongiku!”“Katakan saja kepada Yang Mulia Raja kalau aku tidak mencintaimu. Katakan saja kepada yang mulia raja kalau aku telah membohongimu! Aku lebih baik mendapatkan huku
Baca selengkapnya

140. Perang Malam

Pasukan Gajendra tengah memacukan kuda masing-masing untuk kembali ke tempatnya di atas perbukitan. Kuda Gajendra berhenti saat melihat Pangeran Kantata tengah duduk di atas kudanya menunggu kedatangan mereka.“Aku tak butuh lagi dengan Pedang Perak Cahaya Merahmu,” kata Gajendra kepada Pangeran Kantata. “Minggir dari sana! Kami mau lewat!”“Tapi kalian perlu kekuatanku untuk bersama-sama menghancurkan Nusantara!” teriak Pangeran Kantata.Gajendra tertawa. “Dan aku tidak mau tunduk padamu! Akulah penguasa Nusantara! Dan akulah yang akan menjadi Raja di satu-satunya Kerajaan Nusantara yang kelak akan aku bangun sendiri setelah tiga kerajaan Nusantara berhasil aku hancurkan!” ancam Gajendra.Pangeran Kantata geram medengarnya. Matanya bercahaya. Angin puting beliung mulai berdatangan. Para pengikut Gajendra tampak takut di atas kuda masing-masing. Saat Angin puting beliung membesar dan mulai mendekat Gajendra
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1213141516
...
59
DMCA.com Protection Status