Agaknya, kali ini seorang Ekanta benar-benar menepati janjinya. Ia menunggu anak lelakinya di luar. Sambil mengisi waktu, ia menggambar di bawah pohon leci tua yang tidak berbuah. Bayangan pohon yang gelap menaunginya, angin bergerak pelan di antara jenggotnya, menawarkan kantuk prematur. Belum juga tengah hari, bisa jadi pembicaraannya dengan Svaha nanti akan memakan banyak energi. Jadi, Ekanta memutuskan merokok barang sebatang untuk mengusir kantuk. Sambil menghembuskan asap dari bakaran tembakau favoritnya, ingatan tentang Svaha kecil menari-nari di udara. Kini, anak itu sudah tumbuh. Ia tampan, hidungnya seperti Swan. Tubuh Svaha kurus namun bahunya lebar dan tegap, seperti dirinya. Ia merasa bangga. Ekanta dibuai rasa bangga yang janggal. Mungkin karena kini anak lelakinya sudah dewasa dan akan menikah. Mungkin karena tanpa kehadirannya Swan berhasil mendidik anak lelakinya. Mungkin, mungkin… Mungkin karena ia sangat mencintai Swan dan kemunculan Svaha membuat rindunya
Baca selengkapnya