Rangga mengeryitkan dahinya. Meskipun tidak pernah berdagang sebelumnya, tapi dia tahu jika menjual ke tempat lain dengan harga yang lebih tinggi, jelas tidak mungkin dilakukan. Apalagi berkaitan dengan bahan pokok makanan yang harganya relatif stabil di berbagai tempat.
Dalam pikirannya, kalaupun ada tempat lain yang berani membeli dengan harga lebih mahal, pasti beritanya sudah menyebar ke mana-mana.
"Aneh sekali! Itu jelas alasan yang dibuat-buat," gumamnya dalam hati.
"Aku setor dulu, Kisanak! Giliranku sudah tiba rupanya," ucap lelaki bercaping bambu, sedikit mengagetkan lamunan Rangga.
"Oh ... silahkan, Kisanak." Rangga tersenyum hangat mempersilahkan.
Selepas kepergian lelaki itu, Rangga kembali menuju gerobaknya. Sambil duduk di atas karung berisi beras, Rangga mengamati dengan seksama setiap. Bibirnya tampak sibuk memainkan rumput hijau yang dicabutnya di sekitar gerobak.
Tak berapa lama, dia melihat se
Sosok setengah baya yang masih menyisakan ketampanan di masa muda itu memejamkan matanya dalam waktu yang cukup lama. Pikirannya menerobos sekat ruang dan waktu mengingat kejadian yang membuatnya harus mengambil sikap untuk memberontak.Adik tiri Raja Wanajaya itu menghela napas berat. Sesungguhnya dia tidak ingin menjadi pemberontak atau berusaha untuk merebut kekuasaan dari kakak tirinya. Tapi sikap Raja Wanajaya yang tidak mau mengakuinya sebagai adik yang membuatnya harus memilih jalan kekerasan sebagai alternatif pilihannya.Dia merasa beruntung sosok Lodra memiliki loyalitas yang tinggi kepadanya. Lelaki berjubah hitam yang selalu menutupi wajahnya dengan tudung kepala itu masih memiliki pengaruh yang kuat, setelah menyatakan diri mundur dari jabatannya di istana kerajaan."Lalu bagaimana persiapan untuk merebut kadipaten Tanjung Rejo ini?""Sejauh ini pergerakan pasukan kita
"Kalian jangan macam-macam! Di belakang masih banyak teman kami yang akan datang kemari," kata seorang dari kedua penguntit."Apakah pasukan Pangeran Dananjaya yang kalian maksud? Mereka tidak akan datang kemari karena sibuk di kadipaten!" ejek Rangga."Bagaimana mereka berdua bisa tahu? Bahaya ini! Aku harus bisa menyelamatkan diri dari mereka dan memberi tahu Tuan Lodra," ucap seorang dari kedua penguntit."Aku tidak paham apa maksudmu? Siapa itu Pangeran Dananjaya?""Hahahaha! Entah aku yang bodoh atau kau yang kurang pengalaman, tapi kernyitan di dahimu itu menunjukkan jika kau tahu siapa yang aku maksud," sahut Rangga."Atau begini saja, bagaimana jika kalian katakan dengan sejujurnya tentang pergerakan Pangeran Dananjaya kepada kami, dan akan aku biarkan salah satu dari kalian hidup," timpal Bargowo. Golok besar berkilatan yang tertimpa sinar matahari membuat kedua orang itu bergidik ngeri.Kedua pen
"Semua yang kuketahui sudah aku katakan. Sekarang tolong lepaskan aku seperti janji kalian!" pinta prajurit Pangeran Dananjaya yang sedang berlutut di tanah."Cuma aku yang berjanji untuk tidak membunuhmu, dan pasti akan aku tepati. Tapi entah dengan temanku ini," balas Bargowo. bibirnya menyeringai menunjukkan gigi-giginya yang kehitaman."Ka-kalian menipuku, bajingan kalian!"Cresssh!"Aaaakh!"Jeritan tertahan terdengar dari bibir lelaki yang kepalanya sudah menggelinding di tanah. Darah mengucur deras keluar dari leher yang sudah tidak berkepala.Bargowo bergidik ngeri melihat Rangga dengan dinginnya menebas leher prajurit yang sudah tidak mempunyai daya untuk melawan."Dia akan menjadi masalah jika dibiarkan hidup," ucap Rangga, sambil mengelap pedangnya yang berlumuran darah dengan pakaian prajurit yang baru saja dibunuhnya."Baiklah. Aku ikut saja apa katamu. Berikutnya apa kita langsung ke kadipa
"Aji, Ratih ... Berhati-hatilah!" pesan Adipati Hanggareksa.Aji dan Ratih tersenyum hangat, kemudian mengangguk pelan. Tdak terlihat rasa was-was atau gundah dalam pandangan mata sepasang kekasih tersebut."Tuan Adipati jangan kuatir. Pasti kami akan tetap kembali ke dalam istana," balas Aji.Adipati anggareksa membalas senyuman hangat keduanya. Bagaimanapun juga, dia merasa tidak enak hati jika harus melibatkan Aji dan ketiga temannya dalam masalah yang sedang dialaminya kali ini. Namun dalam kesempatan ini dia tidak tahu harus menoleh kepada siapa lagi untuk membantunya, sedang para pejabat Kadipaten belum diketahui bagaimana bentuk loyalitasnya."Jika pergerakan Pangeran Dananjaya ini bisa kita hentikan atau bahkan kita hancurkan, nanti aku akan sampaikan kepada paduka Raja Wanajaya tentang bantuan besar yang kalian berikan. Beliau pasti akan memberikan hadiah besar buat kalian."Aji mengangguk. Lelaki tampan kemudian mengajak Ratih
Mata Ratih menatap nanar wajah tampan kekasihnya. Seandainya bisa memilih, dia tidak ingin mereka berempat terlibat dalam masalah yang begitu rumit dan menguras pikiran seperti kali ini. Sebagai wanita normal, tentunya dia berharap agar bisa hidup tentram bersama Aji dan membangun keluarga dalam suasana yang penuh keharmonisan. Namun, jalan hidup yang dipilih Aji seolah memaksanya untuk mengikuti setiap ayunan langkah kekasihnya itu. Protes, tentu hal itu tidak bisa dilakukannya, mengingat Aji sudah mengabdikan hidupnya di jalan kebenaran dan membuatnya selalu berkelana. Waktu mengalir mulus tanpa ada sedikitpun kendala yang mampu menghambatnya. Tak terasa, sang Surya sudah tenggelam di ufuk barat dan digantikan keanggunan rembulan yang memancarkan sinar keemasannya. Hewan malam bermunculan dan bersahutan membunyikan suara khasnya untuk memeriahkan suasana yang hening dan mencekam. Dalam gelapnya malam, sesosok bayangan hitam m
Aji merasakan getaran pedang Kegelapan tiba-tiba menghilang seiring tercabutnya pedang pusaka itu dari sarungnya.Sesuatu yang terjadi kemudian membuat Aji merinding. Kekuatan yang sangat besar menyeruak keluar dari bilah pedang kegelapan. Tanpa disadarinya, puluhan prajurit yang mengerubunginya tidak bisa bergerak sama sekali.Mata Aji memandang heran dengan kakunya tubuh para prajurit itu. Namun berikutnya dia sadar dan segera melesat menebaskan pedangnya berulang kali tanpa berhenti sama sekali.Jeritan kematian pun terdengar bersahutan tanpa berhenti. Aji membabi buta menghabisi setiap prajurit yang berada dalam jangkauan pedangnya. Jasad jasad bertumpukan bersimbah darah tergeletak tak beraturan, bercampur bau amis menyengat menusuk hidung.Tanpa disadari Aji, semakin banyak jasad yang terbunuh oleh bilah pedang kegelapan, jiwanya semakin haus untuk melakukan pembunuhan demi pembunuhan berikutnya.Melayangnya nyaw
"Ternyata dugaanku tidak salah. Kau memang bagian dari Adipati Hanggareksa," ucap sosok berjubah yang ternyata adalah Lodra.Aji sedikit terkejut. Dugaannya mengatakan jika sosok di depannya itu sering mengamatinya ketika di kotaraja."Aku bukan bagian dari siapapun. Dan aku membantu Adipati Hanggareksa karena memang perbuatan yang hendak kalian lakukan itu sudah keluar dari jalur kebenaran!" balas Aji.Lodra memandang ratusan prajuritnya yang tergeletak tak bernyawa di beberapa tempat. "Kau harus menebus kesalahanmu karena telah membantai prajuritku!"Aji memandang Lodra dengan senyuman sinis tersungging di bibirnya. "Kalau kau ingin bernasib sama seperti mereka, majulah! Aku pastikan nyawamu akan menyusul para prajuritmu ke neraka!""kau begitu yakin dengan kemampuanmu, Kunyuk! Tapi sebelum menghadapiku, hadapi mereka terlebih dahulu!" Lodra menunjuk beberapa sosok berwajah pucat yang berdiri di sekitar gubuk kecil.Pandangan A
Secara perlahan, aura merah yang keluar dari bilah pedang Kegelapan membuat suhu udara di dalam hutan itu meningkat pesat dan memanas. Pohon-pohon mulai meranggas dan menggugurkan daunnya untuk mengurangi penguapan akibat hawa panas yang menerpa. "Pertahankan formasi dan gunakan kelembapan hutan ini untuk menekan panasnya! jangan takut dengan hawa panas yang dikeluarkan pedangnya!" teriak lelaki bermata satu. Mereka kemudian menggerakkan tangannya dan menarik unsur alam di hutan yang mengandung kelembapan tinggi. Setelah itu mereka mencabut senjatanya masing dan kembali melakukan serangan. "Kalian terlalu percaya diri dengan formasi yamg kalian pakai!' teriak Aji. Pertarungan sengit kembali terjadi. Mereka kemudian melakukan serangan dengan gencar ke arah Aji. Unsur kelembapan hutan yang yang mereka gunakan membuat mereka begitu percaya diri menekan lawannya. Silih berganti serangan yang mereka lakukan membuat Aji bergerak mundur. Kecepatan me
"Kau! Energi apa yang kau miliki itu?"Raja Iblis dibuat heran dengan kemampuan lawan yang bahkan menurutnya memiliki kekuatan lebih besar dari pada yang dibayangkannya. Selain itu, energi yang keluar dari tubuh lawan sejauh ini tidak pernah diketahuinya."Itu tadi belum seberapa, Iblis busuk! Kali ini aku akan mengeluarkan semua kemampuan yang kumiliki!" Aji yang sudah memegang pedang Mustika Naga Bumi, mengerahkan semua energi yang dimilikinya.‘Tidak mungkin!’ pekik Raja Iblis dalam hati. Dia terkejut dengan energi pemuda itu yang menjadi berlipat ganda, setelah pedang di tangannya mengeluarkan aura hijau terang."Sekarang terimalah ajalmu! Kembalilah kau ke alammu Iblis biadab!” Pedang Mustika Naga Bumi di tangan Aji memancarkan energi yang begitu besar, bahkan lebih besar dari energi yang dikeluarkan Raja Iblis di awal kemunculannya tadi.Tiba-tiba saja, suara tawa Raja Iblis terdengar menggelegar. "Hahaha ... Aku memang terkejut dengan kemampuanmu, manusia hina! Tapi kau pun ju
Setelah debu pekat yang menutupi pandangannya menghilang, Aji yang masih dalam keadaan tergeletak di tanah bisa melihat dengan jelas jika Caraka masih berdiri dengan kokoh di tempatnya berdiri. Bahkan tubuhnya tidak sedikit pun bergeser dari tempatnya semula. Pendekar yang belum genap 30 tahun tersebut merasakan nyeri yang begitu hebat di dadanya. Dia kemudian terbatuk kecil dan lalu memuntahkan darah segar dari mulutnya. ‘Kekuatannya sangat besar. Bahkan energiku saja tidak mampu untuk menggoyahkannya,’ gumam dalam hati. Tubuh Caraka kemudian melayang satu meter di atas tanah. Dia lalu bergerak maju mendekati Aji yang belum juga bangkit berdiri, "Apa kau sudah sadar betapa jauhnya perbedaan kekuatan kita berdua? Aku tahu kau belum mengeluarkan energi terkuatmu, tapi meskipun kau mengeluarkannya, itu tidak akan merubah apapun!" Caraka yang masih merasa geram dengan Aji langsung melesat tanpa terlihat seusai berbicara. Tendangan kerasnya mendarat dengan telak di perut Aji, hingga m
Rasa terkejut Aji belum selesai, tiba-tiba saja muncul bayangan hitam berbentuk cakar naga melayang di angkasa. Bayangan hitam itu menutupi matahari sehingga suasana yang semula terang menjadi redup. “Jurus apapun yang kau keluarkan tidak akan bisa mengalahkan aku!” ucap Ki Brenggolo Karang. Seusai berucap, energi yang lebih besar meluap dari tubuhnya. Secara perlahan energi tersebut semakin membuat Aji tertekan. Namun suami Ratih itu masih menunggu kesempatan untuk menjatuhkan jurus Naga Bumi Mengoyak Langit yang masih mengambang di angkasa. Dia terus menarik unsur alam yang ada di sekitar hutan tersebut untuk menambah daya hancur jurus yang hendak dikeluarkannya. Sejauh ini, Ki Brenggolo Karang belum menyadari apa yang dilakukan Aji. Dia menduga lawannya itu hanya menggunakan tenaga dalamnya untuk bertahan dari tekanan energi yang dikeluarkannya. Selain itu, redupnya sinar matahari juga menurutnya hanya karena tertutup awan tebal saja.Beberapa saat kemudian, Cakar Naga raksasa y
Aura hitam yang menyelimuti tubuh Ki Brenggolo Karang perlahan menghilang. Dia sadar jika terus menggunakannya dalam jangka panjang, yang ada tenaga dalamnya akan berkurang drastis. Murid Caraka itu juga berpikir harus bisa mengefektifkan serangannya lebih tepat lagi. Dia melihat jika lawannya itu masih menyimpan kekuatannya yang sebenarnya. Itu terlihat dari kondisinya yang masih terlihat bugar meski sudah terkena serangannya.Melihat aura hitam di tubuh Ki Brenggolo Karang menghilang, Aji tersenyum lebar. Kuat dugaan energi lawan sudah berkurang cukup signifikan. Memaksa menggunakan kabut beracun dalam jangka panjang jelas menguras energinya.Di antara reruntuhan pepohonan dan kepulan debu, pertarungan sengit masih terus terjadi di antara kedua pendekar yang tidak henti bertukar serangan. Beberapa pohon kembali bertumbangan terkena dampak pertarungan mereka berdua.Seperti terjadi kesepakatan, mereka berdua melompat mundur mengambil jarak. Nafas mereka tersengal-sengal terasa berat
Belum juga sempat menyeimbangkan tubuhnya, serangan kembali muncul tanpa terlihat oleh mata Aji. Dia hanya merasakan energi besar saja yang bergerak menyerangnya. Aji kembali bergerak menghindar. Dia melompat menyamping dua langkah. Namun tiba-tiba sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan begitu keras, hingga membuatnya terjungkal dan bergulingan di tanah berulang kali. Batuk kecil terdengar dari mulut Aji. Sesaat kemudian, darah segar meleleh keluar dari sudut bibirnya. Sambil bangkit berdiri, dia mengusap darah tersebut dengan punggung tangannya. Belum sempat pemuda itu berdiri tegak, kembali sebuah serangan yang tidak bisa dilihat menghajar dadanya dengan telak. Beruntung Aji masih sempat menahannya dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada ketika merasakan energi besar yang bergerak ke arahnya. Meskipun bisa melindungi dadanya, tapi tak urung tubuh Aji harus kembali terlempar hampir 12 langkah ke belakang hingga membentur sebuah batang pohon.Batuk kecil kembali te
Sementara itu di sekitar lembah, terdapat sebuah gubuk kecil yang berdiri di dekat sungai kecil. Air di sungai itu berasal dari air terjun yang berada tidak jauh dari gubuk itu berdiri. Di dalam gubuk, Sanjaya terlihat duduk sendirian di sudut ruangan dengan wajah pucat pasi. Dia menunggu kedatangan Ki Brenggolo Karang yang menemui Caraka sejak dia baru datang di gubuk tersebut. Menjelang tengah malam, Ki Brenggolo Karang akhirnya kembali ke gubuknya yang biasa digunakannya beristirahat sehari-hari. Sanjaya yang tertidur sambil memeluk lutut, terbangun ketika terdengar suara pintu dibuka. “Ki, akhirnya kau kembali,” ucap Sanjaya pelan.“Kenapa kau kemari tanpa membawa gadis, Sanjaya? Apa kau tidak tahu jika proses yang dilakukan Guru Caraka sudah mendekati akhir?” tanya Ki Brenggolo Karang seraya menatap tajam Sanjaya yang menunduk ketakutan.“Maaf, Ki, sebenarnya tiga gadis tambahan yang dibutuhkan sudah tersedia, tapi sebelum aku membawanya kemari, ternyata anak buahku telah menc
Tubuh tinggi besar itupun terguling hingga menabrak dinding. Suara tubuhnya yang jatuh terdengar cukup keras. Aji berjalan mendekati lelaki itu dan berjongkok di sampingnya. ‘Hmmmm … ternyata pingsan,”’ batinnya. Aji bangkit berdiri untuk melihat kondisi istrinya yang masih berada di dalam kamar. Setelah Aji mengalirkan energinya ke dalam tubuh Ratih, wajah wanita cantik yang pucat itupun kembali segar seperti semula. “Kang, kenapa aku bisa ada di tempat ini?” tanya Ratih. “Panjang ceritanya, nanti saja kuceritakan. Sekarang kita selamatkan dulu gadis yang lain,” kata Aji. Dilihatnya tali tambang di atas sebuah lemari, kemudian diambilnya. ***Tiga orang gadis sudah dikeluarkan dari kamar, salah satunya adalah anak kepala desa Sudirjo. Sedang lelaki bertubuh besar terikat erat di sebuah kursi di ruang tamu. Setelah lelaki itu sadar, Aji pun melakukan interogasi. Dari pengakuannya, lelaki bernama Sanjaya itu diperintah oleh seorang lelaki tua yang merupakan bawahan dari Caraka, s
“Kalian kira aku sedang melucu?” Aji menggeleng dengan satu sudut bibir terangkat naik, “Tapi tidak apa-apa jika kalian berpikir seperti itu. Kalian nanti bisa tertawa sepuasanya setelah kucabut nyawa satu-satunya yang kalian miliki!” Hahahahaha! Semakin keraslah tawa 8 orang penjaga itu. Bahkan tawa mereka sampai terdengar masuk ke dalam dan memantik keingintahuan penjaga yang berada di dalam. Pintu gerbang pun terbuka, beberapa orang tampak keluar menemui 8 penjaga gerbang. “Kenapa kalian tertawa begitu keras, apa ada yang lucu?” tanya seorang penjaga yang baru saja keluar. “Lihatlah dia, katanya dia akan memberi hukuman kepada kita, bukankah itu sesuatu yang lucu? Apa hanya karena dia membawa pedang terus kita harus takut? Hahahaha!” “Kalian pasti akan ketakutan hingga meminta untuk tidak dibunuh!” sela Aji, kemudian bergerak begitu cepat hingga tiba-tiba sudah berada di depan penjaga yang sudah meremehkannya. Jari tangan Aji langsung mencengkeram leher orang itu hingga kesu
Jendela kamar pun terbuka. Dua orang langsung melompat masuk ke dalam. Suasana kamar yang gelap tidak menyulitkan mereka berdua untuk menemukan ranjang yang digunakan Ratih tidur. Perlahan tubuh Ratih diangkat dan dibawa keluar. Satu orang yang berada di luar menerima tubuh wanita cantik itu. Mereka tidak memeriksa terlebih dahulu, karena merasa sudah mendapatkan targetnya. Dari atas atap, Aji merasa heran karena tidak ada perlawanan sedikitpun dari istrinya. Padahal seharusnya jika dalam posisi tersebut, Ratih pasti terbangun. Aji menilai ketiga orang tersebut menggunakan bius untuk membuat istrinya tidak sadar. Ketiga orang itu kemudian pergi sambil membawa Ratih. Suasana yang sepi membuat aksi mereka berjalan lancar tanpa ada halangan hingga keluar desa. Aji terus mengikuti dari belakang, dia menjaga jarak agar tidak diketahui ketiga orang yang membawa istrinya hingga masuk ke dalam hutan. Hampir tiga jam berjalan di dalam hutan, ketiga orang itu akhirnya sampai di bibir hutan,