"Di depan Mas ke sana saja.” Kutinggalkan mobil di jalanan,mengabaikan bunyi klakson yang terus saja bersahutan.
“Dilra!”
Ya Tuhan, Dil. Perempuan itu melompat saat jarakku dengannya hanya tinggal beberapa meter lagi. Allahu akbar, bayinya pun ikut terjun bersamanya. Lututku mendadak lemas, lalu luruh ke aspal begitu saja. Orang-orang berkerumun, sedang di bawah … aku tak sanggup menyaksikannya.
“Bang bangun dulu, Bang.” Seseorang menepuk pundakku ada yang mencoba menguatkan. Sebagian lagi malah berbisik dengan nada cemooh. Di dunia ini memang selalu punya dua sisi. Aku tak bisa seperti ini. Aku berniat turun ke bawah, meski melewati rerumputan dan tebing terjal. Bagaimana bisa kubiarkan jasad Dilra dan Dion tergeletak di bawah jalan tol. Orang-orang itu sudah melarangku, katanya bahaya. Andai saja kalian di posisik. Apa kalian akan berpikir dua kali untuk tidak turun. Seseorang telah menutup jenazah Dilra dengan daun. Banyak
“Kalian semua jahat sama aku, kalian pembunuh. Kembalikan dua anakku, kembalikan hiks hiks hiks,” teriak Dilra lagi. Kali ini dia malah menangis, setelah tadi suaranya naik beberapa oktaf.“Kalian pembunuh!” Dilra menangis sembari memukul pundakku, dengan keras. Aku memeluknya erat tapi Dilra malah meronta, minta dilepaskan, terus saja berteriak. Aku menutup mulutnya dengan telapak tangan, agar dia berhenti melakukan itu.“Dia membunuh anakku Mas. Anakku mati. Dinda dan Aira, maafkan Bunda Sayang. Seharusnya kalian ada di sini, di sisi Bunda.” Dilra menenggelamkan kepalanya di dadaku. Bagaimana bisa dia menyalahkan Ibu atas kematian anakku. Apa benar ini semua salah Ibu. Aku terus memeluk mengusap punggung yang masih berguncang karena isaknya. Sesekali mengecup keningnya demi bisa melepas sesak, yang kian merasuk ke dalam dada. Pintu rumah kami diketuk dari luar, teriakan Dilra pasti mengundang penasaran orang rumah. Gegas kubuka pin
“Sabar Dil, Mas tahu ini berat. Kamu harus kuat ya.”“Bayiku enggak ada Mas, sudah enggak ada,” katanya sambil terus terisak. Dilra semakin terpuruk. Hampir seminggu aku tak berangkat ke kantor karena harus menemani Dilra. Kondisinya benar-benar lemah waktu itu. Dia sering tidak sadarkan diri saat mengingat bayinya, masalahnya Dilra juga menolak diurus oleh Ibuku. Bahkan berada dalam satu ruangan dalam waktu yang cukup lama, kesehatan Dilra bisa langsung menurun.“Dek kan Mas harus kerja, Adek sama Ibu ya. Mas sudah bilang biar jaga kamu.”“Aku enggak mau merepotkan orang lain. Aku mau pulang saja. Kalau mau kerja silakan, tapi antar aku pulang dulu, Ibu itu suka menjelekkan aku ke tetangga sini,” katanya sambil sesekali menengok ke kanan dan ke kiri. Sejak kehilangan anaknya kurasa Dilra jadi sering waspada berlebihan.“Ya sudah, nanti Mas bilang lagi sama Ibu biar enggak menjelekkan kamu
“Enggak usah repot-repot Bu Rima, bagaimana sekarang, repot kan di tinggal anakku?” sindir Bapak. Ibu langsung menunduk, sedangkan Bapak malah menyunggingkan bibir atasnya. Selang beberapa detik beruntung ibu mertuaku menyenggol lengan suaminya, lantas Bapak langsung tersenyum, seolah penuh kepuasan.“Bercanda, Bu Rima.”“Oh iya,” jawab Ibu diiringi senyum paksanya. Suasana mendadak canggung, penuh dengan kepura-puraan. Bukan aku tak mau membela Ibu, entah sampai hari ini saja aku masih enggan mengajaknya bicara, aku takut kelepasan, hingga nanti kehilangan rasa hormat padanya.“Permisi ya, Bu Rima,” kata Bapak lagi dengan seringai di bibirnya. Mereka bersalaman, tapi jelas sekali di dalam hati mereka ada emosi yang menggebu.“Dil, ayo pulang, untuk apa di sini,” kata Bapak, yang sudah jalan lebih dulu. Laki-laki paruh baya itu menggenggam istrinya dengan penuh cinta, bisa kulihat sesekali gengga
“Enggak bisa Dil, aku mencintai kamu. Mana bisa begitu.”“Maka berjuanglah di pengadilan nanti.”“Jelas aku akan kalah. Aku yang begitu bodohnya mengabaikan hakmu bertahun-tahun bagaimana bisa aku akan mencegah perpisahan ini tanpa keikhlasan darimu.”“Ini ambil semuanya, aku enggak butuh ini Dil. Baru 3 hari enggak melihat kamu di rumah, hidupku kacau Dil, lalu bagaimana ke depannya harus hidup tanpa kamu,” ucapku seraya menyerahkan dompet ke tangannya.“Mas, hidup itu pilihan. Kamu memilih untuk hidup bersama Ibumu bukan, maka jalani saja pilihanmu. Mari berjalan masing-masing Mas, ini aku kembalikan dompetmu, permisi.”“Dil, tunggu.” Kuraih lengannya, lalu merengkuhnya, semakin erat. Dia tak menolak juga tak membalas pelukanku, dia hanya diam tak bergerak, bagai sebatang kayu.“Kamu masih mencintai Mas kan, kenapa malah memilih berpisah.”“Cin
“Astaghfirrullah.” Tanpa sadar aku malah mundur ke belakang, punggung jadi bersentuh langsung pada ujung meja kerjaku.“Loh Mas, Mas Enggak apa-apa?” tanya Farah.“Enggak apa-apa, saya baik-baik saja, Di kayaknya gue enggak bisa lanjut kerja lagi, gue ijin pulang dulu ya, sorry banget.”“Santai saja, gue tahu banget posisi lo,” kata Ardi.“Thanks ya.”~Sepanjang perjalanan macet di mana-mana, katanya di Masjid Raya dekat kota kami ada tausiah dari Ustad Kondang yang terkenal. Banyak jamaah yang datang memadati halaman masjid, kendaraan yang keluar masuk di sekitar Masjid membuat jalanan jadi padat merayap.“Ustaz, saya ingin menceritakan keluh kesah. Saya sudah menikah punya anak umur 5 bulan sehabis nikah saya tinggal dengan mertua. Saya tidak betah tinggal di tempat mertua, setelah melahirkan saya meminta pada suami untuk men
“Biarkan saja Bu,” kata Bapak.Aku masih terhenyak dengan emosi Bapak, yang tak biasa ini, tak bisa kubayangkan Ibu harus mendekam di penjara. “Kenapa kamu enggak terima Lang? anak saya dulu periang, sejak nikah sama kamu jadi begini, orang tua mana yang mau terima?”“Apa enggak bisa di bicarakan secara kekeluargaan Pak.”“Kamu takut? Ingat ya Galang, saya menitipkan Dilra ke kamu, untuk dibahagiakan, bukan dibuat menderita, lihat keadaannya sekarang, kalau tahu kelakuan kamu dan keluargamu begini, cih sudah kutolak kamu dari dulu.”“Sebaiknya kamu pergi saja ya Lang, kami butuh ketenangan di sini, kalau bisa enggak usahlah kembali lagi ke sini,” kata Ibu mertua.Belum juga mampu menenangkan Bapak, sekarang Ibu malah menyuruh pergi.“Saya akan bicarakan ini dengan Ibu saya, tapi kalau boleh apa enggak sebaiknya dibicarakan secara baik-baik dulu Pak.”“Bawa Ibumu ke sini, setelah 5 baru diputuskan mau di bawa ke ranah hukum atau enggak.”“Baik Pak, besok saya bawa Ibu ke sini, kalau gi
PoV Ibu Mertua."Kalau Ibu enggak salah kenapa harus takut?" ucap Galang.Dia ini tak bisa kah diam sebentar.“Jawab Bu, saya tidak butuh maaf dari anda.”“Saya memang salah, saya sudah melarang Dilra untuk tidak naik motor sendiri, tapi Dilra tetap ngotot.”“Bukannya anda yang tidak mau keluar uang lebih untuk naik taxi? Anda suruh Dilra ke pasar sendiri, sampai lebih dari satu kali dalam sehari, padahal anda tahu kandungan Dilra lemah?”Kenapa juga laki-laki ini, pintar sekali bicara, aku benar-benar tersudut, si Dilra itu pasti sudah bicara macam-macam, kali ini tak boleh tinggal diam, Galang harus membantuku.“Lang, Ibu beneran gak pernah nyuruh istrimu macam-macam, percaya sama Ibu.”Ayo Lang bantu Ibu, bela Ibu seperti biasanya, rayu mertuamu itu.“Tinggal jujur aja Bu, Galang juga gak bisa bantu apa-apa.”Apa? Dasar anak tak tahu terima kasih.Sus
“Dilra sama kamu enggak? pergi dari sore belum balik lagi.” Sebuah pesan, dikirimkan Bapak mertua ke nomorku.Karena tak sabar gegas kulakukan panggilan.“Assalamu’alaikum Pak, memangnya Dilra tadi bilangnya mau pergi ke mana?”“Dilra cuma bilang mau jalan sebentar, masalahnya dia mengajak Dion juga, Bapak khawatir, benar dia enggak sama kamu?”“Enggak Pak, ya sudah saya cari Dilra dulu.”“Kabari saya kalau sudah ketemu.”Ya Allah Dil, kamu ke mana, ini sudah hampir memasuki jam buka puasa.Nomornya tak pun tak aktif, apa dia sengaja tak ingin ditemui. Bagaimana kalau Dilra mencoba bunuh diri? Astaghfirrullah, tunjukan jalanmu ya Allah, selamatkan istri dan anak hamba, jangan biarkan mereka menghadapmu dengan cara yang salah, hamba mohon ya Allah lindungi mereka.“Wouy naik mobil yang bener!! Bisa menyetir enggak? Sudah bosan hidup!” umpat seorang pengendara
Saat merasakan tubuhnya mulai bergetar Dilra segera menepi. Untunglah Ilham sigap mengambilkan air untuknya. “Maaf bikin kalian repot.” “Sudah tugas kami menjaga Ibu,” kata mereka kompak. Adam baru saja menyusul ke sini, karena penasaran melihat Ilham berlarian di tengah kebun. Dilra menatap hamparan kebun nanas miliknya dengan mata nanar. “Panggil Bi Nunik ke sini ya. Aku kayaknya enggak kuat jalan sendiri,” ucapnya lemah. “Bi Nunik lagi nyusul ke sini Bu, tadi ikut panik juga lihat Ilham lari.” “Ayo, Bu. Saya bantu jalan sampai rumah.” “Makasih, Bi.” “Di rumah sudah saya siapkan makanan, Bu. Kesukaan Ibu semua, coba dimakan sedikit-sedikit. Biar ada tenaga.” “Nanti saya makan, kalau perut saya enakkan. ‘Kan sayang makanan enak yang Bibi masak, malah dimuntahkan lagi.” Dilra masih saja mencoba tersenyum pada Bi Nunik, meski saat itu dadanya semakin sesak. Sampai-sampai mereka terpaksa menghentikan jalannya.
“Ibu, mau ke mana?”“Nyusul Pak Adam.”“Enggak usah, tunggu di mobil saja. Paling lagi diberi penyuluhan sama satpam, sebentar lagi pasti balik.”Dilra tak mampu menutupi kekhawatirannya. Bukan hanya pada Adam juga pada nasibnya dan anak-anak. Pikirannya carut marut, menerka-nerka, siapa kemungkinan yang ingin mencelakakannya.Sebelum pergi ke luar kota dia sempatkan untuk kembali ke rumah lamanya. Melepas rindu juga untuk beberapa barang yang akan dia butuhkan. Langkahnya pelan memandangi setiap sudut rumah beserta isinya, sementara anak-anak berlarian ke ruang bermain. Mengumpulkan barang mereka, sebanyak mungkin. Tiba di depan pintu kamarnya langkahnya terhenti saat mendapati seseorang baru saja masuk tanpa mengetuk. Rupanya Mbak Rina, dia menghampiri majikannya, saling memeluk melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa.Wanita itu mulai mengajak tuannya beristirahat di dalam kamar. Namun, sebelum pergi, d
Ruangan pengap dan lembap berukuran 3x3 dengan dinding yang sebagian berlumut, juga langit-langit yang berlubang menandakan rumah ini memang sudah lama tak terjamah. Pencahayaan yang hanya mengandalkan dari senter, membuatnya semakin suram. Hari ini bahkan harus menjadi saksi biksu, pertumpahan darah yang tak bisa dielakkan lagi. Sorot mata membunuh itu masih menatap tajam pada perempuan yang meringkuk seraya memegangi perutnya. Pakainya telah berubah warna menjadi merah darah. Sayup-sayup terdengar kata tolong keluar dari bibirnya yang memucat.“Sudah kukatakan jangan mengusikku, apalagi dia!” Suara bariton kini mendominasi ruangan. Lengan yang berlumur darah itu mencengkeram dagu, wanita lemah di depannya, memaksa agar dia melihat bagaimana perbuatannya membuat wanita yang berada dalam pangkuannya tergeletak tak berdaya.“Aku enggak akan segan, bahkan untuk menghabisimu.” Wanita itu ingin bicara, tetapi rasa sakit di bagian perut membuatnya te
“Loh, Mas mau ke mana?”“Makasih buat infonya, tolong kabari saya kalau Dilra hubungi kamu.”Tanpa persiapan apa pun Galang pergi ke kota Bandung. Untunglah di perjalanan dia sempat tertidur sebentar, setidaknya tenaganya sedikit memulih.“Pak kalau mau tidur enggak apa-apa. Nanti saya bangunkan kalau sudah sampai Bandung," kata Demian, salah satu staff di kantornya.“Enggak perlu, barangkali saya lihat anak istri saya di jalanan.”“Tapi mata Bapak kelihatan capek.”“Enggak apa, saya baik-baik saja.”Galang tetap membuka matanya lebar-lebar. Menengok ke kiri dan kanan dengan gelisah. Sayangnya yang di cari tak ada di sini. Dia benar-benar hanya membuang waktu.Minggu berlalu Galang masih berada di kota kembang. Seperti orang gila dia terus mencari keberadaan anak dan istrinya. Selama di sana dia menetap di rumah Ibu Rima. Malam hari dia baru pulang untuk tidur, l
Esok hari Galang terbangun, namun tak mendapati Dilra di sampingnya. Dia turun untuk mencari, rupanya Dilra tengah di dapur.“Sayang, masih terlalu pagi kok udah masak aja.”“Lagi kepengen aja, aku buat rendang.”“Tahu aja makanan kesukaan, Mas.”“Makanya itu karena masaknya makan waktu, jadi aku mulainya lebih awal.”Galang meletakkan wajahnya di bahu Dilra yang terbuka, wanita itu memakai daster yang mengekspose kedua bahunya yang putih mulus tanpa celah. Tak cukup sampai situ, Galang melingkarkan perutnya di perut Dilra.“Jangan begini.”“Habisnya kamu bikin Mas pengen nempel terus.”Dilra hanya tersenyum, lekas dia berbalik, sebelum pria itu membuatnya harus kembali mandi.“Mas, belum subuh ‘kan?”
Aku hanya diam menikmati suasana kota di sore hari. Sampai kami tiba di lampu merah, untungnya jalanan belum terlalu padat, ini masih pukul 4 sore setengah jam lagi mungkin akan berbeda.Motor menepi di dekat alun-alun, di sini cukup ramai.“Enggak apa-apa ‘kan duduk di sana sebentar ya.” Aku menunjuk pada bangku di taman.“Memangnya kenapa, di mana pun jadi, Mas. Ayo,” ajaknya. Aku masih menggenggam lengan Dilra. Kami duduk menikmati pemandangan anak-anak remaja yang tengah bermain skate board.“Tinggal dulu ya, Mas mau beli minum buat kamu.” Di sana Dilra lebih banyak diam, hanya bicara tiap kali aku menanyakan sesuatu. Aku masih belum menyerah, mencoba mengalihkan perhatiannya pada beberapa remaja yang berpakaian ala korea. Mereka sepertinya sedang shooting video. Orang-orang ramai berkeremun di dekat anak-anak itu. Aku bisa melihat Dilra pun sesekali terkekeh melihat aksi para penari yang begitu en
“Aku yang egois mengedapankan perasaanku meski itu menyakiti Ayah. Aku yang membuatnya meninggal, Ren.” Dilra masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kamu yakin ingin meninggalkan suamimu?” tanya Irene.“Harus, Ren. Cepat atau lambat.”“Sanggup?” bukannya menjawab Dilra malah menangkupkan wajahnya pada ke dua telapak tangan.“Yakinkan dirimu, Dil. Bisa jadi kalau Ayah masih hidup dia akan merestui hubungan kalian. Selama melihat putrinya bahagia.”“Enggak mungkin, Ayah membenci Mas Galang dan keluarganya. Dia bahkan memilih mati jika aku nekat rujuk, tapi Allah … memanggilnya lebih dulu,” katanya. Dilra terisak, ah andai aku tidak sedang menyamar sudah kupeluk dia. Saat itu ponsel Dilra berdering. Sepertinya panggilan dari anak-anak.“Loh, memangnya Papah pergi ke mana? Bunda enggak pergi sama Papah kok,” kata Dilra.Gawat. Sepertinya aku
Hari yang ditunggu tiba. Sekalinya dapat job malah di luar kota dengan 2 lokasi berbeda. Sebenarnya aku ingin ikut tetapi di akhir bulan. Kantor selalu banyak pekerjaan. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tadi pagi saat Dilra berpamitan. Sesungguhnya aku ingin sekali menahannya. Namun, itu sama saja membuatnya lari dari tanggung jawab. Jam makan siang tiba entah ini teleponku yang ke berapa. Dilra hanya tertawa melihatku terus menerus menghubunginya lewat sambungan video.“Aku masih sendiri, Mas. Enggak ada siapa pun, paling nanti ada Irene yang temani aku,” katanya. Aku hanya tersenyum lalu kembali mematikan telepon. Ingin sekali kutanya kapan dia akan bertemu Hiro, tetapi aku takut dia kira aku begitu protektif. Ini hari pertama dia bekerja seharusnya aku mendukungnya.“Pak, permisi, Ehem!” Ternyata seseorang baru saja berdehem. Itu Vina sekretari
Setahuku akan ada petugas keamanan yang berkeliling setiap 3 jam sekali apalagi setelah keributan yang terjadi di rumahku kemarin siang, keamanan kompleks pasti lebih diperketat. Jadi kurasa kami tak perlu capek-capek mengusirnya. Sudah pasti dia akan kembali di usir. Entah tadi malam dia ke mana, hingga sepagi ini sudah ada di depan rumah. “Mas, lebih cepat dikit,” kata Dilra. “Santai ajalah Dek, kenapa juga harus buru-buru,” sahutku. Andai saja aku bisa melambatkan waktu rasanya aku ingin selalu di sampingmu Dil. Setelah mengutarakan keinginanmu untuk kembali bekerja. Hatiku selalu was-was, seolah kamu akan pergi jauh meninggalkanku dan anak-anak. “Kenapa berhenti, Mas?” kata Dilra. Di depan kami ada sebuah tanah lapang yang cukup besar. Dilra langsung turun lantas memeriksa keadaanku. Dia pikir aku selemah itu. Kalau memang khawatir harusnya kamu di rumah saja, jangan pernah bekerja. Biar aku saja. Aku bahkan rela bekerja lebih giat lagi, demi bisa m