Setelah tidak lagi terdengar tanda-tanda pertarungan masih berlangsung, Yoga dan Ratih keluar dari tempat persembunyian mereka. Perasaan cemas seketika melanda pikiran gadis cantik putri Ki Mangkubumi tersebut. Dia berlari sekuat tenaga dan memasang matanya setajam mungkin untuk mencari keberadaan sosok lelaki tampan yang baru beberapa hari menjadi kekasihnya.
Sejauh mata memandang, tidak terlihat tubuh Aji berada di tempat itu. Bulir air mata mulai menetes membasahi pipi putih nan mulus gadis cantik yang berdiri berpengangan pada sebuah tonggak kayu. Dia tidak bisa menahan lagi rasa sedih yang sedari tadi ditahannya.
"Sebaiknya kita berpencar agar pencarian bisa lebih efektif," kata Yoga yang disambut anggukan kepala Ratih.
Mereka berdua bergerak berpencar. Ratih mencari di dekat tenda-tenda yang hanya tinggal satu dua yang masih berdiri tegak. Sedang Yoga mencari di tempat yang agak jauh.
Ratih meraih sebuah obor di dekat sebuah tenda
Ratih seperti terpaku dalam kebekuan ketika sosok itu tersenyum kepadanya. Dia tidak mampu walau sekedar untuk mengedipkan mata. Deru napas keluar masuk yang halus melintasi tenggorokannya pun seakan terhenti. Hanya pikirannya saja yang mampu bekerja saat itu, pikiran yang dipenuhi ribuan pertanyaan.Sosok berselimut aura merah itu kembali memandang wajah Aji, sebelum menghilang dan kembali masuk ke dalam bilah pedang kegelapan.Selepas menghilangnya sosok tersebut, gadis cantik itu menghembuskan napasnya yang tersumbat dengan kasar. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Dia seolah ingin melepaskan beban yang menghimpit dadanya.Perlahan dia mendekati tubuh Aji yang masih terbaring di atas tikar pandan. Wajah tampan yang tadinya begitu pucat, kini telah kembali segar seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Luka bekas sayatan pedang yang mengukir tubuhnya pun lenyap tak berbekas.Ratih mengernyitkan dahinya tak percaya. Bayangannya se
"Apa dia tidak sempat berbicara denganmu tadi?" tanya Aji."Jangankan bicara, dia tersenyum saja aku sudah sangat ketakutan, setengah mati," jawab Ratih."Bagaimana ciri-cirinya?""Seluruh tubuhnya di selimuti aura kemerahan. Aku tadi hanya sekilas melihat wajahnya, dan anehnya dia memiliki wajah yang mirip denganmu!" jawab Ratih.Aji kembali mengernyit heran. Dia kemudian teringat dengan ucapan Prayoga tentang pemilik pertama pedang Kegelapan yang juga adalah nenek moyangnya. "Apa mungkin sukmanya bersemayam di dalam pedang ini?""Kau kenapa?" tanya Ratih mengagetkan Aji."Tidak apa-apa. Sebaiknya kita kembali ke istana saja sekarang!" ajak Aji. Dia memakai bajunya kembali sebelum bangkit berdiri. Setelah itu Pedang Kegelapan diikatnya ke punggungnya.Sekeluarnya dari gubuk kecil itu, Aji mengambil sebuah obor dan kemudian membakar gubuk kecil tersebut agar tidak lagi disalah gunakan oleh pasukan Pangeran Dananjaya.
Kenapa kau malah tersenyum seperti itu?" tanya Ratih heran."Apa kau tidak ingat dengan sosok yang bertarung denganku malam tadi?" Aji bertanya balik. Senyum khasnya tercetak indah di bibirnya."Iya, aku masih ingat. Memangnya kenapa? Apakah itu berarti ...?""Berarti yang bertarung denganku tadi malam kemungkinan besar adalah Lodra!" sela Aji cepat. Dia kemudian beralih pandangan kepada Yoga. "Coba kau cari tahu apakah dia ada di gudang atau tidak? Kalau tidak ada, berarti sudah dipastikan sosok semalam adalah Lodra."Yoga menggaruk kepalanya pelan. Dia masih ragu jika lawan Aji semalam adalah Lodra. Sebab dia tahu jika kemampuan Lodra sangat tinggi, menurutnya. Dan kalaupun benar yang dikalahkan Aji semalam adalah Lodra, berarti sosok tampan di depannya itu memiliki kemampuan yang luar biasa."Baiklah. Kita tunggu sampai Tuan Adipati bangun dari tidurnya, baru aku memastikannya ke sana. Aku punya rencana untuk menyerang mereka terlebih dahulu jik
"Aku pernah mendengar tentang 12 pengawal Pangeran Dananjaya dari Lodra, Tuan." Kedua bola mata Yoga terpejam untuk sesaat."Tapi aku tidak pernah bertemu mereka secara langsung. Dan kata Lodra, dia sendiri yang melatih 12 pengawal itu selama beberapa tahun terakhir," tambahnya.Dahi Aji berkerut tebal. "Berarti benar jika lelaki tua yang semalam aku lawan itu adalah Lodra. Sebab 12 pengawal itu begitu takut kepadanya.""Semoga saja seperti itu, Tuan. Jadi kita bisa menumpas gerakan mereka sesegera mungkin," balas Yoga."Sebentar ...! Kau bilang tadi jika Lodra sudah melatih mereka selama beberapa tahun terakhir, sedang Tuan Adipati pernah bilang jika Lodra mengundurkan diri dari jabatan Patih sekitar 8 bulan yang lalu. Itu berarti Lodra sudah menjalin hubungan dengan Pangeran Dananjaya bahkan ketika dia masih menjadi Patih, dan rencana menggulingkan kekuasaan Raja Wanajaya juga sudah direncanakan sejak lama," tutur Aji menjelaskan. 
"Hamba tidak tahu kejadiannya bagaimana, Pangeran. Ketika tiba di sana, kami menemukan markas kecil sudah hancur dan jasad para prajurit bergeletakan dimana-mana.""Siapa yang sudah melakukannya?" gumam Pangeran Dananjaya bertanya-tanya. Helaan napasnya begitu kuat terdengar."Kalaupun ada sosok kuat dibalik Hanggareksa, tapi markas kecil bukanlah tempat yang gampang ditemukan. Kecuali ada seorang penghianat di tubuh kita," ucap lelaki tua yang juga guru Pangeran Dananjaya. Lirikan kecil matanya tertuju kepada Yoga yang langsung menundukkan kepalanya."Apa mungkin Lodra yang telah menghianati kita, Guru?" tanya Pangeran Dananjaya. Jari tangannya mengurut pelan keningnya, karena rasa pusing tiba-tiba menyerang kepalanya.."Menurutmu bagaimana?" lelaki tua itu bertanya balik. Senyumannya menimbulkan misteri bagi yang melihatnya.Pangeran Dananjaya menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin Lodra sampai menghianatiku, Guru. Aku tah
Yoga benar-benar merasa terjebak oleh permainan kata-kata yang dibuatnya. Kini dia sadar jika Pangeran Dananjaya tidak sebodoh yang dia kira. Adik tiri Raja Wanajaya itu kini telah membuatnya tersudut dengan sebuah pertanyaan yang menjebak. Sebisa mungkin dia harus memberikan jawaban yang tepat agar terhindar dari kecurigaan mereka berdua."Saat ini ini jumlah pasukan kita masih di bawah mereka, Pangeran. Jika memang yang telah menghancurkan markas kecil itu adalah bagian dari Adipati Hanggareksa, maka kita harus menunggu datangnya pasukan yang lain. Jangan sampai kita gegabah menyerang tanpa perencanaan yang matang."Pangeran Dananjaya tertegun. Alih-alih ingin menjebak Yoga, nyatanya dia sendiri yang harus menerima sindiran halus tentang kesembronoannya yang ingin segera menyerang dan menguasai Kadipaten Tanjung Rejo."Jadi menurutmu bagaimana?""Kita tunggu gelombang pasukan berikutnya datang, Pangeran. Jika pasukan yang berada di markas kecil ti
Wanita pemilik tempat makan itu mengangkat wajahnya dan sedikit terhenyak melihat sosok bertubuh tinggi besar sudah berdiri di depannya. Ada rasa takut melihat cambang yang lebat dan golok besar yang menambah kesan sangar Bargowo. "Iya, Kisanak. Apa yang bisa aku bantu?" tanya wanita itu takut-takut. Pandangan matanya berlarian, takut menatap mata Bargowo. "Aku baru saja datang bersama temanku di sana. Dan ada yang ingin aku tanyakan mengenai paduka raja, sebelum aku menemui beliau, Nisanak." Dahi wanita itu mengernyit tebal keheranan. Dengan sosok sangar seperti itu, bagaimana bisa menemui Raja Wanajaya yang pastinya dijaga ketat para prajurit. Para penjaga pasti punya pikiran buruk kepada sosok sangar di depannya itu. "Ada apa, Nisanak? Apa ada yang salah denganku?" Bargowo menggaruk kepalanya. Jari-jari tangannya yang sebesar buah pisang semakin menambah kesan sangarnya. "Tidak apa-apa, Kisanak. Cuma aku ragu kau bisa menemui beliau,"
Wanita itu menggeleng pelan, " Bukan aneh, tapi kau terlihat tampan tanpa cambang." Pemilik tempat makan itu sampai menutup wajahnya dengan telapak tangan karena sudah jujur dengan apa yang dilihatnya.Bargowo mengernyitkan dahinya. Dia merasa pujian yang diberikan wanita itu kepadanya terlalu berlebihan. "Baru kau yang mengatakan aku tampan selama ini. Apa kau tidak lagi sakit mata?"Wanita itu tertawa keras sampai mengundang perhatian pengunjung tempat makan untuk melihatnya. "Mataku sehat-sehat saja, Kisanak. Oh, Iya ... Kenalkan, namaku Siswati." ucapnya mengenalkan diri sambil menjulurkan tangannya.Bargowo mengernyit heran. Berikutnya dia manyambut ukuran tangan wanita itu, "Namaku Bargowo.""Wah, namamu sangat sesuai dengan fisikmu tinggi besar," puji Siswati."Kau terlalu berlebihan." Bargowo menggeleng pelan. Dia tidak sadar jika Siswati sudah tertarik dengannya."Terima kasih atas informasinya. Aku mau menem