Veronika tidak banyak bicara pada anaknya sejak mereka meninggalkan supermarket. Keduanya memutuskan untuk mampir dulu ke tempat Svaha, mengambil koper pakaian milik Arkana dan mengambil tas persiapan kelahiran untuk Tante Swan.
Arkana memutuskan untuk menumpang mandi sekali lagi, setelah itu ia akan membantu Ibunya memasukkan semua belanjaan keluarga Nirmala ke dalam kulkas.
“Mau apa kamu?” tanya Veronika ketika anaknya sampai di dapur.
Sambil menggosok rambut yang masih basah dengan handuk, Arkana duduk di kursi. “Aku tadinya ingin membantumu menata belanjaan di kulkas. Tapi sepertinya pekerjaan itu sudah selesai.”
Veronika mendesah ketika menutup pintu kulkas. Ia duduk di depan anaknya. “Yang tadi itu bagaimana kejadiannya?”
“Perempuan gila itu menyerangku.” Arkana memulai keluh kesahnya.
“Dia punya nama. Sama sepertimu.”
“Gilang, dia menyerangku lebih dulu.
Sebaik apapun Svaha mencoba untuk menilai dirinya sendiri dan memilah hal-hal menakjubkan yang ada pada dirinya sampai hari ini, sampai setinggi dan seumurnya kini, sepertinya Svaha hanya akan dibawa pada satu kesimpulan; kalau dia adalah lelaki berhati lemah. Yang pertama, tanpa banyak prakata (ia tidak akan membela diri), ia jatuh pingsan setelah proses bersalin Swan, Ibunya. Svaha—sulit mengungkapkan istilah yang terjadi dalam tubuhnya. Otaknya tak henti-hentinya mengirim sinyal palsu, ia khawatir, curiga, senang di saat yang sama, ia kagum. Savanna, Svaha pikir akan membencinya—ternyata ia menyukai bayi itu. Svaha mudah dirasuki perasaan simpati. Bayi itu membuatnya jatuh hati. Lalu ia kewalahan menangani perasaan yang banyak itu dalam satu waktu. Svaha korslet. Ia menemukan dirinya terbangun di brankar pasien, tepat di sebelah ibunya yang cekikikan karena senang melihatnya dalam ketidak berdayaan. Dan dari detik itu, semua orang susah payah menyuruhnya menyingki
Waktu itu angin sejuk dari akhir musim hujan meniup-niup daratan kota Eila, memberikan rasa sejuk dan hangat yang seimbang untuk sekedar berjalan-jalan keluar di tengah hari sambil menikmati pemandangan sawah dan perkebunan kebanggan kota mereka. Tanah yang tidak pernah berhenti memproduksi sayuran segar dan buah-buah yang menggiurkan dan bernilai mahal. Di bawah pohon nangka besar di ujung kebun apel dan lemon milik salah satu keluarga paling kaya di kota Eila, Arkana berjongkok sambil memunguti daun-daun kering untuk bahan prakaryanya. Sudah setengah jam ia menunggu Svaha di sana, beberapa tetangga yang lewat menyapanya dengan ramah, namun teman baiknya tidak kunjung muncul. Jadi, Arkana memutuskan untuk mulai memungut daun-daun itu sendirian. Beberapa helai rambutnya melambai-lambai bersama desiran angin yang semakin lama semakin membikin gigil. Arkana sudah bersin lebih dari tiga kali, ketika langkah kaki itu mendekatinya. Arkana memasang wajah senang sambil meno
Svaha dan Arkana. Sekarang Arkana baru mengerti kenapa nama itu kedengaran bagus. “Kamu pikir apa kita perlu mengganti namanya?” “Nama itu akan cocok dengannya. Kita tidak perlu menggantinya.” Svaha menarik dagu gadis di depannya, dengan ibu jarinya ia membelai vermilion—bibir bawah Arkana. Arkana menjilat ujung jari Svaha. Lelaki itu tertegun, kemudian mencucup sudut bibir sahabatnya. Dengan akurasi yang baik, ia telah meletakkan puzzle itu di ceruk yang tepat. Arkana mendesau. Menggamit bahu Svaha, merabai tulang selangkanya. Arkana sangat ingin merobek pakaiannya. “Ingatan itu, mulai berputar di kepalaku. Masa kecil kita.” Arkana berbisik. “Ibuku akan marah. Ia akan membunuhku.” Svaha menggigil. “Mamaku akan mengamuk, ia akan mencoret namaku dari daftar ahli waris. Tak apa, kami memang tidak sekaya itu.” Nafas Svaha menyapu permukaan wajah Arkana. Lengan
Di rumahnya, Svaha memiliki sebuah nampan besar yang hanya dikeluarkan dan digunakan untuk arisan tiga bulan sekali. Bentuknya bundar, terbuat dari bahan melamin tebal berwarna merah tua. Kapasitasnya bisa menampung lima sampai tujuh cangkir kopi. Tapi kali ini hanya ada empat di atas sini. Karena masih kesal, ia biarkan Arkana membawa cangkirnya sendiri. Di meja makan, Cantra duduk berhadapan dengan Swan. Veronika bersantai di tempat duduk kesukaannya (di sebelah Awan), dan Arkana duduk di sudut yang lebih pendek dekat dengan Cantra. Svaha bertanya-tanya soal itu. Ia mengulurkan cangkir satu persatu ke hadapan mereka. Ibu, Tante Ve, Cantra, miliknya sendiri. Cantra tersenyum, mengucapkan terimakasih dan maaf merepotkan yang tulus. Svaha membalas senyum itu. Sambil menyelidiki adanya kepalsuan di sana. Kalau-kalau Cantra datang untuk memergoki sikap menyimpang Svaha dengan Arkana. Kalau-kalau perempuan itu datang dengan harapan bisa melihat penyelewengan mer
Arkana ingat suatu hari di awal musim hujan. Bulan November. Ketika awan gelap menutup setiap celah langit dan hujan jatuh seperti bulir-bulir peluru senapan angin. Besar dan menyakitkan. Malam ketika Papa meninggalkannya. Meninggalkan Arkana dan Veronika. Sesekali kilat menyala selama beberapa mili detik. Dengan cahaya putih yang mirip lampu LED. Menerobos ke dalam jendela mobil keluarga itu. Membuat semuanya nampak terang sesaat, kemudian meninggalkan kegelapan yang lebih menjadi, lebih misterius. Waktu itu Veronika yang menyetir, ia mengenakan baju tidur lengan panjang berwarna gelap. Matanya tertuju pada dua hal, kaca spion atas dan jalan di depannya. Tatapannya memancarkan rasa cemas dan takut. Belum pernah Arkana melihat Veronika berwajah takut. Veronika yang biasanya adalah perempuan kaku, keras kepala dan meledak-ledak. Sedang Papa mengenakan yang warna putih. Ada noda darah di bagian dada. Veronika membaringkannya di kursi belakang. Matanya pejam.
Di antara semua siksaan yang paling menyakitkan, melihat Arkana saat ini adalah yang paling mengerikan bagi Svaha. Seseorang mengikatnya di kursi. Kursi makan itu dibuat dengan kayu mahogani. Sandarannya tinggi berpilar tiga, punggung Arkana menempel di sana. Talinya dari akar pohon beringin berusia tua, terjalin melingkari tubuh montoknya. Sementara kulitnya yang mulus—mulai robek karena sempat memberontak. Svaha memanggili namanya, oh Arkana. Tapi gadis itu tidak mendengarnya. Wajahnya tunduk, rambutnya lengket terjuntai-juntai. Svaha meneriaki namanya, oh Arkana! Tapi Arkana tidak bergerak. Dia layu bersama darah yang mengucur jatuh ke lantai. Punggungnya ditancapi beling. Dan jari-jari tangannya putus satu persatu. Svaha mengobati dirinya sendiri dengan rintihan, “Ini hanya mimpi. Ini tidak nyata.” Meski tubuhnya meragukannya, dadanya sakit karena peristiwa itu. Ketika Svaha ingin mendek
Hujan masih turun. Derainya mengetuk-ngetuk atap, memainkan bunyi gemerutuk bergantian dan konstan. Seperti sebuah lagu dari kejauhan. Sayup dan sulit ditangkap maknanya. Sepatu Arkana sudah basah sepenuhnya dan beraroma lumpur. Warnanya cokelat dan semakin menghitam. Beberapa kali bulir hujan bergulir dari atap menggali kubangan kecil-kecil—airnya mental ke tulang kering gadis itu. Dingin dan menggelikan. Arkana berjongkok. Masih menunggu orang itu datang. Arkana merasa harus bicara padanya. Setelah mobil ibunya melaju kembali ke rumah keluarga Nirmala, Arkana memutuskan untuk berdiang sebentar di bawah langit. Arkana tidak butuh keteduhan. Ia hanya butuh hujan membilas kemarahannya. Kekecewaan. Atau apapun namanya yang membuat jiwanya merasa sesak dan ingin dibebaskan. Sementara. Dan ketika sudah merasa cukup tenang, Arkana memutuskan untuk menyusuri setiap kelokan, ia melangkah di atas tanah lembek, menuju perkebunan itu. Tubuhnya menggigil karena baju yan
Agaknya, pagi ini Svaha harus mengutarakan rasa sayang dan terimakasihnya pada bayi Savanna lebih dari sebelumnya. Karena baru saja tangisnya yang keras luar biasa mampu menyelamatkannya dari sebuah mimpi buruk. Mimpi buruk itu soal Arkana tentu saja. Tiga hari setelah insiden kedatangan Cantra yang tiba-tiba, hidungnya yang bengkok belum juga kelihatan. Bukan hal yang aneh, karena mungkin saja Veronika yang didikannya keras sedang menghukumnya. Ya, Arkana sudah terlalu tua untuk selalu dihukum. Tapi, emosinya yang pendek dan mudah tersulut sering membuat orang gemas padanya. Svaha memang tidak menanyakan ini pada Veronika. Atau pada Swan. Ia tidak ingin terlihat terlalu mengatur atau terlalu khawatir. Karena kembali lagi, itu bukan urusannya. Dan Arkana, sudah besar. Gadis itu berhak menghilang, juga berhak muncul kapanpun ia mau. Di saat perkuliahan juga begitu. Svaha tidak bisa membuatnya tinggal di kos yang sama dengannya. Lagi pula mungkin menurut kebanyakan ora
Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida
Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari
Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu
Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama
Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran
Agaknya, kali ini seorang Ekanta benar-benar menepati janjinya. Ia menunggu anak lelakinya di luar. Sambil mengisi waktu, ia menggambar di bawah pohon leci tua yang tidak berbuah. Bayangan pohon yang gelap menaunginya, angin bergerak pelan di antara jenggotnya, menawarkan kantuk prematur. Belum juga tengah hari, bisa jadi pembicaraannya dengan Svaha nanti akan memakan banyak energi. Jadi, Ekanta memutuskan merokok barang sebatang untuk mengusir kantuk. Sambil menghembuskan asap dari bakaran tembakau favoritnya, ingatan tentang Svaha kecil menari-nari di udara. Kini, anak itu sudah tumbuh. Ia tampan, hidungnya seperti Swan. Tubuh Svaha kurus namun bahunya lebar dan tegap, seperti dirinya. Ia merasa bangga. Ekanta dibuai rasa bangga yang janggal. Mungkin karena kini anak lelakinya sudah dewasa dan akan menikah. Mungkin karena tanpa kehadirannya Swan berhasil mendidik anak lelakinya. Mungkin, mungkin… Mungkin karena ia sangat mencintai Swan dan kemunculan Svaha membuat rindunya
Svaha sudah terbiasa diejek karena tidak punya ayah. Di sekolah dasar, karena tak ada yang mengambil rapornya, atau hari ayah. Jika teman-temannya ingin tahu apa dia anak di luar pernikahan. Apa dia anak haram. Atau korban perceraian. Apa ayahnya sudah mati seperti ayahnya Arkana. Atau ayahnya berselingkuh seperti dalam telenovela. Biasanya Svaha tidak sempat menjawab, karena Arkana keburu menjitak kepala siapapun yang bicara soal ayahnya Svaha. Meski dalam hati lelaki itu terluka perasaannya. Svaha tidak benar-benar kenal ayahnya. Ia hanya tahu namanya. Ekanta meninggalkan rumah juga sudah lama, sehingga Svaha tak lagi ingat makanan kesukaan ayahnya. Atau lagu apa yang selalu dinyanyikan Ekanta kalau Svaha tidur di malam hari. Satu-satunya yang Svaha ingat adalah hari di mana ayahnya pergi. Hari sabtu, hari pertama musim panas. Svaha sedang berjongkok di depan rumahnya sambil menghitung kelereng ketika Ekanta menghampirinya. Ayahnya berbau cat minyak, di kukunya ada
Café itu terlihat sama dengan pesaingnya dari luar. Namun ketika masuk ke dalam, Arkana merasa disentil dengan pemandangan interiornya. Ruang satu dan lain dibatasi kusen tanpa daun pintu yang diwarnai merah. Lampunya berbentuk mangkok putih dengan pendar kuning, digantung dari langit-langit bermotif garis. Sebagian temboknya dihaluskan dan dicat putih sementara sebagian sisanya dibiarkan telanjang dengan motif bata. Untuk menghidupkan inovasi ini, mereka menaruh palem dalam pot di beberapa sisi. Segar sekali. Belum lagi meja dan kursi yang dikordinasikan sedemikian rupa. Meja persegi yang mempertahankan serat kayu, dipadu sofa tunggal berbahan bludru, warna putih tulang dan merah yang diletakkan acak. Di meja besar yang selalu ditempatkan di sudut, sebuah sofa dinding di warna hijau sage. Oh! Arkana merayakan ‘eyegasm’ dalam dadanya. Ia begitu bersemangat sehingga tak sengaja menyeret Banu untuk segera masuk ke sana. Gadis itu memilih duduk di pojokan. Di k