Bagaimana bisa, Dilraku menikah, dengan begitu mudahnya, sedang aku di sini masih memperjuangkan untuk bisa kembali membangun mahligai rumah tangga dengannya. Lidahku mendadak kelu dalam sekejap, tak mampu berucap walau hanya sepatah kata, sampai sosok laki-laki paruh baya itu, menepuk pundakku, mencoba menguatkan. Pantas saja kemarin dia sempat bertanya, tempat tinggalku, nyatanya dia ingin datang berkunjung.
“Kenapa Bapak enggak bilang apa-apa waktu saya ke sana sebulan yang lalu.”
“Karena memang saya tidak mau kalau rencana ini harus batal.”
“Boleh say a tahu dengan siapa Dilra menikah.”
Bapak mengeluarkan ponselnya, menujukan padaku sebuah foto pasangan dengan busana senada tengah bersua foto di sebuah taman, sepertinya mereka tengah melakukan sesi foto preweding.
“Lupakan Dilra!”
Begitu pintanya, bagaimana bisa melupakan putrimu, kalau saja mudah, maka hari ini tidak akan ada d
"Kenapa enggak jujur dari awal Dil, kamu tahu Mas cari kamu ke mana.”Dilra masih diam tapi air matanya tak berhenti mengalir dari sudut mata, perlahan aku m endudukkannya di kursi, tak enak juga karena kami sudah jadi pusat perhatian di tempat ini.“Kamu curang Dil, kamu membiarkan Mas kehilangan kabarmu, tapi diam-diam kamu malah terus mengawasi Mas, lewat akun Rere.”“Maaf, aku pecundang bukan?”“Enggak, siapa yang bilang Dilraku pecundang?”Dilra hanya tersenyum menatapku, lalu setelahnya kembali memalingkan wajah ke arah jendela, menyeka air matanya pelan.“Mari rujuk Dil?”“Rujuk?” Wajah wanita“Kenapa? Bukankah kamu pura-pura menjadi Rere karena masih peduli padaku.”“Aku enggak siap Mas, mungkin selamanya aku enggak akan pernah menikah lagi,” katanya dengan wajah sendu.“Dil...” Sembari berusaha menggenggam punggu
“Dil aku mau ketemu Bapak sekarang, ada di rumah kan?”“Jangan sekarang, besok saja,” kata Dilra dengan nada panik, tapi samar terdengar di seberang telepon riuh suara orang-orang seperti berkerumun.Apa Dilra sedang di luar?“Bagaimana bisa besok, Mas sudah di depan gerbang perumahan.”“Balik lagi aja Mas, jangan nekat.”Kenapa perempuan begitu sulit dimengerti. Sudah kuturutikeinginannya tetap saja jual harga tinggi.Kalau bukan karena sebuah perasaan bersalah yang menghantui sepanjang waktu, situasi semacam ini cukup menguras emosi. Kepalang tanggung akhirnya keputusanku untuk bertandang ke rumahnya tetap kulakukan, dari jauh rumah Dilra begitu ramai, ini bukan hari raya kenapa begitu banyak mobil yang terparkir di sana, sekitar 5 mobil bukankah itu mengundang curiga kalau hanya rekan bisnis Bapak, kurasa lima mobil cukup untuk berada di dalam halamannya, kenapa dib
"Kau tahu rasanya saat menggantungkan harapan setinggi langit tapi tiba-tiba dihempas, dibanting dengan kasar hingga jatuh bercerai berai di bumi.Aku dan harapan itu sama, baru tadi pagi hidupku terasa terang benderang, setidaknya hubunganku dan Dilra sudah punya ruang di masa depan tapi dalam sekejap cahaya itu padam, berganti patah hati yang menusuk kalbu, lagi-lagi aku seperti tengah di permainkan takdir.Haruskah aku menikah dengan wanita lain? Tapi untuk apa? Membahagiakan Ibu lagi, unjuk gigi pada Dilra kalau aku bisa hidup bahagia tanpanya atau untuk mencari kebahagiaan. Ketiga alasan itu lagi-lagi muncul, bagaimana bisa hidup tenang, kalau jauh di sana ada anak laki-laki yang tak pernah tersentuh kasih sayang ayahnya untuk waktu lama, atau bisa jadi mungkin selamanya.~“Lu di mana Lang?”Ardi menelepon.“Gue di Pontianak.”“Mau apa ngebolang sampai sana, jauh amat, sini balik! kerj
Sesampainya di rumah sakit nyatanya aku terlambat, Ibu mertua sudah menyusul Bapak menghadap Tuhan.Innalillahi wa inna illahiraji’un, kenapa lagi-lagi Dilra, dia tak bersalah Tuhan, kenapa malah menghukumnya, merebut semua kebahagiaannya, sekaligus tanpa aba-aba. Wanita itu luruh ke lantai, dia sampai tak sadarkan diri karenanya, sedang bayi Dion di gendong sanak keluarganya yang lain.Entah siapa laki-laki yang merengkuh tubuh Dilra saat aku bersiap berlari, lengan kekarnya sudah lebih dulu menangkapnya. Saat aku sampai laki-laki itu menatap sekilas, sekarang baru kulihat dengan jelas, dia Hiro, laki-laki yang dulu melamar. Dilra ditangani di dalam, sedang jenazah Ibu di urus agar bisa cepat di bawa pulang, keadaan kacau kala itu, sebagian keluarga Dilra di pemakaman, di rumah sakit hanya ada Paman Dilra, mereka harus berbagi tugas.Aku lebih memilih mengantar jenazah, ikut ke dalam mobil, bukan tak peduli pada Dilra hanya saja menurutku Hiro bisa
“Terima terima terima!”Wajah putraku yang tadinya menegang kini makin menjadi, Dilra tak lantas menjawab, rautnya tampak terkejut, tapi setelahnya dia mengangguk dan tersenyum, Galang gegas berjalan mendekati Dilra.“Jadi kamu mau jadi istriku?”“Aku mau Mas,” jawab Dilra sama-samar, karena, dia menolak untuk memakai mikrofon, Dilra tampak malu-malu, tapi itu justru membuatku mual.Jadi laki-laki kok ya, bodoh banget.Kini orang-orang makin bersorak, beberapa ada yang mengucap selamat juga berjabat tangan dengan pasangan itu. Sejak dulu kubesarkan dia dengan didikan keras supaya kelak bisa disegani, siapa saja, hari ini di depanku dia malah bersimpuh di hadapan perempuan yang paling aku benci. Sudah bagus mereka berpisah kenapa dengan putraku yang terus saja mengejarnya, apa istimewanya Dilra, selain parasnya yang menawan, kurasa dia tak punya nilai lebih.Dibandingkan denganku sungguh sangat jauh, apa la
PoV Ibu Rima ( Mertua )"Ibu boleh tanya dari tadi enggak ada makanan sedikit pun apa kamu enggak ada uang haus Ibu?”“Semua uangnya dipegang mertuaku, tapi kalau sekedar buat minum sama makan nasi bungkus sih ada, Ibu mau aku belikan?” jawabnya santai, seolah itu bukan masalah baginya.Kalau semua keuangan di tangan mertuanya, lalu putriku ini dapat apa? Sia-sia saja rumah besar dan segala perabotan mewah, kalau setiap hari makan hati, mau beli apa pun tak bisa, semua harus atas izin mertua, bisa mati berdiri kalau aku jadi Mia. Baru sehari tinggal di sini, sudah membuat kepalaku hampir pecah, belum lagi nasi bungkus yang dibawa Mia, entah beli di mana anak itu.Sudah lama sekali sejak usaha Galang maju, aku tak pernah makan nasi bungkusan seperti ini, Mia malah lahap sekali menyantapnya, seperti orang yang tak pernah makan berhari-hari, atau jangan-jangan memang bebar dia tak di beri makan selama ini. Bukan tidak mungkin kan? Kelua
"Dilra dan aku gak tinggal di sini, sementara ibu tinggal di sini dulu ya kami mau fokus punya momongan, lagi pula Dilra juga masih proses pemulihan, gak apa-apa ya Bu?”Seketika raut ibu berubah sendu, netranya mulai mengembun, dalam keadaan seperti ini, sungguh menatap matanya hanya akan membuatku makin tak bisa mengambil keputusan, Bagaimana pun aku tak punya jalan lain untuk masalah ini, Dilra dan Ibu belum bisa disatukan.“Lihat Ibu Lang! Kenapa kamu gak mau lihat Ibu?”Kalau sudah begini tak mungkin untuk tak segera beralih menatapnya.“Kamu tega sama Ibu Lang?” bibir Ibu bergetar menahan getir.“Bukan begitu Bu, Galang cuma minta pengertian dari Ibu, umur Galang sudah enggak muda lagi, Dilra juga iya, kami masih ingin punya banyak momongan,” ucapku kala itu. Entah alasan apa lagi yang nantinya akan kusampaikan, demi tak menyinggung perasaannya.“Ibu yang mengurus kamu dari kecil, apa sal
“Sayang plis bangun, hey sayang.”Aku mengguncang tubuh Dilra sedikit keras, tapi dia tak mau bangun juga.Hingga akhirnya aku mengusap air ke wajahnya, barulah Dilra terbangun."Mas? Kok sudah pulang?"Aku memeluk perempuan itu dengan erat."Astagfirrullah Dil, kamu kok susah banget dibangunlan."Bukannya menjawab Dilra malah menatap lurus ke arah pintu, lalu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar, seakan dia tengah memeriksa keadaan sekitar.“Ini apa?” sekantung plastik putih berisi obat-obatan kudekatkan wajah Dilra.Dia masih tak mau menjawab.“Kamu masih rutin minum ini?”“Ibu ngomong apa sama kamu tadi Dil? Kalau kamu gak mau cerita, biar kutanyakan langsung pada Ibu.”Dilra dengan cepat melingkarkan tangannya ke pinggangku, mencoba mencegahku, yang sudah kepalang emosi, melihatnya yang sampai harus minum obat-obatan ini.“Biar Ibu aku suruh p
Saat merasakan tubuhnya mulai bergetar Dilra segera menepi. Untunglah Ilham sigap mengambilkan air untuknya. “Maaf bikin kalian repot.” “Sudah tugas kami menjaga Ibu,” kata mereka kompak. Adam baru saja menyusul ke sini, karena penasaran melihat Ilham berlarian di tengah kebun. Dilra menatap hamparan kebun nanas miliknya dengan mata nanar. “Panggil Bi Nunik ke sini ya. Aku kayaknya enggak kuat jalan sendiri,” ucapnya lemah. “Bi Nunik lagi nyusul ke sini Bu, tadi ikut panik juga lihat Ilham lari.” “Ayo, Bu. Saya bantu jalan sampai rumah.” “Makasih, Bi.” “Di rumah sudah saya siapkan makanan, Bu. Kesukaan Ibu semua, coba dimakan sedikit-sedikit. Biar ada tenaga.” “Nanti saya makan, kalau perut saya enakkan. ‘Kan sayang makanan enak yang Bibi masak, malah dimuntahkan lagi.” Dilra masih saja mencoba tersenyum pada Bi Nunik, meski saat itu dadanya semakin sesak. Sampai-sampai mereka terpaksa menghentikan jalannya.
“Ibu, mau ke mana?”“Nyusul Pak Adam.”“Enggak usah, tunggu di mobil saja. Paling lagi diberi penyuluhan sama satpam, sebentar lagi pasti balik.”Dilra tak mampu menutupi kekhawatirannya. Bukan hanya pada Adam juga pada nasibnya dan anak-anak. Pikirannya carut marut, menerka-nerka, siapa kemungkinan yang ingin mencelakakannya.Sebelum pergi ke luar kota dia sempatkan untuk kembali ke rumah lamanya. Melepas rindu juga untuk beberapa barang yang akan dia butuhkan. Langkahnya pelan memandangi setiap sudut rumah beserta isinya, sementara anak-anak berlarian ke ruang bermain. Mengumpulkan barang mereka, sebanyak mungkin. Tiba di depan pintu kamarnya langkahnya terhenti saat mendapati seseorang baru saja masuk tanpa mengetuk. Rupanya Mbak Rina, dia menghampiri majikannya, saling memeluk melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa.Wanita itu mulai mengajak tuannya beristirahat di dalam kamar. Namun, sebelum pergi, d
Ruangan pengap dan lembap berukuran 3x3 dengan dinding yang sebagian berlumut, juga langit-langit yang berlubang menandakan rumah ini memang sudah lama tak terjamah. Pencahayaan yang hanya mengandalkan dari senter, membuatnya semakin suram. Hari ini bahkan harus menjadi saksi biksu, pertumpahan darah yang tak bisa dielakkan lagi. Sorot mata membunuh itu masih menatap tajam pada perempuan yang meringkuk seraya memegangi perutnya. Pakainya telah berubah warna menjadi merah darah. Sayup-sayup terdengar kata tolong keluar dari bibirnya yang memucat.“Sudah kukatakan jangan mengusikku, apalagi dia!” Suara bariton kini mendominasi ruangan. Lengan yang berlumur darah itu mencengkeram dagu, wanita lemah di depannya, memaksa agar dia melihat bagaimana perbuatannya membuat wanita yang berada dalam pangkuannya tergeletak tak berdaya.“Aku enggak akan segan, bahkan untuk menghabisimu.” Wanita itu ingin bicara, tetapi rasa sakit di bagian perut membuatnya te
“Loh, Mas mau ke mana?”“Makasih buat infonya, tolong kabari saya kalau Dilra hubungi kamu.”Tanpa persiapan apa pun Galang pergi ke kota Bandung. Untunglah di perjalanan dia sempat tertidur sebentar, setidaknya tenaganya sedikit memulih.“Pak kalau mau tidur enggak apa-apa. Nanti saya bangunkan kalau sudah sampai Bandung," kata Demian, salah satu staff di kantornya.“Enggak perlu, barangkali saya lihat anak istri saya di jalanan.”“Tapi mata Bapak kelihatan capek.”“Enggak apa, saya baik-baik saja.”Galang tetap membuka matanya lebar-lebar. Menengok ke kiri dan kanan dengan gelisah. Sayangnya yang di cari tak ada di sini. Dia benar-benar hanya membuang waktu.Minggu berlalu Galang masih berada di kota kembang. Seperti orang gila dia terus mencari keberadaan anak dan istrinya. Selama di sana dia menetap di rumah Ibu Rima. Malam hari dia baru pulang untuk tidur, l
Esok hari Galang terbangun, namun tak mendapati Dilra di sampingnya. Dia turun untuk mencari, rupanya Dilra tengah di dapur.“Sayang, masih terlalu pagi kok udah masak aja.”“Lagi kepengen aja, aku buat rendang.”“Tahu aja makanan kesukaan, Mas.”“Makanya itu karena masaknya makan waktu, jadi aku mulainya lebih awal.”Galang meletakkan wajahnya di bahu Dilra yang terbuka, wanita itu memakai daster yang mengekspose kedua bahunya yang putih mulus tanpa celah. Tak cukup sampai situ, Galang melingkarkan perutnya di perut Dilra.“Jangan begini.”“Habisnya kamu bikin Mas pengen nempel terus.”Dilra hanya tersenyum, lekas dia berbalik, sebelum pria itu membuatnya harus kembali mandi.“Mas, belum subuh ‘kan?”
Aku hanya diam menikmati suasana kota di sore hari. Sampai kami tiba di lampu merah, untungnya jalanan belum terlalu padat, ini masih pukul 4 sore setengah jam lagi mungkin akan berbeda.Motor menepi di dekat alun-alun, di sini cukup ramai.“Enggak apa-apa ‘kan duduk di sana sebentar ya.” Aku menunjuk pada bangku di taman.“Memangnya kenapa, di mana pun jadi, Mas. Ayo,” ajaknya. Aku masih menggenggam lengan Dilra. Kami duduk menikmati pemandangan anak-anak remaja yang tengah bermain skate board.“Tinggal dulu ya, Mas mau beli minum buat kamu.” Di sana Dilra lebih banyak diam, hanya bicara tiap kali aku menanyakan sesuatu. Aku masih belum menyerah, mencoba mengalihkan perhatiannya pada beberapa remaja yang berpakaian ala korea. Mereka sepertinya sedang shooting video. Orang-orang ramai berkeremun di dekat anak-anak itu. Aku bisa melihat Dilra pun sesekali terkekeh melihat aksi para penari yang begitu en
“Aku yang egois mengedapankan perasaanku meski itu menyakiti Ayah. Aku yang membuatnya meninggal, Ren.” Dilra masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kamu yakin ingin meninggalkan suamimu?” tanya Irene.“Harus, Ren. Cepat atau lambat.”“Sanggup?” bukannya menjawab Dilra malah menangkupkan wajahnya pada ke dua telapak tangan.“Yakinkan dirimu, Dil. Bisa jadi kalau Ayah masih hidup dia akan merestui hubungan kalian. Selama melihat putrinya bahagia.”“Enggak mungkin, Ayah membenci Mas Galang dan keluarganya. Dia bahkan memilih mati jika aku nekat rujuk, tapi Allah … memanggilnya lebih dulu,” katanya. Dilra terisak, ah andai aku tidak sedang menyamar sudah kupeluk dia. Saat itu ponsel Dilra berdering. Sepertinya panggilan dari anak-anak.“Loh, memangnya Papah pergi ke mana? Bunda enggak pergi sama Papah kok,” kata Dilra.Gawat. Sepertinya aku
Hari yang ditunggu tiba. Sekalinya dapat job malah di luar kota dengan 2 lokasi berbeda. Sebenarnya aku ingin ikut tetapi di akhir bulan. Kantor selalu banyak pekerjaan. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tadi pagi saat Dilra berpamitan. Sesungguhnya aku ingin sekali menahannya. Namun, itu sama saja membuatnya lari dari tanggung jawab. Jam makan siang tiba entah ini teleponku yang ke berapa. Dilra hanya tertawa melihatku terus menerus menghubunginya lewat sambungan video.“Aku masih sendiri, Mas. Enggak ada siapa pun, paling nanti ada Irene yang temani aku,” katanya. Aku hanya tersenyum lalu kembali mematikan telepon. Ingin sekali kutanya kapan dia akan bertemu Hiro, tetapi aku takut dia kira aku begitu protektif. Ini hari pertama dia bekerja seharusnya aku mendukungnya.“Pak, permisi, Ehem!” Ternyata seseorang baru saja berdehem. Itu Vina sekretari
Setahuku akan ada petugas keamanan yang berkeliling setiap 3 jam sekali apalagi setelah keributan yang terjadi di rumahku kemarin siang, keamanan kompleks pasti lebih diperketat. Jadi kurasa kami tak perlu capek-capek mengusirnya. Sudah pasti dia akan kembali di usir. Entah tadi malam dia ke mana, hingga sepagi ini sudah ada di depan rumah. “Mas, lebih cepat dikit,” kata Dilra. “Santai ajalah Dek, kenapa juga harus buru-buru,” sahutku. Andai saja aku bisa melambatkan waktu rasanya aku ingin selalu di sampingmu Dil. Setelah mengutarakan keinginanmu untuk kembali bekerja. Hatiku selalu was-was, seolah kamu akan pergi jauh meninggalkanku dan anak-anak. “Kenapa berhenti, Mas?” kata Dilra. Di depan kami ada sebuah tanah lapang yang cukup besar. Dilra langsung turun lantas memeriksa keadaanku. Dia pikir aku selemah itu. Kalau memang khawatir harusnya kamu di rumah saja, jangan pernah bekerja. Biar aku saja. Aku bahkan rela bekerja lebih giat lagi, demi bisa m