Share

Lamaran

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Terima terima terima!”

Wajah putraku yang tadinya menegang kini makin menjadi, Dilra tak lantas menjawab, rautnya tampak terkejut, tapi setelahnya dia mengangguk dan tersenyum, Galang gegas berjalan mendekati Dilra.

“Jadi kamu mau jadi istriku?” 

“Aku mau Mas,” jawab Dilra sama-samar, karena, dia menolak untuk memakai mikrofon, Dilra tampak malu-malu, tapi itu justru membuatku mual.

Jadi laki-laki kok ya, bodoh banget. 

Kini orang-orang makin bersorak, beberapa ada yang mengucap selamat juga berjabat tangan dengan pasangan itu. Sejak dulu kubesarkan dia dengan didikan keras supaya kelak bisa disegani, siapa saja, hari ini di depanku dia malah bersimpuh di hadapan perempuan yang paling aku benci. Sudah bagus mereka berpisah kenapa dengan putraku yang terus saja mengejarnya, apa istimewanya Dilra, selain parasnya yang menawan, kurasa dia tak punya nilai lebih.

Dibandingkan denganku sungguh sangat jauh, apa la
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Luka Seorang Istri   Apakah Tuhan sedang Menegurku

    PoV Ibu Rima ( Mertua )"Ibu boleh tanya dari tadi enggak ada makanan sedikit pun apa kamu enggak ada uang haus Ibu?”“Semua uangnya dipegang mertuaku, tapi kalau sekedar buat minum sama makan nasi bungkus sih ada, Ibu mau aku belikan?” jawabnya santai, seolah itu bukan masalah baginya.Kalau semua keuangan di tangan mertuanya, lalu putriku ini dapat apa? Sia-sia saja rumah besar dan segala perabotan mewah, kalau setiap hari makan hati, mau beli apa pun tak bisa, semua harus atas izin mertua, bisa mati berdiri kalau aku jadi Mia. Baru sehari tinggal di sini, sudah membuat kepalaku hampir pecah, belum lagi nasi bungkus yang dibawa Mia, entah beli di mana anak itu.Sudah lama sekali sejak usaha Galang maju, aku tak pernah makan nasi bungkusan seperti ini, Mia malah lahap sekali menyantapnya, seperti orang yang tak pernah makan berhari-hari, atau jangan-jangan memang bebar dia tak di beri makan selama ini. Bukan tidak mungkin kan? Kelua

  • Luka Seorang Istri   Pilihan yang Sulit

    "Dilra dan aku gak tinggal di sini, sementara ibu tinggal di sini dulu ya kami mau fokus punya momongan, lagi pula Dilra juga masih proses pemulihan, gak apa-apa ya Bu?”Seketika raut ibu berubah sendu, netranya mulai mengembun, dalam keadaan seperti ini, sungguh menatap matanya hanya akan membuatku makin tak bisa mengambil keputusan, Bagaimana pun aku tak punya jalan lain untuk masalah ini, Dilra dan Ibu belum bisa disatukan.“Lihat Ibu Lang! Kenapa kamu gak mau lihat Ibu?”Kalau sudah begini tak mungkin untuk tak segera beralih menatapnya.“Kamu tega sama Ibu Lang?” bibir Ibu bergetar menahan getir.“Bukan begitu Bu, Galang cuma minta pengertian dari Ibu, umur Galang sudah enggak muda lagi, Dilra juga iya, kami masih ingin punya banyak momongan,” ucapku kala itu. Entah alasan apa lagi yang nantinya akan kusampaikan, demi tak menyinggung perasaannya.“Ibu yang mengurus kamu dari kecil, apa sal

  • Luka Seorang Istri   Luka itu Masih Hidup

    “Sayang plis bangun, hey sayang.”Aku mengguncang tubuh Dilra sedikit keras, tapi dia tak mau bangun juga.Hingga akhirnya aku mengusap air ke wajahnya, barulah Dilra terbangun."Mas? Kok sudah pulang?"Aku memeluk perempuan itu dengan erat."Astagfirrullah Dil, kamu kok susah banget dibangunlan."Bukannya menjawab Dilra malah menatap lurus ke arah pintu, lalu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar, seakan dia tengah memeriksa keadaan sekitar.“Ini apa?” sekantung plastik putih berisi obat-obatan kudekatkan wajah Dilra.Dia masih tak mau menjawab.“Kamu masih rutin minum ini?”“Ibu ngomong apa sama kamu tadi Dil? Kalau kamu gak mau cerita, biar kutanyakan langsung pada Ibu.”Dilra dengan cepat melingkarkan tangannya ke pinggangku, mencoba mencegahku, yang sudah kepalang emosi, melihatnya yang sampai harus minum obat-obatan ini.“Biar Ibu aku suruh p

  • Luka Seorang Istri   Gara-Gara Keramas

    “Dil gak usah dipikirkan ya, soal omongan Ibu tadi.”“Ya, sudah biasa Mas, bahkan sejak dulu, makanya minta dibuatkan toilet di kamar, aku merasa enggak nyaman saja.”“Mulai besok biar Mas yang bantu mengeringkan rambut kamu, biar Ibu enggak iseng lagi sama kita, maaf ya, Ibu selalu saja bikin kamu enggak nyaman.”Meski wanita di hadapanku ini tersenyum, aku tahu dengan jelas, hatinya tidak begitu.“Besok aku paksa Ibu pulang, janji.”“Terserah.”Kau tahu artinya kata ini? Itu sama dengan iya.Wanita seringnya begitu, seolah-olah memberi pilihan tapi saat pilihannya jatuh tak sesuai dengan keinginannya, pasti timbul masalah baru, dan benar saja dia kembali ke kamar, lalu mendekati lemari.“Loh kok kamu beres-beres?”“Aku tahu Mas enggak bakal tega, bingung kan mah suruh ibu pergi pakai cara apa? Lebih baik aku dan Dion yang pergi dari sini.”&ld

  • Luka Seorang Istri   Mencari Jodoh

    “Jangan bilang kamu suruh Mas buat cari jodoh buat ibu.”“Kenapa enggak.”Aku sedikit terkekeh, memang tak salah, jika dipikirkan Ibu seakan menaruh cemburu tiap kali aku dan Dilra berdekatan.“Siapa ya yang cocok buat Ibu?”“Gak tahu Mas, tapi yang jelas harus laki-laki yang bisa membimbing Ibu ke jalan yang benar, harus punya dasar agama yang kuat.”“Kenapa kamu masih sebegitu peduli sama ibu, Dil?”“Aku pernah kehilangan orang tua Mas, rasanya gak bisa dijelaskan, apa lagi setelah tahu cerita tentang Ibu, yang di perlakukan enggak baik sama keluarga mertuanya, aku merasa nasibku sama dengan Ibu, tapi kalau suatu hari nanti kita punya menantu aku janji sama diriku sendiri, buat memperlakukan dia dengan baik.”“Harus sayang, jangan bikin anak kita harus memilih ibu atau istrinya, doakan aku panjang umur ya biar aku bisa tetap nafkahi seumur hidup kamu.”

  • Luka Seorang Istri   Celaka

    "Bagaimana? Ibu saya sudah ketemu?”“Belum Mas.”“Kemungkinan pencarian dilanjut besok Mas, karena sudah larut malam juga.”“Apa enggak bisa dilanjut sampai ketemu Pak?”“Maaf Mas terlalu bahaya kalau kami tetap memaksa, besok kami akan kerahkan relawan lebih banyak lagi.”Kau tahu saat itu, tubuhku bergetar hebat, ketakutan luar biasa memenuhi isi kepala, ketakutan akan kehilangan sosoknya, benar kata Dilra seberapa pun dalamnya luka yang ditorehkan sejak dulu, dia hanya korban, korban ketidakadilan seseorang. Bagaimana mungkin seseorang mampu membahagiakan orang lain, kalau sekali pun dia belum pernah mengecapnya, bagaimana jiwa-jiwa yang memendam lara menahun dituntut, harus mampu bersikap adil, sedang seumur hidupnya akrab dengan begitu banyak ketidakadilan. Saat itu tubuhku luruh ke tanah, kau benar Dilra, semua dibayar tunai hari ini juga, dia orang yang tadi siang kubentak, telah

  • Luka Seorang Istri   Luka itu Belum Sembuh

    Luka itu belum sembuh, dia berbohong menutupi sendiri lagi seperti dulu, agar semuanya terlihat baik-baik saja, seringnya dia memikirkanku, ingin membuatku nyaman, untuk terus hidup berdampingan dengan Ibu, dia yang lebih memilih terluka seumur hidup sedang aku masih ragu, ragu untuk menyelamatkan hidupnya lagi dan lagi.~“Sayang kita pindah rumah lagi?”“Iya sayang, gak apa-apa ya, Mas bosen pengen cari pengalaman baru.”“Gak apa-apa sih, tapi kok ngedadak banget, Ibu Mia juga udah di kabarin, kalau kita mau pindahan?"Aku tersenyum padanya, jelas sengaja tak kubari mereka, kalau Ibu tahu bisa saja dia menyusul kita seperti dulu.“Udah.”“Sayang, soal urusan kerjaan aku bagaimana? Masih 2 minggu lagi.”“Kamu kerjakan dulu setelah itu baru kita pindah rumah.”“Iya sayang, terus Ibu kenapa gak pulang ke sini, dia masih di rumah sakit apa di mana?&r

  • Luka Seorang Istri   Rindu

    Mia mengundangku untuk bergabung di siaran langsungnya hanya butuh persetujuan maka wajahku akan ikut muncul di layar ponselnya. “Abang doakan dari sini Dek.” Kuketikan pesan itu di kolom komentar, tinggal tekan tombol kirim, maka pesannya akan muncul, dan tentu Mia akan tahu, ini kali pertama setelah 3 bulan aku bertukar komentar dengannya. “Sayaaaang,” suara Dilra terdengar nyaring memanggilku. Aku hampir terperanjat, karenanya aku refleks menyembunyikan ponsel ke bawah bantal, Dilra juga terkejut, dia melempar tatapan heran melihat wajahku yang gugup. “Kenapa? Ada apa sih di hapenya Mas, sampai kaget begitu?” “Gak ada apa-apa sayang.” “Aku sama Dion udah siap loh dari tadi nungguin Mas gak turun-turun, katanya mau lari pagi, kasihan loh dia udah pakai sepatu segala.” “Iya sayang, ayo pergi sekarang.” Dilra tersenyum, senyum yang begitu hangat dan manis, senyum yang hampir tak pernah bisa kunikmati saat dia dengan keluargaku saling berbagi tempat tinggal. Hari ini aku

Latest chapter

  • Luka Seorang Istri   Ending

    Saat merasakan tubuhnya mulai bergetar Dilra segera menepi. Untunglah Ilham sigap mengambilkan air untuknya. “Maaf bikin kalian repot.” “Sudah tugas kami menjaga Ibu,” kata mereka kompak. Adam baru saja menyusul ke sini, karena penasaran melihat Ilham berlarian di tengah kebun. Dilra menatap hamparan kebun nanas miliknya dengan mata nanar. “Panggil Bi Nunik ke sini ya. Aku kayaknya enggak kuat jalan sendiri,” ucapnya lemah. “Bi Nunik lagi nyusul ke sini Bu, tadi ikut panik juga lihat Ilham lari.” “Ayo, Bu. Saya bantu jalan sampai rumah.” “Makasih, Bi.” “Di rumah sudah saya siapkan makanan, Bu. Kesukaan Ibu semua, coba dimakan sedikit-sedikit. Biar ada tenaga.” “Nanti saya makan, kalau perut saya enakkan. ‘Kan sayang makanan enak yang Bibi masak, malah dimuntahkan lagi.” Dilra masih saja mencoba tersenyum pada Bi Nunik, meski saat itu dadanya semakin sesak. Sampai-sampai mereka terpaksa menghentikan jalannya.

  • Luka Seorang Istri   Tunggu Aku

    “Ibu, mau ke mana?”“Nyusul Pak Adam.”“Enggak usah, tunggu di mobil saja. Paling lagi diberi penyuluhan sama satpam, sebentar lagi pasti balik.”Dilra tak mampu menutupi kekhawatirannya. Bukan hanya pada Adam juga pada nasibnya dan anak-anak. Pikirannya carut marut, menerka-nerka, siapa kemungkinan yang ingin mencelakakannya.Sebelum pergi ke luar kota dia sempatkan untuk kembali ke rumah lamanya. Melepas rindu juga untuk beberapa barang yang akan dia butuhkan. Langkahnya pelan memandangi setiap sudut rumah beserta isinya, sementara anak-anak berlarian ke ruang bermain. Mengumpulkan barang mereka, sebanyak mungkin. Tiba di depan pintu kamarnya langkahnya terhenti saat mendapati seseorang baru saja masuk tanpa mengetuk. Rupanya Mbak Rina, dia menghampiri majikannya, saling memeluk melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa.Wanita itu mulai mengajak tuannya beristirahat di dalam kamar. Namun, sebelum pergi, d

  • Luka Seorang Istri   Waspada

    Ruangan pengap dan lembap berukuran 3x3 dengan dinding yang sebagian berlumut, juga langit-langit yang berlubang menandakan rumah ini memang sudah lama tak terjamah. Pencahayaan yang hanya mengandalkan dari senter, membuatnya semakin suram. Hari ini bahkan harus menjadi saksi biksu, pertumpahan darah yang tak bisa dielakkan lagi. Sorot mata membunuh itu masih menatap tajam pada perempuan yang meringkuk seraya memegangi perutnya. Pakainya telah berubah warna menjadi merah darah. Sayup-sayup terdengar kata tolong keluar dari bibirnya yang memucat.“Sudah kukatakan jangan mengusikku, apalagi dia!” Suara bariton kini mendominasi ruangan. Lengan yang berlumur darah itu mencengkeram dagu, wanita lemah di depannya, memaksa agar dia melihat bagaimana perbuatannya membuat wanita yang berada dalam pangkuannya tergeletak tak berdaya.“Aku enggak akan segan, bahkan untuk menghabisimu.” Wanita itu ingin bicara, tetapi rasa sakit di bagian perut membuatnya te

  • Luka Seorang Istri   Nekat

    “Loh, Mas mau ke mana?”“Makasih buat infonya, tolong kabari saya kalau Dilra hubungi kamu.”Tanpa persiapan apa pun Galang pergi ke kota Bandung. Untunglah di perjalanan dia sempat tertidur sebentar, setidaknya tenaganya sedikit memulih.“Pak kalau mau tidur enggak apa-apa. Nanti saya bangunkan kalau sudah sampai Bandung," kata Demian, salah satu staff di kantornya.“Enggak perlu, barangkali saya lihat anak istri saya di jalanan.”“Tapi mata Bapak kelihatan capek.”“Enggak apa, saya baik-baik saja.”Galang tetap membuka matanya lebar-lebar. Menengok ke kiri dan kanan dengan gelisah. Sayangnya yang di cari tak ada di sini. Dia benar-benar hanya membuang waktu.Minggu berlalu Galang masih berada di kota kembang. Seperti orang gila dia terus mencari keberadaan anak dan istrinya. Selama di sana dia menetap di rumah Ibu Rima. Malam hari dia baru pulang untuk tidur, l

  • Luka Seorang Istri   Tetaplah Seperti Ini

    Esok hari Galang terbangun, namun tak mendapati Dilra di sampingnya. Dia turun untuk mencari, rupanya Dilra tengah di dapur.“Sayang, masih terlalu pagi kok udah masak aja.”“Lagi kepengen aja, aku buat rendang.”“Tahu aja makanan kesukaan, Mas.”“Makanya itu karena masaknya makan waktu, jadi aku mulainya lebih awal.”Galang meletakkan wajahnya di bahu Dilra yang terbuka, wanita itu memakai daster yang mengekspose kedua bahunya yang putih mulus tanpa celah. Tak cukup sampai situ, Galang melingkarkan perutnya di perut Dilra.“Jangan begini.”“Habisnya kamu bikin Mas pengen nempel terus.”Dilra hanya tersenyum, lekas dia berbalik, sebelum pria itu membuatnya harus kembali mandi.“Mas, belum subuh ‘kan?”

  • Luka Seorang Istri   Ada Apa denganmu?

    Aku hanya diam menikmati suasana kota di sore hari. Sampai kami tiba di lampu merah, untungnya jalanan belum terlalu padat, ini masih pukul 4 sore setengah jam lagi mungkin akan berbeda.Motor menepi di dekat alun-alun, di sini cukup ramai.“Enggak apa-apa ‘kan duduk di sana sebentar ya.” Aku menunjuk pada bangku di taman.“Memangnya kenapa, di mana pun jadi, Mas. Ayo,” ajaknya. Aku masih menggenggam lengan Dilra. Kami duduk menikmati pemandangan anak-anak remaja yang tengah bermain skate board.“Tinggal dulu ya, Mas mau beli minum buat kamu.” Di sana Dilra lebih banyak diam, hanya bicara tiap kali aku menanyakan sesuatu. Aku masih belum menyerah, mencoba mengalihkan perhatiannya pada beberapa remaja yang berpakaian ala korea. Mereka sepertinya sedang shooting video. Orang-orang ramai berkeremun di dekat anak-anak itu. Aku bisa melihat Dilra pun sesekali terkekeh melihat aksi para penari yang begitu en

  • Luka Seorang Istri   Kencan

    “Aku yang egois mengedapankan perasaanku meski itu menyakiti Ayah. Aku yang membuatnya meninggal, Ren.” Dilra masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kamu yakin ingin meninggalkan suamimu?” tanya Irene.“Harus, Ren. Cepat atau lambat.”“Sanggup?” bukannya menjawab Dilra malah menangkupkan wajahnya pada ke dua telapak tangan.“Yakinkan dirimu, Dil. Bisa jadi kalau Ayah masih hidup dia akan merestui hubungan kalian. Selama melihat putrinya bahagia.”“Enggak mungkin, Ayah membenci Mas Galang dan keluarganya. Dia bahkan memilih mati jika aku nekat rujuk, tapi Allah … memanggilnya lebih dulu,” katanya. Dilra terisak, ah andai aku tidak sedang menyamar sudah kupeluk dia. Saat itu ponsel Dilra berdering. Sepertinya panggilan dari anak-anak.“Loh, memangnya Papah pergi ke mana? Bunda enggak pergi sama Papah kok,” kata Dilra.Gawat. Sepertinya aku

  • Luka Seorang Istri   Niat Sesungguhnya

    Hari yang ditunggu tiba. Sekalinya dapat job malah di luar kota dengan 2 lokasi berbeda. Sebenarnya aku ingin ikut tetapi di akhir bulan. Kantor selalu banyak pekerjaan. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tadi pagi saat Dilra berpamitan. Sesungguhnya aku ingin sekali menahannya. Namun, itu sama saja membuatnya lari dari tanggung jawab. Jam makan siang tiba entah ini teleponku yang ke berapa. Dilra hanya tertawa melihatku terus menerus menghubunginya lewat sambungan video.“Aku masih sendiri, Mas. Enggak ada siapa pun, paling nanti ada Irene yang temani aku,” katanya. Aku hanya tersenyum lalu kembali mematikan telepon. Ingin sekali kutanya kapan dia akan bertemu Hiro, tetapi aku takut dia kira aku begitu protektif. Ini hari pertama dia bekerja seharusnya aku mendukungnya.“Pak, permisi, Ehem!” Ternyata seseorang baru saja berdehem. Itu Vina sekretari

  • Luka Seorang Istri   Mas Izinkan

    Setahuku akan ada petugas keamanan yang berkeliling setiap 3 jam sekali apalagi setelah keributan yang terjadi di rumahku kemarin siang, keamanan kompleks pasti lebih diperketat. Jadi kurasa kami tak perlu capek-capek mengusirnya. Sudah pasti dia akan kembali di usir. Entah tadi malam dia ke mana, hingga sepagi ini sudah ada di depan rumah. “Mas, lebih cepat dikit,” kata Dilra. “Santai ajalah Dek, kenapa juga harus buru-buru,” sahutku. Andai saja aku bisa melambatkan waktu rasanya aku ingin selalu di sampingmu Dil. Setelah mengutarakan keinginanmu untuk kembali bekerja. Hatiku selalu was-was, seolah kamu akan pergi jauh meninggalkanku dan anak-anak. “Kenapa berhenti, Mas?” kata Dilra. Di depan kami ada sebuah tanah lapang yang cukup besar. Dilra langsung turun lantas memeriksa keadaanku. Dia pikir aku selemah itu. Kalau memang khawatir harusnya kamu di rumah saja, jangan pernah bekerja. Biar aku saja. Aku bahkan rela bekerja lebih giat lagi, demi bisa m

DMCA.com Protection Status