Meski hujan turun tanpa ampun, membuat lapisan surai di kegelapan malam, Svaha tetap melangkah. Menembus bulir-bulirnya seperti yang dilakukan cahaya biru dan merah dari beranda bar. Suara gemuruh menelan dentum musik di belakangnya. Sempat ia berpikir kalau badai ini hanya terjadi dalam pikirannya. Karena jika pun mereka dapat membuat bajunya basah dalam hitungan detik, Svaha tidak merasa gigil sama sekali. Ia merasa marah. Mungkin yang paling marah selama hidupnya. Ubun-ubunnya berdenyut seperti akan meletus. Tapi, apakah marah adalah kosakata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini? Pipinya masih panas, juga hatinya. Semuanya panas, bahkan di tengah hujan, Svaha bisa merasakan keringat mentah keluar dari tiap pori di telapak tangannya. Svaha mencari kunci mobil. Membuka pintu kemudi dengan kasar. Dan ketika ia berhasil mendudukkan diri, Cantra sudah duduk di sebelahnya. Cantra mengikuti kekasihnya, tanpa bersuara sama sekali. Ia menatap pada Svaha. S
Read more