Di tepi jalan di pinggir hutan itu, Mantiko Sati akan berpisah dengan Etek Dalimo. Ada beberapa orang lainnya di sana, orang-orang pasar yang secara berpatungan menyewa sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda dengan bentuk gerobaknya yang panjang dan lebar.
“Sudahlah, Etek,” ujar Mantiko Sati saat wanita setengah baya itu memberikan banyak makanan untuknya. “Ini terlalu banyak untuk kumakan sendiri. Sangat disayangkan bila nanti hanya akan menjadi basi dan terbuang.”
“Sudah,” sahut Etek Dalimo. “Jangan kau tolak, anak muda. Kau boleh memiliki kesaktian tinggi, tapi kalau menolak rezeki, kau hanya akan dikutuk oleh para dewa!”
Mantiko Sati tertawa tanpa suara. “Terima kasih.”
“Tidak,” ucap Etek Dalimo. “Aku yang berterima kasih padamu.”
“Kami juga!” sahut orang-orang di atas gerobak itu.
“Nah,” kata Etek Dalimo. &
Sore hari ketika sang surya berada di titik sepertiga terakhirnya di langit barat, dua ekor kuda yang menarik kereta itu berhenti di satu titik jalan tanah. Si pria 30 tahun memandang ke belakang, ia tersenyum mendapati Maniko Sati yang sepertinya terlelap.‘Yaa, dia pasti sangat kelelahan setelah bertarung seperti itu tadi,’ gumam si pria di dalam hati.Ia pun turun dari kursi saisnya, lalu menyambar sebuah kantong kulit yang berisi air minum, lalu mencuci wajahnya dengan air tersebut.Setelah itu, ia membangunkan si pemuda rupawan yang terlihat nyenyak sembari menggigit sebatang rumput kering.‘Ada-ada saja!’ senyum di pria.“Sati, bangunlah!” ujarnya. “Kita sudah tiba di Nagari Pariangan.”Mantiko Sati membuka matanya, lalu seolah baru sadar jika ia sudah tertidur lelap, dengan cepat ia duduk, dan langsung turun dari atas gerobak tersebut.“Aah, maafkan aku, Uda
Mantiko Sati menghentikan larinya sebelum langit benar-benar berubah menjadi gelap, paling tidak, pemuda tersebut ingin melepaskan dahaganya.Di sisi kiri, ia melihat bukit yang membentang hingga ke ujung tenggara sana, Bukit Batu Basa. Sementara di bagian kanan, adalah hutan rimba dataran rendah.Sang pemuda memeriksa ke bagian kanan sebab lamat-lamat ia mendengar suara aliran air.Benar. Sebuah aliran anak sungai. Ia pun tersenyum dan bergegas turun mendekati aliran anak sungai tersebut.Saat sang pemuda membasuh mukanya di aliran air nan sejuk itu, ia melihat cukup banyak ikan-ikan seukuran empat jari tangan. Tapi lantaran ia yang tidak merasa lapar, ia pun mengacuhkan ikan-ikan tersebut.‘Tidak ada pilihan,’ pikirnya ketika ia bangkit dan memandang ke sekeliling. ‘Malam sudah jatuh. Lebih baik mencari satu tempat untuk berisitirahat.’Kembali sang pemuda rupawan naik ke jalan tanah sebelumnya itu,
“Maaf, Paduko Ratu,” ujar Angku Mudo. “Kami masih belum mendapatkan kepingan ketiga dari tangan Datuak Sani.”Brakk!Sang ratu menggebrak meja riasnya itu, bahkan sisir gading di tangannya sampai patah berserpihan.Angku Mudo dan Siladiang Kamba sama membungkukkan tubuh mereka.“Apa lagi alasan kalian kali ini, hemm?” sang ratu lantas berdiri, lalu berbalik, dan mendekati Angku Mudo serta Siladiang Kamba. Ia berdiri sekitar empat-lima langkah dari keduanya. “Apakah tidak cukup bagi kalian dengan apa yang sudah aku berikan, hah?!”“Maaf…”Plek!Angku Mudo dengan mudah menangkap pergelangan tangan kanan sang ratu yang terayun hendak menampar dirinya itu.“Kau berani melawanku?” sorot mata sang ratu semakin tajam.“Jangan paksa aku untuk menyakiti Anda, Paduko Ratu,” ucap Angku Mudo pula. “Jangan.”“Paduko Rat
“Bagaimana?” bisik si pria berpakaian panghulu kepada kedua dayang yang menghampirinya.Mereka bertiga mengawasi kondisi di sekitar untuk sesaat. Setelah merasa aman, barulah mereka kembali menuju satu tempat di balik tembok terakhir yang lebih gelap dan sunyi, hanya ada hutan kelam di ujung pandangan yang ditemani suara-suara serangga malam.“Aku sudah berhasil memasukkan penawar itu ke dalam ceret minum Paduko Ratu,” bisik seorang dayang. Dayang yang sama yang sebelumnya sempat diketahui oleh Sijundai Bakuku Api melirik dengan tatapan sinis kepada mereka bertiga di depan pintu kamar tidur sang ratu.
Benda kecil yang dijentikkan oleh Sijundai Bakuku Api tadi larut bersama air yang tergenang di lantai, dan kemudian cairan kemerahan itu berdesis, lalu mengepulkan uap tipis.Sang Ratu Mudo terkesiap menyaksikan itu. Siladiang Kamba dan Angku Mudo juga dapat dengan jelas melihat itu semua.“Je—jelaskan!” titahnya kepada Sijundai Bakuku Api. “Jelaskan apa yang sudah terjadi?!”Sijundai Bakuku Api membungkukkan tubuhnya pada sang ratu. “Maafkan kelancanganku barusan, Paduko Ratu,” ujarnya, “hanya saja, aku takut Paduko Ratu terlanjur meminum air itu dan justru akan mengalami gang
Sijundai Bakuku Api mendorong pintu besar berdaun ganda itu, pintu dari sebuah ruangan besar tempat di mana para dayang beristirahat.Setidaknya, ada sekitar dua puluh lima orang dayang sepantaran gadis 20 tahun di dalam sana.Saat Sijundai Bakuku Api muncul di ruangan itu, kontan kehadirannya menjadi perhatian khusus bagi semua dayang. Terlebih lagi, sorot mata wanita itu seolah menyelidiki satu per satu setiap dayang yang ada di dalam ruangan tersebut.“Kalian yang tadi telah membantu Paduko Ratu bersalin pakaian,” ucap Sijundai Bakuku Api. “Keluarlah!”Dua dayang yang dimaksud oleh Sijundai Bakuku Api saling pandang, meskipun belum mengetahui hal apakah gerangan yang membuat wanita itu memanggil mereka, namun keduanya sudah dapat merasakan firasat yang tidak baik. Keduanya menelan ludah.“Keluarlah!” ulang Sijundai Bakuku Api. “Ini titah dari Paduko Ratu!”Dengan kegugupan y
Siladiang Kamba mendekati kedua dayang yang masih menggigil bersujud di lantai itu kepada si Ratu Muda.“Berdiri kalian!” titah sang ratu.Meski keduanya sama menggigil, namun mereka cukup yakin bahwa mereka tidak membawa satu benda apa pun yang disembunyikan di tubuh mereka.Paling tidak, hal ini sedikit bisa mendatangkan kelegaan bagi kedua dayang kendatipun mereka harus ditelanjangi oleh seorang pria.Sijundai Bakuku Api hanya menyeringai seraya melipat kedua tangannya ke dada sembari memerhatikan sang suami menelanjan
Pria sepantaran 25 tahun berbaju panghulu berwarna kuning kunyit itu melangkah sedikit tergesa-gesa di sepanjang lorong penjara bawah tanah. Karena merasa yakin tidak ada yang membuntutinya, ia terus melangkah hingga bertemu dengan ujung lorong yang merupakan sebuah dinding batu dengan satu pintu besar berdaun ganda.Para tahanan di ruang-ruang yang berada di sisi kiri kanan lorong tersebut hanya bisa melihat saja pria tersebut mendekati pintu besar dan berat itu. Untuk meminta pertolongan, sepertinya hanya akan percuma saja. Sebab mereka tahu, kebanyakan pejabat istana sekarang ini sudah berpihak pada ratu yang memiliki perangai sangat buruk di mata mereka.Pria itu menggedor pintu tersebut hingga tiga kali, sebuah celah kecil terbuka di badan pintu.“Katakan,” ucap seorang pengawal yang berada di bagian dalam. “Apa kepentingan orang Cadiak Pandai[1] sepertimu mendatangi penjara khusus ini?”“Buka
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a