Home / Romansa / Diam-diam Cinta / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Diam-diam Cinta: Chapter 51 - Chapter 60

74 Chapters

51

Svaha sedang mandi sambil meninjau ulang perasaannya pada Cantra ketika seorang mengetuk pintu kamar sewa. Suaranya bersilangan dengan gemuruh air dari rain shower. Sempat Svaha mengira bunyi itu berasal dari tetangga sebelah, seperti waktu Arkana datang ke sana dulu dan mengacaukan semuanya. Mengacaukan perasaan Svaha, membuatnya terjebak dalam limbo—batas dunia lain yang menyesatkan. Kalau saja waktu itu Svaha bisa menahan diri dan tidak membuka pintu itu, kesengsaraan ini tidak akan terjadi. Tapi, seperti halnya Arkana yang sedang dalam keadaan mabuk waktu itu, orang ini juga tidak menyerah. Ia terus mengetuk dan suaranya semakin keras. Dengan kegusaran Svaha memutuskan untuk mematikan kran air, mengeringkan badannya. “Tunggu sebentar!” teriaknya. Svaha memakai celana dan baju tidur, lalu berjalan cepat ke pintu. “Svaha, bukalah pintunya,” ujar lelaki di belakang pintu. Svaha mendengus malas ketika mendengar suara Laung.
Read more

52

Arkana butuh waktu setidaknya lima sampai enam puluh menit penuh untuk mandi, memakai gaun yang dipilihkan Cantra termasuk proses berdandan. Lima menit sebelum Arkana memberi sentuhan terakhir pada wajahnya, Banu menjemputnya ke kamar. Lelaki itu mengoleskan parfum beraroma lavender di sisi kanan dan kiri leher Arkana. Menuntunnya ke area ruang tamu. Banu memakai jas dan kemeja yang sama hitam dengan terakhir kali Arkana melihatnya. Gadis itu sempat iseng bertanya apa Banu sudah mandi, berapa banyak kemeja dan setelan hitam yang ia miliki, juga seberapa sering ia mengganti baju. Tapi, Banu hanya diam. Ia mungkin terburu-buru atau suasana hatinya sedang tak bagus. Ia tidak mengacuhkan ocehan Arkana dan bersikap seolah dia tidak mengerti dengan bahasa yang dipakai Arkana. Pelataran ruang sudah dijejal manusia. Semua berpenampilan menarik dan mahal. Semua menggunakan parfum yang berbau impor. Semua bercampur jadi satu di dalam lubang hidung Arkana dan mulai membuat peni
Read more

53

Svaha tidak punya waktu untuk mendeskripsikan semua pemandangan yang ada di depannya. Tentang bagaimana keadaan rumah Cantra ketika ia memasuki ruang tamu, hiasan dinding, minuman apa saja yang disajikan, cemilan apa yang paling menggugah selera. Atau, mengklasifikasikan siapa saja yang diundang pada pesta prematur ini. Semuanya diundang. Kecuali dirinya. Dan, Svaha benci ketika mendengar orang-orang mulai bergunjing tentang pakaiannya yang kurang pantas untuk pesta ini, bagaimana mungkin Cantra memilih seseorang sepertinya. Terlebih, Svaha benci mengakui kalau apa yang dikatakan Laung padanya adalah benar. Tapi, ini pesta Cantra, mengundang siapa pun adalah haknya.  Sambil membelah kerumunan tamu Svaha memusatkan pikirannya hanya pada perempuan itu saja. Cantra. Ia berjalan ke arah Svaha. Senyum ia pasang sewajar mungkin. Dikiranya itu masih mempan pada kekasihnya. “Svaha.” Cantra menyapa. Svaha susah payah berusaha untuk tidak terbujuk oleh gau
Read more

54

“Arkana… Sayangku, kamu pikir bisa terus-terusan lari dariku?” suara Laung bergema dalam lorong pualam yang dingin. Arkana terseok-seok dalam rencana pelarian yang mustahil. Pandangannya semakin kabur. Spektrum warna-warni muncul dalam bayang-bayang anomali. Membagi tiap garis di depannya menjadi tiga. Semua tepian konkrit berdenyut. Perempuan itu mengibaskan kepala untuk membuat dirinya lebih baik, tapi kepalanya jadi semakin pening dan sakitnya tidak tertahankan. Arkana bahkan tidak bisa merasakan punggungnya sendiri. Kaki dan tangannya melemah. Sebaiknya lain kali ia harus lebih waspada dan tidak langsung menerima jika seseorang memberinya sesuatu. Atau setidaknya mulai hari ini Arkana akan bertekad untuk berhenti minum alkohol.  “Arkana…” suara itu semakin dekat. Nadanya meninggi dan terkesan mengejek. Gaungnya semakin dekat. Ketika pintu taman sudah kelihatan, Arkana mempercepat langkahnya. Arkana menggapai gagangnya. Membukanya. Ia masuk ke dalam t
Read more

55

Sementara undangan yang hadir berdiri di sekitar rumpun bunga lavender kesayangan Cantra, hal pertama yang mereka lakukan pada Svaha ketika bantuan tiba adalah memisahkan Svaha dari tubuh kekasihnya. Enam orang berseragam medis membagi diri mereka menjadi dua kelompok. Masing-masing terdiri dari tiga untuk menangani Cantra dan Arkana. Mereka melakukan pertolongan pertama, menggunting gaun Cantra yang basah dan sudah berubah warna. Sedang Banu berdiri di sana dan menceritakan bagaimana luka itu terjadi. “Hanya satu luka tusuk,” katanya. Lalu mereka berdiskusi dengan kalimat-kalimat yang cepat dan gawat. Seorang menekan pinggang Cantra, tempat luka itu bersarang dengan dua tangan untuk menghentikan darahnya, seorang lagi memeriksa denyut nadi juga tekanan darah dan mungkin kadar oksigen dalam tubuhnya. Pada saat itu terjadi, Cantra tidak bergerak sama sekali. Matanya tertutup. Svaha memasang telinga, karena mungkin ada satu atau dua hal yang dapat ia mengerti.
Read more

56

Satu bencana besar sudah terlalui. Layaknya badai di tengah laut, ombak besar baru saja surut. Guncangannya memang memporak-porandakan kapal, namun tidak cukup mampu untuk menenggelamkan Arkana. Malam sudah berlalu, menyisakan rintik lembut yang lebih kecil dari tetes—remah-remah hujan melayang menabrak jendela. Sinar matahari membias pelangi. Pemandangan pagi akan segera berlalu, ketika Banu Bhuana masuk dengan hati-hati. Ia selipkan tubuh tegap itu ke dalam ceruk pintu, lalu berdiri di sebelah ranjang gadis itu. “Apa kamu sudah membaik?” Ia bertanya dengan suara lembut. Matanya mengawasi Arkana. Arkana memaksakan diri untuk tersenyum. Perutnya terasa kosong. Rongga tubuhnya terasa kosong. Ia nyaris tidak bisa merasakan kegembiraan. Hanya akal yang membujuknya untuk memahami kelegaan. “Apa Cantra baik-baik saja?” Arkana menjawab pertanyaan Banu dengan pertanyaan. Banu sama terpaksanya dengan Arkana. Lesung pipinya tampak bingung. “Dia sedang
Read more

57

Beberapa menit setelah akhirnya Svaha berusaha memejamkan mata, dengan harapan bahwa ketika ia bangun nanti maka Cantra akan sadar juga. Cantra akan menyapanya, seperti biasa. Kekasihnya itu. Yang mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Svaha. Tentu Svaha mengabaikan pikiran soal bagaimana nanti kalau keluarganya sudah tahu. Mungkin mereka akan menuduhnya sebagai seorang yang berdampak buruk bagi anak mereka. Bagi si pewaris tunggal keluarga Bhuana. Lalu mereka akan memisahkan Svaha dan Cantra seperti dalam cerita-cerita tentang si kaya dan si miskin. Tapi apa penting bicara soal uang sekarang? Sementara Cantra masih belum sadarkan diri. Meski lukanya nampak begitu sepele. Sepele. Dia hanya tertusuk pisau multifungsi. Sekali. Dan itu sepele. Kecuali fakta bahwa pisau itu tepat menusuk pinggangnya. Tempat semua saraf bercokol. Entah bagaimana kejadiannya. Terlalu cepat, Svaha hanya ingat bagian di mana ia terdorong menjauh. Saat wajahnya menukik ke dalam rimbun lavend
Read more

58

Arkana berguling ke sisi kanan tempat tidur untuk meraih remote tv dan berguling lagi ke arah sebaliknya untuk menjangkau telepon genggamnya yang berdering. Lalu ia tekan tombol pause untuk menunda serial yang sedang ditontonnya, Arkana lalu mengangkat telepon dari Veronika. “Halo,” sapanya, berusaha seriang mungkin. “Laki-laki bernama Banu Bhuana meneleponku—” “Aku baik-baik saja. Aku hanya keracunan. Keadaan waktu itu sangat kacau. Aku tidak ingin membahasnya.” “Kau serius?” Arkana berdecak. Ia ingin lebih pandai berbohong terutama pada ibunya, tapi informasi yang ia berikan tadi terlalu defensif. “Ya, aku serius. Yang penting sekarang aku baik-baik saja. Mama menelepon untuk menanyakan keadaanku kan?” “Hh, bagus kalau begitu. Kukira aku harus pergi ke kota.” “Apa Mama semalas itu?” “Ya, kamu tahu sendiri. Aku rasa, kamu sudah cukup besar untuk menjaga diri sendiri. Tunggu kalau aku datang tiba-tiba,
Read more

59

“Aku tidak mencintaimu, Svaha. Pergilah dari sini.” “Eh? Apa?” tanya lelaki itu bingung. Svaha mempelajari raut wajah Cantra yang pucat. Gadis itu masih memandangnya. Kantung mata tercetak halus dan gelap di sana. Svaha berharap Cantra akan menyemburkan tawa secepatnya. Ia berharap ini hanya sebuah lelucon. Setelah semua yang mereka lalui, Cantra ingin Svaha pergi. Bagaimana bisa ia melakukannya pada Svaha? Svaha baru saja menendang sahabatnya menjauh dari lingkaran mereka. Dan sekarang apa? Secepat itukah karma terjadi? “Apa ini pengaruh bius?” Svaha pernah mendengar tentang efek setelah anestesi, sebagian orang mengalami kebingungan. Sebagian bicara terlalu jujur. Sebagian bicara ngawur. Svaha berharap yang terjadi pada kekasihnya adalah pilihan yang terakhir. Cantra sedang ngawur, ia tak bersungguh-sungguh. Cantra menggeleng. “Kamu tidak harus ada di sini. Setelah semuanya…” Tenggorokannya bergerak-gerak. Ia tidak dalam p
Read more

60

Apa yang Arkana sebut dengan pengalihan adalah terbangun di kamar yang berbeda dan asing pada jam enam pagi. Seorang lelaki tersungkur di sebelahnya dengan posisi tubuh yang nyaman dan telanjang. Ia mendengkur. Arkana berguling pelan, menurunkan kedua kakinya untuk memijak lantai yang masih dingin. Hembusan angin dari jendela yang terbuka membuat pori-porinya kembang. Jadi, ia segera memungut semua pakaiannya dan pergi ke kamar mandi. “Di mana ini?” gumam Arkana sambil membuka layar telepon genggam. Peta daring memberitahunya titik tepat keberadaannya. Arkana lantas mencuci muka. Ia akan pergi sebelum lelaki itu bangun dan menunda kepulangannya. Sambil mengendap, Arkana kembali kamar asing di depannya. Botol minuman keras yang terkulai kosong. Buku-buku yang berserak. Berantakan semua—ia tidak perduli. Ia hanya memastikan tidak ada satupun barangnya yang tertinggal. Agar tak ada alasan untuk kembali ke sini. “Sudah berapa lama kamu berkeliling seperti
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status