“Apakah kami semua harus menjadi pejabat istana?” tanya Bimantara heran.
“Iya, itulah kenapa Perguruan Matahari Berdiri. Para pendekar akan diakui dan akan menjadi penjaga Nusantara dengan penuh hormat. Seperti itulah para pendekar pendahulu kalian. Sekarang semuanya sudah menyebar di tiga kerajaan Nusantara. Ada yang menjadi kepala wilayah. Ada yang dipilih menjadi Panglima dan ada yang dipilih menjadi pejabat-pejabat istana yang mengurus para prajurit di istana,” jawab Kepala Perguruan.
Tiba-tiba Bimantara teringat akan upacara ikrar yang akan diadakan Yang Mulia Raja untuk Pangeran Sakai dan Dahayu. Jika Bimantara tak berhasil mencegahnya, dia pasti tak akan sanggup berada di dalam kerajaan Nusantara Timur. Karena di sana nanti dia akan melihat Dahayu dan Pangeran Sakai hidup bersama.
“Sekarang kembalilah ke asrmamu. Nusantara sedang terancam bahaya. Akan berat untuk kalian menghadapinya. Saya berharap kalian bisa bergabung denga
“Berarti para arwah leluhur juga telah bangkit kembali karena ajian pembangkit kematian itu,” ucap Pendekar Pedang Emas dengan terkejut.“Iya. Sekarang kita lanjutkan saja pengajaran pada murid-murid. Biarlah mayat-mayat hidup itu ditangangi oleh para lulusan perguruan matahari. Mayat-mayat hidup itu tak akan bisa sampai ke sini.”“Baik, Tuan Guru Besar,” ucap Pendekar Pedang Emas.***Bimantara memasuki gua sambil membawa obor dengan sedih. Setiba di rongga gua besar tempatnya biasa berlatih dengan Ki Walang, dia duduk sambil merenung. Di pikirannya masih tentang Dahyu dan Pangeran Sakai yang akan dinikahkan oleh Yang Mulia Raja. Tak lama kemudian cahaya putih datang ke hadapannya.Bimantara tampak tersenyum senang ketika mendapati cahaya putih itu berubah menjadi arwah Ki Walang.“Tuan Guru!” teriak Bimantara dengan bahagia.“Apa kau sedang bersedih?” tanya Ki Walang
Sebuah perkampungan tampak sunyi. Suara burung hantu terdengar di salah satu batang pohon. Tak lama kemudian sekawanan burung gagak berdatangan lalu hinggap di atas pohon besar di tengah-tengah kampung itu.Di sebuah rumah, bayi tiba-tiba menangis. Ibunya terbangun lalu segera menggendong bayi itu. Bayinya terus saja menangis. Suaminya datang dengan heran.“Di atas pohon kudengar suara-suara burung gagak, istriku. Aku khawatir akan terjadi sesuatu! Sepertinya kita harus pergi malam ini juga meninggalkan kampung,” ajak suaminya dengan khawatir.“Bukankah sudah biasa burung gagak hinggap di salah satu batang pohon di kampung kita, suamiku?” tanya istrinya sambil menenangkan bayinya yang masih menangis. Istrinya menyusui bayinya, namun bayinya tampak enggan. Istrinya heran.“Kenapa dia tidak mau menyusu, suamiku?” tanya istrinya heran. “Ayo, Nak. Ini sudah larut malam! Kamu harus tidur!” pinta sang istri
“Dari pakaiannya sepertinya dia adalah sang kesatria baja yang bangkit dari tidurnya!”Bimnatar pun langsung memasuki kampung dan menghubuskan pedangnya pada leher-leher mayat-mayat hidup yang sedang berlarian mengejar warga. Para prajurit bercahaya di belakangnya pun membantunya menebas leher para mayat-mayat itu.Seorang pendekar bertopeng berdiri menghadang Bimantara sambil membacakan mantra. Tak lama kemudian para prajurit cahaya itu langsung menghilang dari sana. Bimantara heran. Kini dia sendirian dari sana. Namun dia tidak takut. Dua pendekar yang masih mengintip di dalam semak-semak tampak terbelalak melihat para prajurit bercahaya itu tiba-tiba lenyap dari pandangan mereka.“Dasar penjahaaat!” teriak Bimantara lalu melompat dari kudanya dan langsung mengarahkan pedangnya pada pendekar bertopeng itu.Bimantara pun mengeluarkan jurus-jurusnya untuk melawan pendekar bertopeng itu. Pendekar bertopeng tampak piawai mengel
“Iya! Mereka menggunakannya untuk ritual penambah kekuatan mereka,” jawab Ki Walang. Bimantara terdiam mendengarnya. “Istirahatlah! Aku harus pergi, nanti aku akan kembali lagi dan nanti malam kau harus kembali ke pulau seberang untuk membasmi para mayat hidup yang akan didatangkan kembali oleh perguruan tengkorak!” ucap Ki Walang. “Baik, Tuan Guru!” “Jadilah murid terbaikku!” Ki Walang tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Bimantara melepas pelindung kepalanya dan melepas satu persatu pakaian bajanya. Setelah itu dia duduk tampak menerawang jauh. “Jaga dirimu baik-baik, Kek. Semoga kau aman di sana,” ucap Bimantara dalam hatinya. *** Panglima Sada datang menghadap Raja Dwilaga di singgasananya. “Ampun, Yang Mulia. Mayat-mayat hidup kabarnya telah berhasil menyerang sebuah desa, namun seorang kesatria memakai pakaian baja telah berhasil membasmi semuanya. Saat ini hamba telah memerintahkan seluruh pasukan untu
“Kau tidak berhak melarangku menemui Dahayu,” tegas Bimantara.Pangeran Sakai mendekat padanya.“Tak pantas lelaki lain mendekati calon ratu dari seorang Pangeran,” ucap Pangeran Sakai dengan amarah.“Sebagai lelaki kau tidak punya harga diri,” ucap Bimantara sambil tersenyum sinis. “Harusnya kau tidak memaksakan diri untuk menikah dengan gadis yang tidak mencintaimu!”Pangeran Sakai geram mendengarnya. Dia pun langsung mengeluarkan jurusnya. Bimantara pun bersiap melawannya. Sesaat kemudian Pendekar Rambut Emas datang dengan melompat dan mendarat di hadapan mereka berdua. Pendekar Rambut Emas melilitkan selendang merahnya ke tubuh Bimantara dan Pangeran Sakai hinggu dua tubuh itu tergulung menjadi satu. Tubuh mereka berdua berputar-putar terikat gulungan selendang merah itu.“Silakan kalau kalian mau bertarung!” teriak Pendekar Rambut Emas dengan marah kepada mereka berdua.Bimanta
Dahayu berlari ke arah arwah perempuan berjubah putih itu. Dahayu mencoba memeluknya namun dia tidak bisa menyentuh tubuh ibunya.“Kau sudah dewasa sekarang,” ucap ibunya.Dahayu terus saja menangis, dia tak bisa berucap apa-apa lagi. Bimantara tampak haru melihatnya.“Jangan pernah membenci orang-orang kerajaan yang telah membunuh ibu. Ibulah yang salah, Nak,” kata ibunya. “Harusnya ibu tidak menikah dengan ayahmu!”“Ibu tidak boleh berkata begitu. Ayah sangat mencintai ibu,” ucap Dahayu.“Ibu tahu.”“Setiap tanggal kematian ibu, ayah selalu datang ke pemakan ibu,” ucap Dahayu.Ibunya menangis mendengarnya.“Aku akan menuruti nasehatmu, Ibu.”Ibunya mengangguk lalu menoleh pada Bimantara. “Anak muda,” panggilnya.Bimantara mendekat padanya. “Iya,” jawab Bimantara.“Terima kasih telah mempertemu
Tak lama kemudian Bimantara memajukan wajahnya ke wajah Dahayu. Dua bibirnya bertemu. Bimantara memeluk Dahayu dengan erat. Tangan Dahayu meremas punggung Bimantara dalam pelukannya. Untuk pertama kalinya Bimantara lupa akan semuanya. Kunang-kunang berdatangan menerangi ruangan gua. Angin sepoi-sepoi memasuki ruangan gua dari arah mulut gua. Sepasangan kekasih itu memadu kasih tak ada yang bisa menghentikannya. Dua birahi muda itu merajai mereka.Cahaya putih datang lalu membentuk bulatan yang menutupi sepasang kekasih yang masih sibuk memadu kasih. Mereka terkurung di dalam bulatan cahaya putih itu hingga ruangan gua tampak sangat terang seolah cahaya bulan dipindahkan ke dalam sana.***Hari sudah malam. Bimantara dan Dahayu terbaring lelap di atas jerami. Tubuh Dahayu memeluk erat tubuh Bimantara dengan meletakkan tangannya di dada Bimantara. Mereka sudah tidak mengenakan sehelai benang pun lagi. Sesaat kemudian Dahayu terbangun. Dia buru-buru bangkit d
Dahayu keluar dari mulut gua. Dia terkejut mendapati Pangeran Sakai berdiri di hadapannya. Dahayu tidak tahu sejak kapan Pangeran Sakai berada di sana.“Apa yang kamu lakukan di dalam?” tanya Pangeran Sakai geram.“Memangnya kenapa?”“Kau calon istriku, tak pantas berada di dalam gua bersama lelaki lain,” bentak Pangeran Sakai.“Kau tidak berhak melarangku untuk melakukan apapun yang ingin aku lakukan,” jawab Dahayu.“Setelah ujian terakhir kita mencari kitab sakti selesai, kita akan menikah. Tak ada yang bisa mencegahnya,” ucap Pangeran Sakai geram.“Aku akan mencoba melawannya! Karena aku tidak mencintaimu!” tegas Dahayu.“Tapi ini semua karena ulahmu yang telah membohongiku!”“Katakan saja kepada Yang Mulia Raja kalau aku tidak mencintaimu. Katakan saja kepada yang mulia raja kalau aku telah membohongimu! Aku lebih baik mendapatkan huku
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it