PoV Ibu Mertua.
"Kalau Ibu enggak salah kenapa harus takut?" ucap Galang.
Dia ini tak bisa kah diam sebentar.“Jawab Bu, saya tidak butuh maaf dari anda.”
“Saya memang salah, saya sudah melarang Dilra untuk tidak naik motor sendiri, tapi Dilra tetap ngotot.”“Bukannya anda yang tidak mau keluar uang lebih untuk naik taxi? Anda suruh Dilra ke pasar sendiri, sampai lebih dari satu kali dalam sehari, padahal anda tahu kandungan Dilra lemah?”Kenapa juga laki-laki ini, pintar sekali bicara, aku benar-benar tersudut, si Dilra itu pasti sudah bicara macam-macam, kali ini tak boleh tinggal diam, Galang harus membantuku.“Lang, Ibu beneran gak pernah nyuruh istrimu macam-macam, percaya sama Ibu.”Ayo Lang bantu Ibu, bela Ibu seperti biasanya, rayu mertuamu itu.“Tinggal jujur aja Bu, Galang juga gak bisa bantu apa-apa.”Apa? Dasar anak tak tahu terima kasih.Sus“Dilra sama kamu enggak? pergi dari sore belum balik lagi.” Sebuah pesan, dikirimkan Bapak mertua ke nomorku.Karena tak sabar gegas kulakukan panggilan.“Assalamu’alaikum Pak, memangnya Dilra tadi bilangnya mau pergi ke mana?”“Dilra cuma bilang mau jalan sebentar, masalahnya dia mengajak Dion juga, Bapak khawatir, benar dia enggak sama kamu?”“Enggak Pak, ya sudah saya cari Dilra dulu.”“Kabari saya kalau sudah ketemu.”Ya Allah Dil, kamu ke mana, ini sudah hampir memasuki jam buka puasa.Nomornya tak pun tak aktif, apa dia sengaja tak ingin ditemui. Bagaimana kalau Dilra mencoba bunuh diri? Astaghfirrullah, tunjukan jalanmu ya Allah, selamatkan istri dan anak hamba, jangan biarkan mereka menghadapmu dengan cara yang salah, hamba mohon ya Allah lindungi mereka.“Wouy naik mobil yang bener!! Bisa menyetir enggak? Sudah bosan hidup!” umpat seorang pengendara
Tuhan, kenapa Engkau seperti tengah mempermainkan takdir kami. Apa rencana di balik kisah ini, tentang rumah tangga kami, benarkah masih memiliki masa depan?Kini Dilra harus kembali menelan pil pahit kekecewaan, meski dalam hati aku ingin bersamanya tapi sisi lain hatiku merasa terlalu egois kalau, tetap memaksakan hubungan ini. Aku mengejar wanita itu, sampai ke gerbang utama Pengadilan Agama, ia sempat berhenti sejenak memegangi ujung pagar, bahunya sedikit berguncang.“Dil.”“Jangan sentuh.”“Mas minta maaf.”“Kalau Mas berniat ingin pisah, kenapa kemarin memohon padaku? Apa Mas anggep ini main-main?”“Dil kita bisa kembali, setelah kamu sembuh.”“Aku masih waras Mas, aku gak gila.”“Siapa yang bilang kamu gila, gak ada sayang, Mas cuma pengen lihat kamu baik-baik aja.”“Apa Mas pikir aku akan baik-baik saja setelah hari ini.”
"Dil kamu kalau bisa satu bulan jangan mampir ke rumah dulu ya, terus ada baiknya kamu di rumah aja jangan ke mana-mana selama sebulan.” Sebuah pesan singkat dikirimkan padaku, tumben sekali biasanya Bapak lebih senang menelepon, dan ini, kenapa juga melarang keluar rumah untuk sebulan, jelas itu bukan waktu yang sebentar.“Loh kenapa memangnya Pak, Dion saja sudah ngomong mau ketemu Eyang.”“Kan lagi pandemi begini, mending di rumah saja, jangan telepon dulu Bapak lagi ada pekerjaan,” balas Bapak lagi.Aneh.Tak dapat diungkiri, issue pandemi di wilayah kami meningkat drastis, tapi Bapak biasanya tak sepanik ini, ya sudah lah dari pada berdebat akan lebih baik menurut saja. Sebenarnya aku dan Dion sudah bersiap berkunjung, hanya tinggal memesan taxi online lalu pergi. Dion sempat menangis saat kembali masuk ke rumah, beruntung karena masih ASI, hal ini tak terlalu merepotkan, harusnya bulan depan Dion sudah disapih
Bagaimana bisa, Dilraku menikah, dengan begitu mudahnya, sedang aku di sini masih memperjuangkan untuk bisa kembali membangun mahligai rumah tangga dengannya. Lidahku mendadak kelu dalam sekejap, tak mampu berucap walau hanya sepatah kata, sampai sosok laki-laki paruh baya itu, menepuk pundakku, mencoba menguatkan. Pantas saja kemarin dia sempat bertanya, tempat tinggalku, nyatanya dia ingin datang berkunjung.“Kenapa Bapak enggak bilang apa-apa waktu saya ke sana sebulan yang lalu.”“Karena memang saya tidak mau kalau rencana ini harus batal.”“Boleh say a tahu dengan siapa Dilra menikah.”Bapak mengeluarkan ponselnya, menujukan padaku sebuah foto pasangan dengan busana senada tengah bersua foto di sebuah taman, sepertinya mereka tengah melakukan sesi foto preweding.“Lupakan Dilra!”Begitu pintanya, bagaimana bisa melupakan putrimu, kalau saja mudah, maka hari ini tidak akan ada d
"Kenapa enggak jujur dari awal Dil, kamu tahu Mas cari kamu ke mana.”Dilra masih diam tapi air matanya tak berhenti mengalir dari sudut mata, perlahan aku m endudukkannya di kursi, tak enak juga karena kami sudah jadi pusat perhatian di tempat ini.“Kamu curang Dil, kamu membiarkan Mas kehilangan kabarmu, tapi diam-diam kamu malah terus mengawasi Mas, lewat akun Rere.”“Maaf, aku pecundang bukan?”“Enggak, siapa yang bilang Dilraku pecundang?”Dilra hanya tersenyum menatapku, lalu setelahnya kembali memalingkan wajah ke arah jendela, menyeka air matanya pelan.“Mari rujuk Dil?”“Rujuk?” Wajah wanita“Kenapa? Bukankah kamu pura-pura menjadi Rere karena masih peduli padaku.”“Aku enggak siap Mas, mungkin selamanya aku enggak akan pernah menikah lagi,” katanya dengan wajah sendu.“Dil...” Sembari berusaha menggenggam punggu
“Dil aku mau ketemu Bapak sekarang, ada di rumah kan?”“Jangan sekarang, besok saja,” kata Dilra dengan nada panik, tapi samar terdengar di seberang telepon riuh suara orang-orang seperti berkerumun.Apa Dilra sedang di luar?“Bagaimana bisa besok, Mas sudah di depan gerbang perumahan.”“Balik lagi aja Mas, jangan nekat.”Kenapa perempuan begitu sulit dimengerti. Sudah kuturutikeinginannya tetap saja jual harga tinggi.Kalau bukan karena sebuah perasaan bersalah yang menghantui sepanjang waktu, situasi semacam ini cukup menguras emosi. Kepalang tanggung akhirnya keputusanku untuk bertandang ke rumahnya tetap kulakukan, dari jauh rumah Dilra begitu ramai, ini bukan hari raya kenapa begitu banyak mobil yang terparkir di sana, sekitar 5 mobil bukankah itu mengundang curiga kalau hanya rekan bisnis Bapak, kurasa lima mobil cukup untuk berada di dalam halamannya, kenapa dib
"Kau tahu rasanya saat menggantungkan harapan setinggi langit tapi tiba-tiba dihempas, dibanting dengan kasar hingga jatuh bercerai berai di bumi.Aku dan harapan itu sama, baru tadi pagi hidupku terasa terang benderang, setidaknya hubunganku dan Dilra sudah punya ruang di masa depan tapi dalam sekejap cahaya itu padam, berganti patah hati yang menusuk kalbu, lagi-lagi aku seperti tengah di permainkan takdir.Haruskah aku menikah dengan wanita lain? Tapi untuk apa? Membahagiakan Ibu lagi, unjuk gigi pada Dilra kalau aku bisa hidup bahagia tanpanya atau untuk mencari kebahagiaan. Ketiga alasan itu lagi-lagi muncul, bagaimana bisa hidup tenang, kalau jauh di sana ada anak laki-laki yang tak pernah tersentuh kasih sayang ayahnya untuk waktu lama, atau bisa jadi mungkin selamanya.~“Lu di mana Lang?”Ardi menelepon.“Gue di Pontianak.”“Mau apa ngebolang sampai sana, jauh amat, sini balik! kerj
Sesampainya di rumah sakit nyatanya aku terlambat, Ibu mertua sudah menyusul Bapak menghadap Tuhan.Innalillahi wa inna illahiraji’un, kenapa lagi-lagi Dilra, dia tak bersalah Tuhan, kenapa malah menghukumnya, merebut semua kebahagiaannya, sekaligus tanpa aba-aba. Wanita itu luruh ke lantai, dia sampai tak sadarkan diri karenanya, sedang bayi Dion di gendong sanak keluarganya yang lain.Entah siapa laki-laki yang merengkuh tubuh Dilra saat aku bersiap berlari, lengan kekarnya sudah lebih dulu menangkapnya. Saat aku sampai laki-laki itu menatap sekilas, sekarang baru kulihat dengan jelas, dia Hiro, laki-laki yang dulu melamar. Dilra ditangani di dalam, sedang jenazah Ibu di urus agar bisa cepat di bawa pulang, keadaan kacau kala itu, sebagian keluarga Dilra di pemakaman, di rumah sakit hanya ada Paman Dilra, mereka harus berbagi tugas.Aku lebih memilih mengantar jenazah, ikut ke dalam mobil, bukan tak peduli pada Dilra hanya saja menurutku Hiro bisa
Saat merasakan tubuhnya mulai bergetar Dilra segera menepi. Untunglah Ilham sigap mengambilkan air untuknya. “Maaf bikin kalian repot.” “Sudah tugas kami menjaga Ibu,” kata mereka kompak. Adam baru saja menyusul ke sini, karena penasaran melihat Ilham berlarian di tengah kebun. Dilra menatap hamparan kebun nanas miliknya dengan mata nanar. “Panggil Bi Nunik ke sini ya. Aku kayaknya enggak kuat jalan sendiri,” ucapnya lemah. “Bi Nunik lagi nyusul ke sini Bu, tadi ikut panik juga lihat Ilham lari.” “Ayo, Bu. Saya bantu jalan sampai rumah.” “Makasih, Bi.” “Di rumah sudah saya siapkan makanan, Bu. Kesukaan Ibu semua, coba dimakan sedikit-sedikit. Biar ada tenaga.” “Nanti saya makan, kalau perut saya enakkan. ‘Kan sayang makanan enak yang Bibi masak, malah dimuntahkan lagi.” Dilra masih saja mencoba tersenyum pada Bi Nunik, meski saat itu dadanya semakin sesak. Sampai-sampai mereka terpaksa menghentikan jalannya.
“Ibu, mau ke mana?”“Nyusul Pak Adam.”“Enggak usah, tunggu di mobil saja. Paling lagi diberi penyuluhan sama satpam, sebentar lagi pasti balik.”Dilra tak mampu menutupi kekhawatirannya. Bukan hanya pada Adam juga pada nasibnya dan anak-anak. Pikirannya carut marut, menerka-nerka, siapa kemungkinan yang ingin mencelakakannya.Sebelum pergi ke luar kota dia sempatkan untuk kembali ke rumah lamanya. Melepas rindu juga untuk beberapa barang yang akan dia butuhkan. Langkahnya pelan memandangi setiap sudut rumah beserta isinya, sementara anak-anak berlarian ke ruang bermain. Mengumpulkan barang mereka, sebanyak mungkin. Tiba di depan pintu kamarnya langkahnya terhenti saat mendapati seseorang baru saja masuk tanpa mengetuk. Rupanya Mbak Rina, dia menghampiri majikannya, saling memeluk melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa.Wanita itu mulai mengajak tuannya beristirahat di dalam kamar. Namun, sebelum pergi, d
Ruangan pengap dan lembap berukuran 3x3 dengan dinding yang sebagian berlumut, juga langit-langit yang berlubang menandakan rumah ini memang sudah lama tak terjamah. Pencahayaan yang hanya mengandalkan dari senter, membuatnya semakin suram. Hari ini bahkan harus menjadi saksi biksu, pertumpahan darah yang tak bisa dielakkan lagi. Sorot mata membunuh itu masih menatap tajam pada perempuan yang meringkuk seraya memegangi perutnya. Pakainya telah berubah warna menjadi merah darah. Sayup-sayup terdengar kata tolong keluar dari bibirnya yang memucat.“Sudah kukatakan jangan mengusikku, apalagi dia!” Suara bariton kini mendominasi ruangan. Lengan yang berlumur darah itu mencengkeram dagu, wanita lemah di depannya, memaksa agar dia melihat bagaimana perbuatannya membuat wanita yang berada dalam pangkuannya tergeletak tak berdaya.“Aku enggak akan segan, bahkan untuk menghabisimu.” Wanita itu ingin bicara, tetapi rasa sakit di bagian perut membuatnya te
“Loh, Mas mau ke mana?”“Makasih buat infonya, tolong kabari saya kalau Dilra hubungi kamu.”Tanpa persiapan apa pun Galang pergi ke kota Bandung. Untunglah di perjalanan dia sempat tertidur sebentar, setidaknya tenaganya sedikit memulih.“Pak kalau mau tidur enggak apa-apa. Nanti saya bangunkan kalau sudah sampai Bandung," kata Demian, salah satu staff di kantornya.“Enggak perlu, barangkali saya lihat anak istri saya di jalanan.”“Tapi mata Bapak kelihatan capek.”“Enggak apa, saya baik-baik saja.”Galang tetap membuka matanya lebar-lebar. Menengok ke kiri dan kanan dengan gelisah. Sayangnya yang di cari tak ada di sini. Dia benar-benar hanya membuang waktu.Minggu berlalu Galang masih berada di kota kembang. Seperti orang gila dia terus mencari keberadaan anak dan istrinya. Selama di sana dia menetap di rumah Ibu Rima. Malam hari dia baru pulang untuk tidur, l
Esok hari Galang terbangun, namun tak mendapati Dilra di sampingnya. Dia turun untuk mencari, rupanya Dilra tengah di dapur.“Sayang, masih terlalu pagi kok udah masak aja.”“Lagi kepengen aja, aku buat rendang.”“Tahu aja makanan kesukaan, Mas.”“Makanya itu karena masaknya makan waktu, jadi aku mulainya lebih awal.”Galang meletakkan wajahnya di bahu Dilra yang terbuka, wanita itu memakai daster yang mengekspose kedua bahunya yang putih mulus tanpa celah. Tak cukup sampai situ, Galang melingkarkan perutnya di perut Dilra.“Jangan begini.”“Habisnya kamu bikin Mas pengen nempel terus.”Dilra hanya tersenyum, lekas dia berbalik, sebelum pria itu membuatnya harus kembali mandi.“Mas, belum subuh ‘kan?”
Aku hanya diam menikmati suasana kota di sore hari. Sampai kami tiba di lampu merah, untungnya jalanan belum terlalu padat, ini masih pukul 4 sore setengah jam lagi mungkin akan berbeda.Motor menepi di dekat alun-alun, di sini cukup ramai.“Enggak apa-apa ‘kan duduk di sana sebentar ya.” Aku menunjuk pada bangku di taman.“Memangnya kenapa, di mana pun jadi, Mas. Ayo,” ajaknya. Aku masih menggenggam lengan Dilra. Kami duduk menikmati pemandangan anak-anak remaja yang tengah bermain skate board.“Tinggal dulu ya, Mas mau beli minum buat kamu.” Di sana Dilra lebih banyak diam, hanya bicara tiap kali aku menanyakan sesuatu. Aku masih belum menyerah, mencoba mengalihkan perhatiannya pada beberapa remaja yang berpakaian ala korea. Mereka sepertinya sedang shooting video. Orang-orang ramai berkeremun di dekat anak-anak itu. Aku bisa melihat Dilra pun sesekali terkekeh melihat aksi para penari yang begitu en
“Aku yang egois mengedapankan perasaanku meski itu menyakiti Ayah. Aku yang membuatnya meninggal, Ren.” Dilra masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kamu yakin ingin meninggalkan suamimu?” tanya Irene.“Harus, Ren. Cepat atau lambat.”“Sanggup?” bukannya menjawab Dilra malah menangkupkan wajahnya pada ke dua telapak tangan.“Yakinkan dirimu, Dil. Bisa jadi kalau Ayah masih hidup dia akan merestui hubungan kalian. Selama melihat putrinya bahagia.”“Enggak mungkin, Ayah membenci Mas Galang dan keluarganya. Dia bahkan memilih mati jika aku nekat rujuk, tapi Allah … memanggilnya lebih dulu,” katanya. Dilra terisak, ah andai aku tidak sedang menyamar sudah kupeluk dia. Saat itu ponsel Dilra berdering. Sepertinya panggilan dari anak-anak.“Loh, memangnya Papah pergi ke mana? Bunda enggak pergi sama Papah kok,” kata Dilra.Gawat. Sepertinya aku
Hari yang ditunggu tiba. Sekalinya dapat job malah di luar kota dengan 2 lokasi berbeda. Sebenarnya aku ingin ikut tetapi di akhir bulan. Kantor selalu banyak pekerjaan. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tadi pagi saat Dilra berpamitan. Sesungguhnya aku ingin sekali menahannya. Namun, itu sama saja membuatnya lari dari tanggung jawab. Jam makan siang tiba entah ini teleponku yang ke berapa. Dilra hanya tertawa melihatku terus menerus menghubunginya lewat sambungan video.“Aku masih sendiri, Mas. Enggak ada siapa pun, paling nanti ada Irene yang temani aku,” katanya. Aku hanya tersenyum lalu kembali mematikan telepon. Ingin sekali kutanya kapan dia akan bertemu Hiro, tetapi aku takut dia kira aku begitu protektif. Ini hari pertama dia bekerja seharusnya aku mendukungnya.“Pak, permisi, Ehem!” Ternyata seseorang baru saja berdehem. Itu Vina sekretari
Setahuku akan ada petugas keamanan yang berkeliling setiap 3 jam sekali apalagi setelah keributan yang terjadi di rumahku kemarin siang, keamanan kompleks pasti lebih diperketat. Jadi kurasa kami tak perlu capek-capek mengusirnya. Sudah pasti dia akan kembali di usir. Entah tadi malam dia ke mana, hingga sepagi ini sudah ada di depan rumah. “Mas, lebih cepat dikit,” kata Dilra. “Santai ajalah Dek, kenapa juga harus buru-buru,” sahutku. Andai saja aku bisa melambatkan waktu rasanya aku ingin selalu di sampingmu Dil. Setelah mengutarakan keinginanmu untuk kembali bekerja. Hatiku selalu was-was, seolah kamu akan pergi jauh meninggalkanku dan anak-anak. “Kenapa berhenti, Mas?” kata Dilra. Di depan kami ada sebuah tanah lapang yang cukup besar. Dilra langsung turun lantas memeriksa keadaanku. Dia pikir aku selemah itu. Kalau memang khawatir harusnya kamu di rumah saja, jangan pernah bekerja. Biar aku saja. Aku bahkan rela bekerja lebih giat lagi, demi bisa m