“Enggak usah pulang! Nginep aja sekalian!” Begitu pesannya tiap kali aku telat pulang. Kami berkenalan dalam waktu dekat, lalu memutuskan menikah dalam kurun waktu 4 bulan. Dulu sebelum menikah tuturnya lembut dan santun. Namun, lambat laun semua berubah.
“Aku pulang jam 12 malam.”
“Sekalian enggak usah pulang,” balasnya lagi. Ini tahun kelima kami menikah. Dia selalu mengekang. Tidak ada lagi kebebasan juga kenyamanan dalam rumah. Hari-hari berlalu begitu. Dia yang hanya sibuk dengan anak-anak, juga ibu serta adikku yang selalu menuntut di belikan barang yang harganya fantastis. Dilra tak banyak bicara saat kami bertemu, mungkin sungkan dengan ibu. Bagaimanapun memarahi seorang anak di depan ibunya, mungkin dia tak berani. Saat marah dia akan mendiamkan seharian, hari demi hari sikapnya semakin menjadi. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi. Seingatku sebelum melahirkan istriku tak begitu menuntut menemani di samping. Namun, setelah ada anak sikapnya benar-benar berubah. Kadang muak. Mengingat perjuangannya saat melahirkan Dion, hati ini luluh kembali.
“Mau kamu apa? Kalau ada masalah dibicarakan baik-baik, aku juga capek kerja banting tulang, sampai rumah kamu diamkan aku, enggak jelas!” Aku sedang di bengkel, dan dia malah mengirimkan pesan lagi.
“Kalau enggak mau pulang, aku bunuh anak-anakmu sekarang juga.”
Gila, bagaimana aku tak panik. Setibanya di rumah beruntung tak ada yang terjadi Dilra malah duduk murung di pojok kamar seraya memeluk lutut, sedang anakku tertidur dengan pulas. Gegas kuperiksa deru nafasnya masih hidup. Syukurlah Dion masih bernafas.
“Kamu gila Dilra!” Dia justru makin terisak.
“Mana Ibu biar kuberikan anak-anak sama Ibu!” Aku segera menggendong Dion, tetapi Dilra langsung berdiri, dengan cepat merebut bayi itu.
“Kembalikan!” katanya.
“Kamu kalau mau mati, mati saja sendiri! Enggak usah bawa-bawa anak, dasar gila!” Aku kalap waktu itu, hingga tak sadar mengucapkan kalimat yang terlampau tajam.
“Kembalikan!” katanya seraya bersiap merebut Dion. Aku kembali menepis. Bagaimana bisa memberikan bayi ini pada orang yang jelas berniat membunuhnya. Sudah kurasakan ada yang tak beres dengan Dilra. Sejak dulu harusnya aku menyadari lebih awal.
“KEMBALIKAAAAAN, ITU ANAKKU!!!” Aku terenyak tanpa sadar bayi Dion telah berpindah ke tangannya. Untuk pertama kalinya Dilra berteriak. Bukan hanya itu, entah dapat kekuatan dari mana. Dia mampu mendorong tubuhku dengan kasar hingga keluar kamar. Tiba-tiba saja pintu kamar dibanting dengan keras. Dion tak lagi menangis. Aku yang panik kembali masuk ke dalam.
“Kamu apakan anakku?” Dilra hanya menatap datar, sementara itu bayi Dion tengah menghisap ASI. Usia Dion masih 4 bulan. Seharusnya Dion anak ke tiga kami, tetapi Tuhan berkehendak lain. Kedua anak kami telah menghadapnya lebih dulu. Dilra keguguran dua kali. Mengingat soal kegugurannya aku mulai mengaitkan peristiwa demi peristiwa. Dia sering menangis setelah keguguran yang kedua. Aku sempat menyalahkan atas kecerobohannya, bayangkan saja sudah dua kali kami kehilangan calon buah hati.
Hari itu kata Ibu, istriku jatuh dari motor, sudah kubilang padahal jangan pergi naik motor, tapi dia tetap nekat. Dia tak banyak protes waktu itu hanya diam dan sesekali menangis saat malam. Sejak saat itu dia jadi makin menutup diri, setahuku dia punya arisan setiap dua minggu sekali dengan tetangga tapi belakangan dia tak pernah ikut berkumpul lagi, puncaknya saat acara makan-makan dengan tetangga, ia memilih tinggal katanya tak enak badan padahal setahu dia baik-baik saja.
“Kalau ada masalah bisa enggak sih dibicarakan baik-baik.”
“Maaf.” Satu kata yang membuatku muak. Kutinggalkan dia sendiri. Tentunya setelah memastikan Dion tertidur dengan pulas. Hari ini kebetulan Ibu dan Mia tak ada jadi pasti berani berbuat kasar. Seraya menyesap batang rokok. Mencoba menetralkan pikiran yang mulai runyam. Dilra itu baik, tak menyangka dia berubah drastis macam sekarang. Keesokan paginya aku dibangunkan Ibu, nyatanya aku ketiduran di Sofa.
“Kenapa kamu tidur di sini?”
“Oh Galang ketiduran, Bu.”
“Istri kamu itu memang keterlaluan. Setiap Ibu keluar pasti ribut. Harusnya kamu tegur! Biar tahu cara menghormati suami.”
“Iya nanti aku tegur.”
“Sekarang ke mana dia, kenapa enggak ada di kamar?”
“Ke warung paling.”
“Baguslah, sini Ibu mau ngomong serius!”
“Kenapa, Bu?”
“Sini duduk, Lang!” ajak Ibu menyuruh duduk mendekat padanya.
“Kamu punya istri kurang ajar kayak gitu mending pisah!” kata Ibu. Lagi-lagi bayangan Dilra yang menahan sakit saat melahirkan wajah pucatnya aroma amis darah semua masih terekam jelas di benakku. Sudah kali ke tiga sejak menikah ibu selalu saja menyarankan kami untuk pisah. Aku tak banyak menanggapi tetapi kali ini agaknya Dilra sudah keterlaluan. Di bengkel pikiranku benar-benar kacau, apa harus kupertimbangkan permintaan ibu kali ini.
“Kenapa? Gelisah amat ?” sapa Ardi teman sekaligus partner bisnisku.
Kami membangun bengkel mobil ini berdua.
“Gue mau pisah.”
“Serius lo? Kenapa?” Ardi yang tadinya duduk di atas meja kerjanya kini berjalan mendekat ke arahku.
“Gue capek sama Dilra.”
“Perempuan kalem kayak Dilra masih aja kurang, apalagi bini gue.”
“Lo enggak tahu sikap Dilra ke gue bagaimana? Ketus, enggak kayak dulu lembut pemaaf, sekarang bikin enggak betah di rumah.”
Ardi malah tertawa mendengar keluhanku.
“Memangnya lo benar jadi suami?”
“Maksud lo?”
“Pikir sendiri, waktu lo susah Dilra ada tuntut lo minta duit lebih?”
“Enggak.”
“Nah sekarang pas lo kaya, dia nuntut minta duit, wajarlah.”
“Bukan masalah duit, kalau masalah itu dia enggak pernah tuntut, semuanya gue serahkan ke ibu.”
“Apa? Lo kasih ke siapa duitnya?”
“Ibu, kenapa? Mereka kan serumah, biar enggak ribet, lagian Dilra juga boros enggak pintar atur uang.” Ardi malah menggeleng kepala
“Bisa ya, memang bini lu enggak pernah protes?”
“Sering, tapi lebih pilih mengalah karena Ibu suka enggak mau kalah, ujung-ujungnya ibu malah bikin masalahnya jadi rumit.
“Parah! Berapa tahun lu rumah tangga sama Dilra?”
“5 tahun.”
“Selama itu juga lu menyakiti anak orang, harusnya lu bisa bedakan tanggung jawab sebelum dan setelah nikah, lu boleh kasih orang tua, tapi enggak pakai atur keuangan rumah tangga lu juga.”
“Tapi Dilra enggak pernah protes.”
“Gak pernah protes tapi dia sering marah buat urusan yang enggak jelas apa namanya?
Aku diam. Memikirkan Dilra yang memang berubah pemarah terlebih sejak aku membuat keputusan untuk mengajak Ibu turut serta mengatur keuangan kami. Awalnya memang Dilra yang mengatur semuanya sayang hanya bertahan 3 bulan setelah itu. Mengingat Dilra yang juga baru saja keguguran, aku mempercayakan semuanya pada ibu termasuk keuangan kami dan itu berlanjut sampai hari tak pernah terlintas kalau itu menyakiti hati Dilra. Dia memang kerap protes tapi seperti tak benar-benar menuntut untuk kembali mengambil kendali, aku jadi tak terlalu mengindahkan permintaannya.
“Di.”
“Apa lagi?”
“Istri lo pernah enggak sih kayak melamun terus sering murung, bahkan kayak menutup diri.”
“Kagaklah bini gue, setiap hari ada saja maunya enggak pernah bisa diam. Tugas gue cuma bisa menuruti kemauannya dari pada kena amuk.”
“Takut istri lu ya?”
“Mending gue takut istri dari pada bini seteres. Sudah ah gue mau kerja.”
“Sialan, lo pikir Dilra seteres.”
“Ya lo pikir sendiri, orang seteres awalnya dari apa coba? Kebanyakan beban, dipendem sendirian.”
Kenapa rasanya seperti di tampar. Semua yang diucapkan Ardi itu begitu menyinggungku. Tak mau buang waktu aku segera pulang ke rumah saat jam istirahat. Entah siapa yang memarkir motor sembarangan persis di depan rumah, siapa gerangan yang mampir. Aku mengintip lewat celah pagar, mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Dilra menyerahkan uang pada pria berkemeja itu. Lalu pria itu menyerahkan sobekan kecil dari bukunya. Begitu berbalik ternyata itu Pak Rudi. Bank keliling harian yang biasa meminjami Ibu-ibu sekitar rumahku, tetapi itu dulu saat di rumah yang lama. Entah kenapa dia bisa kemari. Jadi Dilra diam-diam meminjam uang tanpa sepengetahuanku?"Dil, siapa tadi? Bank keliling ‘kan?” tanyaku. Tatapan Dilra langsung berubah tak suka.“Untuk apa pinjam-pinjam segala, itu riba!” sentakku kala Pak Rudi, sudah memacu motornya.“Enggak pernah dikasih uang ya pinjam,” jawabnya datar. Tidak tampak raut bersalah sama sekali, malah
“Ibu enggak salat?” tanyaku.“Oh iya, Ibu lupa.”“Ya sudah salat dulu!”“Nanti saja sudah terlanjur juga, lihat! Sudah jam 5.” Begitulah Ibu setiap kali diminta ibadah alasannya banyak. Aku menatap lembut, tanpa bicara apa pun. Berharap dia mengerti dan mau menunaikan kewajibannya segera.“Ibu juga belum mandi, kotor, bau masa salat enggak mandi.”“Enggak mandi juga boleh, kalau waktunya sudah mepet Bu.”“Enggak ah, mana bisa begitu, enggak sah salatnya.”“Bu ….”“Nanti Ibu salat magrib Lang, sudah ya, Ibu mau ke kamar dulu.”“Mia, kamu salat sana!”“Aku mau ke kamar dulu, Bang!”“Mi kamu sudah gede loh, masa salat saja harus diingatkan terus.”“Mia nanti salat di kamar saja.”“Bener ya?” Mia mengangguk, lalu setengah ber
“Aku mau tidurkan Dion, biar aku yang cuci piring! Kamu jangan cari perkara pakai cuci segala, aku sudah capek Mas, jangan bikin aku jadi bahan gosip orang sekampung! Terima kasih sudah membantu tapi lain kali enggak usah,” katanya seraya berjalan meninggalkanku sendiri di dapur. Sungguh bagaimana bisa dia bicara seperti itu padaku, kenapa menghadapi wanita serumit ini, aku hanya berniat membantunya dan dia malah takut jadi bahan gosip sekampung, apa maksudnya. Sudahlah toh tidak tiap hari. Aku putuskan untuk mengerjakan semuanya, mencuci piring bukan perkerjaan yang sulit juga.“Kamu kenapa cuci piring sih, Lang? Istrimu itu ke mana, apa saja yang dia lakukan dari tadi, sampai piring bekas makannya dicucikan kamu?”“Ya sudah sih Bu, enggak tiap hari ini. Dion juga tadi rewel, kasihan Dilra belum makan juga dari tadi.”“Itu nasi di piring bekas siapa?”“Tadinya mau di makan tapi malah tumpah soalnya Di
“Mau kutemani?” tanyanya.“Enggak usah, kalau kamu enggak ikhlas.”“Ikhlas itu soal hati, tahu apa Mas soal itu, ayo pergi minta maaf.”“Kamu bilang, Ibu menghinamu lalu sekarang mau minta maaf, apa namanya kalau bukan munafik Dil?” Dilra malah tertawa, dia terus tertawa sampai aku yang melihatnya merasa ketakutan sendiri. Dan kau tahu apa yang selanjutnya terjadi, dia terus tertawa hingga tanpa sadar air mata telah mengalir membasahi pipinya.“Dil, kamu baik-baik saja kan?”“Ya,” tawanya langsung berhenti, begitu saja, sontak membuat jantungku seperti berhenti berdetak.“Ayo minta maaf,” ajaknya lagi, kali ini Dilra mengusap pelan jejak basah bekas linangan air matanya, tangannya langsung melingkar di lenganku, menariku keluar kamar, hingga mendekat ke arah tangga, kami berhenti, itu pun karena aku menahannya.“Dil gak usah, cukup! Biar Mas aja yang minta maaf.” Perlahan Dilra melepas lingkaran tangannya.Matanya kembali berembun, kau tahu apa yang pal
Hari berlalu, aku pergi ke kantor seperti biasanya, sayangnya kelakuan Ardi hari ini sungguh membuatku jengkel. Dia berisik sekali terus menelepon karyawan yang berjaga di depan sampai mendekati jam pulang. Dia masih saja menelepon, tampak gelisah sekali.“Apa sih, Di. Berisik tahu, anak orang lu suruh bulak-balik naik turun dari pagi sampai sore, nunggu apa?”“Bini gue ulang tahun, Ini masalahnya udah pesan kue, sampai sekarang belum sampai juga, padahal sudah sore, kan panik gue.”“Lagian kenapa pesan di situ, toko roti juga banyak. Itu depan sana enggak lihat?” Aku menunjuk pada bangunan toko roti yang berada tak jauh dari kami. Ruangan ini berada di lantai tiga jadi cukup berdiri saja, semua bangunan di sekitar sudah pasti terlihat.“Ini kuenya beda, pas di belah keluar duitnya."“Lagian lu kenapa pesan kue macam itu?”“Yang penting bini gue seneng. Pasti nanti dia enggak nyangka dalemnya
“Mas ambilkan makan, ya?” “Aku belum masak.” “Ya sudah kita makan di luar.” Dia menggeleng. “Kenapa? Enggak baik menunda buat buka puasa.” “Mas saja yang makan di luar aku buka di rumah.” “Katanya enggak masak, mau makan apa?” “Mie instan banyak di dapur, aku bisa makan itu.” “Sayang, dengar, mie instan enggak baik buat kesehatan apalagi buat Ibu menyusui, butuh banyak nutrisi.” Dilra menggeleng lagi. “Kenapa? Biar aku di rumah saja.” “Ya sudah kita order go food saja bagaimana?” “Buat Mas saja, aku enggak usah.” “Mana bisa begitu sayang, sudah kalau enggak mau biar Mas pesankan sekarang. Kita batalkan dulu puasanya, Mas ambilkan minum sebentar ya.” “Terima kasih, Mas.” Kuusap rambutnya pelan, lalu pergi ke bawah mengambil air. Aku berpikir dia akan menunggu di ranjang sampai aku datang lagi dengan air, nyatanya Dilra malah memunguti barang-barang yang bercecer
“Dil, jangan pergi, jangan pergi Mas mohon.” “Mau apa lagi aku di sini Mas, sudah cukup kalau enggak ada kepercayaan di antara kita untuk apa hidup bersama. Kamu hanya percaya Ibumu, aku ini istri, Mas pikir aku suka diperlakukan begini, enggak!” “Lalu kenapa kamu diam saja selama ini?” “Demi anak, aku ingin anak dari kamu. Setelah ini aku tak peduli lagi, hidup saja bersama Ibumu, aku muak!” Koper itu sengaja dia banting ke bawah, hingga menimbulkan bunyi gebrakan cukup keras, kemudian dengan cepat membawa Dion dalam gendongannya. “Dil Mas mohon jangan pergi, oke kamu butuh uang ini semuanya pegang semuanya Dil, mulai sekarang biar semuanya kamu yang atur.” Kuserahkan dompet pada Dilra. Sudahlah aku tak peduli lagi dengan uang. Untuk apa aku punya banyak uang kalau harus kehilangan istri. Rasanya aku tak akan sanggup. Apalagi Dion, bayi yang sudah kunantikan sejak lama, bagaimana bisa dia bawa pergi. “Lepas!” Dilra menepis. Ibu keluar dari ka
"Di depan Mas ke sana saja.” Kutinggalkan mobil di jalanan,mengabaikan bunyi klakson yang terus saja bersahutan.“Dilra!”Ya Tuhan, Dil. Perempuan itu melompat saat jarakku dengannya hanya tinggal beberapa meter lagi. Allahu akbar, bayinya pun ikut terjun bersamanya. Lututku mendadak lemas, lalu luruh ke aspal begitu saja. Orang-orang berkerumun, sedang di bawah … aku tak sanggup menyaksikannya.“Bang bangun dulu, Bang.” Seseorang menepuk pundakku ada yang mencoba menguatkan. Sebagian lagi malah berbisik dengan nada cemooh. Di dunia ini memang selalu punya dua sisi. Aku tak bisa seperti ini. Aku berniat turun ke bawah, meski melewati rerumputan dan tebing terjal. Bagaimana bisa kubiarkan jasad Dilra dan Dion tergeletak di bawah jalan tol. Orang-orang itu sudah melarangku, katanya bahaya. Andai saja kalian di posisik. Apa kalian akan berpikir dua kali untuk tidak turun. Seseorang telah menutup jenazah Dilra dengan daun. Banyak
Saat merasakan tubuhnya mulai bergetar Dilra segera menepi. Untunglah Ilham sigap mengambilkan air untuknya. “Maaf bikin kalian repot.” “Sudah tugas kami menjaga Ibu,” kata mereka kompak. Adam baru saja menyusul ke sini, karena penasaran melihat Ilham berlarian di tengah kebun. Dilra menatap hamparan kebun nanas miliknya dengan mata nanar. “Panggil Bi Nunik ke sini ya. Aku kayaknya enggak kuat jalan sendiri,” ucapnya lemah. “Bi Nunik lagi nyusul ke sini Bu, tadi ikut panik juga lihat Ilham lari.” “Ayo, Bu. Saya bantu jalan sampai rumah.” “Makasih, Bi.” “Di rumah sudah saya siapkan makanan, Bu. Kesukaan Ibu semua, coba dimakan sedikit-sedikit. Biar ada tenaga.” “Nanti saya makan, kalau perut saya enakkan. ‘Kan sayang makanan enak yang Bibi masak, malah dimuntahkan lagi.” Dilra masih saja mencoba tersenyum pada Bi Nunik, meski saat itu dadanya semakin sesak. Sampai-sampai mereka terpaksa menghentikan jalannya.
“Ibu, mau ke mana?”“Nyusul Pak Adam.”“Enggak usah, tunggu di mobil saja. Paling lagi diberi penyuluhan sama satpam, sebentar lagi pasti balik.”Dilra tak mampu menutupi kekhawatirannya. Bukan hanya pada Adam juga pada nasibnya dan anak-anak. Pikirannya carut marut, menerka-nerka, siapa kemungkinan yang ingin mencelakakannya.Sebelum pergi ke luar kota dia sempatkan untuk kembali ke rumah lamanya. Melepas rindu juga untuk beberapa barang yang akan dia butuhkan. Langkahnya pelan memandangi setiap sudut rumah beserta isinya, sementara anak-anak berlarian ke ruang bermain. Mengumpulkan barang mereka, sebanyak mungkin. Tiba di depan pintu kamarnya langkahnya terhenti saat mendapati seseorang baru saja masuk tanpa mengetuk. Rupanya Mbak Rina, dia menghampiri majikannya, saling memeluk melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa.Wanita itu mulai mengajak tuannya beristirahat di dalam kamar. Namun, sebelum pergi, d
Ruangan pengap dan lembap berukuran 3x3 dengan dinding yang sebagian berlumut, juga langit-langit yang berlubang menandakan rumah ini memang sudah lama tak terjamah. Pencahayaan yang hanya mengandalkan dari senter, membuatnya semakin suram. Hari ini bahkan harus menjadi saksi biksu, pertumpahan darah yang tak bisa dielakkan lagi. Sorot mata membunuh itu masih menatap tajam pada perempuan yang meringkuk seraya memegangi perutnya. Pakainya telah berubah warna menjadi merah darah. Sayup-sayup terdengar kata tolong keluar dari bibirnya yang memucat.“Sudah kukatakan jangan mengusikku, apalagi dia!” Suara bariton kini mendominasi ruangan. Lengan yang berlumur darah itu mencengkeram dagu, wanita lemah di depannya, memaksa agar dia melihat bagaimana perbuatannya membuat wanita yang berada dalam pangkuannya tergeletak tak berdaya.“Aku enggak akan segan, bahkan untuk menghabisimu.” Wanita itu ingin bicara, tetapi rasa sakit di bagian perut membuatnya te
“Loh, Mas mau ke mana?”“Makasih buat infonya, tolong kabari saya kalau Dilra hubungi kamu.”Tanpa persiapan apa pun Galang pergi ke kota Bandung. Untunglah di perjalanan dia sempat tertidur sebentar, setidaknya tenaganya sedikit memulih.“Pak kalau mau tidur enggak apa-apa. Nanti saya bangunkan kalau sudah sampai Bandung," kata Demian, salah satu staff di kantornya.“Enggak perlu, barangkali saya lihat anak istri saya di jalanan.”“Tapi mata Bapak kelihatan capek.”“Enggak apa, saya baik-baik saja.”Galang tetap membuka matanya lebar-lebar. Menengok ke kiri dan kanan dengan gelisah. Sayangnya yang di cari tak ada di sini. Dia benar-benar hanya membuang waktu.Minggu berlalu Galang masih berada di kota kembang. Seperti orang gila dia terus mencari keberadaan anak dan istrinya. Selama di sana dia menetap di rumah Ibu Rima. Malam hari dia baru pulang untuk tidur, l
Esok hari Galang terbangun, namun tak mendapati Dilra di sampingnya. Dia turun untuk mencari, rupanya Dilra tengah di dapur.“Sayang, masih terlalu pagi kok udah masak aja.”“Lagi kepengen aja, aku buat rendang.”“Tahu aja makanan kesukaan, Mas.”“Makanya itu karena masaknya makan waktu, jadi aku mulainya lebih awal.”Galang meletakkan wajahnya di bahu Dilra yang terbuka, wanita itu memakai daster yang mengekspose kedua bahunya yang putih mulus tanpa celah. Tak cukup sampai situ, Galang melingkarkan perutnya di perut Dilra.“Jangan begini.”“Habisnya kamu bikin Mas pengen nempel terus.”Dilra hanya tersenyum, lekas dia berbalik, sebelum pria itu membuatnya harus kembali mandi.“Mas, belum subuh ‘kan?”
Aku hanya diam menikmati suasana kota di sore hari. Sampai kami tiba di lampu merah, untungnya jalanan belum terlalu padat, ini masih pukul 4 sore setengah jam lagi mungkin akan berbeda.Motor menepi di dekat alun-alun, di sini cukup ramai.“Enggak apa-apa ‘kan duduk di sana sebentar ya.” Aku menunjuk pada bangku di taman.“Memangnya kenapa, di mana pun jadi, Mas. Ayo,” ajaknya. Aku masih menggenggam lengan Dilra. Kami duduk menikmati pemandangan anak-anak remaja yang tengah bermain skate board.“Tinggal dulu ya, Mas mau beli minum buat kamu.” Di sana Dilra lebih banyak diam, hanya bicara tiap kali aku menanyakan sesuatu. Aku masih belum menyerah, mencoba mengalihkan perhatiannya pada beberapa remaja yang berpakaian ala korea. Mereka sepertinya sedang shooting video. Orang-orang ramai berkeremun di dekat anak-anak itu. Aku bisa melihat Dilra pun sesekali terkekeh melihat aksi para penari yang begitu en
“Aku yang egois mengedapankan perasaanku meski itu menyakiti Ayah. Aku yang membuatnya meninggal, Ren.” Dilra masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kamu yakin ingin meninggalkan suamimu?” tanya Irene.“Harus, Ren. Cepat atau lambat.”“Sanggup?” bukannya menjawab Dilra malah menangkupkan wajahnya pada ke dua telapak tangan.“Yakinkan dirimu, Dil. Bisa jadi kalau Ayah masih hidup dia akan merestui hubungan kalian. Selama melihat putrinya bahagia.”“Enggak mungkin, Ayah membenci Mas Galang dan keluarganya. Dia bahkan memilih mati jika aku nekat rujuk, tapi Allah … memanggilnya lebih dulu,” katanya. Dilra terisak, ah andai aku tidak sedang menyamar sudah kupeluk dia. Saat itu ponsel Dilra berdering. Sepertinya panggilan dari anak-anak.“Loh, memangnya Papah pergi ke mana? Bunda enggak pergi sama Papah kok,” kata Dilra.Gawat. Sepertinya aku
Hari yang ditunggu tiba. Sekalinya dapat job malah di luar kota dengan 2 lokasi berbeda. Sebenarnya aku ingin ikut tetapi di akhir bulan. Kantor selalu banyak pekerjaan. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tadi pagi saat Dilra berpamitan. Sesungguhnya aku ingin sekali menahannya. Namun, itu sama saja membuatnya lari dari tanggung jawab. Jam makan siang tiba entah ini teleponku yang ke berapa. Dilra hanya tertawa melihatku terus menerus menghubunginya lewat sambungan video.“Aku masih sendiri, Mas. Enggak ada siapa pun, paling nanti ada Irene yang temani aku,” katanya. Aku hanya tersenyum lalu kembali mematikan telepon. Ingin sekali kutanya kapan dia akan bertemu Hiro, tetapi aku takut dia kira aku begitu protektif. Ini hari pertama dia bekerja seharusnya aku mendukungnya.“Pak, permisi, Ehem!” Ternyata seseorang baru saja berdehem. Itu Vina sekretari
Setahuku akan ada petugas keamanan yang berkeliling setiap 3 jam sekali apalagi setelah keributan yang terjadi di rumahku kemarin siang, keamanan kompleks pasti lebih diperketat. Jadi kurasa kami tak perlu capek-capek mengusirnya. Sudah pasti dia akan kembali di usir. Entah tadi malam dia ke mana, hingga sepagi ini sudah ada di depan rumah. “Mas, lebih cepat dikit,” kata Dilra. “Santai ajalah Dek, kenapa juga harus buru-buru,” sahutku. Andai saja aku bisa melambatkan waktu rasanya aku ingin selalu di sampingmu Dil. Setelah mengutarakan keinginanmu untuk kembali bekerja. Hatiku selalu was-was, seolah kamu akan pergi jauh meninggalkanku dan anak-anak. “Kenapa berhenti, Mas?” kata Dilra. Di depan kami ada sebuah tanah lapang yang cukup besar. Dilra langsung turun lantas memeriksa keadaanku. Dia pikir aku selemah itu. Kalau memang khawatir harusnya kamu di rumah saja, jangan pernah bekerja. Biar aku saja. Aku bahkan rela bekerja lebih giat lagi, demi bisa m