Beberapa menit setelah akhirnya Svaha berusaha memejamkan mata, dengan harapan bahwa ketika ia bangun nanti maka Cantra akan sadar juga. Cantra akan menyapanya, seperti biasa. Kekasihnya itu. Yang mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Svaha.
Tentu Svaha mengabaikan pikiran soal bagaimana nanti kalau keluarganya sudah tahu. Mungkin mereka akan menuduhnya sebagai seorang yang berdampak buruk bagi anak mereka. Bagi si pewaris tunggal keluarga Bhuana. Lalu mereka akan memisahkan Svaha dan Cantra seperti dalam cerita-cerita tentang si kaya dan si miskin.
Tapi apa penting bicara soal uang sekarang? Sementara Cantra masih belum sadarkan diri. Meski lukanya nampak begitu sepele. Sepele. Dia hanya tertusuk pisau multifungsi. Sekali. Dan itu sepele. Kecuali fakta bahwa pisau itu tepat menusuk pinggangnya. Tempat semua saraf bercokol. Entah bagaimana kejadiannya. Terlalu cepat, Svaha hanya ingat bagian di mana ia terdorong menjauh. Saat wajahnya menukik ke dalam rimbun lavend
Arkana berguling ke sisi kanan tempat tidur untuk meraih remote tv dan berguling lagi ke arah sebaliknya untuk menjangkau telepon genggamnya yang berdering. Lalu ia tekan tombol pause untuk menunda serial yang sedang ditontonnya, Arkana lalu mengangkat telepon dari Veronika. “Halo,” sapanya, berusaha seriang mungkin. “Laki-laki bernama Banu Bhuana meneleponku—” “Aku baik-baik saja. Aku hanya keracunan. Keadaan waktu itu sangat kacau. Aku tidak ingin membahasnya.” “Kau serius?” Arkana berdecak. Ia ingin lebih pandai berbohong terutama pada ibunya, tapi informasi yang ia berikan tadi terlalu defensif. “Ya, aku serius. Yang penting sekarang aku baik-baik saja. Mama menelepon untuk menanyakan keadaanku kan?” “Hh, bagus kalau begitu. Kukira aku harus pergi ke kota.” “Apa Mama semalas itu?” “Ya, kamu tahu sendiri. Aku rasa, kamu sudah cukup besar untuk menjaga diri sendiri. Tunggu kalau aku datang tiba-tiba,
“Aku tidak mencintaimu, Svaha. Pergilah dari sini.” “Eh? Apa?” tanya lelaki itu bingung. Svaha mempelajari raut wajah Cantra yang pucat. Gadis itu masih memandangnya. Kantung mata tercetak halus dan gelap di sana. Svaha berharap Cantra akan menyemburkan tawa secepatnya. Ia berharap ini hanya sebuah lelucon. Setelah semua yang mereka lalui, Cantra ingin Svaha pergi. Bagaimana bisa ia melakukannya pada Svaha? Svaha baru saja menendang sahabatnya menjauh dari lingkaran mereka. Dan sekarang apa? Secepat itukah karma terjadi? “Apa ini pengaruh bius?” Svaha pernah mendengar tentang efek setelah anestesi, sebagian orang mengalami kebingungan. Sebagian bicara terlalu jujur. Sebagian bicara ngawur. Svaha berharap yang terjadi pada kekasihnya adalah pilihan yang terakhir. Cantra sedang ngawur, ia tak bersungguh-sungguh. Cantra menggeleng. “Kamu tidak harus ada di sini. Setelah semuanya…” Tenggorokannya bergerak-gerak. Ia tidak dalam p
Apa yang Arkana sebut dengan pengalihan adalah terbangun di kamar yang berbeda dan asing pada jam enam pagi. Seorang lelaki tersungkur di sebelahnya dengan posisi tubuh yang nyaman dan telanjang. Ia mendengkur. Arkana berguling pelan, menurunkan kedua kakinya untuk memijak lantai yang masih dingin. Hembusan angin dari jendela yang terbuka membuat pori-porinya kembang. Jadi, ia segera memungut semua pakaiannya dan pergi ke kamar mandi. “Di mana ini?” gumam Arkana sambil membuka layar telepon genggam. Peta daring memberitahunya titik tepat keberadaannya. Arkana lantas mencuci muka. Ia akan pergi sebelum lelaki itu bangun dan menunda kepulangannya. Sambil mengendap, Arkana kembali kamar asing di depannya. Botol minuman keras yang terkulai kosong. Buku-buku yang berserak. Berantakan semua—ia tidak perduli. Ia hanya memastikan tidak ada satupun barangnya yang tertinggal. Agar tak ada alasan untuk kembali ke sini. “Sudah berapa lama kamu berkeliling seperti
“Kamu dan aku tahu bahwa Nirmala adalah keluarga yang dipandang bersahaja dan terhormat dari dulu. Tapi bukan karena materi. Karena keteguhan hati dan rasa simpati yang tinggi. Ibumu pekerja keras. Tapi, Ibumu tidak bersuami. Kamu tidak memiliki ayah. Sekarang seorang bayi hadir dalam keluarga kalian. Pikirkan ini, jika saja kamu bisa memberikan sesuatu yang lebih baik untuk adikmu itu. Pendidikan yang bagus, kehidupan yang cukup, tidakkah itu akan meringankan sedikit beban ibumu? Tidak, aku tidak akan menyuapmu dan menghinamu dengan uangku. Tidak. Aku menawarkan sebuah kerjasama, sebuah simbiosis yang bisa membuat kedua belah pihak diuntungkan. Ibumu semakin tua, pensiun sudah tinggal menghitung tahun. Begitu juga aku. Ini demi cintamu pada keluarga. Juga cintamu pada Cantra. Aku seorang ayah, dan ayah akan melakukan apapun untuk anak perempuannya. Kota kecilmu itu akan terus berubah, aku tidak mau menjadi seorang investor antagonis dan memporak-porandakan nasib keluargamu. Kamu ta
“Aku tahu kamu telah banyak membantuku, Cantra. Tapi bukan berarti kamu bisa datang ke sini pagi-pagi buta dan mengatakan hal yang—tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kamu tahu kalau Tante Swan dan Savanna dalam bahaya? Pertunangan ini atas keinginan Svaha. Atau, setidaknya ia setuju.” Arkana menggosok wajahnya yang mulai terasa kaku karena kantuk. Ini masih terlalu pagi untuk membahas masalah pelik. Apa Cantra memang benar-benar tidak punya pekerjaan lain? Atau dia merasa kesepian karena Laung sudah mendekam dalam penjara? “Pertunangan ini kehendak ayahku. Dan hanya ancaman yang bisa membuat orang seperti Svaha menyetujuinya.” “Kamu kan pewaris tunggal keluarga Bhuana. Ayahmu seharusnya takut padamu.” Cantra mendesah pasrah. “Kalau memang dia takut padaku—” “Atau, mungkin saja Svaha mencintaimu dengan serius,” komentar Arkana. “Ayolah, Arkana! Kamu dan dirimu tahu kalau itu tidak benar.” Cantra gemas. “Apa seminggu berkeliling dari kamar ke k
Arkana menggumamkan sebuah kata ketika Svaha dan dirinya keluar dari kamar Cantra. Sambil menutup pintu, Svaha memperhatikan wajah sahabatnya itu—atau mantan sahabatnya itu. "Kamu bilang sesuatu?" tanya Svaha. Arkana mengangkat bahunya, memainkan bibir sebentar seolah sedang mengunyah isi pikirannya. "Ini hari terakhir liburan. Dan pestanya sudah berakhir sebelum aku sempat meminum apapun." Ia mengeluh. Svaha menyunggingkan senyum saat menyadari perempuan di depannya masihlah Arkana yang sejak dulu ia kenal. Arkana tidak berubah sikap, meski Svaha sudah menyakiti perasaannya tempo hari. Apa mungkin Arkana sudah melupakan Svaha? "Kamu mau minum? Biar kuantar ke dapur." "Tidak usah. Kamu istirahat saja. Biar kucari Banu untuk menemaniku minum sebentar." "Banu sedang mengurus perceraiannya di luar kota," ungkap Svaha. Arkana menghela nafas lagi. "Kalau begitu aku akan pulang saja." "Apa berbeda rasanya kalau aku yang menemanimu mi
Sepertinya petualangan Arkana selama seminggu, berpindah-pindah dari kamar yang satu ke kamar yang lain sudah menjadikannya seorang pengecut yang profesional. Arkana bisa dengan leluasa mengendap-endap dan kabur dari Svaha tanpa membangunkan lelaki itu. Yang semalam memang sudah bisa ditebak. Pertengkaran mereka menjelma hasrat, ego, dan hal-hal gelap yang ikut campur di dalamnya. Tapi, tidak pernah terbayangkan oleh Arkana kalau ia akan begitu menikmatinya. Bukan soal fisik saja. Soal perasaan, kalau yang itu jangan ditanya. Svaha dan Arkana pernah melakukannya beberapa kali dulu, dalam perjalanan pulang ke kota kecil Eila. Di rumah keluarga Nirmala. Mereka melakukannya nyaris di mana saja. Tidak ada yang berubah. Jelas, Arkana dan Svaha masih saling mencintai. Sekarang, setelah rencana improvisasi milik Cantra selesai dengan mulus. Arkana punya kewajiban untuk menemui Cantra. Jadi, Arkana menyelinap keluar dan mencari Cantra di tempat Arkana dan Svaha meninggalkann
“Ke mana saja kamu, Banu?” tanya Arkana pada Banu yang baru saja muncul batang hidungnya. “Banyak hal yang harus aku urusi. Apa malammu menyenangkan?” Lelaki itu mendekat pada Arkana. Kepalanya agak menunduk, karena Arkana tidak lebih tinggi darinya. Arkana menaikkan bahunya. “Aku tidak tahu, Cantra mabuk berat, sepanjang malam aku menghabiskan waktu untuk menadah muntahnya.” “Aku tidak semenjijikkan kamu.” Cantra membela dirinya. Banu tersenyum melihat dua perempuan di depannya. Ketika matanya beradu dengan Svaha, keadaan jadi lebih dingin dari bayangan pohon leci tua di depan rumah Bhuana. “Svaha, apa kabar?” Banu menyapa Svaha. Melihat Arkana sangat akrab dengannya, membuat Svaha semakin tidak menyukai Banu. Lelaki itu merasa sendirian karena semua orang akrab satu sama lain, kecuali dengannya. Mungkin karena Arkana juga, tapi Svaha tidak boleh setuju dengan perasaannya. Terlepas dari apapun yang terjadi dengan dirinya dan Arkana tadi malam
Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida
Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari
Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu
Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama
Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran
Agaknya, kali ini seorang Ekanta benar-benar menepati janjinya. Ia menunggu anak lelakinya di luar. Sambil mengisi waktu, ia menggambar di bawah pohon leci tua yang tidak berbuah. Bayangan pohon yang gelap menaunginya, angin bergerak pelan di antara jenggotnya, menawarkan kantuk prematur. Belum juga tengah hari, bisa jadi pembicaraannya dengan Svaha nanti akan memakan banyak energi. Jadi, Ekanta memutuskan merokok barang sebatang untuk mengusir kantuk. Sambil menghembuskan asap dari bakaran tembakau favoritnya, ingatan tentang Svaha kecil menari-nari di udara. Kini, anak itu sudah tumbuh. Ia tampan, hidungnya seperti Swan. Tubuh Svaha kurus namun bahunya lebar dan tegap, seperti dirinya. Ia merasa bangga. Ekanta dibuai rasa bangga yang janggal. Mungkin karena kini anak lelakinya sudah dewasa dan akan menikah. Mungkin karena tanpa kehadirannya Swan berhasil mendidik anak lelakinya. Mungkin, mungkin… Mungkin karena ia sangat mencintai Swan dan kemunculan Svaha membuat rindunya
Svaha sudah terbiasa diejek karena tidak punya ayah. Di sekolah dasar, karena tak ada yang mengambil rapornya, atau hari ayah. Jika teman-temannya ingin tahu apa dia anak di luar pernikahan. Apa dia anak haram. Atau korban perceraian. Apa ayahnya sudah mati seperti ayahnya Arkana. Atau ayahnya berselingkuh seperti dalam telenovela. Biasanya Svaha tidak sempat menjawab, karena Arkana keburu menjitak kepala siapapun yang bicara soal ayahnya Svaha. Meski dalam hati lelaki itu terluka perasaannya. Svaha tidak benar-benar kenal ayahnya. Ia hanya tahu namanya. Ekanta meninggalkan rumah juga sudah lama, sehingga Svaha tak lagi ingat makanan kesukaan ayahnya. Atau lagu apa yang selalu dinyanyikan Ekanta kalau Svaha tidur di malam hari. Satu-satunya yang Svaha ingat adalah hari di mana ayahnya pergi. Hari sabtu, hari pertama musim panas. Svaha sedang berjongkok di depan rumahnya sambil menghitung kelereng ketika Ekanta menghampirinya. Ayahnya berbau cat minyak, di kukunya ada
Café itu terlihat sama dengan pesaingnya dari luar. Namun ketika masuk ke dalam, Arkana merasa disentil dengan pemandangan interiornya. Ruang satu dan lain dibatasi kusen tanpa daun pintu yang diwarnai merah. Lampunya berbentuk mangkok putih dengan pendar kuning, digantung dari langit-langit bermotif garis. Sebagian temboknya dihaluskan dan dicat putih sementara sebagian sisanya dibiarkan telanjang dengan motif bata. Untuk menghidupkan inovasi ini, mereka menaruh palem dalam pot di beberapa sisi. Segar sekali. Belum lagi meja dan kursi yang dikordinasikan sedemikian rupa. Meja persegi yang mempertahankan serat kayu, dipadu sofa tunggal berbahan bludru, warna putih tulang dan merah yang diletakkan acak. Di meja besar yang selalu ditempatkan di sudut, sebuah sofa dinding di warna hijau sage. Oh! Arkana merayakan ‘eyegasm’ dalam dadanya. Ia begitu bersemangat sehingga tak sengaja menyeret Banu untuk segera masuk ke sana. Gadis itu memilih duduk di pojokan. Di k