"Ngapain kamu ke sini?" Reflek aku bertanya seperti itu pada lelaki yang tersenyum kikuk di hadapanku itu. Jelas sekali nada tak bersahabat dari suaraku saat menyapanya. Keanu membalas dengan senyum canggung. Wajahnya tak secerah dulu. Bahkan ada lingkaran hitam di sekitar mata yang terlihat cukup mengganggu. Satu lagi, tubuhnya jauh lebih kurus dari terakhir kali aku meninggalkannya saat di London.
Terbersit rasa kasihan dalam hati. Namun, mengingat apa yang telah ia lakukan, terlepas itu khilaf atau apa, membuatku tak menginginkannya kembali. Toh, selama menjalani hubungan dengannya, ada perasaan tertekan yang kurasakan. Tidak seperti saat bersama Adrian, yang membuatku bisa menjadi diri sendiri tanpa khawatir dengan pendapatnya. Kehadiran Keanu kini tak lagi kuharapkan."Mei? Siapa yang datang? Kok nggak disuruh masuk?" Langkah bundo terhenti saat melihat tamu kami pagi ini. Namun, dengan cepat bundo dapat mengendalikan keadaan dengan mengulas senyum ramah."Wah! NAda sedikit kecanggungan yang kurasakan antara kedua orang tuaku dan Adrian setelah Keanu pergi. Aku berkali-kali menatap Adrian, memastikan lelaki itu baik-baik saja. Hei, laki-laki mana yang akan baik-baik saja ketika ia telah menempuh perjalanan ribuan kilo, bermaksud hendak melamar gadis yang ia cintai, yang terjadi malah bertemu dengan mantan sang kekasih. "Ya sudah, kapan orangtua Nak Adrian akan datang menemui kami?" Suara ayah membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada Adrian dengan mata membola. Tak menyangka ayah akan secepat ini menerima dan bertanya seperti itu. Bahkan ketika Keanu datang menemui mereka tahun lalu, ayah tampak masih agak keberatan dengan hubungan kami. "Uhm, sebenarnya orangtua saya sudah ada di kota ini, Om." Jawaban Adrian membuat mataku kembali membola. Aku melemparkan tatapan tak percaya ke arah lelaki yang tersenyum penuh arti itu. "Buat jaga-jaga kalau Om nanya seperti ini." Adrian tertawa gugup. Ayah mengangguk senang. "Ya, k
Aku tak menyangka bahwa persiapan pernikahan itu cukup melelahkan. Menguras emosi yang cukup banyak. Di tengah sibuknya persiapan pernikahan, aku juga harus menghadiri beberapa kali pemeriksaan kembali oleh kepolisian terkait kasusku dengan Dendra. Bolak-balik Jakarta-Padang, benar-benar membuatku lelah. Beruntung Adrian selalu ada, menyediakan bahu tempatku bersandar di kala emosiku berada pada titik terendah. Namun, satu hal membuat semangatku kembali bangkit adalah, persiapan pernikahan yang berjalan lancar tanpa hambatan. Benar-benar mulus. Mulai semenjak ayah memberi restu pada Adrian, pertemuan keluarga inti, pertemuan keluarga besar, pertemuan penentuan tanggal, dan segala pertemuan keluarga yang biasa rawan terjadi pertikaian karena ketidak sepakatan masalah adat, tak terjadi pada proses persiapan pernikahan kami. Bahkan semua pertemuan itu bisa dipadatkan dalam dua minggu. Sehingga persiapan masalah gedung dan semua tetek bengek lain yang harus disiapkan, bisa berjalan
Rasanya masih belum percaya. Setelah tiga bulan persiapan yang dikebut, kini aku duduk di samping Adrian yang berhadapan dengan ayah. Kulirik sekali lagi, laki-laki pertama dalam hidupku itu. Dari sorot matanya, aku dapat menangkap emosi yang tertahan. Lalu, saat puncak dari semua persiapan ini pun tiba, ayah dengan suaranya yang bergetar, mengucapkan kalimat ijab dan menggenggam tangan Adrian erat. Aku tak betah berlama-lama menatap mata ayah yang telah dilapisi cairan bening. Akhirnya kalimat ijab yang diucapkan ayah dengan suara bergetar itu, disambut dengan lancar dan lantang oleh Adrian. Semua tamu undangan yang menghadiri acara akad kami, serentak mengucapkan hamdallah setelah mendengar ucapan sah dari dua orang saksi. Meskipun aku dan Adrian telah terbiasa duduk berdampingan seperti ini, tetapi ada rasa yang berbeda kurasakan setelah kalimat suci itu terucap dari bibir lelaki yang selalu tersenyum bersahaja itu. Lega, mungkin itu kata yang lebih tepat mendeskripsikan per
Pagi ini aku terbangun dalam pelukan hangat Adrian. Untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun ini aku tertidur dalam pelukan lelaki. Terakhir kali aku tidur dalam pelukan ayah, ketika berusia sepuluh tahun. Setelah itu, ayah mulai membatasi diri, mengajarkanku untuk tidak asal tidur dengan laki-laki, karena aku seorang gadis. Padahal waktu itu aku masih belum mengerti kenapa ayah berkata demikian. Dulu ayah hanya berkata, tidak boleh laki-laki dan perempuan yang belum menikah untuk tidur bersama. Dan, kala itu aku masih ingat bahwa aku berkata pada ayah, "Kalau begitu, Mei mau menikah dengan ayah, biar bisa tidur dipeluk ayah terus." Sepolos itu aku dulu, dan sesuka itu dulu aku tidur dalam pelukan ayah. Kembali lagi pada pagi pertamaku sebagai perempuan yang telah berstatus menjadi nyonya. Tubuh Adrian hangat, dan aku membenamkan wajahku di dadanya. Rasanya nyaman dengan aroma parfum khasnya yang masih menempel di kulit. Tak sadar aku menghidu leher lelaki yang masih terlelap itu.
Harusnya saat ini aku tengah menikmati masa-masa berbulan madu bersama Adrian, jika tidak terhalang masalah kasus dengan Dendra. Kenapa pertemuan kembali dengan laki-laki itu malah memberiku banyak masalah. Pertama, hampir saja nyawaku melayang karena amukan istrinya. Yang kedua, kehormatanku yang hampir terenggut. Aku mendesah pelan, memijit pelipis yang terasa berdenyut. "Capek ya?" Aku menoleh ke arah suara lembut dan hangat Adrian. Menyambut satu gelas kopi dengan asapnya masih mengebul, yang dia sodorkan. Sudah hampir lima jam aku berada di sini, di ruang pemeriksaan. Ditanya pertanyaan yang sama berulang-ulang. Membosankan sekaligus melelahkan. "Kapan beresnya ini, Dri?" Aku mulai mengajukan keluhan. Selama bersama lelaki ini, aku begitu mudahnya mengungkapkan keluh kesahku. Seakan ada magnet yang menarik semua keluhan itu keluar. Tak seperti diriku selama ini yang menahan apa pun masalah yang kurasakan seorang diri. Ada yang bilang, ketika kita jatuh cinta, kita akan mudah me
Harusnya hari ini aku menghadiri acara sidang putusan kasusku dengan Dendra, tetapi dari semenjak selesai salat subuh, tubuhku seakan tak mampu berkompromi. Rasa mual yang tak tertahankan berkali-kali membuatku harus berlari ke kamar mandi. Sementara itu, Adrian dari semalam tidak kembali ke apartemen karena tengah sibuk mempersiapkan acara grand opening kafe barunya yang tinggal beberapa hari lagi. Rasa pusing dan mual yang kurasa sedari pagi, membuat tubuhku seakan kehilangan tenaga. Setelah menelpon pengacara dan mengatakan bahwa tak sanggup mengikuti acara persidangan hari ini, aku kembali merebahkan tubuh. Setelah kepala kembali menyentuh bantal, rasanya tubuhku mulai membaik. Entah berapa lama tertidur, ketika aku merasakan kecupan lembut dan sedikit geli menusuk kulit pipi. Saat membuka mata, kulihat Adrian mengulas senyum, wajahnya terlihat letih dengan rambut halus yang belum dicukur menghiasi dagu, dan sisi rahangnya. "Kamu baru pulang?" tanyaku dengan suara sedikit serak
Senyum tak berhenti nengulas di bibir Adrian semenjak kami keluar dari ruang praktek dokter kandungan tadi. Janin yang kini tumbuh di rahimku masih berumur enam minggu, masih sebesar kacang. Aku harus memperhatikan asupan makanan yang bergizi agar janin ini tumbuh sempurna. Mengenai masalah mual yang belakangan mulai terasa, menurut dokter selagi aku tidak sampai lemas, seharusnya tak masalah. Karena itu hal wajar terjadi pada trimester pertama kehamilan. Kebahagiaan jelas terpancar pada raut wajah Adrian saat mengetahui janin di rahimku tumbuh sesuai usianya. Bahkan setiap kali berhenti di lampu merah, Adrian memandang takjub foto hasil USG calon bayi kami di layar ponselnya. "Sepertinya aku akan terlupakan setelah ini," godaku pura-pura merajuk, tatkala Adrian kembali menatap layar ponselnya. Adrian terkesiap, menoleh ke arahku dengan cepat. "Ah! Maaf!" Adrian meletakkan ponsel, tertawa gugup sembari menggaruk tengkuk, seakan menyadari kelakuannya yang membuatku merasa tersingkir
Ternyata masa-masa kehamilan pada trimester pertama tidak semulus bayanganku. Hampir setiap waktu aku merasa ingin mengeluarkan seluruh isi perut. Di saat perut sudah tak berisi apapun, rasa mual itu malah semakin menjadi. Serba salah, diisi salah, tak diisi pun makin parah. Adrian yang merasa khawatir dengan kondisiku, memilih untuk menemaniku di apartemen. Segala pekerjaan ia kerjakan di apartemen. Hanya sesekali ia keluar, itu pun tak lama. Bahkan Adrian berkali-kali menelpon dokter kandungan, menanyakan apakah kondisiku seperti itu normal. Adrian yang kukenal tenang selama ini, berubah penuh kecemasan. Wajahnya hampir sepanjang waktu terlihat tegang. "Mei, mau aku buatkan sesuatu?" Adrian kembali melongokkan kepala di ambang pintu kamar.Aku hanya menggeleng lemah. Entah pertanyaan yang keberapa kali ia ajukan semenjak tadi pagi. Aku menyuruhnya keluar, karena entah kenapa belakangan ini aroma tubuhnya selalu saja membuatku mual. Meski terlihat sedih, tetapi Adrian menuruti keing
Setelah tersiksa oleh rasa sakit selama lebih dari 12 jam, akhirnya makhluk mungil yang kami tunggu pun hadir dengan tangisnya yang lantang membelah malam. Hampir tengah malam kala tubuh mungil yang masih merah itu di telungkupkan di dadaku, menyesap makanan pertamanya dari tubuhku. Tidak hanya aku, Adrian juya terlihat sangat lelah. Rambutnya sudah tak lagi serapi saat datang, karena telah menjadi korban jambakanku ketika proses melahirkan. Ah! Maafkan aku suamiku. Namun, segala kesakitan dan rasa lelah itu terasa terbayar saat melihat mulut mungil itu mengecap-ngecap di dadaku. "Thanks, Mei," bisik Adrian mengecup lembut sisi kepalaku. Tiba-tiba seperti ada tetesan hangat jatuh di pipiku. Aku mendongak, mendapati mata Adrian yang basah, tetapi dengan senyum mengulas di bibirnya. "Makasih sudah berjuang untuk makhluk terindah ini," imbuhnya saat melihatku mengerjap-ngerjap menahan haru menatap ke arahnya. Aku masih merasa tak percaya saat menelisik wajah mungil yang dengan rakusnya
Memasuki hari ketujuh setelah aku dan Adrian keluar dari rumah sakit. Adrian sudah mulai kembali bekerja, meskipun dia belum bisa menyetir sendiri untuk berangkat ke kantor. Pak Isa—sopir keluarga ibu mertuaku—yang diperbantukan untuk menjemput dan mengantar suamiku itu ke kantor. Berhubung kantor Adrian merupakan perusahaan keluarga, jadi Adrian tidak terlalu dituntut untuk hadir sesuai jadwal kantoran. Dia bisa berangkat agak siang, dan pulang lebih awal. Sehingga lumayan menghemat tenaganya selama pemulihan, karena tidak terlalu lama terjebak di jalan. Tadinya ayah yang menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Adrian menolak karena merasa sungkan. Pagi ini setelah melepas Adrian berangkat ke kantor, aku memilih berjalan-jalan di taman apartemen, ditemani oleh bundo. Sebenarnya aku masih agak takut berada di luar ruang seperti ini. Rasa trauma itu masih ada. Terkadang, aku kembali mengalami mimpi buruk. Terbangun di tengah malam dan berteriak kesetanan kala tak kudapati Adrian bera
Hari ini Adrian sudah dipindah ke ruang rawat biasa. Aku masih saja terus mengucap syukur dalam hati. Kendati Adrian belum sepenuhnya bisa banyak gerak, tetapi melihat senyum tersungging di bibirnya, sudah membuat rasa syukurku berlipat. Dengan persetujuan dokter juga aku bisa dirawat dalam satu ruangan dengan Adrian, sehingga kami tak terlalu saling mencemaskan satu sama lain. Karena dengan kondisi seperti itu Adrian masih saja mencemaskan kandunganku, dia bahkan sampai lupa luka yang tengah ia derita kala melihatku harus meminimalisir gerak. "Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" See? Meskipun dia masih terbaring lemah, tetapi kalimatnya masih mengkhawatirkanku. "Tekanan darahnya sudah normal. Hanya kadar protein urin masih agak tinggi, besok istri bapak sudah bisa rawat jalan," terang dokter yang tengah memeriksa keadaan Adrian. Kulihat bibir Adrian menyunggingkan senyum. Lebih terlihat lega, setelah seharian tadi dia berkali-kali bertanya apa benar aku merasa baik-baik saja.
Pihak rumah sakit akhirnya mengizinkanku untuk mengunjungi ruang rawat Adrian. Aku tak dapat membendung tangis begitu melihat tubuh lelaki yang kucintai itu terbujur dengan berbagai alat bantu di tubuhnya. Adrian belum sadarkan diri, meskipun telah melewati masa kritis akibat syok karena kehilangan banyak darah. Kantong darah yang masih menggantung pada salah satu sisi bed, menandakan seberapa banyak darah yang hilang diakibatkan oleh luka itu. Menurut cerita ibu mertuaku, tusukan Dendra mengenai paru-paru Adrian, sehingga tak hanya kehilangan banyak darah, Adrian juga harus menjalani operasi untuk mengeluarkan darah yang mengumpul di paru-paru, serta menjahit luka tersebut. Keluarga Adrian saat ini tengah memperkarakan kasus ini ke jalur hukum. Meskipun Dendra dibebaskan pada kasus penyerangan di kafe Adrian dengan alasan kondisi kejiwaan yang tidak stabil, keluarga Adrian tak peduli. Mba Olivia—kakak tertua Adrian— bersikeras untuk memperkarakan Dendra dan menuntut agar laki-laki i
Hari ini aku dan Adrian pergi ke pusat perbelanjaan, untuk mencari perlengkapan menyambut anggota keluarga baru kami. Sekalian mencari barang yang kuperlukan saat persalinan nanti. Masih banyak barang-barang persiapan persalinan yang belum kubeli. Selama memutari beberapa toko yang menjual perlengkapan bayi, tangan Adrian tak lepas menggenggam tanganku, seolah takut aku terlepas dan hilang di pusat perbelanjaan ini. Ia hanya melepas genggaman ketika aku mulai memilih barang-barang yang hendak kubeli dari rak toko. "Ini lucu nggak, Dri?" tanyaku memamerkan tuxedo berukuran mini di depan dada. Ya, bayi kami diprediksikan berjenis kelamin laki-laki, sehingga pakaian yang menarik perhatianku selama berbelanja adalah pakaian untuk bayi laki-laki. "Lucu." Adrian setuju dengan pendapatku. "Ah! Tapi harganya lumayan," ujarku ketika melihat tag harga sambil cengengesan. "Beli saja kalau suka."Aku menggeleng. "Tampaknya belum perlu bayi kita memakai tuxedo, kata Mbak Salma pakaian bayi yan
Bandung dan setumpuk rindu di hati yang sulit kulerai. Rindu yang kurasa kali ini bukan lagi milik Dendra, tetapi rindu akan hal-hal yang pernah aku lakukan di sana tanpa Dendra. Pagi ini bersama Adrian, aku memilih pergi dengan kendaraan umum menuju tempat penjual kupat tahu yang kuidamkan itu. Adrian tampak agak kurang setuju dengan usulku, mengingat kondisiku yang terkadang tiba-tiba turun jika terlalu lelah. "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja," ujarku berusaha meyakinkan suami protektif yang berkali-kali bertanya apakah aku tidak merasa pusing, karena angkot yang kami tumpangi berhenti terlalu lama menunggu penumpang. Berbeda jauh dengan saat aku masih kuliah dulu, angkot menuju pasar tradisional tujuan kami ini jarang sekali ngetem lama seperti ini. Mungkin karena pada saat aku kuliah dulu belum ada transportasi online, sehingga angkutan kotalah yang menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi. Jarak tempuh dari tempat kami menginap ke tempat yang kami tuju sebenarnya hanya
Ternyata masa-masa kehamilan pada trimester pertama tidak semulus bayanganku. Hampir setiap waktu aku merasa ingin mengeluarkan seluruh isi perut. Di saat perut sudah tak berisi apapun, rasa mual itu malah semakin menjadi. Serba salah, diisi salah, tak diisi pun makin parah. Adrian yang merasa khawatir dengan kondisiku, memilih untuk menemaniku di apartemen. Segala pekerjaan ia kerjakan di apartemen. Hanya sesekali ia keluar, itu pun tak lama. Bahkan Adrian berkali-kali menelpon dokter kandungan, menanyakan apakah kondisiku seperti itu normal. Adrian yang kukenal tenang selama ini, berubah penuh kecemasan. Wajahnya hampir sepanjang waktu terlihat tegang. "Mei, mau aku buatkan sesuatu?" Adrian kembali melongokkan kepala di ambang pintu kamar.Aku hanya menggeleng lemah. Entah pertanyaan yang keberapa kali ia ajukan semenjak tadi pagi. Aku menyuruhnya keluar, karena entah kenapa belakangan ini aroma tubuhnya selalu saja membuatku mual. Meski terlihat sedih, tetapi Adrian menuruti keing
Senyum tak berhenti nengulas di bibir Adrian semenjak kami keluar dari ruang praktek dokter kandungan tadi. Janin yang kini tumbuh di rahimku masih berumur enam minggu, masih sebesar kacang. Aku harus memperhatikan asupan makanan yang bergizi agar janin ini tumbuh sempurna. Mengenai masalah mual yang belakangan mulai terasa, menurut dokter selagi aku tidak sampai lemas, seharusnya tak masalah. Karena itu hal wajar terjadi pada trimester pertama kehamilan. Kebahagiaan jelas terpancar pada raut wajah Adrian saat mengetahui janin di rahimku tumbuh sesuai usianya. Bahkan setiap kali berhenti di lampu merah, Adrian memandang takjub foto hasil USG calon bayi kami di layar ponselnya. "Sepertinya aku akan terlupakan setelah ini," godaku pura-pura merajuk, tatkala Adrian kembali menatap layar ponselnya. Adrian terkesiap, menoleh ke arahku dengan cepat. "Ah! Maaf!" Adrian meletakkan ponsel, tertawa gugup sembari menggaruk tengkuk, seakan menyadari kelakuannya yang membuatku merasa tersingkir
Harusnya hari ini aku menghadiri acara sidang putusan kasusku dengan Dendra, tetapi dari semenjak selesai salat subuh, tubuhku seakan tak mampu berkompromi. Rasa mual yang tak tertahankan berkali-kali membuatku harus berlari ke kamar mandi. Sementara itu, Adrian dari semalam tidak kembali ke apartemen karena tengah sibuk mempersiapkan acara grand opening kafe barunya yang tinggal beberapa hari lagi. Rasa pusing dan mual yang kurasa sedari pagi, membuat tubuhku seakan kehilangan tenaga. Setelah menelpon pengacara dan mengatakan bahwa tak sanggup mengikuti acara persidangan hari ini, aku kembali merebahkan tubuh. Setelah kepala kembali menyentuh bantal, rasanya tubuhku mulai membaik. Entah berapa lama tertidur, ketika aku merasakan kecupan lembut dan sedikit geli menusuk kulit pipi. Saat membuka mata, kulihat Adrian mengulas senyum, wajahnya terlihat letih dengan rambut halus yang belum dicukur menghiasi dagu, dan sisi rahangnya. "Kamu baru pulang?" tanyaku dengan suara sedikit serak