"Hamba tidak tahu kejadiannya bagaimana, Pangeran. Ketika tiba di sana, kami menemukan markas kecil sudah hancur dan jasad para prajurit bergeletakan dimana-mana."
"Siapa yang sudah melakukannya?" gumam Pangeran Dananjaya bertanya-tanya. Helaan napasnya begitu kuat terdengar.
"Kalaupun ada sosok kuat dibalik Hanggareksa, tapi markas kecil bukanlah tempat yang gampang ditemukan. Kecuali ada seorang penghianat di tubuh kita," ucap lelaki tua yang juga guru Pangeran Dananjaya. Lirikan kecil matanya tertuju kepada Yoga yang langsung menundukkan kepalanya.
"Apa mungkin Lodra yang telah menghianati kita, Guru?" tanya Pangeran Dananjaya. Jari tangannya mengurut pelan keningnya, karena rasa pusing tiba-tiba menyerang kepalanya.
."Menurutmu bagaimana?" lelaki tua itu bertanya balik. Senyumannya menimbulkan misteri bagi yang melihatnya.Pangeran Dananjaya menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin Lodra sampai menghianatiku, Guru. Aku tah
Yoga benar-benar merasa terjebak oleh permainan kata-kata yang dibuatnya. Kini dia sadar jika Pangeran Dananjaya tidak sebodoh yang dia kira. Adik tiri Raja Wanajaya itu kini telah membuatnya tersudut dengan sebuah pertanyaan yang menjebak. Sebisa mungkin dia harus memberikan jawaban yang tepat agar terhindar dari kecurigaan mereka berdua."Saat ini ini jumlah pasukan kita masih di bawah mereka, Pangeran. Jika memang yang telah menghancurkan markas kecil itu adalah bagian dari Adipati Hanggareksa, maka kita harus menunggu datangnya pasukan yang lain. Jangan sampai kita gegabah menyerang tanpa perencanaan yang matang."Pangeran Dananjaya tertegun. Alih-alih ingin menjebak Yoga, nyatanya dia sendiri yang harus menerima sindiran halus tentang kesembronoannya yang ingin segera menyerang dan menguasai Kadipaten Tanjung Rejo."Jadi menurutmu bagaimana?""Kita tunggu gelombang pasukan berikutnya datang, Pangeran. Jika pasukan yang berada di markas kecil ti
Wanita pemilik tempat makan itu mengangkat wajahnya dan sedikit terhenyak melihat sosok bertubuh tinggi besar sudah berdiri di depannya. Ada rasa takut melihat cambang yang lebat dan golok besar yang menambah kesan sangar Bargowo. "Iya, Kisanak. Apa yang bisa aku bantu?" tanya wanita itu takut-takut. Pandangan matanya berlarian, takut menatap mata Bargowo. "Aku baru saja datang bersama temanku di sana. Dan ada yang ingin aku tanyakan mengenai paduka raja, sebelum aku menemui beliau, Nisanak." Dahi wanita itu mengernyit tebal keheranan. Dengan sosok sangar seperti itu, bagaimana bisa menemui Raja Wanajaya yang pastinya dijaga ketat para prajurit. Para penjaga pasti punya pikiran buruk kepada sosok sangar di depannya itu. "Ada apa, Nisanak? Apa ada yang salah denganku?" Bargowo menggaruk kepalanya. Jari-jari tangannya yang sebesar buah pisang semakin menambah kesan sangarnya. "Tidak apa-apa, Kisanak. Cuma aku ragu kau bisa menemui beliau,"
Wanita itu menggeleng pelan, " Bukan aneh, tapi kau terlihat tampan tanpa cambang." Pemilik tempat makan itu sampai menutup wajahnya dengan telapak tangan karena sudah jujur dengan apa yang dilihatnya.Bargowo mengernyitkan dahinya. Dia merasa pujian yang diberikan wanita itu kepadanya terlalu berlebihan. "Baru kau yang mengatakan aku tampan selama ini. Apa kau tidak lagi sakit mata?"Wanita itu tertawa keras sampai mengundang perhatian pengunjung tempat makan untuk melihatnya. "Mataku sehat-sehat saja, Kisanak. Oh, Iya ... Kenalkan, namaku Siswati." ucapnya mengenalkan diri sambil menjulurkan tangannya.Bargowo mengernyit heran. Berikutnya dia manyambut ukuran tangan wanita itu, "Namaku Bargowo.""Wah, namamu sangat sesuai dengan fisikmu tinggi besar," puji Siswati."Kau terlalu berlebihan." Bargowo menggeleng pelan. Dia tidak sadar jika Siswati sudah tertarik dengannya."Terima kasih atas informasinya. Aku mau menem
Rangga mengangguk dan kemudian melompat ke atas punggung kudanya. Bargowo buru-buru mengekor dan melompat juga ke atas punggung kuda. Beruntung kuda tersebut memiliki fisik yang kekar, jika tidak, pasti akan merasa keberatan mendapat beban sebesar BargowoSecara perlahan mereka memacu kudanya menyibak jalanan kotaraja yang sedikit berdebu. Pemandangan yang melegakan mata terpampang jelas dalam setiap tatapan arah pandang keduanya. Tata kota yang begitu rapi menandakan bahwa Raja Wanajaya begitu memperhatikan dan mengayomi rakyatnya. Tidak adanya gelandangan dan pengemis di sepanjang jalan juga semakin menambah kesan tersebut.Hari itu, situasi di Kotaraja kerajaan Cakrabuana begitu ramai. Begitu banyak penduduk yang lalu lalang dengan membawa gerobak maupun kereta kuda. Ada juga yang berjalan kaki menyibak kerumunan massa yang menyemut di depan para pedagang. Sungguh pemandangan yang sangat kontras dengan yang terjadi di kadipaten Tanjung Rejo.Tak b
Bargowo dan Rangga seketika membalikkan badan. Mereka mengambil sikap saling memunggungi dan bersiap jika memang harus terjadi pertarungan."Lebih baik menyerah dari pada kami harus mengambil jalan kekerasan!" bentak seorang prajurit."Lebih baik kalian memakai jarik dan gincu saja dari pada seragam prajurit. Kalau kalian lelaki sejati, jangan main keroyokan! Ayo kita bertarung satu lawan satu!" sahut Bargowo cepat. Senyuman mencibir terlihat jelas di bibirnya.Para prajurit itu tentu saja tidak akan berani bertarung satu lawan satu melawan Bargowo. Sosoknya yang tinggi besar saja sudah membuat mereka takut, apalagi golok besar itu jika sudah tercabut dari sarungnya."Jangan ada yang bertarung!" Terdengar suara dari belakang para prajurit.Seketika para prajurit itu menolehkan kepala dan langsung menunduk memberi hormat kepada sosok yang baru saja berseru kepada mereka."Hormat kami. Paduka!" ucap para pra
Sementara itu di Kadipaten Tanjung Rejo, Aji dan Ratih masih dipusingkan dengan menghilangnya Rangga dan Bargowo secara tiba-tiba. Bagi sepasang kekasih tersebut, menghilangnya Rangga dan brgowo tanpa memberi kabar sama sekali itu menimbulkan berbagai spekulasi pertanyaan di dalam benak mereka berdua.Yoga bahkan sampai mengerahkan tim teliksandi anak buahnya untuk mencari keberadaan keduanya. Namun hingga hari keempat semuanya kembali dalam keadaan kosong tanpa membawa berita sedikitpun.Pada malam harinya Ratih dan Yoga sepakat untuk bertemu di aula istana. Waktu yang semakin mepet membuat mereka tidak bisa berpikir lebih banyak lagi. Terlebih Yoga juga membawa kabar, bahwa sekitar 300 pasukan Pangeran Dananjaya sudah merapat di sekitar kadipaten Tanjung Rejo. Dan itu berbeda beberapa hari lebih cepat dari yang diucapkan Pangeran Dananjaya kepadanya.Setelah masuknya Adipati Hanggareksa ke dalam aula, pembicaraan di antara mereka pun mengeruc
Keesokan paginya, Aji dan Ratih keluar dari penginapan dan menuju tempat makan terlebih dahulu, sebelum keluar dari kadipaten Tanjung Rejo untuk melakukan penyisiran.Di dalam tempat makan terbesar yang ada di kadipaten tersebut, Aji melihat begitu banyak pengunjung asing yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Dan itu menimbulkan pertanyaan di dalam benaknya.Dugaannya mengarah kepada pasukan Pangeran Dananjaya yang memang sengaja menunjukkan dirinya setelah sekian lama bersembunyi.Seorang gadis pelayan mendatangi meja yang mereka tempati. Setelah mencatat pesanan keduanya, gadis itupun pergi meninggalkan mereka berdua."Jangan ditatap, kau lihatlah sekeliling! Dari 13 meja yang ada di tempat ini, 8 meja diantaranya ditempati orang asing yang tidak pernah kita lihat sebelumnya. Aku yakin mereka anggota Pangeran Dananjaya," kata Aji pelan.Sepasang bola mata Ratih bergerak menyisir semua meja yang ada di dalam tempat makan
Bukan tanpa alasan jika Yoga menganggap 100 orang bukan masalah besar bagi Aji. Dia tahu sendiri bagaimana Aji menghabisi 300 orang sendirian, meski dia tidak tahu jika saat itu jiwa Aji dikuasai Ruh yang bersemayam di dalam pedang Kegelapan.Ratih hanya terkekeh pelan melihat Aji tersenyum kecut. Dia yakin jika kekasihnya itu pasti akan bisa menghadapi bahkan 200 orang sendirian, meski jiwanya tanpa dikuasai Ruh pedang Kegelapan. Kemampuan Aji baginya bahkan sudah berada di atas kemampuan ayahnya, Ki Mangkubumi."Masa kalian hanya menonton saja saat aku bertarung melawan 100 orang? Kalau terjadi apa-apa padaku, aku kuatir ada yang akan bersedih lagi," Aji terkekeh pelan. Lirikannya tertuju kepada Ratih yang berada di sampingnya.Bugh!Sebuah pukulan langsung melayang ke bahu Aji. Lelaki tampan itu meringis kecil setelah Ratih memukulnya."Jangan pemarah begitu dong, nanti gak ada yang mau sama kamu," goda Aji lagi.Ratih m