Semua Bab Pernikahan di Balik Skandal: Bab 111 - Bab 120

183 Bab

111. Salah Sendiri

Dexter menerima jabat tangan sebagai ucapan selamat ulang tahun dari para petinggi Buana Prima Konstruksi dengan pandangan tidak sabar. Tangannya terasa seperti kebas tiap kali ada yang menjabat tangannya. Tangan itu sebenarnya mencari sesuatu yang lain, sesuatu yang bisa disentuhnya di luar dan di dalam, sesuatu yang sepertinya bisa lumer di dalam panas tubuhnya tetapi tetap saja membuatnya hangat. Sejak tiba jam 1 kurang 5 menit, hanya 5 menit sebelum rapat dimulai, dia menarik Felix ke ruangan kecil di dalam ruang rapat itu, tanpa peduli pada orang-orang yang menunggunya memulai rapat. Dia membelalakkan matanya saat menemukan banyak makanan di ruangan itu, beberapa di antaranya adalah masakan Eve. Tentu saja dia yakin karena memang dengan tidak sopan dia mengambil mangkuk dan menciduk sop ayam yang ada di sebuah wadah cantik berukuran besar yang bisa mempertahankan suhu hangat sop itu. “Eve mana?” tanya Dexter sambil menghirup kuah sop dan mengunyah sosis ayamnya.
Baca selengkapnya

112. Temui Aku

Eve sudah hampir berangkat ke Malang sore itu. Niatnya batal karena telpon dari Darwin. “Temui aku malam ini juga! Kalau tidak, aku…” kata Darwin dengan nada tinggi. Darwin tidak bisa memperlihatkan kemarahannya pada semua orang, hanya pada orang-orang tertentu, salah satunya Eve. Itu adalah kebiasaan yang diajarkan oleh ayahnya, kemarahan yang tampak adalah sebuah kelemahan, ketenangan adalah kemenangan. Darwin mengingat itu dengan baik apalagi itu membantunya saat dia menghadapi orang tua pasien-pasiennya atau pada rekan-rekan kerjanya. Mungkin itu juga sebabnya kalau dia sangat menyukai dan merasa cocok dengan Eve yang terlihat selalu tenang. “Tunggu saja, malam ini juga kita akan ketemu,” sahut Eve dengan tenang memotong perkataan Darwin. Darwin memang begitu, kalau dia sangat marah maka dia perlu menyemburkan kemarahannya pada orang itu, dan kali ini pada Eve. Tetapi Eve yakin ini pastilah sangat penting. Eve menyalakan ponselnya dan mengabaikan
Baca selengkapnya

113. Frans Satria, Si Langit Biru

Sebuah foto yang memperlihatkan seorang pria yang sedikit membungkuk dengan wajah ceria dan menebar senyuman secerah langit yang tampak di belakangnya. Ada wanita muda memeluk leher pria itu dari belakang dengan senyum merekah yang tak terkalahkan dengan cerahnya sinar matahari. Keduanya masih muda dan sedang kasmaran.Di balik ada tulisan, terdengar seperti puisi singkat yang indah. Tidak diragukan, itu dibuat oleh pasangan yang sedang jatuh cinta. Itu bukan tulisan tangan Aze, puisi itu mungkin dibuat oleh pria di dalam foto.Razeena Daveno tidak akan pernah bersinar seindah sinar mentari tanpa Frans Satria yang menyediakan hati seluas langit biru. Frans Satria tidak akan ragu menyerahkan hati pada Razeena Daveno yang telah bersinar dan menguak gelapnya malam.Mereka seperti pasangan mentari yang bersinar dan langit yang biru. Indah dan tidak terganti. Happy Valentine’s Day. Gunung Tangkuban
Baca selengkapnya

114. Hanas dan Wenas Harahap

Dari dulu Hanas Harahap menyadari benar kalau Wongso bukanlah target yang mudah. Semua anggota Keluarga Wongso sepertinya punya keberuntungan yang luar biasa untuk lolos dari kejatuhan, termasuk anggota keluarga termuda mereka, Dexter Wongso. Oh bukan, anggota keluarga termuda mereka Daniel Albert Wongso belum merasakan imbas apa pun gara-gara mereka gagal menjatuhkan ayahnya, Dexter. Keberuntungan seorang Wongso pun tak pernah lepas dari bantuan sekumpulan Daveno. Ada apa sebenarnya Wongso dan Daveno itu? Setahun lalu Hanas juga sudah khawatir kalau rencananya akan gagal saat melihat pernikahan Reveline dan Dexter benar-benar terjadi. Dia datang, mengintai kondisi sekitar dan tersenyum kecut.  Meskipun sempat gentar, Hanas tetap melanjutkan semuanya. Dan dugaannya benar, semua berantakan gara-gara Reveline, lagi-lagi seorang Daveno, perempuan pula! Keberuntungan macam apa ini?! Bukannya dia tidak mencoba menggagalkan pernikahan itu, sempat dia mendengar
Baca selengkapnya

115. Masih Ingat?

Beberapa hari ini Dexter sudah kembali tenang. Bekerja sampai hampir pagi, tidur 3 atau 4 jam lalu mulai bekerja lagi di kantor cabang, tanpa ada hari libur. Tidak peduli itu Sabtu atau Minggu atau tanggal di kalender berwarna merah itu tidak memberikan pengaruh untuk Dexter. Bagusnya Felix jadi tidak perlu repot-repot melihat kalender seperti biasanya untuk mengatur jadwal kalau Dexter ingin pulang karena membutuhkan belaian istrinya dan tawa anaknya. Felix juga ikut limbung sebenarnya untuk alasan yang berbeda. Dexter ingin lelah dan Felix terlalu lelah. Jadi Felix biasanya tidur lebih dulu tanpa peduli kalau Dexter masih membuka matanya lebar-lebar atau tertidur di meja kerja hotel. Kasur di kamar hotel yang seharusnya ditempati Dexter nyaris tidak tersentuh, selalu rapi di pagi hari. Sebenarnya kalau boleh meminta, Felix ingin Dexter didiamkan oleh Eve agak lama, bisa untuk shock therapy supaya dia tidak akan mengulangi kebodohannya lagi. Tetapi Felix harus kecew
Baca selengkapnya

116. Ingat Barnie?

17 Januari 2019 Dexter menarik napas lega melihat tumpukan file di depannya. Jam 3 pagi, seharusnya dia lelah dan tidur namun malah makin segar. Itu pasti karena pekerjaannya sudah selesai. Laporan akhir sudah diserahkan ke pusat. Dexter sudah mengusulkan perubahan direktur anak perusahaan yang sekarang sedang diperiksanya, di Kediri, banyak kejanggalan dalam pembukuan dan laporan bahan, belum lagi gosip menyogok pejabat desa setempat untuk pembebasan lahan. Dia menengok ke arah Felix yang sedang tidur di ranjang dekat lemari. Hari ini sama seperti yang sebelumnya, mereka berbagi kamar lagi. Sesuai janji, urusan di Jawa Timur selesai, boleh pulang ke Jakarta untuk membelai istrinya dan menggendong anaknya. Ayahnya bahkan berpesan agar Dexter menggeseknya lebih sering sampai menghasilkan sesuatu, sesuatu yang lucu dan kalau bisa berwajah mirip Eve atau Dexter. Itu mudah dimengerti, orang tua Dexter ingin memiliki cucu lagi, yang bermata coklat seperti Eve yang
Baca selengkapnya

117. Berhati-hatilah!

Saat Felix menyetir mobil Alphard masuk ke halaman Rumah Besar D, dia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Baru kali ini dia masuk ke dalam rumah Keluarga Daveno itu. Rumah itu memiliki gerbang tinggi seperti sebuah istana berwarna putih dan keemasan. Tidak berlebihan, tampak anggun namun berkuasa. Jalan masuk cukup luas sampai bisa dilewati untuk dua mobil dan dikelilingi taman yang luas. Parkir mobil tamu cukup dekat dengan garasi para penghuni rumah, sekitar 300 meter dari gerbang masuk. Gerbang keluar juga sudah terlihat, lebih kecil daripada yang pertama. “Ada danau buatan yang dikelilingi hutan buatan dan taman di belakang rumah ini. Sulit melihatnya dari sini. Kakek Eve menyukai pemandangan semacam itu,” kata Dexter saat melihat pandangan mata Felix yang meneliti rumah itu dengan cermat. Rumah ini memang selalu menarik perhatian orang yang baru pertama kali masuk ke dalamnya. Dexter menyuruh Felix berhenti di depan sebuah tangga besar yang akan menu
Baca selengkapnya

118. Tidak Menggunakan Hati

Eve memandang ayahnya dengan penuh perhatian saat itu. Dan Eve menyadari ayahnya sedang berbohong. Kata ‘tidak’ yang diucapkan dua kali itu seperti meyakinkan dirinya sendiri ketimbang meyakinkan orang lain. Ayahnya tidak akan mengatakan hal yang sama dua kali, tidak akan pernah. Tetapi Eve memang mengerti bagaimana ayahnya. Jauh di lubuk hatinya Erick juga tidak suka berbohong karena sebuah kebohongan itu menyakiti orang lain, tetapi memang konsepnya sekarang adalah ‘white lie’. Jadi saat berbohong dia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa kebohongan itu tidak menyakiti orang-orang yang dia cintai. Akhirnya Eve mengambil satu fakta penting kalau ayahnya juga mengenal Wenas Harahap. Bahkan baru-baru ini Eve juga mendengar nama Hanas Harahap di belakang pria itu. Namun semuanya kembali tertutup, kabur, dan menghilang seakan semuanya menutupi hal-hal yang seharusnya ada di depan matanya. Peringatan itu juga tidak main-main. Eve yakin ayahnya tidak pernah menak
Baca selengkapnya

119. Menjadi Dirinya Sendiri

Daniel sudah bangun lebih dulu dan mulai menjambak rambut Daddy. Menciumnya membabi buta dengan tangan memegangi wajah Daddy padahal Daddy masih tidur. Dia sangat senang dan bersemangat karena orang yang ditunggunya sudah pulang. Eve sudah keluar dari kamar mandi dengan jubah mandinya dan memilih menonton pemandangan drama perang lucu antara Daniel dan Dexter. Dia lalu ikut berlutut di atas ranjangnya tetapi tidak ingin melakukan apa pun untuk memisahkan mereka, hanya ingin menonton dan tersenyum tanpa henti. “Kamu kerja hari ini?” tanya Eve. Dexter baru saja bangun dalam posisi kepalanya agak tegak dan badan masih enak telentang. Dia memeluk Daniel di sebelahnya yang masih saja mengganggunya, tetapi dia tidak keberatan. Eve yang memindahkan Daniel segera setelah dia bangun karena khawatir Dexter tidak mendengar suara bayi yang akan bangun sebentar lagi. Maya merasa tidak enak masuk ke kamar Daniel kalau Daddy sedang pulang dan Eve tidak keberatan. Eve juga a
Baca selengkapnya

120. Janji Masa Lalu

Sebenarnya Dexter juga tidak perlu penjelasan Eve soal Darwin karena dia sudah mengorek semua informasi dari Darwin sendiri, meskipun pasti ada bagian yang disensor sendiri oleh Darwin. Jadi tidak bisa 100% bisa dipercaya. Masih ada sumber yang paling bisa dipercaya, itu adalah ibu mertuanya, Rita. Itulah kegunaan menemani mertuanya belanja, dari pakaian, kebutuhan rumah tangga sampai perhiasan. Dexter itu menantu favorit Rita, bukan karena dia satu-satunya, tetapi karena dia bisa diajak berbelanja bersama. Rita juga tidak merasa keberatan membagi informasi soal Eve. Dexter kadang memang bisa sangat menjengkelkan jika menginginkan sesuatu, sama seperti Eve, hanya saja lebih terang-terangan di depan Rita. Dexter akan suka bertanya apa saja yang diinginkannya dan biasanya memang seputar kehidupan Eve sebelum menikah. Rita sebagai ibu Eve, kadang ingin menjewer telinganya dan berkata, “Bukankah ini sudah terlambat?! Dulu diberi kesempatan kenapa tidak dipakai de
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1011121314
...
19
DMCA.com Protection Status