Home / Romansa / Diam-diam Cinta / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Diam-diam Cinta: Chapter 21 - Chapter 30

74 Chapters

21

Arkana ingat, saat Svaha kembali dari kamar kecil. Menanyai hal tak penting yang dijawab dengan kata pendek yang juga tak penting. Arkana membasahi bibir bawahnya, Svaha memperhatikannya. Arkana merasa aneh, hasrat itu turun dari langit seperti plastik tipis yang lengket. Membungkus badannya dan tidak menyisakan ruang nafas sama sekali. Otaknya terasa kosong. Hanya satu kata yang berpendar di sana. Berteriak. Kesetanan. Kebingungan. Svaha, Svaha, Svaha dalam desah yang menggebu dan menyakitkan. Arkana takut meledak. Jadi ia berdiri. Svaha juga. Kebetulan. Dan rasa lapar; ayam bakar dan sate daging sapi telah mereka lupakan. Arkana mengikuti Svaha ke kamar itu. Nomor sepuluh. Tanggal lahir sahabatnya, dua hari sebelum miliknya sendiri. Pentingkah itu? Lalu Svaha menjatuhkan kunci, Arkana menertawai kecerobohan lelaki itu dalam hati. Lapisan itu menjerat Arkana lagi. “Cepatl
Read more

22

Ada atmosfer aneh yang menguap setiap kali lampu ungu dari dalam bar bocor keluar dan memulas permukaan kulit Svaha. Rasanya berkeringat dan segar sekaligus. Entah, mungkin saja Svaha ini lelaki yang terlalu pemalu. Mungkin agak tipis bedanya, antara bersemangat dan gejala panic attack. Svaha tidak suka kerumunan. Ia tidak suka kebisingan. Tapi kadang ada baiknya bermain-main di daerah penuh tantangan. Tidak ada yang tahu apa yang bisa terjadi. Semuanya di luar kontrol. Kebanyakan, kejutan. Seperti gadis itu. Dari dalam mobil, Svaha melihat sosok Arkana yang sudah berdiri—bersandar dengan santai di dekat pintu mobil ibunya. Di sebelah Arkana, seorang lelaki ikut nimbrung. Tangannya memegang botol bir yang sudah hangat, juga rokok putih yang tinggal setengah batang. Wajah lelaki yang familiar. Rambut putih, kumis tebal—juga putih. “Svaha, ada pak guru!” teriak Arkana yang terlalu bersemangat menunjuk-nunjuk (agak kurang sopan) ke arah lelaki di sebela
Read more

23

Arkana sengaja tidak langsung menghampiri Svaha, ketika ia melihat perempuan sialan itu—Gilang bicara dengannya. Perempuan itu mengulurkan dua botol bir dingin. Kemudian bicara dengan tubuh menjorok ke depan—meja bar menopang dua gundukan kenyal dan membuatnya seperti dua mata yang melotot genit. Gilang. Sebelas IPA satu. Dulunya juara kelas. Kini jadi bartender. Arkana tidak tahu apa yang ada dalam pikiran si bartender. Yang ia tahu, Gilang menggoda Svaha. Svaha-nya. Arkana merasa harus segera menyelamatkan sahabatnya. Svaha yang kikuk menjabat tangan Gilang. Arkana geram, karena ia pikir Svaha masih sakit hati dengan peristiwa dulu itu. Saat Gilang mempermalukannya di depan semua siswa angkatan mereka. Si sialan itu memberi harapan pada Svaha, ia juga yang meninggalkannya. Terpuruk. Arkanalah orang yang membuat Svaha sekolah kembali setelah seminggu mengurung diri dan menangis di dalam kamarnya. Tante Swan, tidak tahu apa-apa. Mereka mengobr
Read more

24

Manusia cuma membutuhkan dua kata untuk melegakan diri setiap pagi. Ketika ia bangun dari tidur, ketika ia terjaga dari mimpi buruk, atau mimpi yang indah sekalipun. Ia hanya membutuhkan dua kata untuk berani membuka mata, menjalani nasib di dunia nyata yang tak hanya sephia, puzzle bongkar pasang yang dirangkai dalam ingatan dan disiarkan kembali jadi angan-angan. Svaha hanya butuh dua kata, ini adalah harapan, untuk menyambut matahari pagi yang menyilaukan, atau musim hujan yang gigil dan menjemukan. Dua kata itu adalah ‘masih bernafas’. Hal yang paling adil dan dibagikan kepada semua mahluk hidup tanpa pengecualian—secara merata, di saat yang bersamaan oleh Sang Pencipta, semesta, atom anti materi dan materi, alien atau apa saja keyakinannya. Adalah bernafas. Lalu bagaimana tentang perempuan yang sedang tidur di sebelahnya? Sahabatnya, masa kecilnya, saudara sepenanggungannya, patner di kala perbuatan baik dan perbuatan jahat minta tempat di dalam takdirnya? Perem
Read more

25

Arkana sedang menyapa ibunya, ketika Svaha kembali dengan ponsel tergenggam erat di tangan kirinya. “Siapa menelepon pagi-pagi?” tanya Arkana. Hanya basa-basi sebenarnya. Ia tidak mengharapkan jawaban apapun, sungguh. “Eh, Uhm, itu…” Svaha terbata. Ia kembali ke kursinya dan menyaup sisa sarapannya. “Cantra,” jawabnya ditengah kunyahan. “Oh, kupikir kalian sedang istirahat.” Arkana berkomentar. “Siapa Cantra?” tanya tante Swan dengan rasa ingin tahu yang luar biasa tinggi. Separuh antusias. Arkana menopang dagunya dengan kepalan tangan di atas meja. Memperhatikan Svaha, ingin tahu apa jawaban selanjutnya. “Kami pacaran, tapi sekarang sedang, anu…” Svaha semakin gugup. Tidak satupun penghuni ruang dapur yang bisa melihat ke mana bola matanya yang lembut itu bergerak. “Mereka sedang istirahat.” Arkana membantu. “Putus?” “Bukan, istirahat.” Arkana menjelaskan, “Masih pacaran tapi sedang menjaga jarak. Agar tidak ad
Read more

26

Svaha tidak pernah menyukai troli belanja. Belum pernah. Tidak pernah seingatnya. Membayangkan bunyi reyot yang membuat telinga ngilu, keempat roda yang sudah usang karetnya, bentuk yang terlalu kecil dan pegas yang kalibrasinya kurang akurat—menggelinding di atas permukaan lantai supermarket yang dipel lalu diinjak selagi basah. Oleh siapapun-dari manapun. Membuatnya tidak berhenti memikirkan seorang anak kecil yang berjalan sendiri di tengah pasar malam. Plin plan. Apalagi keranjang besi besar yang ditumpangkan di atasnya, konon bisa mengangkat beban mungkin sampai lima puluh kilo atau lebih, sungguh mustahil. Svaha tidak menyukai konsep itu. Meski seringkali menyelamatkan, dulu sewaktu kecil Ibunya sering menumpangkannya di sekat kecil itu agar ia tidak merengek minta gendong. Atau supaya tidak harus menyeretnya dari rak penuh camilan. Swan akan mendorong Svaha berkeliling seolah anaknya itu sebungkus makanan siap saji. Mungkin Svaha pernah menyukai troli. Karena
Read more

27

“Apa kita harus melapor polisi sekarang?” Apa yang barusan itu? Apa aku salah dengar? Tidak, penjelasanku sudah membuatnya curiga. Arkana langsung menyesali semua bualannya tadi. “Lapor polisi?” Arkana mengibaskan kepala, menuntun kesadaranku kembali. Ke sini, ke hadapan Svaha. Ia harus bersikap biasa. Sahabat baiknya, dan tubuhnya yang kurus—jangkung menaungi kebingungan gadis itu. Bibir Svaha terangkat setengah. “Aku hanya bercanda.” Oh! Arkana menghela nafas lega. Ia kira dirinya sudah salah bicara. Ia terlalu ngelantur dengan hipotesisnya tentang isi kulkas umat manusia. Arkana hampir membuat Svaha khawatir, ia hampir saja membuat semuanya jadi runyam. Memangnya kenapa jika Svaha tahu Laung memukuli Arkana? Jelas pertanyaan itu tak akan pernah ada. Karena Svaha tidak akan mempercayai gadis itu. Yang ia tahu Arkana adalah bom waktu. Arkana bertindak impulsif dan bersikap semaunya. Arkana tidak berpikir se
Read more

28

Svaha mengingat-ingat kapan terakhir kalinya ia datang ke rumah sakit untuk mengunjungi kolega yang melahirkan.Tidak pernah. Kapan terakhir kali ia datang menjenguk seseorang di rumah sakit? Juga tidak pernah. Hm, Arkana pernah ada di sini, tapi ia tidak mengijinkan Svaha datang. Ia meminta Svaha menunggu di rumah setelah operasi usus buntu yang menurutnya bukan masalah besar. Gengsi, Arkana tidak ingin Svaha melihatnya dalam kondisi tidak berdaya—katanya.Svaha sendiri tak bisa membayangkan bagaimana dirinya akan bersikap, ia takut kehadirannya bisa membuat bekas operasi Arkana terbuka. Membayangkan dokter akan menjahit ulang luka itu. Karena dulu, mereka adalah dua bocah tengil yang kerjanya cuma bercanda. Mereka akan membikin kegaduhan, atau membuat kekacauan. Swan dan Veronika percaya akan hal itu.Kapan terakhir kali Svaha masuk rumah sakit? Tidak pernah. Ia anak lelaki sehat, Ibunya—sepengetahuannya selama ini sehat. Sakitpun paling hanya masu
Read more

29

Veronika tidak banyak bicara pada anaknya sejak mereka meninggalkan supermarket. Keduanya memutuskan untuk mampir dulu ke tempat Svaha, mengambil koper pakaian milik Arkana dan mengambil tas persiapan kelahiran untuk Tante Swan. Arkana memutuskan untuk menumpang mandi sekali lagi, setelah itu ia akan membantu Ibunya memasukkan semua belanjaan keluarga Nirmala ke dalam kulkas. “Mau apa kamu?” tanya Veronika ketika anaknya sampai di dapur. Sambil menggosok rambut yang masih basah dengan handuk, Arkana duduk di kursi. “Aku tadinya ingin membantumu menata belanjaan di kulkas. Tapi sepertinya pekerjaan itu sudah selesai.” Veronika mendesah ketika menutup pintu kulkas. Ia duduk di depan anaknya. “Yang tadi itu bagaimana kejadiannya?” “Perempuan gila itu menyerangku.” Arkana memulai keluh kesahnya. “Dia punya nama. Sama sepertimu.” “Gilang, dia menyerangku lebih dulu.
Read more

30

Sebaik apapun Svaha mencoba untuk menilai dirinya sendiri dan memilah hal-hal menakjubkan yang ada pada dirinya sampai hari ini, sampai setinggi dan seumurnya kini, sepertinya Svaha hanya akan dibawa pada satu kesimpulan; kalau dia adalah lelaki berhati lemah. Yang pertama, tanpa banyak prakata (ia tidak akan membela diri), ia jatuh pingsan setelah proses bersalin Swan, Ibunya. Svaha—sulit mengungkapkan istilah yang terjadi dalam tubuhnya. Otaknya tak henti-hentinya mengirim sinyal palsu, ia khawatir, curiga, senang di saat yang sama, ia kagum. Savanna, Svaha pikir akan membencinya—ternyata ia menyukai bayi itu. Svaha mudah dirasuki perasaan simpati. Bayi itu membuatnya jatuh hati. Lalu ia kewalahan menangani perasaan yang banyak itu dalam satu waktu. Svaha korslet. Ia menemukan dirinya terbangun di brankar pasien, tepat di sebelah ibunya yang cekikikan karena senang melihatnya dalam ketidak berdayaan. Dan dari detik itu, semua orang susah payah menyuruhnya menyingki
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status