Home / Romansa / Duda Tetangga / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Duda Tetangga: Chapter 11 - Chapter 20

44 Chapters

Ica Cemburu

Fariz kebingungan mendengar pertanyaan Caca yang begitu ingin tau siapa wanita yang barusan bertamu. Jika ia mengatakan wanita itu adalah Mama kandungnya, Caca pasti akan bingung dan menganggapnya pembohong. Karena selama ini Fariz selalu berkata bahwa Caca tak pernah memiliki mama sejak lahir. Bila tak menjelaskan sekarang, pasti Caca akan lebih kecewa bila mengetahuinya dari mulut Bella, langsung. Tanpa sadar Fariz menggaruk kepalanya yang tak gatal, sambil senyum ia menatap Caca dan Ica secara bergantian. Lalu sebuah ide jahil muncul begitu saja di kepalanya ketika untuk ketiga kalinya ia menatap wajah Ica yang sedang mengejeknya karena pertanyaan Caca. "Tanya Mama Ica aja, ya. Dia tau siapa itu Bella Ayunda," jawab Fariz sambil mengerling dan tersenyum jahil pada Ica.Antara sebal dan bahagia, gadis penderita Cataplexy itu melotot mendengar penyataan Fariz dengan senyum dan kerlingannya yang menggoda. Otak Ica tak dapat merespon rasa bahagia yang mene
Read more

Berkabung

Ruangan berdinding putih itu hanya boleh dimasuki oleh Ica, Fariz dan Dokter Rita. Pengunjung yang lain hanya boleh menunggu di luar pintu yang bertuliskan Ruangan ICU. Dari balik pintu, Bella dapat mengintip ada tubuh ringkih yang tengah terbujur lemah tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Tubuh tersebut dililit oleh selang infus dan kabel elektroda yang terhubung  ke monitor hemodinamik serta saturasi. Parameter di layar monitor menunjukan aktivitas denyut jantung di bawah 60. Angka yang tertera hanya 23.   Dokter Rita hanya menggeleng kepada Fariz yang tengah memeluk Ica.  "Sejak kapan kondisinya melemah seperti ini?" tanya Fariz. "Baru tadi pagi. Kankernya sudah menyebar ke jantung. Ica, ikhlasin Ibu, ya. Kami sudah nggak bisa berbuat apa-apa untuk kesembuhan Ibu." Mendengar kata-kata dari Dokter Rita, tangis Ica semakin menjadi
Read more

Amnesia Lakunar

Sudah ada lima menit, Caca duduk menyender di pintu kamar Ica. Anak itu menuggu sang Mama keluar dari kamarnya. Sesekali dari mulut kecilnya terdengar gumaman, "Mama Ica keluar, dong.""Caca mau main sama Mama Ica."  Meski tak terdengar suara isakan dari gumaman Caca, tetap saja bagi Fariz, suaranya terdengar seperti rengekan. Pikiran Fariz pun mulai disesapi rasa panik, ketika Caca kemabali bertanya kepadanya.  "Pa, Mama Ica nggak mati kan?" Mata mungil itu mulai berkaca-kaca. "Biar Papa yang bujuk, siapa tau Mama Ica mau keluar."  Pelan, Fariz mengetuk pintu kamar Ica sambil memanggil namanya. Tak ada respon dari dalam. Ketukan pun sedikit dikeraskan. "Ca, buka, dong. Sudah sore ini, kamu baik-baik aja, kan?" Masih tak ada respon. "Pa, dorong kencang aja pintunya." Caca memberi saran. "Ah, iya juga. Ca
Read more

Kiss

Sudah dua jam Ica pergi bersama Reno. Padahal lokasi pemakaman tidak begitu jauh dari kompleks rumah Ica, tapi kenapa mereka begitu lama untuk jiarah.  Caca sedari tadi sudah menanyakan di mana Mama Ica kepada Papanya. Membuat Fariz semakin pusing dibuatnya. Baru saja Fariz ingin menghubungi ponsel Ica untuk menyuruhnya segera pulang. Tiba-tiba terdengar suara motor dari luar. Gegas, Fariz berlari menuju teras. "Ica!" serunya sambil berlari menuju teras.Sesampainya di teras, ternyata tukang galon yang datang.  "Maman, Pak. Bukan Ica," jawab si tukang galon yang keheranan melihat wajah panik Fariz. Sambil menggedikan bahu, Maman si tukang galon pun lekas angkat kaki karena mendapati mata Fariz yang mendelik, kesal. Ah, sial! Fariz merutuk dalam hati kemudian tersenyum menyadari tingkahnya yang terlihat konyol dan berlebihan. Ia jadi terlihat sepe
Read more

Sengatan Listrik

"Papa sama Mama Ica lagi ngapain?" Suara Caca dari belakang menghentikan gerakan tangan Fariz yang mulai tak terkontrol memegang tengkuk Ica. Fariz terkejut, menarik bibirnya dari pagutan Ica. Wajah mereka berdua memerah. Sementara Ica tersenyum, ada darah yang menetes dari hidungnya.  Kilasan-kilasan memori terlintas di otak Ica saat mereka berciuman. Memberi informasi kilasan adegan saat Ica pertama kali bertemu dengan Fariz. Saat usianya lima tahun, lalu berlanjut ke potongan memori saat usia Ica delapan tahun. Ada pesta ulang tahun yang dibuat oleh ibunya, dan dihadiri oleh beberapa tamu undangan, salah satunya Fariz. Sahabat ibunya itu memberikan kalung kepada Ica sebagai kado ulang tahun.  Vina memakaikan kalung bermata Rubi itu ke leher putrinya sambil berseloroh, "Sepertinya, kamu akan benar-benar terikat pada putriku nanti."  "Ya, dia akan terikat menjadi
Read more

Pantaskah aku untuknya

Mata Fariz fokus membaca rekam medis yang ada di tangannya. Ada beberapa lampiran kertas dari laboratorium tes darah dan hasil MRI juga EEG. Remaja berbadan kurus yang ada di hadapan Fariz,  sesekali menggerakan bibirnya tanpa terkendali, dia juga mengedipkan mata sambil menatap Fariz. "Jadi, apakah anak saya bisa di operasi Dokter?" tanya ibu si remaja yang duduk di samping putranya. "Sepertinya tidak perlu operasi."  "Kenapa? Kemarin Dokter bilang ada gangguan di sistem saraf otaknya, ada yang tersumbat di kepalanya. Masa tidak bisa di operasi?"  Fariz mengangguk. "Iya, tapi saya mengatakan kemungkinan. Itu sebabnya kemarin Ica menjalani tes darah dan MRI." "Ica? Ica siapa Dok?" Sang ibu keherenan mendengar penuturan Fariz.  "Astagfirullah," gumam Fariz pelan,
Read more

Arrrgh!

Ica begitu bingung mendengar cerita dari Mba Wati, pegawai toko ibunya. Kenapa wanita berusia tiga puluhan ini mengatakan kalau dia sudah menikah dengan Om Duda tetangga sebelah rumahnya, yaitu Fariz. Sedangkan dari penjelasan Bang Reno berbeda. Reno mengatakan kalau Fariz dan Ica belum menikah. Keberadaanya di rumah Ica lantaran amanah dari ibunya yang telah menitipkan Ica kepada si Om tampan itu. "Kalau Mba Ica nggak percaya bisa cek buku nikahnya, toh," saran Wati. "Bang Reno bilang, buku itu dibuat oleh ayahnya agar warga tak menaruh curiga atas keberadaan Om Fariz di rumah, Mba."  "Bohong. Mas Reno itu berbohong." "Kenapa dia berbohong?" "Karena dia naksir sama Mba Ica." "Ica kan emang pacarnya Bang Reno." "Wes, angel ini." Wati menggaruk kepalanya yang tak gatal.  Meski Fariz sudah memberitahu Wati ten
Read more

Papa, lagi ngapain?

"Katanya kita suami istri, jadi wajar, lah, Ica tidur di sini," ucap Ica memberanikan diri. Tiba-tiba dia teringat pesan Wati untuk mengatakan hal tadi jika Om Fariz menanyakan kenapa dirinya berada di dalam kamar Fariz. Mata Ica sudah tak terpejam lagi. Bola mata indahnya menatap lurus Fariz dengan penuh keyakinan. Fariz yang ditatap Ica seperti itu menjadi salah tingkah. Fariz pun memutar tubuhnya membelakangi Ica. Dia tak ingin menatap gadis itu dengan kondisi seperti ini. Imannya mungkin saja kuat, tapi 'Amin'?  "Kok, diam? Kita suami istri, kan? Jadi wajar jika kita tidur dalam satu kamar siapa tau nanti ingatan Ica pulih jika kita melakukan hal yang biasa suami istri sering lakukan," oceh Ica santai. Kini Ica sudah duduk dengan santai di atas kasur. Meski bantal masih di dekapnya tapi kakinya sudah bebas berselonjor memarkan paha mulusnya. 
Read more

Ica Hamil?

Wati terlihat begitu gusar mendapati Ica yang terlihat murung sejak pagi. Bos nya itu menyuruhnya datang ke toko pagi sekali. Biasanya, toko beroprasi di jam sembilan, tetapi tadi pagi Ica menyuruhnya datang jam delapan. Sepanjang membuka toko Ica tak berhenti bercerita mengenai tamu wanita yang datang ke rumahnya pagi sekali. Diperhatikannya Ica, yang diam-diam mengusap air matanya menangis. Ica tak bisa melampiaskan kesedihannya karena ada Caca di sampingnya. Hari ini Caca libur sekolah, sehingga Ica membawanya ke toko.  Beberapa pelanggan yang datang membuat Wati mengurungkan niat untuk bertanya kepada Ica, kenapa ia bersedih. Meski sesekali terdengar suara benda dibanting dengan begitu keras. Sehingga para pembeli bertanya-tanya, siapa kiranya yang ada di dalam gudang. Wati hanya tersenyum sambil menjelaskan kalau Ica sedang bongkar muat bersama dua karyawan pria di gudang.  "Tapi Ujang
Read more

Tidak Ada Bayi

Ica berjalan begitu saja melewati Fariz, masuk ke dalam rumah dengan berpegangan pada lengan Reno. Wajahnya terlihat pucat dengan tangan yang memegangi perut. Sementara Caca langsung menghambur memeluk Fariz yang masih bingung melihat kondisi Ica. Tanpa aba-aba, Bu Herman menarik kemeja Fariz dan berbisik dengan nada mengancam. "Ica itu sudah saya anggap putri sendiri. Kalau gosip yang beredar benar adanya, saya minta kamu untuk mengakhiri perselingkuhan itu atau ceraikan Ica." Sejenak Fariz terdiam, tak mengerti harus menjelaskan apa kepada istri Pak RT ini. Namun tak begitu lama untuk terpaku, akhirnya Fariz tersadar dan ikut masuk ke dalam rumah. "Ica nya mana?" tanya Bu Herman kepada Reno yang sendirian di ruang tengah.  "Masuk ke dalam kamar, pingin sendiri katanya."  "Oh, ya sudah kita pulang s
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status