Semua Bab Pungguk Merindukan Bulan: Bab 31 - Bab 40

115 Bab

Langkah Sigap Menir Hank

"Aduh Welas, aku sampai mandi keringat dingin ini menunggu informasi dari kamu." keluh Seika saat Welas meneleponnya beberapa menit setelah Menir Hank berpamitan pulang. "Bagaimana Welas, Papa menemui kamu ya? Terus bagaimana?" Tanpa tedheng aling-aling, Welas menjelaskan semuanya pasa Seika. Mulai dari Menir Hank yang mengenalkan William sampai pada pesan pentingnya untuk segera memberi kabar jika Seika sudah berangkat ke kantor. Dia juga menceritakan tentang cuti panjang karangannya demi kebaikan bersama. Walaupun akhirnya mendebarkan dada tetapi Welas merasa itu jawaban yang terbaik. Walaupun cuti panjang itu bukan berarti resign atau malah pensiun tetapi setidaknya masih ada waktu untuk berkoordinasi dengan Seika. "Ya, begitulah Sei. Maafkan aku ya, jika alasan cuti panjang itu menyusahkan kamu?" "Ha, apa?" tanya Seika secara spontan---terhenyak kuadrat---saat mendengar nama William disebut. "Oh sorry Welas, aku benar-benar terkejut ini. Shocked. Soal cuti panjang itu kita pik
Baca selengkapnya

Haruskah Kawin Lari?

Gontai, Hiranur berjalan kembali ke ruang kerja, usai memenuhi panggilan William. Saat ini dia merasa tubuh sudah terbelah menjadi dua. Bagaimana tidak? Hari ini juga paling lambat besok pagi dia harus mencetak brosur promosi baru, ide cemerlang dari William. Gila menurutnya tetapi tentu saja Hiranur tak berani menyanggah. Cukup mengherankan memang, belum pernah dia setakut itu ketika berhadapan dengan atasan. Apakah karena William orang asing? Mungkin. Ah tapi Menir Hank juga orang asing, bukan dan Hiranur tak pernah takut. Segan, hormat namun tidak takut. "Hanya mengandalkan keuntungan dari penjualan saja?" cebik Hiranur sambil menghempaskan tubuh ke kursi kerjanya yang empuk, bersih dan wangi. "Konyol kali bah, hajab!" (Konyol banget ah, berat!): bahasa Aceh. "Satu eksemplar buku, misalnya dijual delapan puluh ribu. Dipotong royalty untuk penulis dua puluh persen, tinggal enam puluh empat ribu. Biaya pengurusan ISBN? Hahahaha, selamat makan angin, Real Publishing!" Hiranur bergu
Baca selengkapnya

Mata-mata Menir Hank

Di hadapan Menir Hank, William tersenyum miring penuh wibawa. Sorot matanya begitu tajam dan dalam, seolah-olah ingin menembus dasar bola mata pamannya itu. "Menurut saya Om, hanya ada satu pilihan untuk saat ini. Meluncurkan ide saya atau membiarkan Seikamara Publishing semakin berkibar di udara?" William mengetuk-ngetukkan pulpen di atas meja kerja Menir Hank. "Om tahu? Mereka sudah tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Yogyakarta, Aceh, Medan dan Jakarta. Sedangkan Real Publishing? Hello Om Hank, please open our eyes!" (Halo Om Hank, tolong buka mata kita lebar-lebar!) Menir Hank masih diam, berpikir super keras atas semua yang disampaikan keponakan satu-satunya itu. Dia mengakui kalau ide William untuk membuka free publishing selama tiga bulan ini memang cemerlang. Tetapi bukan berarti menginginkan kerugian atau minimal penurunan pendapatan. "Memang benar Om, target kita bukan runtuh atau hancurnya Seikamara Publishing tetapi kepulangan Seika Eline. Kembalinya dia ke
Baca selengkapnya

Insiden di Real Publishing

Sebisa mungkin Derya menjaga ketegasan dan kesopanan di hadapan Menir Hank. Bagaimanapun sikapnya harus selaras dengan alasan studi yang telah diajukan padanya. Dia juga mewajibkan diri untuk terus memikirkan bagaimana caranya menggiring Menir Hank ke lembah kematian. Wajib elegan, silent dan sukses. Dia tahu persis kalau owner sekaligus pimpinan puncak Real Publishing ini daya kerja jantungnya sudah melemah. Terbukti dalam satu tahun terakhir ini, lebih dari tiga kali dilarikan ke rumah sakit karena heart attack. Jadi, Derya hanya membutuhkan satu sentakan untuk mensukeskan misinya setelah tadi berhasil mematikan CCTV secara total. Sayang sampai detik ini ide sentakan itu belum juga muncul dalam benaknya. "Saya akan segera mengurus surat pengunduran diri saya, Menir." ungkap Derya sambil menunduk, menekuri karpet dark grey yang terbentang di bawah meja kerja Menir Hank. "Saya doakan semoga Real Publishing semakin jaya di udara." perlahan-lahan namun pasti, Derya mengangkat wajah.
Baca selengkapnya

Derya Semakin Menggila

Siang ini Real Publishing dibuat geger dengan ditemukannya Menir Hank yang dalam keadaan tak sadarkan diri di ruang kerjanya. Segera, tanpa banyak kata Willam langsung meminta bantuan Hiranur dan beberapa orang karyawan lainnya untuk melarikan ke rumah sakit terdekat. Tidak terpikir sana sekali olehnya untuk menelepon AMBULANCE atau bagaimana. Hanya satu hal yang ada dalam benaknya, menyelamatkan Menir Hank, bagaimanapun caranya. "Hiranur, tolong kamu cek CCTV. As soon as possible!" titah William panik begitu Hiranur mengangkat teleponnya. "Apa pun yang terjadi, tolong segera report kepada saya, ya?" "Baik, Bapak William." sahut Hiranur dengan sedikit gugup, gelagapan. Masih terkejut sekaligus tidak menyangka, musibah ini akan terjadi. Tadi pagi masih dilihatnya Menir Hank dalam keadaan baik-baik saja, bahkan tersenyum sangat ramah padanya. "Segera saya kerjakan." "Good luck, Hiranur!" ucap William penuh harap---semoga tidak ada tindak kriminal apa pun yang menyebabkan Menir Hank j
Baca selengkapnya

Lumpuhnya Menir Hank

Heart attack dan stroke berat sehingga mengalami kelumpuhan total. Demikianlah vonis yang diberikan dokter terhadap Menir Hank. William terhenyak, sangat terkejut tentu saja. Belum genap dua minggu tinggal bersama pamannya dan sekarang malah sakit. Benar-benar luar biasa, menyedihkan. Memprihatinkan. "Jadi Dokter, selanjutnya bagaimana?" to the point William bertanya. Dokter menjelaskan secara sederhana kalau Menir Hank harus mendapatkan fisio terapi secara rutin, selain berjemur untuk mendapatkan infra merah dan minum obat-obatan khusus. Tentu saja, tetap harus mendapatkan asupan gizi yang cukup demi menunjang proses penyembuhan. William menganggukkan kepala, mengerti. "Baik Dokter, terima kasih banyak atas penjelasannya. Emh, jadi, kapan paman saya bisa mendapatkan home care?" Dokter sudah membuka mulut hendak memberikan penjelasan tetapi sayang, ada panggilan masuk di ponsel William dari Hiranur. "Silakan diangkat dulu, Pak." Kikuk, William mengangguk. Tersenyum miring ke
Baca selengkapnya

Semua Ada Hukumnya

Welas kacau balau memikirkan ancaman Derya. Bagaimana bisa Menir Hank menyerahkan Real Publishing padanya? Apa yang telah merasuki Menir Hank? "Kalau aku jadi Menir Hank, nggak akan pernah melakukannya. Titik." Welas bergumam sengit sambil terus menyisir rambut. Baru saja selesai mandi, dia. "Jangan menyerahkan, mempercayai saja aku nggak akan pernah. Gila! Masa sih, Menir Hank nggak bisa merasakan kejahatan dalam diri Bang Derya?" "Eh tapi ada apa, sih?" Welas mengerutkan dahi. "Kok bisa, Menir Hank sampai sepasrah itu? Nah, terus si Bule itu siapa? Aduh, kok bisa jadi runyam begini sih, urusannya?" Welas menepuk kepalanya sendiri sekarang. "Pertanyaannya adalah bagaimana cara memberi tahu Seika? Aduh, nanti kalau dia jadi lemah bagaimana?" "Cieeeh, yang lagi happy?" tiba-tiba Sekar muncul dari balik pintu kamar mereka. "So sweet … Eh Mbak, gimana kabar Bang Derya? Kok, nggak pernah main ke rumah lagi sekarang? Ehem, kalian LDR an ya?" Selalu begitu. Sekar memang suka usil. P
Baca selengkapnya

To The Point!

"Sebentar ya Kama, Welas voice call." Seika kembali mengunci pintu mobil. Dengan isyarat dia meminta Kama mengantarkannya kembali ke Seikamara Publishing. Apa lagi yang perlu dikhawatirkan, Derya sudah aman di tangan pihak yang berwajib. Dia yakin, selain Pak Raka dan Pak Gading, hanya dia yang menjadi kaki tangan Menir Hank. William? Seika yakin tidak karena tahu, kakak sepupunya itu tidak mudah untuk disetir. "Ya, Welas?" To the point Welas mengucapkan ikut sedih dan prihatin atas musibah yang telah menimpa Menir Hank tadi pagi di kantor. Dia juga menanyakan bagaimana keadaannya sekarang dan dirawat di rumah sakit mana. Tentu saja Seika terserang gugup, bingung harus menjawab apa. "Emh, ya aku juga belum tahu bagaimana keadaan Papa, Welas." Seika memilih untuk menjawab dengan jujur dan apa adanya. "Welas, sebenarnya kami sudah di rumah sakit sekarang ini tapi Kama dapat kabar dari Aceh kalau Mamak meninggal dunia. Jadi cancel dulu lah, menjenguk Papa. Oh ya, pesanku di chat room s
Baca selengkapnya

Lautan Tak Sedalam Hati

Akhirnya Welas sepakat untuk ikut mengantarkan Kama ke bandara. Bagaimanapun tidak sampai hati juga membiarkan Seika sendirian dalam situasi seperti ini. Bukankah seorang sahabat harus selalu ada dalam suka dan terutama duka sahabatnya? "Oke Sei, aku ikut nganterin Kama ke bandara. Aku tunggu di Pingit ya, depan toko mas. Ini aku OTW ke sana, dianterin Sekar naik motor." Serta merta Seika tersirami oleh keharuan. Begitu besar kesetiaan Welas padanya. "Wah, serius Welas? Okelah kalau begitu, sampai ketemu di Pingit, ya? Ini kami juga sudah mulai loading." "Sip, Sei. Aku tunggu, ya? Jangan lupa, di depan toko mas!" Seika mengatakan jangan khawatir, jadi Welas segera mengakhiri voice call-nya. Mendekati Sekar dengan segenap kemampuan membujuk, supaya mau mengantarkan ke tempat yang dia janjikan pada Seika. "Idih Mbak Welas, tadi barusan ngatain aku anak manja. Tukang ngadu. Eh, sekarang minta tolong dianterin. Apa nggak salah, tuh?" Demi suksesnya misi persahabatan, Welas memilih
Baca selengkapnya

Air Mata Seorang Ayah

"Aku temani kamu ya, Sei?" Welas menawarkan diri. Jauh di dasar hati mewajibkan diri untuk terus membantu dalam setiap kesulitan yang dihadapi sahabat dekatnya. Terlebih saat ini Kama tak sedang berada di sisinya, siapa lagi yang akan membantunya? "Emh, atau kamu lagi pingin sendirian? Kalau iya, aku bisa turun di Pingit nanti. Sudah janjian sama Sekar tadi. Gimana?" Kama sudah terbang ke Aceh, sekitar tiga puluh menit yang lalu dan sekarang mereka dalam perjalanan meninggalkan bandara. Sebenarnya berat hati Seika untuk melepaskan Kama tetapi bagaimana lagi? Keadaan yang mengharuskan. "Emh, Welas … Sepertinya aku akan lebih tenang kalau kamu temani ke rumah sakit. Bukan berarti takut bertemu dengan Papa, lho. Tapi … Pasti ada William juga di sana, kan? Aku nggak mau Papa salah mengartikan kedatanganku." akhirnya Seika memberikan jawaban juga meskipun lirih, sempat ragu-ragu juga. "Ya, begitulah Welas." Welas mengangguk-anggukkan kepala mantap. "Oke, Sei. Berarti kita langsung k
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status