Beranda / Urban / Luka Seorang Istri / Bab 1 - Bab 10

Semua Bab Luka Seorang Istri: Bab 1 - Bab 10

64 Bab

Mulai Berubah

“Enggak usah pulang! Nginep aja sekalian!” Begitu pesannya tiap kali aku telat pulang. Kami berkenalan dalam waktu dekat, lalu memutuskan menikah dalam kurun waktu 4 bulan. Dulu sebelum menikah tuturnya lembut dan santun. Namun, lambat laun semua berubah.“Aku pulang jam 12 malam.”“Sekalian enggak usah pulang,” balasnya lagi. Ini tahun kelima kami menikah. Dia selalu mengekang. Tidak ada lagi kebebasan juga kenyamanan dalam rumah. Hari-hari berlalu begitu. Dia yang hanya sibuk dengan anak-anak, juga ibu serta adikku yang selalu menuntut di belikan barang yang harganya fantastis. Dilra tak banyak bicara saat kami bertemu, mungkin sungkan dengan ibu. Bagaimanapun memarahi seorang anak di depan ibunya, mungkin dia tak berani.  Saat marah dia akan mendiamkan seharian, hari demi hari sikapnya semakin menjadi. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi. Seingatku sebelum melahirkan istriku tak begitu menuntut menemani di samping. Namun, se
Baca selengkapnya

Fakta Baru

Kenapa rasanya seperti di tampar. Semua yang diucapkan Ardi itu begitu menyinggungku. Tak mau buang waktu aku segera pulang ke rumah saat jam istirahat. Entah siapa yang memarkir motor sembarangan persis di depan rumah, siapa gerangan yang mampir. Aku mengintip lewat celah pagar, mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Dilra menyerahkan uang pada pria berkemeja itu. Lalu pria itu menyerahkan sobekan kecil dari bukunya. Begitu berbalik ternyata itu Pak Rudi. Bank keliling harian yang biasa meminjami Ibu-ibu sekitar rumahku, tetapi itu dulu saat di rumah yang lama. Entah kenapa dia bisa kemari. Jadi Dilra diam-diam meminjam uang tanpa sepengetahuanku?"Dil, siapa tadi? Bank keliling ‘kan?” tanyaku. Tatapan Dilra langsung berubah tak suka.“Untuk apa pinjam-pinjam segala, itu riba!” sentakku kala Pak Rudi, sudah memacu motornya.“Enggak pernah dikasih uang ya pinjam,” jawabnya datar. Tidak tampak raut bersalah sama sekali, malah
Baca selengkapnya

Dibalik Sikap Dinginnya

“Ibu enggak salat?” tanyaku.“Oh iya, Ibu lupa.”“Ya sudah salat dulu!”“Nanti saja sudah terlanjur juga, lihat! Sudah jam 5.” Begitulah Ibu setiap kali diminta ibadah alasannya banyak. Aku menatap lembut, tanpa bicara apa pun. Berharap dia mengerti dan mau menunaikan kewajibannya segera.“Ibu juga belum mandi, kotor, bau masa salat enggak mandi.”“Enggak mandi juga boleh, kalau waktunya sudah mepet Bu.”“Enggak ah, mana bisa begitu, enggak sah salatnya.”“Bu ….”“Nanti Ibu salat magrib Lang, sudah ya, Ibu mau ke kamar dulu.”“Mia, kamu salat sana!”“Aku mau ke kamar dulu, Bang!”“Mi kamu sudah gede loh, masa salat saja harus diingatkan terus.”“Mia nanti salat di kamar saja.”“Bener ya?” Mia mengangguk, lalu setengah ber
Baca selengkapnya

Surgamu Ada di Sana Bukan?

“Aku mau tidurkan Dion, biar aku yang cuci piring! Kamu jangan cari perkara pakai cuci segala, aku sudah capek Mas, jangan bikin aku jadi bahan gosip orang sekampung! Terima kasih sudah membantu tapi lain kali enggak usah,” katanya seraya berjalan meninggalkanku sendiri di dapur. Sungguh bagaimana bisa dia bicara seperti itu padaku, kenapa menghadapi wanita serumit ini, aku hanya berniat membantunya dan dia malah takut jadi bahan gosip sekampung, apa maksudnya. Sudahlah toh tidak tiap hari. Aku putuskan untuk mengerjakan semuanya, mencuci piring bukan perkerjaan yang sulit juga.“Kamu kenapa cuci piring sih, Lang? Istrimu itu ke mana, apa saja yang dia lakukan dari tadi, sampai piring bekas makannya dicucikan kamu?”“Ya sudah sih Bu, enggak tiap hari ini. Dion juga tadi rewel, kasihan Dilra belum makan juga dari tadi.”“Itu nasi di piring bekas siapa?”“Tadinya mau di makan tapi malah tumpah soalnya Di
Baca selengkapnya

Obat Apa

“Mau kutemani?” tanyanya.“Enggak usah, kalau kamu enggak ikhlas.”“Ikhlas itu soal hati, tahu apa Mas soal itu, ayo pergi minta maaf.”“Kamu bilang, Ibu menghinamu lalu sekarang mau minta maaf, apa namanya kalau bukan munafik Dil?” Dilra malah tertawa, dia terus tertawa sampai aku yang melihatnya merasa ketakutan sendiri. Dan kau tahu apa yang selanjutnya terjadi, dia terus tertawa hingga tanpa sadar air mata telah mengalir membasahi pipinya.“Dil, kamu baik-baik saja kan?”“Ya,” tawanya langsung berhenti, begitu saja, sontak membuat jantungku seperti berhenti berdetak. “Ayo minta maaf,” ajaknya lagi, kali ini Dilra mengusap pelan jejak basah bekas linangan air matanya, tangannya langsung melingkar di lenganku, menariku keluar kamar, hingga mendekat ke arah tangga, kami berhenti, itu pun karena aku menahannya.“Dil gak usah, cukup! Biar Mas aja yang minta maaf.” Perlahan Dilra melepas lingkaran tangannya.Matanya kembali berembun, kau tahu apa yang pal
Baca selengkapnya

Saat Luka Itu dibiarkan Terpendam

Hari berlalu, aku pergi ke kantor seperti biasanya, sayangnya kelakuan Ardi hari ini sungguh membuatku jengkel. Dia berisik sekali terus menelepon karyawan yang berjaga di depan sampai mendekati jam pulang. Dia masih saja menelepon, tampak gelisah sekali.“Apa sih, Di. Berisik tahu, anak orang lu suruh bulak-balik naik turun dari pagi sampai sore, nunggu apa?”“Bini gue ulang tahun, Ini masalahnya udah pesan kue, sampai sekarang belum sampai juga, padahal sudah sore, kan panik gue.”“Lagian kenapa pesan di situ, toko roti juga banyak. Itu depan sana enggak lihat?” Aku menunjuk pada bangunan toko roti yang berada tak jauh dari kami. Ruangan ini berada di lantai tiga jadi cukup berdiri saja, semua bangunan di sekitar sudah pasti terlihat.“Ini kuenya beda, pas di belah keluar duitnya."“Lagian lu kenapa pesan kue macam itu?”“Yang penting bini gue seneng. Pasti nanti dia enggak nyangka dalemnya
Baca selengkapnya

Mari Berpisah, Mas

“Mas ambilkan makan, ya?” “Aku belum masak.” “Ya sudah kita makan di luar.” Dia menggeleng. “Kenapa? Enggak baik menunda buat buka puasa.” “Mas saja yang makan di luar aku buka di rumah.” “Katanya enggak masak, mau makan apa?” “Mie instan banyak di dapur, aku bisa makan itu.” “Sayang, dengar, mie instan enggak baik buat kesehatan apalagi buat Ibu menyusui, butuh banyak nutrisi.” Dilra menggeleng lagi. “Kenapa? Biar aku di rumah saja.” “Ya sudah kita order go food saja bagaimana?” “Buat Mas saja, aku enggak usah.” “Mana bisa begitu sayang, sudah kalau enggak mau biar Mas pesankan sekarang. Kita batalkan dulu puasanya, Mas ambilkan minum sebentar ya.” “Terima kasih, Mas.” Kuusap rambutnya pelan, lalu pergi ke bawah mengambil air. Aku berpikir dia akan menunggu di ranjang sampai aku datang lagi dengan air, nyatanya Dilra malah memunguti barang-barang yang bercecer
Baca selengkapnya

Dia Menyerah

“Dil, jangan pergi, jangan pergi Mas mohon.” “Mau apa lagi aku di sini Mas, sudah cukup kalau enggak ada kepercayaan di antara kita untuk apa hidup bersama. Kamu hanya percaya Ibumu, aku ini istri, Mas pikir aku suka diperlakukan begini, enggak!” “Lalu kenapa kamu diam saja selama ini?” “Demi anak, aku ingin anak dari kamu. Setelah ini aku tak peduli lagi, hidup saja bersama Ibumu, aku muak!” Koper itu sengaja dia banting ke bawah, hingga menimbulkan bunyi gebrakan cukup keras, kemudian dengan cepat membawa Dion dalam gendongannya. “Dil Mas mohon jangan pergi, oke kamu butuh uang ini semuanya pegang semuanya Dil, mulai sekarang biar semuanya kamu yang atur.” Kuserahkan dompet pada Dilra. Sudahlah aku tak peduli lagi dengan uang. Untuk apa aku punya banyak uang kalau harus kehilangan istri. Rasanya aku tak akan sanggup. Apalagi Dion, bayi yang sudah kunantikan sejak lama, bagaimana bisa dia bawa pergi. “Lepas!” Dilra menepis. Ibu keluar dari ka
Baca selengkapnya

Jangan Pergi

"Di depan Mas ke sana saja.” Kutinggalkan mobil di jalanan,mengabaikan bunyi klakson yang terus saja bersahutan.“Dilra!”Ya Tuhan, Dil. Perempuan itu melompat saat jarakku dengannya hanya tinggal beberapa meter lagi. Allahu akbar, bayinya pun ikut terjun bersamanya. Lututku mendadak lemas, lalu luruh ke aspal begitu saja. Orang-orang berkerumun, sedang di bawah … aku tak sanggup menyaksikannya.“Bang bangun dulu, Bang.” Seseorang menepuk pundakku ada yang mencoba menguatkan. Sebagian lagi malah berbisik dengan nada cemooh. Di dunia ini memang selalu punya dua sisi. Aku tak bisa seperti ini. Aku berniat turun ke bawah, meski melewati rerumputan dan tebing terjal. Bagaimana bisa kubiarkan jasad Dilra dan Dion tergeletak di bawah jalan tol. Orang-orang itu sudah melarangku, katanya bahaya. Andai saja kalian di posisik. Apa kalian akan berpikir dua kali untuk tidak turun. Seseorang telah menutup jenazah Dilra dengan daun. Banyak
Baca selengkapnya

Kebusukan Ibu

“Kalian semua jahat sama aku, kalian pembunuh. Kembalikan dua anakku, kembalikan hiks hiks hiks,” teriak Dilra lagi. Kali ini dia malah menangis, setelah tadi suaranya naik beberapa oktaf.“Kalian pembunuh!” Dilra menangis sembari memukul pundakku, dengan keras. Aku memeluknya erat tapi Dilra malah meronta, minta dilepaskan, terus saja berteriak. Aku menutup mulutnya dengan telapak tangan, agar dia berhenti melakukan itu.“Dia membunuh anakku Mas. Anakku mati. Dinda dan Aira, maafkan Bunda Sayang. Seharusnya kalian ada di sini, di sisi Bunda.” Dilra menenggelamkan kepalanya di dadaku. Bagaimana bisa dia menyalahkan Ibu atas kematian anakku. Apa benar ini semua salah Ibu. Aku terus memeluk mengusap punggung yang masih berguncang karena isaknya. Sesekali mengecup keningnya demi bisa melepas sesak, yang kian merasuk ke dalam dada. Pintu rumah kami diketuk dari luar, teriakan Dilra pasti mengundang penasaran orang rumah. Gegas kubuka pin
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status