Home / Urban / Broken Wings / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Broken Wings: Chapter 51 - Chapter 60

82 Chapters

Sahabat Pengkhianat

"Kenapa lo?" tanya Rani saat dia sudah kembali ke meja. "Lo masih suka kontak sama Dendra?" Aku balik bertanya dengan tatapan nanar. Tak menyangka sahabat yang kukenal baik selama ini akan berkhianat. "Uhm, nggak kok." Rani mengendikkan bahu. Kemudian duduk dengan ekspresi biasa di kursinya. Terbukti bahwa Rani tak jujur. Jika dia memang tidak pernah berhubungan lagi dengan Dendra, kenapa pesan dari Dendra tadi menunjukkan kalau lelaki itu mengetahui rencana kami bertemu hari ini. "Lo tau nggak, pas kita habis liat apartemen kemarin, Dendra juga ada di sana. Tu orang kayak hantu juga ya. Gentayangin gue mulu." Aku berusaha memancing dan melihat reaksi Rani. Sekilas kulihat Rani mengerjap sebelum dia berkata, "Dia ngapain di situ?""Nggak tau, gue nggak nanya ...." Kalimatku terhenti saat melihat sosok itu mendekat ke meja kami. "Terus sekarang orangnya juga lagi datang ke sini tuh!" aku menunjuk dengan dagu ke arah yang kutuju. "
Read more

Kejutan

Aku mematut kembali penampilan di cermin. Rambutku telah tergelung rapi dalam tatanan rambut frenchtwist, model gelungan rambut standar ketika sedang bertugas. Tas hitam kecil dari kulit telah tersampir di bahu. Koper pun telah siap. Aku melenggang turun ke lobi, menyeret koperku. Hari ini aku akan berangkat ke London. Sengaja tak kuberi tahu Keanu perihal jadwalku hari ini, berniat memberinya kejutan. Alamatnya telah kukantongi, hasil mengorek informasi dari Sarah, adik perempuannya. Aku juga mewanti-wanti agar dia tidak memberi tahukan Keanu perihal keberangkatanku hari ini ke negara asal Pangeran Charles tersebut. "Bismillah." Kurapalkan kembali doa, ketika pesawat bergerak pelan di taxi way untuk persiapan ke landasan pacu. 
Read more

Goodbye

Aku sudah menyusun banyak rencana untuk mengunjungi beberapa tempat bersama Keanu ketika berada di London. Suasana romantis setiap sudut kota ini seharusnya bisa menjadi tempat melepas rindu, tetapi Tuhan tidak mengizinkan segala anganku terwujud. Sekali lagi, aku terlalu pongah sebagai manusia, masih saja lupa meminta Sang Pemilik hati, agar menjaga hati Keanu untukku. Semalaman menangis, membuat kepalaku pagi ini terasa begitu berat bagai ditindih ribuan beban. Luka itu kembali hadir di tempat yang sama. Terasa lebih perih. [Mei, kamu menginap di mana? Apa kita bisa bertemu?] sebuah pesan masuk dari pria itu. [Sudah, tidak usah bertemu lagi, Kean. Tidak ada gunanya lagi.] Aku membalas pesannya dengan
Read more

Tunas yang Terabaikan

"Lalu, apakah kamu tidak takut kalau aku terkesan menerimamu hanya sebagai pelarian?" pertanyaan itu tiba-tiba saja meluncur tanpa berpikir terlebih dahulu. "Kalau begitu aku akan menjadi tempat pelarian yang nyaman untukmu. Biar kamu betah." Cengiran lebar menghiasi wajah teduhnya. "Ha-ha bisa saja kamu! Masalah hati jangan dibuat main-main lagi, ah!" sergahku. Namun, tidak dapat dipungkiri, hatiku memang terasa nyaman setiap kali bercerita dengan pria ini. Itulah mengapa beberapa bulan yang lalu aku merasa ketar-ketir. Ketika mulai menyadari rasa terhadapnya lebih kuat dari pada rasa terhadap Keanu. Mata hatiku tertutup
Read more

Krisis Kepercayaan

Baru saja aku melangkahkan kaki keluar dari pintu kedatangan dan mengaktifkan ponsel, telepon dari Adrian masuk."Mei, coba lihat ke sebelah kiri," perintahnya. Serta merta aku menoleh ke arah yang ditunjukkannya, mencari tau apa yang harus kulihat.Sekitar beberapa meter dari tempatku berdiri, di sebuah meja restoran siap saji, di pelataran luar terminal kedatangan, kulihat pria itu melambaikan tangan dengan wajah cerah.Aku bergegas mendekatinya, "Hei! Kamu ngapain di sini?" tanyaku ketika telah berada tepat di hadapannya."Nungguin, kamu." senyum khasnya kembali terukir, dengan satu sudut bibir yang terangkat lebih tinggi dari sudut yang lain.Seperti biasa, dia menarikkan sebuah kursi untuk kududuki."Mau makan dulu?""Enggak, masih kenyang," tolakku. Sejujurnya selera makanku sedang mengalami penurunan. Padahal biasanya, walaupun selesai makan, aku masih bisa menghabiskan dua porsi burger ukuran jumbo. "Ngapain nungguin aku?" m
Read more

Tentang Masa Depan

Adrian pamit pulang setelah jam menunjukkan pukul delapan malam. Setelah mendengar ceritaku yang berulang-ulang tentang rasa sakit hatiku terhadap Keanu dan Dendra. Tentang bagaimana rasa luka ini dikhianati sahabat sendiri. Adrian mendengarkannya dengan khusuk tak menjeda kalimatku dengan nasihat apapun. Dia tau, aku sedang butuh didengarkan. "Istirahat, ya!" ucap Adrian saat kuantar ke pintu. "Beneran nggak perlu aku anter ke bawah?" tanyaku untuk memastikan kembali. "Nggak usah, kamu pasti capek." Adrian tersenyum lembut. "Makasih, Dri." Lalu entah dari mana keberanian ini datang, tiba-tiba saja aku mendekatkan diri dan melabuhkan kecupan ringan di pipinya. Well, mungkin bagi sebagian orang hal itu biasa, tetapi bagiku hal itu rasanya sangat memalukan. Adrian terpana sambil mengusap pipinya. Wajahnya pun menunjukkan rasa terkejut akibat perbuatanku tadi. Aku buru-buru mengucapkan salam dan menutup pintu, malu rasanya melihat dia menat
Read more

Belum Bisa Berterus Terang

"Bundo, aku mau berhenti kerja." kuutarakan rencanaku pada Bundo untuk melihat bagaimana reaksi ibuku. "Apa Keanu yang meminta?"Aku menghela napas panjang. Bingung bagaimana menjelaskan pada Bundo tentang kandasnya hubunganku dengan pria itu. Saat ini aku belum siap mengatakannya pada kedua orangtuaku, karena belum menemukan alasan selain perselingkuhan yang dilakukan Keanu. Aku memilih untuk menyimpannya untuk saat ini, lalu mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya nanti. "Mei?" Panggilan Bundo menyadarkanku bahwa panggilan masih tersambung. "Bukan. Aku sudah merasa capek kerja tak tentu waktu seperti ini. "Kenapa, Bun?" Kali ini suara ayah yang terdengar di samping Bundo. "Mei mau berhenti kerja." Terdengar Bundo menyahut. "Mei, apa rencanamu setelah berhenti kerja?" Ayah mengambil alih percakapan. "Untuk saat ini mau menikmati dulu jadi pengangguran, Yah." Aku terkekeh setelah mengatakan hal itu. "Pulang
Read more

Terkuak

Aku baru sampai di apartemen ketika bundo menelpon. Buru-buru kuterima panggilan bundo sambil merebahkan diri di sofa. "Mei, apa benar kamu putus sama Keanu?" cecar Bundo begitu panggilan tersambung. Sontak aku menegakkan tubuh dengan memijat pelipis. Suara bundo terdengar kurang bersahabat. Tak biasanya seperti itu. "Bundo tau dari siapa?" tanyaku takut-takut. "Tadi ayah menelpon Om Danu, katanya kalian enggak jadi ngelanjutin hubungan kalian." Suara bundo kali ini terdengar agak tertekan. Aku menelan ludah. Bingung bagaimana cara memulai untuk menceritakannya. "Iya, Bun ... sebenarnya awal tahun, aku kebagian jadwal ke London ...." Lalu cerita tentang berakhirnya hubunganku dengan Keanu, kuceritakan secara jujur pada bundo. Tak ada yang kututupi. Aku tidak ingin mereka mengira nanti Adrian yang menjadi penyebab rusaknya hubunganku ketika aku mengenalkan pria itu kepada mereka. "Apa bukan salah paham saja? Kamu kadang suka memutuskan sesuatu secar
Read more

Memantapkan Hati

Adrian datang ke apartemenku tepat waktu. "Lagi ada masalah apa?" tanyanya begitu melihatku. Laki-laki itu terkadang seperti cenayang, ia bisa membaca pikiranku hanya dalam sekali lihat. Namun, aku tak serta merta mengutarakan apa yang mengusik pikiranku sedari tadi. "Nggak ada apa-apa," tepisku sambil lalu, ke pantry hendak menyiapkan minuman hangat untuknya. Adrian duduk di bangku pantry, menopang dagunya dengan tangan. Menatapku yang sibuk mengambil teh dan gula dari kabinet. "Tapi itu kerutan di jidat makin keliatan." Adrian terkekeh. "Ah! Kenapa selalu ketauan gini sih!" Aku ikut tertawa, menyadari bahwa aku tidak bisa menyembunyikan apa pun dari lelaki itu. Apa memang dia bisa membaca pikiranku? Adrian masih saja menatapku lekat. "Ada apa? Mau cerita?"Aku menghentikan kegiatanku menyeduh teh. Berbalik menatap Adrian. Lelaki itu tampak dengan sabar menungguku membuka suara. "Aku sekelas baking sama Rani." Aku menjeda, menunggu reaksi darinya.
Read more

Mantan Yang Belum Move-on

Pertemuan kedua kelas baking, aku maupun Rani masih tak bertegur sapa. Rasanya sangat aneh, saat orang yang biasa menjadi tempatmu berbagi cerita selama ini, kini terasa bagai orang asing. Kali ini aku duduk berjauhan dengan Rani. Beruntung salah seorang teman kelas bakingku mengajak diskusi mengenai praktek kami hari ini. Sehingga pikiranku tak terlalu fokus pada masalah dengan Rani. Hari ini materi praktek kami adalah membuat adonan puff pastry. Adonan yang pengerjaannya memakan tenaga dan waktu ekstra saat melipat dan menggilas adonannya. "Lemes amat kayaknya, Mbak," ledek Daniel terkekeh-kekeh saat melihatku berkali-kali mengusap keringat dengan punggung tangan. "Hati-hati jangan terlalu dekat, udah punya orang, Nil!" celetuk Rani tiba-tiba. Kulihat sekilas Danil mengernyit. "Ya elah, cuma becanda gitu doang, Mbak," balas Danil. Sementara aku memilih diam, tak menanggapi kalimat yang dilontarkan Rani tersebut, meskipun dalam hati kesal juga. Entah bebera
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status