Home / Lainnya / Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa / Chapter 111 - Chapter 120

All Chapters of Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa: Chapter 111 - Chapter 120

217 Chapters

Ketenangan

Si gadis terjengkang, bergedebukkan ke tanah, lantai pasar. Pipi kirinya sangat merah, merah karena tamparan juga lantaran malu di hadapan rekan-rekanya. Sudut bibirnya pecah, telinganya berdenging kencang, walaupun sesungguhnya Mantiko Sati menampar gadis itu bukan dengan disertai tenaga dalam.Lagi pula, ini kali pertamanya Mantiko Sati menjatuhkan tangan kasar pada seorang wanita, seorang gadis pula. Hanya saja, alasan di balik itu sudah sangat jelas.Bersamaan dengan si gadis terhempas, rekan-rekannya langsung menyerang ke arah si pemuda yang cukup asing bagi mereka semua.Mantiko Sati melemparkan karambit yang ia dapatkan barusan tadi.Jlept!Senjata tajam itu menancap kurang dari seinci saja di depan kaki seorang pemuda yang paling depan hendak menyerangnya.Hal tersebut, sudah lebih daripada cukup bagi muda-mudi murid Datuak Marapi untuk tidak meneruskan serangan mereka, atau semua hanya akan menjadi kesia-siaan.“Kau, pe
last updateLast Updated : 2022-01-03
Read more

Tanpa Nama

Sebab Mantiko Sati yang sepertinya tidak mengacuhkan pertanyaan Datuak Marapi, pria di punggung kuda di samping kiri belakang sang datuak menggerakkan kedua tangannya.Syiu—syiuu…!Dua senjata rahasia melesat dengan cepat mengarah ke punggung pemuda rupawan itu.“Kau terlalu angkuh!” ucap si pria 30 tahun itu.Teph—teph!Mantiko Sati tersenyum, dua pisau kecil bergagang hitam dan berumbai-rumbai merah itu ditangkap dengan mudah.“Aku bukan angkuh,” ujar pemuda rupawan, “dan semoga dewa menjauhkanku dari sifat seperti itu. Aku hanya kasihan melihat orang-orang pasar yang kalian tindas. Kurasa kalian pasti sudah melihat itu.”Saat pemuda rupawan itu melirik ke kiri, sekumpulan muda-mudi murid Datuak Marapi sama menelan ludah dan bersiaga, terlebih dengan dua pisau kecil di tangannya kini itu. Tapi pemuda itu membuang pisau-pisau itu ke samping kanan.Clept—clept!
last updateLast Updated : 2022-01-03
Read more

Telapak Marapi Manggilo

Di satu kesempatan, empat telapak beradu kencang, dan keduanya saling terpental beberapa langkah.Mantiko Sati terlempar dua langkah sementara Andas Rupati melentingkan tubuhnya ke belakang dengan berputar-putar.Tsiu—syiuu!Ia melepaskan lagi dua senjata rahasianya saat mengambang di udara, dan kembali melepaskan senjata rahasianya kala kakinya menjejak tanah.Mantiko Sati melompat pendek ke belakang, dua pisau kecil menancap di tanah, lalu melompat pula ke arah kiri.Takh—takh!Dua pisau kecil menancap di satu gerobak dagang.Andas Rupati melompat jauh ke depan, kembali mengibaskan kedua tangannya ke arah kiri, bahkan bertubi-tubi. Setidaknya, ada lima pisau kecil yang menderu mengejar lawannya.Mantiko Sati yang baru saja menjejak tanah langsung menyambar sebuah peti kayu untuk menahan lima pisau kecil yang menderu ganas itu.Takh-takh-takh!Tiga pisau menancap di permukaan peti yang diangkat Mantik
last updateLast Updated : 2022-01-03
Read more

Datuak Marapi

“Sudah kukatakan bukan?” Gadih Cimpago menyeringai ketika para murid ayahnya yang sedang memapah Andas Rupati lewat di samping kudanya. “Jangan terlalu percaya diri.”“Terkutuk kau, Cimpago—” dan diakhiri dengan Andas Rupati yang kembali memuntahkan gumpalan darah merah kebiru-biruan.Sang gadis hanya menyeringai saja menanggapi kondisi kakak laki-lakinya itu.“Berhentilah mengolok-olok abangmu sendiri, Gadih!”Sang gadis berdeham kecil. “Maaf, Ayah,” ujarnya. Tatapannya kini kembali tertuju pada pemuda rupawan di depan sana. “Ayah ingin aku yang menyelesaikan hal ini? Menginginkan aku menghadapi pemuda itu?”Datuak Marapi menyeringai. “Kalaupun aku merasa kau mampu mengimbangi pemuda itu, tapi aku tidak ingin kau mengalami luka apa pun. Tidak dengan hari pernikahanmu yang akan segera tiba.”Sang gadis menyeringai. “Baik sekali,” ucapnya. &l
last updateLast Updated : 2022-01-03
Read more

Nafsu Membunuh

Seberapa hebat pun empat racun di dalam tubuhnya mampu menahan keganasan kesaktian yang dimiliki lawannya—seperti Datuak Marapi itu—cepat atau lambat, tubuhnya pasti akan terluka juga, dan berakhir dengan menemui ajal.Mantiko Sati sangat menyadari hal ini. Ia tidak akan terlena dengan kemampuan tubuhnya itu. Bila bertahan saja tidaklah cukup, maka menyerang adalah pilihan terbaik. Paling tidak, hal inilah yang sering ia amati dari apa yang pernah dilakukan si Harimau Putih Bermata Biru dalam setiap menghadapi mangsanya, entah itu ular-ular besar dan berbisa, ataupun makhluk-makhluk buas lainnya.Si pemuda rupawan kembali berdiri tegak, membuka kedua kakinya sedikit lebih lebar, mengentakkan dua tangannya ke bawah, menyilang, dalam bentuk cakaran.“Apakah kau akan serius sekarang?” kekeh Datuak Marapi. “Bagus, bagus…” ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Justru itu yang aku tunggu-tunggu.”Dua deru ang
last updateLast Updated : 2022-01-03
Read more

Mata yang Tidak Bisa Dikelabui

Untuk kesekian kalinya kawasan pasar itu bergetar sebab aliran tenaga dalam yang besar kembali menghantam permukaan tanah, membuat lubang yang lebih lebar lagi dari yang sebelumnya.Entah karena ia yang kurang awas, atau lantaran menganggap rendah pemuda rupawan itu, atau pula karena ia yang sudah berusia setengah abad sehingga refleksnya tidak sebaik Mantiko Sati, sehingga, ketika Datuak Marapi mencoba berbalik dengan cepat.Teph—teph!Dua tinju pemuda itu menempel di dada Datuak Marapi, bola mata si pria setengah baya melebar. Sepersekian detik kemudian…Dhummm!Hekh!Datuak Marapi terpental, ia mengertakkan rahangnya namun tak mampu menahan bersitan darah dari dalam mulutnya. Seiring itu pula pakaian dan tubuh sang datuak robek-robek seperti terkena ribuan benda tajam.Tubuh pria setengah baya berputar-putar lalu terbanting, membentur keras kuda tunggangan yang sebelumnya ia gunakan.Kuda itu meringkik keras dan
last updateLast Updated : 2022-01-05
Read more

Alasan Berbuat Baik

Di tepi jalan di pinggir hutan itu, Mantiko Sati akan berpisah dengan Etek Dalimo. Ada beberapa orang lainnya di sana, orang-orang pasar yang secara berpatungan menyewa sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda dengan bentuk gerobaknya yang panjang dan lebar.“Sudahlah, Etek,” ujar Mantiko Sati saat wanita setengah baya itu memberikan banyak makanan untuknya. “Ini terlalu banyak untuk kumakan sendiri. Sangat disayangkan bila nanti hanya akan menjadi basi dan terbuang.”“Sudah,” sahut Etek Dalimo. “Jangan kau tolak, anak muda. Kau boleh memiliki kesaktian tinggi, tapi kalau menolak rezeki, kau hanya akan dikutuk oleh para dewa!”Mantiko Sati tertawa tanpa suara. “Terima kasih.”“Tidak,” ucap Etek Dalimo. “Aku yang berterima kasih padamu.”“Kami juga!” sahut orang-orang di atas gerobak itu.“Nah,” kata Etek Dalimo. &
last updateLast Updated : 2022-01-06
Read more

Menuju Singkarak

Sore hari ketika sang surya berada di titik sepertiga terakhirnya di langit barat, dua ekor kuda yang menarik kereta itu berhenti di satu titik jalan tanah. Si pria 30 tahun memandang ke belakang, ia tersenyum mendapati Maniko Sati yang sepertinya terlelap.‘Yaa, dia pasti sangat kelelahan setelah bertarung seperti itu tadi,’ gumam si pria di dalam hati.Ia pun turun dari kursi saisnya, lalu menyambar sebuah kantong kulit yang berisi air minum, lalu mencuci wajahnya dengan air tersebut.Setelah itu, ia membangunkan si pemuda rupawan yang terlihat nyenyak sembari menggigit sebatang rumput kering.‘Ada-ada saja!’ senyum di pria.“Sati, bangunlah!” ujarnya. “Kita sudah tiba di Nagari Pariangan.”Mantiko Sati membuka matanya, lalu seolah baru sadar jika ia sudah tertidur lelap, dengan cepat ia duduk, dan langsung turun dari atas gerobak tersebut.“Aah, maafkan aku, Uda
last updateLast Updated : 2022-01-06
Read more

Tatapan Mencurigakan

Mantiko Sati menghentikan larinya sebelum langit benar-benar berubah menjadi gelap, paling tidak, pemuda tersebut ingin melepaskan dahaganya.Di sisi kiri, ia melihat bukit yang membentang hingga ke ujung tenggara sana, Bukit Batu Basa. Sementara di bagian kanan, adalah hutan rimba dataran rendah.Sang pemuda memeriksa ke bagian kanan sebab lamat-lamat ia mendengar suara aliran air.Benar. Sebuah aliran anak sungai. Ia pun tersenyum dan bergegas turun mendekati aliran anak sungai tersebut.Saat sang pemuda membasuh mukanya di aliran air nan sejuk itu, ia melihat cukup banyak ikan-ikan seukuran empat jari tangan. Tapi lantaran ia yang tidak merasa lapar, ia pun mengacuhkan ikan-ikan tersebut.‘Tidak ada pilihan,’ pikirnya ketika ia bangkit dan memandang ke sekeliling. ‘Malam sudah jatuh. Lebih baik mencari satu tempat untuk berisitirahat.’Kembali sang pemuda rupawan naik ke jalan tanah sebelumnya itu,
last updateLast Updated : 2022-01-11
Read more

Kelopak Teratai yang Tidak Lengkap

“Maaf, Paduko Ratu,” ujar Angku Mudo. “Kami masih belum mendapatkan kepingan ketiga dari tangan Datuak Sani.”Brakk!Sang ratu menggebrak meja riasnya itu, bahkan sisir gading di tangannya sampai patah berserpihan.Angku Mudo dan Siladiang Kamba sama membungkukkan tubuh mereka.“Apa lagi alasan kalian kali ini, hemm?” sang ratu lantas berdiri, lalu berbalik, dan mendekati Angku Mudo serta Siladiang Kamba. Ia berdiri sekitar empat-lima langkah dari keduanya. “Apakah tidak cukup bagi kalian dengan apa yang sudah aku berikan, hah?!”“Maaf…”Plek!Angku Mudo dengan mudah menangkap pergelangan tangan kanan sang ratu yang terayun hendak menampar dirinya itu.“Kau berani melawanku?” sorot mata sang ratu semakin tajam.“Jangan paksa aku untuk menyakiti Anda, Paduko Ratu,” ucap Angku Mudo pula. “Jangan.”“Paduko Rat
last updateLast Updated : 2022-01-11
Read more
PREV
1
...
1011121314
...
22
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status