Home / Urban / Broken Wings / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Broken Wings: Chapter 61 - Chapter 70

82 Chapters

Gila Karena Cinta

Tidak pernah aku merasa setakut ini melihat Dendra. Tatapannya begitu mengintimidasi. Mengingatkanku pada sorot mata serigala yang hendak menerkam mangsa. Aku sudah pernah merasakan pengalaman antara hidup dan mati, tetapi berhadapan dengan Dendra seperti ini, membuat rasa takut saat menghadapi Nisya beberapa waktu lalu terasa tak ada apa-apanya.Kali ini tak terlihat peluang untuk melarikan diri karena Dendra memblokir jalan keluar. Aku beringsut mundur dengan tatapan terus waspada. Sialnya gerakanku tertahan karena mukena yang kupakai. Sekali lagi aku bermaksud berteriak minta tolong, tetapi lagi-lagi tak ada suara yang keluar. Bahkan suara jantungku lah yang terdengar lebih keras dari suaraku sendiri. "Kalau aku nggak bisa miliki kamu, yang lain juga nggak bisa," geram Dendra. Kali ini kemarahan terjejak di wajahnya. Sekonyong-konyong tubuh jangkungnya menerjang. Mengunci tubuhku di bawah tubuhnya. Aku memalingkan wajah saat wajahnya mendekat. "Kamu nggak ingat si
Read more

Lelah

Pagi ini aku terbangun dengan tubuh yang terasa linu semua. Meskipun semalam aku sempat tertidur, tak lebih karena fisikku sudah terlalu lelah menjalani hari kemarin. Lalu tiba-tiba saja aku teringat Rani. Dengan emosi yang mendadak kembali muncul, aku mengambil ponsel dan mengetikkan pesan pada mantan sahabatku itu. [Makasih ya, Ran. Karena lo sukses menghancurkan hidup gue dan keluarga Dendra. Ntar gue kirimin deh lo tiket VIP ke neraka.]Nomor Rani kublokir setelahnya. Masih belum percaya, persahabatan yang sudah terjalin belasan tahun hancur begitu saja. Aku masih belum mengerti apa alasan Rani bisa berbuat setega itu padaku. Ketukan pelan di pintu, memutus nelangsa yang kurasa. "Mei, udah shalat?" Terdengar suara Adrian di luar kamar, teredam oleh pintu. Segera bangkit dari duduk, melupakan sejenak rasa sakit hati dikhianati sahabat yang begitu kupercaya semenjak dulu. "Belum," jawabku begitu membuka pintu dan mendapati lelaki itu berdiri di depan s
Read more

I don't need any psycholog

"Mei ...." Aku membuka mata tatkala suara berat itu memanggil. Kulihat wajah teduh itu menatapku khawatir. "Kamu mimpi apa?"Aku mengerjap, mengusap wajah yang basah oleh keringat bercampur airmata. Memindai ke seluruh ruangan, tak ada siapapun selain aku dan Adrian. Tangisku kembali pecah saat mengingat betapa nyatanya mimpi barusan. Bahkan aku seakan merasakan embusan napas Dendra di kulitku. Adrian memelukku, berusaha menenangkan. Namun, rasa takut itu seakan enyah pergi. "It's okay, I'm here." Berkali-kali ia mengucapkan kalimat itu, hingga terdengar seperti mantra. Perlahan tangisku mereda. Sedalam itu rasa trauma yang kudapat akibat perlakuan Dendra. Malam ini aku memaksa Adrian untuk mengantarku pulang ke apartemen. Ingin mengemasi barang-barang yang akan kubawa pulang ke kampung, menjadi alasan. "Beres packing, kita balik ke sini lagi ya!" pungkas Adrian memberikan jalan tengah. "Aku khawatir kamu malah mimpi seperti tadi lagi," imbuhnya. Se
Read more

Healing

Kalimat "Safe flight." Dan sebuah kecupan ringan di sisi kepala, melepas kepergianku kali ini. Adrian melipat bibir dan melambaikan tangannya saat aku berbalik dan menarik koper ke pintu keberangkatan. Ada rasa berat yang kurasakan kali ini. Biasanya setiap hendak pulang menemui kedua orangtuaku, aku selalu bersemangat. Lagi, aku menoleh ke belakang, di mana Adrian tadi kutinggalkan. Lelaki itu masih di sana, berdiri menatap ke arahku. Dia kembali melambai saat aku menoleh, dan aku hanya membalas dengan anggukan pelan dan senyum tipis, kemudian kembali berbalik, kali ini dengan langkah cepat. Kurasakan seperti ada yang berdenyut nyeri begitu mengingat wajah Adrian saat melepasku tadi. Kembali aku menoleh ke belakang, lelaki itu masih di sana, memperhatikanku seperti saat tadi aku melangkah masuk, dan senyum itu masih terpatri di bibirnya. Bukan senyum yang biasa ia tunjukkan saat menyambut kedatanganku, tetapi senyum yang dipaksakan. Jika boleh sedikit berbesar kepala, aku meng
Read more

Pasangan yang tepat

Setelah menempuh perjalanan yang berbelok dan menanjak cukup tajam, melewati jalanan dengan pemandangan seolah berada di atas awan, akhirnya Uda Roni memarkirkan mobilnya di sebuah lahan parkir yang dikelilingi pohon pinus. Tempatnya tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa mobil yang terparkir di sana. "Uda mau ikut?" tanyaku sekedar berbasa-basi. "Indak usah, Uni. Awak¹ tunggu di sini saja. Takutnya ada kenalan yang lihat, malah salah paham," sahut Uda Roni dengan sopan. "Nanti duduk kepisah aja, daripada nunggu di sini," tawarku sekali lagi. Aku merasa sungkan membiarkan orang lain menunggu, walaupun memang jasanya sudah kubayar. "Nanti saya pesan kopi buat diminum di sini saja." Sekali lagi Uda Roni menolak tawaranku. "Oh, ok!" Aku menyerah. Jangan sampai lelaki itu malah salah paham, mengira aku menggodanya. Akhirnya aku meninggalkan Uda Roni sendirian di parkiran, berjalan ke arah bangunan kafe yang terbuat dari bahan-bahan dari alam. Bangunan berd
Read more

Healing time

Ketakutanku tak terbukti. Pagi ini aku terbangun dengan perasaan lebih ringan. Entah karena semalam aku telah menumpahkan semua tumpukan masalah yang kupendam sendirian pada kedua orangtuaku, atau karena telah berada jauh dari lokasi kejadian. Ya, semalam aku memutuskan untuk menceritakan pada ayah dan bundo tragedi yang menimpaku beberapa waktu lalu. Di mulai dari pertemuan dengan Dendra, peristiwa penusukan, hingga kejadian traumatis yang baru saja ku alami tempo hari. Tak lupa, kisah dramatis yang terjadi antara aku dan Keanu awal tahun lalu di London. Kedua orangtuaku tak berkomentar banyak. Bahkan ayah yang selama ini ekspresif mengungkapkan perasaannya pun bungkam setelah mendengar apa yang kualami. Entah apa yang ada dipikiran mereka saat ini. Namun, ada kilat kecewa yang kulihat dari sorot mata ayah. Apakah kecewa karena baru mengetahui kejadian yang hampir menghilangkan nyawaku itu, atau kejadian saat aku putus dengan Keanu. Entah, bagian mana dari ceritaku yang membua
Read more

Ayah yang selalu posesif

Seminggu sudah aku berada di kampung. Selama seminggu ini pula aku menghabiskan waktu bersama ayah. Lelaki yang menjadi cinta pertamaku itu, memiliki hobi baru yaitu bersepeda. Bahkan ayah bela-belain membelikanku sepeda sport baru, demi mengajakku mengunjungi beberapa tempat yang sudah ia masukkan wish list untuk ia kunjungi bersamaku. Kegiatan ini pula membuatku lupa dengan masalah yang tengah kuhadapi saat ini. Udara yang masih bersih dan sarat oksigen, seakan mampu membersihkan tumpukan racun yang telah mengendap bertahun-tahun di tubuhku. Hari ini ayah mengajakku bersepeda ke daerah yang banyak terdapat perkebunan kopi di kaki Gunung Sago. Tak jauh dari rumah kami, tetapi jalanan yang menanjak dan berbatu, cukup menguras tenagaku. "Di atas ada warung kopi enak," kata ayah sambil terengah mengayuh sepedanya. "Kopinya dari kebun kopi sendiri. Mungkin bisa jadi rujukan buat calon mantu ayah nanti," lanjut ayah sambil terkekeh. Dan entah kenapa, kalimat ayah sukses m
Read more

Mantan

"Ngapain kamu ke sini?" Reflek aku bertanya seperti itu pada lelaki yang tersenyum kikuk di hadapanku itu. Jelas sekali nada tak bersahabat dari suaraku saat menyapanya. Keanu membalas dengan senyum canggung. Wajahnya tak secerah dulu. Bahkan ada lingkaran hitam di sekitar mata yang terlihat cukup mengganggu. Satu lagi, tubuhnya jauh lebih kurus dari terakhir kali aku meninggalkannya saat di London. Terbersit rasa kasihan dalam hati. Namun, mengingat apa yang telah ia lakukan, terlepas itu khilaf atau apa, membuatku tak menginginkannya kembali. Toh, selama menjalani hubungan dengannya, ada perasaan tertekan yang kurasakan. Tidak seperti saat bersama Adrian, yang membuatku bisa menjadi diri sendiri tanpa khawatir dengan pendapatnya. Kehadiran Keanu kini tak lagi kuharapkan. "Mei? Siapa yang datang? Kok nggak disuruh masuk?" Langkah bundo terhenti saat melihat tamu kami pagi ini. Namun, dengan cepat bundo dapat mengendalikan keadaan dengan mengulas senyum ramah. "Wah! N
Read more

Unexpected Story

Ada sedikit kecanggungan yang kurasakan antara kedua orang tuaku dan Adrian setelah Keanu pergi. Aku berkali-kali menatap Adrian, memastikan lelaki itu baik-baik saja. Hei, laki-laki mana yang akan baik-baik saja ketika ia telah menempuh perjalanan ribuan kilo, bermaksud hendak melamar gadis yang ia cintai, yang terjadi malah bertemu dengan mantan sang kekasih. "Ya sudah, kapan orangtua Nak Adrian akan datang menemui kami?" Suara ayah membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada Adrian dengan mata membola. Tak menyangka ayah akan secepat ini menerima dan bertanya seperti itu. Bahkan ketika Keanu datang menemui mereka tahun lalu, ayah tampak masih agak keberatan dengan hubungan kami. "Uhm, sebenarnya orangtua saya sudah ada di kota ini, Om." Jawaban Adrian membuat mataku kembali membola. Aku melemparkan tatapan tak percaya ke arah lelaki yang tersenyum penuh arti itu. "Buat jaga-jaga kalau Om nanya seperti ini." Adrian tertawa gugup. Ayah mengangguk senang. "Ya, k
Read more

My Parents, My Hero

Aku tak menyangka bahwa persiapan pernikahan itu cukup melelahkan. Menguras emosi yang cukup banyak. Di tengah sibuknya persiapan pernikahan, aku juga harus menghadiri beberapa kali pemeriksaan kembali oleh kepolisian terkait kasusku dengan Dendra. Bolak-balik Jakarta-Padang, benar-benar membuatku lelah. Beruntung Adrian selalu ada, menyediakan bahu tempatku bersandar di kala emosiku berada pada titik terendah. Namun, satu hal membuat semangatku kembali bangkit adalah, persiapan pernikahan yang berjalan lancar tanpa hambatan. Benar-benar mulus. Mulai semenjak ayah memberi restu pada Adrian, pertemuan keluarga inti, pertemuan keluarga besar, pertemuan penentuan tanggal, dan segala pertemuan keluarga yang biasa rawan terjadi pertikaian karena ketidak sepakatan masalah adat, tak terjadi pada proses persiapan pernikahan kami. Bahkan semua pertemuan itu bisa dipadatkan dalam dua minggu. Sehingga persiapan masalah gedung dan semua tetek bengek lain yang harus disiapkan, bisa berjalan
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status