Home / Romansa / Dua Sisi / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Dua Sisi: Chapter 21 - Chapter 30

46 Chapters

Chapter 21

"Lho Anda sudah ada di sini rupanya, Pak Rangkayo Depati?" Radja Girsang  heran saat melihat tamunya malah sudah datang duluan ke Himpunan, bahkan sebelum dia sebagai sang tuan rumah mengundangnya. Dia memang mengundang pengusaha muda ini untuk memberikan motivasi kepada para anak didiknya sekaligus membantu proyek amal Rangkayo Depati. "Iya, kebetulan saya tadi mengantarkan kostum adik saya yang masih tertinggal di kampung dulu. Jadi saya singgah terlebih dahulu ke sini, sebelum ke kantor Pak Radja. Saya minta maaf kalau itu menyalahi aturan," timpal Anak Dewa sopan. "Ah tidak jadi masalah itu, Pak Rangkayo. Jadi Embun itu adik Pak Rangkayo ya?" Radja masih penasaran melihat kedekatan tamu istimewanya itu dengan menantu Gilang. "Embun itu sedari kecil sudah diasuh oleh kedua orang tua saya. Baru-baru ini saja dia pindah ke ibukota karena ehm menikah. Dan ya, saya juga baru sempat kali ini mengu
Read more

Chapter 22

"Terima kasih sudah menyelamatkan istri saya ya, Om? Saya tidak ta-" BUGH! BUGH! "Kamu pikir dengan meminta maaf saja semua persoalan sudah selesai?" Albert menggeram. Menantu tidak tahu dirinya ini selalu saja muncul belakangan. Dasar tidak berguna! "Ke mana saja kamu, sampai istrimu berlindung di halte bobrok malam-malam begini? Kalau pun bukan tiga bajingan ini yang merusak istrimu, pasti ada bajingan- bajingan lain yang akan mengusiknya. Saya tidak akan pernah rela melepas anak perempuan saya ke tangan laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti kamu. Karena seseorang yang tidak bisa bertanggung jawab atas kata-katanya sendiri, tidak akan bisa bertanggung jawab atas diri orang lain. Camkan itu!" Albert mendadak ingin menggigit lidahnya sendiri. Ia kelepasan. "Anak perempuan?" Revan dan Embun bertanya secara bersamaan. "Maksudnya si Om, dia itu sudah menganggap Embun sepert
Read more

Chapter 23

"Abang kok bisa ada di sini? Abang nggak kerja? Nggak sibuk di kantor gitu?" Embun merasa risih karena hanya berduaan saja dengan Anak Dewa di dalam mobil. Bagaimana pun akrabnya hubungan mereka di masa lalu, sekarang kan dia ini sudah menjadi istri orang. Tidak baik berduaan dengan laki-laki yang tidak memiliki pertalian darah yang langsung dengannya. "Setiap hari Selasa dan Kamis Abang libur untuk sekedar mengistirahatkan tubuh dan pikiran Abang. Kenapa? Adek kok kayaknya tidak senang sekali dekat-dekat dengan Abang? Tak elok kalau bersikap ada yang baru yang lama di lupakan. Seloko adat kita mengajarkan untuk tidak boleh bersikap seperti kacang lupa akan kulitnya bukan, Dek?" Anak Dewa menjawab santai sambil memindahkan persnelling mobilnya.  "Lho... lho kita mau ke mana ini, Bang? Mobil yang lain pada berjalan lurus kok kita malah belok sih?" Embun mulai panik. Dia agak merasa was was dengan arah jalan yang dipi
Read more

Chapter 24

" Aaaa.. itu itu anu Bang, karena -" "Karena Embun Pagi ada di kelompok empat. Dan kebetulan kelompok itu anggotanya laki-laki semua. Jadi pihak penyenggara mengambil kebijakan untuk memindahkan Embun ke armada khusus. Tapi kalau bapak keberatan, tidak-apa-apa, nanti hari kamis saya akan memindahkan Embun satu mobil dengan kelompoknya sendiri. Perkenalkan nama saya Melati Suci, asisten dari pihak penyenggara sekaligus mahasiswi kampus ini."  Embun menarik nafas lega saat Suci, kakak kelasnya ini dengan cepat membantunya menjawab pertanyaan Revan. Kakak kelasnya ini rupanya sedari tadi mengamati pembicaraannya dengan Revan, sehingga ia bisa dengan cepat dan professional segera mengurai kecurigaan Revan terhadapnya. Kakak kelasnya ini memang tanggap dan cekatan. "Tidak perlu. Pihak penyelenggara kalian memang sudah mengambil tindakan yang tepat. Untuk selanjutnya Embun akan berangkat mengajar dengan armada khusus saja
Read more

Chapter 25

Embun melipat kostum tarinya dengan rapi dan memasukkannya kembali ke dalam paper bag. Sebenarnya hari ini dia kurang begitu enak badan. Mungkin karena efek kurang tidur dan juga menangis terus semalaman. Embun merasa begitu tidak diinginkan oleh Revan. "Kok lo cepet banget sih beres-beresnya? Udah mau pulang lo Mbun? Lah terus yang nganterin lo pulang siapa? Pak Revan ya? Tapi Pak Revannya kok nggak kelihatan?" Ibell celingukan kesana kemari mencari sosok Revan.  "Gue pulangnya sama Pak Thohir. Bang Revannya gue malah nggak tahu dia ada dimana sekarang. Dari semalam juga Bang Revannya belum pulang-pulang. Mungkin sedang olah raga enak dengan teman satu malam berdirinya."  Embun menjawab lirih seolah-olah sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Mata Annisa dan Ibell membulat seketika. Embun ini polos-polos tapi kata-katanya dahsyat juga. Langsung tepat sasaran dan tanpa tedeng aling-aling.
Read more

Chapter 26

"EMBUNNNN!!!" Albert langsung terbangun dengan tubuh basah kuyub karena keringat dingin dan nafas yang masih terengah-engah. Dia bermimpi buruk tentang Embun, anak gadisnya yang baru saja di ketemukannya. Matanya menatap nyalang dinding dengan pandangan kosong sekaligus ngeri. "Mas, ada apa? Mas mimpi buruk ya? Sebentar ya Mas, Zahra ambilin air minum dulu."  Zahra bergegas menghampiri dispenser dan menuang segelas air dingin kepada suaminya. Zahra juga mengambil sebuah handuk kecil dan berkali-kali menyeka wajah suaminya yang masih saja terus keringat dingin. Suaminya masih terduduk diam diatas ranjang dengan tatapan nyalang. Sepertinya suaminya ini masih belum bisa melupakan mimpi buruknya. "Mas mimpi apa sih? Tidak usah terlalu di pikirkan ya Mas. Namanya juga mimpi, bukan kenyataan yang sebenarnya kan? Ayo minum sedikit lagi ya Mas? Nah begitu kan lebih baik."  Zahr
Read more

Chapter 27

"Hallo Embun Pagi, lagi sakit ya Nak? Pantesan dari tadi pagi Om telepon-telepon tapi ponsel kamu tidak aktif terus, kamu sakit apa sih, Nak?"  Albert yang sedari jam tujuh pagi sibuk menghubungi ponsel Embun yang ternyata dalam keadaan tidak aktif, akhirnya memutuskan untuk menelepon Gilang. Dan dari Gilang jugalah Albert akhirnya tahu kalau putrinya ternyata sedang dalam keadaan sakit dan dirawat di rumah sakit yang sama dengan Gilang. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Albert segera berinisiatif untuk menjenguk Gilang sekaligus juga melihat keadaan putrinya yang sebenarnya adalah memang merupakan tujuan utamanya. "Eh Om Albert dan Bu Zahra. Apa kabar Om, Bu?" Embun menyalim tangan Al dan Zahra sambil berusaha untuk bangkit dari posisi berbaringnya. Kepalanya seketika terasa berputar karena gerakannya yang bangkit secara tiba-tiba. Embun meringis sambil mengernyitkan dahinya akibat rasa pusing yang mulai menderanya. "Eh
Read more

Chapter 28

"Iya menantu bangkotan kurang ajar, saya ini mertua kamu. Makanya saya akan siap mencincang kamu menjadi potongan-potongan kecil kalau kamu masih saja terus menyiksa putri saya. Mengerti kamu!!"  Badai dan Reinhard meringis ngilu mendengar kalau Al akan mencincang Revan kalau dia terus saja menyakiti Embun. Mantan bajingan itu lebih serem kalau anak, istri dan keluarganya di sakiti dari pada diri mereka sendiri. Sebajingan-bajingannya seorang laki-laki mereka pasti akan mati-matian siap berkorban jiwa raga untuk kebahagian anak istri mereka. Mereka akan ganas diluar tapi pasti akan selembut dan sejinak kucing anggora kalau sudah berada di dalam tengah-tengah keluarganya. "Satu hal lagi, dia itu cucu raja, bisa di penggal batang leher kamu di Siam sana jalau kamu masih saja macam-macam pada cucu raja. Embun itu anak putri raja Siam dengan taipan Indonesia, sial amat dia mendapatkan suami bangkotan tukang ONS yang benihnya sudah bercecera
Read more

Chapter 29

Embun terdiam. Jika Revan mengetahui semua gerak geriknya dikampus berarti hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, Revan tidak pulang ke rumah setelah mengantarnya ke kampus, atau Revan memang menyuruh orang untuk memata-matainya. Dan dua kemungkinan itu sama-sama tidak disukainya, karena itu sama saja artinya kalau suaminya itu sama sekali tidak mempercayainya. "Kenapa kamu diam, istriku? Apa perlu Abang mengulangi kembali pertanyaan Abang karena kamu gagal fokus akibat memikirkan bagaimana caranya membohongi Abang?"  Revan melirik wajah Embun di sela-sela gerakan tangannya yang dengan lincah mengemudikan stir mobil. "Kalau abang memang merasa sudah tahu, untuk apa lagi nanya-nanya sama Embun. Kan cuma buang-buang nafas percuma aja, Bang." "Bukan itu jawaban yang abang inginkan Embun."  Embun menarik nafas panjang sejenak sebelum menjawab lirih. "
Read more

Chapter 30

"Om, kenapa sih Om ngakuin Embun itu anak Om? Padahal kan bukan?" Embun yang sedang makan siang disebuah mall kepunyaan Albert mulai menyuarakan keingintahuannya yang sudah berada diujung lidahnya sedari tadi. Bukannya dia tidak senang diakui sebagai seorang anak, tetapi rasanya itu seperti membohongi diri sendiri, karena merasa senang atas kebohongan yang kita sendiri tahu pasti kebenarannya. "Kenapa? Tidak senang kalau punya ayah seperti Om?" "Bukan Om. Embun hanya penasaran saja. Kalau Embun punya ayah kayak Om ya senang banget lah. Udah lah baik, ganteng banget, kaya, harum lagi. Apa lagi yang kurang coba?" Embun tersenyum sambil nyengir. Bahasa tubuh Embun yang seperti inilah adalah warisan dari Piphim. Saat Piphim tertawa atau bercanda ekspresinya memang persis seperti Embun, tidak tertebak maksud dan tujuannya. Bisa saja dia memuji akan tetapi bisa juga dia mengejek.  "Om sengaja bilang begitu supaya mereka s
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status