Beranda / Pendekar / Mustika Naga Bumi / Bab 51 - Bab 60

Semua Bab Mustika Naga Bumi: Bab 51 - Bab 60

268 Bab

Juragan Kurama

Meskipun gurunya tidak memberi dukungan, tapi Yoga sudah pasrah jika memang hukuman mati akan diterapkan kepadanya.  "Sekarang pun hamba siap untuk menerima hukuman mati, Tuan Adipati," sahut Yoga tegas. Dia merasa mati sekarang atau nanti siang akan sama saja.  "Kau yakin berani dihukum mati sekarang?" tanya Adipati Hanggareksa.  "Hamba yakin, Tuan. Jujur hamba malu telah mengkhianati kepercayaan yang sudah Tuan berikan kepada hamba. Dan sebagai penebus rasa malu yang telah hamba lakukan, hukuman mati memang hukuman yang tepat buat hamba."  Adipati Hanggareksa tersenyu tipis melihat raut penyesalan di wajah Yoga. Dia kemudian memandang Aji untuk meminta pertimbangan.  Aji memberi anggukan kecil sebagai tanda bahwa Yoga masih bisa diberi kesempatan.  Adipati Hanggareksa berdiri dan kemudian berjalan mendekati Yoga. "Jika kau mau membantu mengatasi masalah yang sedang aku hadapi, aku tidak akan memberi huku
Baca selengkapnya

Pangeran Dananjaya

Rangga mengeryitkan dahinya. Meskipun tidak pernah berdagang sebelumnya, tapi dia tahu jika menjual ke tempat lain dengan harga yang lebih tinggi, jelas tidak mungkin dilakukan. Apalagi berkaitan dengan bahan pokok makanan yang harganya relatif stabil di berbagai tempat. Dalam pikirannya, kalaupun ada tempat lain yang berani membeli dengan harga lebih mahal, pasti beritanya sudah menyebar ke mana-mana. "Aneh sekali! Itu jelas alasan yang dibuat-buat," gumamnya dalam hati. "Aku setor dulu, Kisanak! Giliranku sudah tiba rupanya," ucap lelaki bercaping bambu, sedikit mengagetkan lamunan Rangga."Oh ... silahkan, Kisanak." Rangga tersenyum hangat mempersilahkan. Selepas kepergian lelaki itu, Rangga kembali menuju gerobaknya. Sambil duduk di atas karung berisi beras, Rangga mengamati dengan seksama setiap. Bibirnya tampak sibuk memainkan rumput hijau yang dicabutnya di sekitar gerobak. Tak berapa lama, dia melihat se
Baca selengkapnya

Tertangkap Basah

Sosok setengah baya yang masih menyisakan ketampanan di masa muda itu memejamkan matanya dalam waktu yang cukup lama. Pikirannya menerobos sekat ruang dan waktu mengingat kejadian yang membuatnya harus mengambil sikap untuk memberontak.  Adik tiri Raja Wanajaya itu menghela napas berat. Sesungguhnya dia tidak ingin menjadi pemberontak atau berusaha untuk merebut kekuasaan dari kakak tirinya. Tapi sikap Raja Wanajaya yang tidak mau mengakuinya sebagai adik yang membuatnya harus memilih jalan kekerasan sebagai alternatif pilihannya.  Dia merasa beruntung sosok Lodra memiliki loyalitas yang tinggi kepadanya. Lelaki berjubah hitam yang selalu menutupi wajahnya dengan tudung kepala itu masih memiliki pengaruh yang kuat, setelah menyatakan diri mundur dari jabatannya di istana kerajaan. "Lalu bagaimana persiapan untuk merebut kadipaten Tanjung Rejo ini?"  "Sejauh ini pergerakan pasukan kita
Baca selengkapnya

Interogasi

"Kalian jangan macam-macam! Di belakang masih banyak teman kami yang akan datang kemari," kata seorang dari kedua penguntit. "Apakah pasukan Pangeran Dananjaya yang kalian maksud? Mereka tidak akan datang kemari karena sibuk di kadipaten!" ejek Rangga. "Bagaimana mereka berdua bisa tahu? Bahaya ini! Aku harus bisa menyelamatkan diri dari mereka dan memberi tahu Tuan Lodra," ucap seorang dari kedua penguntit. "Aku tidak paham apa maksudmu? Siapa itu Pangeran Dananjaya?" "Hahahaha! Entah aku yang bodoh atau kau yang kurang pengalaman, tapi kernyitan di dahimu itu menunjukkan jika kau tahu siapa yang aku maksud," sahut Rangga. "Atau begini saja, bagaimana jika kalian katakan dengan sejujurnya tentang pergerakan Pangeran Dananjaya kepada kami, dan akan aku biarkan salah satu dari kalian hidup," timpal Bargowo. Golok besar berkilatan yang tertimpa sinar matahari membuat kedua orang itu bergidik ngeri. Kedua pen
Baca selengkapnya

Inisiatif Rangga dan Bargowo

"Semua yang kuketahui sudah aku katakan. Sekarang tolong lepaskan aku seperti janji kalian!" pinta prajurit Pangeran Dananjaya yang sedang berlutut di tanah. "Cuma aku yang berjanji untuk tidak membunuhmu, dan pasti akan aku tepati. Tapi entah dengan temanku ini," balas Bargowo. bibirnya menyeringai menunjukkan gigi-giginya yang kehitaman."Ka-kalian menipuku, bajingan kalian!" Cresssh!"Aaaakh!" Jeritan tertahan terdengar dari bibir lelaki yang kepalanya sudah menggelinding di tanah. Darah mengucur deras keluar dari leher yang sudah tidak berkepala. Bargowo bergidik ngeri melihat Rangga dengan dinginnya menebas leher prajurit yang sudah tidak mempunyai daya untuk melawan."Dia akan menjadi masalah jika dibiarkan hidup," ucap Rangga, sambil mengelap pedangnya yang berlumuran darah dengan pakaian prajurit yang baru saja dibunuhnya."Baiklah. Aku ikut saja apa katamu. Berikutnya apa kita langsung ke kadipa
Baca selengkapnya

Serangan Malam

"Aji, Ratih ... Berhati-hatilah!" pesan Adipati Hanggareksa. Aji dan Ratih tersenyum hangat, kemudian mengangguk pelan. Tdak terlihat rasa was-was atau gundah dalam pandangan mata sepasang kekasih tersebut."Tuan Adipati jangan kuatir. Pasti kami akan tetap kembali ke dalam istana," balas Aji.Adipati anggareksa membalas senyuman hangat keduanya. Bagaimanapun juga, dia merasa tidak enak hati jika harus melibatkan Aji dan ketiga temannya dalam masalah yang sedang dialaminya kali ini. Namun dalam kesempatan ini dia tidak tahu harus menoleh kepada siapa lagi untuk membantunya, sedang para pejabat Kadipaten belum diketahui bagaimana bentuk loyalitasnya. "Jika pergerakan Pangeran Dananjaya ini bisa kita hentikan atau bahkan kita hancurkan, nanti aku akan sampaikan kepada paduka Raja Wanajaya tentang bantuan besar yang kalian berikan. Beliau pasti akan memberikan hadiah besar buat kalian."Aji mengangguk. Lelaki tampan kemudian mengajak Ratih
Baca selengkapnya

Reaksi Pedang Kegelapan

Mata Ratih menatap nanar wajah tampan kekasihnya. Seandainya bisa memilih, dia tidak ingin mereka berempat terlibat dalam masalah yang begitu rumit dan menguras pikiran seperti kali ini.  Sebagai wanita normal, tentunya dia berharap agar bisa hidup tentram bersama Aji dan membangun keluarga dalam suasana yang penuh keharmonisan. Namun, jalan hidup yang dipilih Aji seolah memaksanya untuk mengikuti setiap ayunan langkah kekasihnya itu.  Protes, tentu hal itu tidak bisa dilakukannya, mengingat Aji sudah mengabdikan hidupnya di jalan kebenaran dan membuatnya selalu berkelana.  Waktu mengalir mulus tanpa ada sedikitpun kendala yang mampu menghambatnya. Tak terasa, sang Surya sudah tenggelam di ufuk barat dan digantikan keanggunan rembulan yang memancarkan sinar keemasannya. Hewan malam bermunculan dan bersahutan membunyikan suara khasnya untuk memeriahkan suasana yang hening dan mencekam.  Dalam gelapnya malam, sesosok bayangan hitam m
Baca selengkapnya

Menjadi Iblis Haus Darah

Aji merasakan getaran pedang Kegelapan tiba-tiba menghilang seiring tercabutnya pedang pusaka itu dari sarungnya.Sesuatu yang terjadi kemudian membuat Aji merinding. Kekuatan yang sangat besar menyeruak keluar dari bilah pedang kegelapan. Tanpa disadarinya, puluhan prajurit yang mengerubunginya tidak bisa bergerak sama sekali. Mata Aji memandang heran dengan kakunya tubuh para prajurit itu. Namun berikutnya dia sadar dan segera melesat menebaskan pedangnya berulang kali tanpa berhenti sama sekali.  Jeritan kematian pun terdengar bersahutan tanpa berhenti. Aji membabi buta menghabisi setiap prajurit yang berada dalam jangkauan pedangnya. Jasad jasad bertumpukan bersimbah darah tergeletak tak beraturan, bercampur bau amis menyengat menusuk hidung. Tanpa disadari Aji, semakin banyak jasad yang terbunuh oleh bilah pedang kegelapan, jiwanya semakin haus untuk melakukan pembunuhan demi pembunuhan berikutnya. Melayangnya nyaw
Baca selengkapnya

Melawan 12 Pengawal

"Ternyata dugaanku tidak salah. Kau memang bagian dari Adipati Hanggareksa," ucap sosok berjubah yang ternyata adalah Lodra.Aji sedikit terkejut. Dugaannya mengatakan jika sosok di depannya itu sering mengamatinya ketika di kotaraja."Aku bukan bagian dari siapapun. Dan aku membantu Adipati Hanggareksa karena memang perbuatan yang hendak kalian lakukan itu sudah keluar dari jalur kebenaran!" balas Aji. Lodra memandang ratusan prajuritnya yang tergeletak tak bernyawa di beberapa tempat. "Kau harus menebus kesalahanmu karena telah membantai prajuritku!"Aji memandang Lodra dengan senyuman sinis tersungging di bibirnya. "Kalau kau ingin bernasib sama seperti mereka, majulah! Aku pastikan nyawamu akan menyusul para prajuritmu ke neraka!""kau begitu yakin dengan kemampuanmu, Kunyuk! Tapi sebelum menghadapiku, hadapi mereka terlebih dahulu!" Lodra menunjuk beberapa sosok berwajah pucat yang berdiri di sekitar gubuk kecil. Pandangan A
Baca selengkapnya

Sifat Asli Pedang Kegelapan

Secara perlahan, aura merah yang keluar dari bilah pedang Kegelapan membuat suhu udara di dalam hutan itu meningkat pesat dan memanas. Pohon-pohon mulai meranggas dan menggugurkan daunnya untuk mengurangi penguapan akibat hawa panas yang menerpa. "Pertahankan formasi dan gunakan kelembapan hutan ini untuk menekan panasnya! jangan takut dengan hawa panas yang dikeluarkan pedangnya!" teriak lelaki bermata satu. Mereka kemudian menggerakkan tangannya dan menarik unsur alam di hutan yang mengandung kelembapan tinggi. Setelah itu mereka mencabut senjatanya masing dan kembali melakukan serangan. "Kalian terlalu percaya diri dengan formasi yamg kalian pakai!' teriak Aji. Pertarungan sengit kembali terjadi. Mereka kemudian melakukan serangan dengan gencar ke arah Aji. Unsur kelembapan hutan yang yang mereka gunakan membuat mereka begitu percaya diri menekan lawannya. Silih berganti serangan yang mereka lakukan membuat Aji bergerak mundur. Kecepatan me
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
27
DMCA.com Protection Status