Mata Ratih menatap nanar wajah tampan kekasihnya. Seandainya bisa memilih, dia tidak ingin mereka berempat terlibat dalam masalah yang begitu rumit dan menguras pikiran seperti kali ini.
Sebagai wanita normal, tentunya dia berharap agar bisa hidup tentram bersama Aji dan membangun keluarga dalam suasana yang penuh keharmonisan. Namun, jalan hidup yang dipilih Aji seolah memaksanya untuk mengikuti setiap ayunan langkah kekasihnya itu.
Protes, tentu hal itu tidak bisa dilakukannya, mengingat Aji sudah mengabdikan hidupnya di jalan kebenaran dan membuatnya selalu berkelana.
Waktu mengalir mulus tanpa ada sedikitpun kendala yang mampu menghambatnya. Tak terasa, sang Surya sudah tenggelam di ufuk barat dan digantikan keanggunan rembulan yang memancarkan sinar keemasannya. Hewan malam bermunculan dan bersahutan membunyikan suara khasnya untuk memeriahkan suasana yang hening dan mencekam.
Dalam gelapnya malam, sesosok bayangan hitam m
Ada sebuah cerita menarik yang bisa kakak ikuti sambil menunggu update bab terbaru Mustika Naga . Judulnya TERTIPU MASA LALU. Terima gaji ...
Aji merasakan getaran pedang Kegelapan tiba-tiba menghilang seiring tercabutnya pedang pusaka itu dari sarungnya.Sesuatu yang terjadi kemudian membuat Aji merinding. Kekuatan yang sangat besar menyeruak keluar dari bilah pedang kegelapan. Tanpa disadarinya, puluhan prajurit yang mengerubunginya tidak bisa bergerak sama sekali.Mata Aji memandang heran dengan kakunya tubuh para prajurit itu. Namun berikutnya dia sadar dan segera melesat menebaskan pedangnya berulang kali tanpa berhenti sama sekali.Jeritan kematian pun terdengar bersahutan tanpa berhenti. Aji membabi buta menghabisi setiap prajurit yang berada dalam jangkauan pedangnya. Jasad jasad bertumpukan bersimbah darah tergeletak tak beraturan, bercampur bau amis menyengat menusuk hidung.Tanpa disadari Aji, semakin banyak jasad yang terbunuh oleh bilah pedang kegelapan, jiwanya semakin haus untuk melakukan pembunuhan demi pembunuhan berikutnya.Melayangnya nyaw
"Ternyata dugaanku tidak salah. Kau memang bagian dari Adipati Hanggareksa," ucap sosok berjubah yang ternyata adalah Lodra.Aji sedikit terkejut. Dugaannya mengatakan jika sosok di depannya itu sering mengamatinya ketika di kotaraja."Aku bukan bagian dari siapapun. Dan aku membantu Adipati Hanggareksa karena memang perbuatan yang hendak kalian lakukan itu sudah keluar dari jalur kebenaran!" balas Aji.Lodra memandang ratusan prajuritnya yang tergeletak tak bernyawa di beberapa tempat. "Kau harus menebus kesalahanmu karena telah membantai prajuritku!"Aji memandang Lodra dengan senyuman sinis tersungging di bibirnya. "Kalau kau ingin bernasib sama seperti mereka, majulah! Aku pastikan nyawamu akan menyusul para prajuritmu ke neraka!""kau begitu yakin dengan kemampuanmu, Kunyuk! Tapi sebelum menghadapiku, hadapi mereka terlebih dahulu!" Lodra menunjuk beberapa sosok berwajah pucat yang berdiri di sekitar gubuk kecil.Pandangan A
Secara perlahan, aura merah yang keluar dari bilah pedang Kegelapan membuat suhu udara di dalam hutan itu meningkat pesat dan memanas. Pohon-pohon mulai meranggas dan menggugurkan daunnya untuk mengurangi penguapan akibat hawa panas yang menerpa. "Pertahankan formasi dan gunakan kelembapan hutan ini untuk menekan panasnya! jangan takut dengan hawa panas yang dikeluarkan pedangnya!" teriak lelaki bermata satu. Mereka kemudian menggerakkan tangannya dan menarik unsur alam di hutan yang mengandung kelembapan tinggi. Setelah itu mereka mencabut senjatanya masing dan kembali melakukan serangan. "Kalian terlalu percaya diri dengan formasi yamg kalian pakai!' teriak Aji. Pertarungan sengit kembali terjadi. Mereka kemudian melakukan serangan dengan gencar ke arah Aji. Unsur kelembapan hutan yang yang mereka gunakan membuat mereka begitu percaya diri menekan lawannya. Silih berganti serangan yang mereka lakukan membuat Aji bergerak mundur. Kecepatan me
Mendengar teriakan Lodra, Aji tiba-tiba menghentikan lesatan tubuhnya."Serang dia atau kalian yang akan aku bunuh!" Kembali Lodra berteriak keras dari jauh.Aji menoleh kepada Lodra. "Tunggu setelah giliranmu tiba!"Bentakan Lodra membuat 12 orang itu sepakat untuk kembali menyerang Aji. Bagi mereka, dibunuh Aji atau Lodra sama saja artinya. Mereka akan sama-sama mati juga."Bentuk formasi!" teriak Mata satu.Kembali 12 orang pengawal Pangeran Dananjaya itu berlompatan membentuk formasi untuk menyerang Aji. Meskipun ada rasa takut mengganjal di hati, tapi mereka tetap nekat untuk melakukan serangan.Aji tersenyum tipis menyambut serangan lawan. Pedang Kegelapan yang terus mengeluarkan kobaran api hebat, membuat serangan 12 orang pengawal itu menjadi tidak maksimal.Bukan hanya itu, mereka juga dibuat bingung dengan melelehnya senjata mereka setelah berbenturan dengan pedang lawan. Aji memanfaatkan kesempatan i
Sebuah benturan berkekuatan cukup besar terjadi di antara mereka berdua. Aji terdorong mundur sekitar 7 langkah. Sedangkan Lodra juga terdorong mundur 2 langkah lebih pendek. Senyum lelaki tua itu mengembang lebar, setelah merasa kekuatan tenaga dalamnya ada di atas Aji. Dia menilainya dari benturan yang baru saja terjadi. "Bersiaplah menyusul arwah pasukanku, bangsat!" teriak Lodra, Dia lalu menggunakan kecepatannya untuk menyerang Aji yang sudah bersiap menyambut serangannya. Pertarungan tangan kosong kembali terjadi begitu cepat. Aji bisa menilai kalau kekuatan lelaki tua yang sekarang menjadi lawannya, masih di atas 12 orang pengawal Pangeran Dananjaya yang sudah dibunuhnya. Aji terlihat terkejut dengan kecepatan Lodra di awal serangan. Dia berusaha menghindar dengan gerakan yang tidak kalah cepat, tapi sebuah serangan lainnya muncul dari sisi lainnya bersamaan dengan aura besar yang menekan tubuhnya. "Cepat sekali gerakannya!" Aji t
Aji melihat dari pusaran yang dilakukan Lodra, keluar sebuah serangan energi yang berbentuk seperti makhluk besar berwarna kehijauan mengarah kepadanya. Dengan refleks ceoat, dia mengalirkan energi tenaga dalamnya ke bilah pedang Kegelapan. Seketika api berkobar dengan hebat dan dia pun melesat menyongsong serangan lawan. Benturan dua energi besar tak terelakkan dan menimbulkan ledakan dahsyat berulangkali. Blaaaar! Blaaar! Keduanya terpental jauh ke belakang dan menghantam pepohonan. Lodra memuntahkan darah segar dari mulutnya. Begitu juga dengan Aji yang juga mengalami hal sama. Tanpa disadari Aji, Pedang kegelapan bereaksi cepat dengan memberikan energinya ke dalam tubuh Aji, hingga membuat lelaki tampan itu bisa sedikit pulih. Berbeda dengan Lodra yang masih tergeletak, meskipun tidak sampai menimbulkan kematian buat dirinya, akan tetapi dia merasakan tubuhnya merasakan panas yang luar biasa. "Pemuda itu tenaga dalamnya begitu tinggi
Setelah tidak lagi terdengar tanda-tanda pertarungan masih berlangsung, Yoga dan Ratih keluar dari tempat persembunyian mereka. Perasaan cemas seketika melanda pikiran gadis cantik putri Ki Mangkubumi tersebut. Dia berlari sekuat tenaga dan memasang matanya setajam mungkin untuk mencari keberadaan sosok lelaki tampan yang baru beberapa hari menjadi kekasihnya.Sejauh mata memandang, tidak terlihat tubuh Aji berada di tempat itu. Bulir air mata mulai menetes membasahi pipi putih nan mulus gadis cantik yang berdiri berpengangan pada sebuah tonggak kayu. Dia tidak bisa menahan lagi rasa sedih yang sedari tadi ditahannya."Sebaiknya kita berpencar agar pencarian bisa lebih efektif," kata Yoga yang disambut anggukan kepala Ratih.Mereka berdua bergerak berpencar. Ratih mencari di dekat tenda-tenda yang hanya tinggal satu dua yang masih berdiri tegak. Sedang Yoga mencari di tempat yang agak jauh.Ratih meraih sebuah obor di dekat sebuah tenda
Ratih seperti terpaku dalam kebekuan ketika sosok itu tersenyum kepadanya. Dia tidak mampu walau sekedar untuk mengedipkan mata. Deru napas keluar masuk yang halus melintasi tenggorokannya pun seakan terhenti. Hanya pikirannya saja yang mampu bekerja saat itu, pikiran yang dipenuhi ribuan pertanyaan.Sosok berselimut aura merah itu kembali memandang wajah Aji, sebelum menghilang dan kembali masuk ke dalam bilah pedang kegelapan.Selepas menghilangnya sosok tersebut, gadis cantik itu menghembuskan napasnya yang tersumbat dengan kasar. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Dia seolah ingin melepaskan beban yang menghimpit dadanya.Perlahan dia mendekati tubuh Aji yang masih terbaring di atas tikar pandan. Wajah tampan yang tadinya begitu pucat, kini telah kembali segar seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Luka bekas sayatan pedang yang mengukir tubuhnya pun lenyap tak berbekas.Ratih mengernyitkan dahinya tak percaya. Bayangannya se