Di hadapan Menir Hank, William tersenyum miring penuh wibawa. Sorot matanya begitu tajam dan dalam, seolah-olah ingin menembus dasar bola mata pamannya itu. "Menurut saya Om, hanya ada satu pilihan untuk saat ini. Meluncurkan ide saya atau membiarkan Seikamara Publishing semakin berkibar di udara?" William mengetuk-ngetukkan pulpen di atas meja kerja Menir Hank. "Om tahu? Mereka sudah tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Yogyakarta, Aceh, Medan dan Jakarta. Sedangkan Real Publishing? Hello Om Hank, please open our eyes!" (Halo Om Hank, tolong buka mata kita lebar-lebar!) Menir Hank masih diam, berpikir super keras atas semua yang disampaikan keponakan satu-satunya itu. Dia mengakui kalau ide William untuk membuka free publishing selama tiga bulan ini memang cemerlang. Tetapi bukan berarti menginginkan kerugian atau minimal penurunan pendapatan. "Memang benar Om, target kita bukan runtuh atau hancurnya Seikamara Publishing tetapi kepulangan Seika Eline. Kembalinya dia ke
Sebisa mungkin Derya menjaga ketegasan dan kesopanan di hadapan Menir Hank. Bagaimanapun sikapnya harus selaras dengan alasan studi yang telah diajukan padanya. Dia juga mewajibkan diri untuk terus memikirkan bagaimana caranya menggiring Menir Hank ke lembah kematian. Wajib elegan, silent dan sukses. Dia tahu persis kalau owner sekaligus pimpinan puncak Real Publishing ini daya kerja jantungnya sudah melemah. Terbukti dalam satu tahun terakhir ini, lebih dari tiga kali dilarikan ke rumah sakit karena heart attack. Jadi, Derya hanya membutuhkan satu sentakan untuk mensukeskan misinya setelah tadi berhasil mematikan CCTV secara total. Sayang sampai detik ini ide sentakan itu belum juga muncul dalam benaknya. "Saya akan segera mengurus surat pengunduran diri saya, Menir." ungkap Derya sambil menunduk, menekuri karpet dark grey yang terbentang di bawah meja kerja Menir Hank. "Saya doakan semoga Real Publishing semakin jaya di udara." perlahan-lahan namun pasti, Derya mengangkat wajah.
Siang ini Real Publishing dibuat geger dengan ditemukannya Menir Hank yang dalam keadaan tak sadarkan diri di ruang kerjanya. Segera, tanpa banyak kata Willam langsung meminta bantuan Hiranur dan beberapa orang karyawan lainnya untuk melarikan ke rumah sakit terdekat. Tidak terpikir sana sekali olehnya untuk menelepon AMBULANCE atau bagaimana. Hanya satu hal yang ada dalam benaknya, menyelamatkan Menir Hank, bagaimanapun caranya. "Hiranur, tolong kamu cek CCTV. As soon as possible!" titah William panik begitu Hiranur mengangkat teleponnya. "Apa pun yang terjadi, tolong segera report kepada saya, ya?" "Baik, Bapak William." sahut Hiranur dengan sedikit gugup, gelagapan. Masih terkejut sekaligus tidak menyangka, musibah ini akan terjadi. Tadi pagi masih dilihatnya Menir Hank dalam keadaan baik-baik saja, bahkan tersenyum sangat ramah padanya. "Segera saya kerjakan." "Good luck, Hiranur!" ucap William penuh harap---semoga tidak ada tindak kriminal apa pun yang menyebabkan Menir Hank j
Heart attack dan stroke berat sehingga mengalami kelumpuhan total. Demikianlah vonis yang diberikan dokter terhadap Menir Hank. William terhenyak, sangat terkejut tentu saja. Belum genap dua minggu tinggal bersama pamannya dan sekarang malah sakit. Benar-benar luar biasa, menyedihkan. Memprihatinkan. "Jadi Dokter, selanjutnya bagaimana?" to the point William bertanya. Dokter menjelaskan secara sederhana kalau Menir Hank harus mendapatkan fisio terapi secara rutin, selain berjemur untuk mendapatkan infra merah dan minum obat-obatan khusus. Tentu saja, tetap harus mendapatkan asupan gizi yang cukup demi menunjang proses penyembuhan. William menganggukkan kepala, mengerti. "Baik Dokter, terima kasih banyak atas penjelasannya. Emh, jadi, kapan paman saya bisa mendapatkan home care?" Dokter sudah membuka mulut hendak memberikan penjelasan tetapi sayang, ada panggilan masuk di ponsel William dari Hiranur. "Silakan diangkat dulu, Pak." Kikuk, William mengangguk. Tersenyum miring ke
Welas kacau balau memikirkan ancaman Derya. Bagaimana bisa Menir Hank menyerahkan Real Publishing padanya? Apa yang telah merasuki Menir Hank? "Kalau aku jadi Menir Hank, nggak akan pernah melakukannya. Titik." Welas bergumam sengit sambil terus menyisir rambut. Baru saja selesai mandi, dia. "Jangan menyerahkan, mempercayai saja aku nggak akan pernah. Gila! Masa sih, Menir Hank nggak bisa merasakan kejahatan dalam diri Bang Derya?" "Eh tapi ada apa, sih?" Welas mengerutkan dahi. "Kok bisa, Menir Hank sampai sepasrah itu? Nah, terus si Bule itu siapa? Aduh, kok bisa jadi runyam begini sih, urusannya?" Welas menepuk kepalanya sendiri sekarang. "Pertanyaannya adalah bagaimana cara memberi tahu Seika? Aduh, nanti kalau dia jadi lemah bagaimana?" "Cieeeh, yang lagi happy?" tiba-tiba Sekar muncul dari balik pintu kamar mereka. "So sweet … Eh Mbak, gimana kabar Bang Derya? Kok, nggak pernah main ke rumah lagi sekarang? Ehem, kalian LDR an ya?" Selalu begitu. Sekar memang suka usil. P
"Sebentar ya Kama, Welas voice call." Seika kembali mengunci pintu mobil. Dengan isyarat dia meminta Kama mengantarkannya kembali ke Seikamara Publishing. Apa lagi yang perlu dikhawatirkan, Derya sudah aman di tangan pihak yang berwajib. Dia yakin, selain Pak Raka dan Pak Gading, hanya dia yang menjadi kaki tangan Menir Hank. William? Seika yakin tidak karena tahu, kakak sepupunya itu tidak mudah untuk disetir. "Ya, Welas?" To the point Welas mengucapkan ikut sedih dan prihatin atas musibah yang telah menimpa Menir Hank tadi pagi di kantor. Dia juga menanyakan bagaimana keadaannya sekarang dan dirawat di rumah sakit mana. Tentu saja Seika terserang gugup, bingung harus menjawab apa. "Emh, ya aku juga belum tahu bagaimana keadaan Papa, Welas." Seika memilih untuk menjawab dengan jujur dan apa adanya. "Welas, sebenarnya kami sudah di rumah sakit sekarang ini tapi Kama dapat kabar dari Aceh kalau Mamak meninggal dunia. Jadi cancel dulu lah, menjenguk Papa. Oh ya, pesanku di chat room s
Akhirnya Welas sepakat untuk ikut mengantarkan Kama ke bandara. Bagaimanapun tidak sampai hati juga membiarkan Seika sendirian dalam situasi seperti ini. Bukankah seorang sahabat harus selalu ada dalam suka dan terutama duka sahabatnya? "Oke Sei, aku ikut nganterin Kama ke bandara. Aku tunggu di Pingit ya, depan toko mas. Ini aku OTW ke sana, dianterin Sekar naik motor." Serta merta Seika tersirami oleh keharuan. Begitu besar kesetiaan Welas padanya. "Wah, serius Welas? Okelah kalau begitu, sampai ketemu di Pingit, ya? Ini kami juga sudah mulai loading." "Sip, Sei. Aku tunggu, ya? Jangan lupa, di depan toko mas!" Seika mengatakan jangan khawatir, jadi Welas segera mengakhiri voice call-nya. Mendekati Sekar dengan segenap kemampuan membujuk, supaya mau mengantarkan ke tempat yang dia janjikan pada Seika. "Idih Mbak Welas, tadi barusan ngatain aku anak manja. Tukang ngadu. Eh, sekarang minta tolong dianterin. Apa nggak salah, tuh?" Demi suksesnya misi persahabatan, Welas memilih
"Aku temani kamu ya, Sei?" Welas menawarkan diri. Jauh di dasar hati mewajibkan diri untuk terus membantu dalam setiap kesulitan yang dihadapi sahabat dekatnya. Terlebih saat ini Kama tak sedang berada di sisinya, siapa lagi yang akan membantunya? "Emh, atau kamu lagi pingin sendirian? Kalau iya, aku bisa turun di Pingit nanti. Sudah janjian sama Sekar tadi. Gimana?" Kama sudah terbang ke Aceh, sekitar tiga puluh menit yang lalu dan sekarang mereka dalam perjalanan meninggalkan bandara. Sebenarnya berat hati Seika untuk melepaskan Kama tetapi bagaimana lagi? Keadaan yang mengharuskan. "Emh, Welas … Sepertinya aku akan lebih tenang kalau kamu temani ke rumah sakit. Bukan berarti takut bertemu dengan Papa, lho. Tapi … Pasti ada William juga di sana, kan? Aku nggak mau Papa salah mengartikan kedatanganku." akhirnya Seika memberikan jawaban juga meskipun lirih, sempat ragu-ragu juga. "Ya, begitulah Welas." Welas mengangguk-anggukkan kepala mantap. "Oke, Sei. Berarti kita langsung k
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!