Beranda / Romansa / WANITA SIMPANAN / Bab 121 - Bab 130

Semua Bab WANITA SIMPANAN: Bab 121 - Bab 130

133 Bab

121. Fariz Menyusul

Dua tahun telah berlalu. Kujalani hidupku bersama Naura dengan begitu bahagia. Tak ada lagi dendam dan sakit hati yang kurasakan saat ini. Tentang Mas Rasha dan Nayla, akhirnya mereka kembali bersama. Meskipun Mas Rasha menolak, namun tak henti aku meyakinkan dia bahwa Nayla akan berubah. Aku?Aku lebih memilih hidup berdua dengan putriku. Tak apa jika sosok pendamping tidak ada, yang jelas aku menikmati kebersamaan dengan Naura. Harta berharga suamiku. Toh, mas Rasha akan tetap menjadi ayah untuk Naura.Saat ini Naura sudah berusia tujuh tahun. Waktu berlalu cepat dan dia kini duduk di bangku kelas satu SD. Aku bahagia, putriku semakin pintar. Dia lah hartaku satu-satunya saat ini. "Bunda, di luar ada om," ucap anakku. Aku yang sedang memotong sayuran gegas melangkah ke depan. "Siapa, Sayang?" tanyaku. Kaki ini terus terayun menuju pintu utama. "Om yang ada di Bandung."Aku mengernyit tak mengerti. Saat kaki ini tiba di depan pin
Baca selengkapnya

122. Lamaran

"Assalamu'alaikum," ucap Raffa. "Wa'alaikumussalam," jawab mereka bersamaan. Fariz dan Raffa saling menatap satu sama lain. Mereka berdua sama-sama baru dipertemukan. "Oh, ada tamu rupanya."Raffa melangkah masuk kemudian duduk di samping Fariz."Raffa," ucapnya seraya mengulurkan tangannya. "Fariz."Ainun hanya diam melihat dua sosok sekaligus dipertemukan. Dalam benak mereka, keduanya sama-sama mempertanyakan tentang siapa sosok yang ada di sampingnya. "Aku buatkan teh dulu ya?" tawar Ainun memecah kesunyian. Raffa mengangguk. Ainun berlalu meninggalkan keduanya dengan perasaan was-was. "Teman Ainun?" tanya Raffa memulai pembicaraan. "Kami satu sekolah dulu," jawab Fariz. Raffa hanya mengangguk mengerti. "Maaf, mengganggu waktu kalian. Saya hanya niat mengunjungi Naura," ucap Raffa kembali yang dibalas seulas senyum dari Fariz. "Om Raffa!" pekik Naura.Gadis kecil berusia tujuh tahun itu melompat ke p
Baca selengkapnya

123. Istikharah Cinta

"Bagaimana, Ai?" tanya Fariz kembali. "Aku mau shalat istikharah dulu, Riz."Fariz mengembuskan napas berat. "Kamu sudah berjanji, Ainun," lirihnya. "Ya, aku tahu itu. Tapi, ke mana kamu selama dua tahun ini?""Aku menata hati, Ai. Istriku baru saja meninggal. Sulit bagiku untuk langsung menikah dengan wanita lain meskipun wanita itu adalah kamu."Ainun membuang pandangan. Rasanya teramat sakit. "Mengertilah posisiku, Ainun.""Kamu masih mencintainya kan?" tanya Ainun dengan tatapan tajam. Fariz membungkam. Lama Ainun menunggu jawaban tapi tak kunjung juga. Ainun tersenyum getir melihat kenyataan yang ada di depan mata. "Ai—""Kalau masih mencintai Almarhumah istrimu, lalu untuk apa kamu datang menemuiku, Riz?""Ai, dengarkan aku dulu!"Ainun terdiam. "Ainun, aku tahu semua adalah wasiat dari almarumah. Tapi, Ai, justru aku memikirkan tentang perasaan kita berdua.""Ai, coba kamu berpikir sejenak. Bagaimana
Baca selengkapnya

124. Say, yes!

"Bagaimana, Ainun? Apa kamu sudah punya jawaban?" tanya Fariz saat datang kembali menemuiku."Aku sudah shalat istikharah dan jawabannya adalah—""Ai."Kami berdua menoleh ke arah sumber suara.Sosok laki-laki itu ikut duduk di samping Fariz. Hal ini tentu saja membuatku semakin berat untuk mengutarakan jawaban. "Aku harap apapun jawaban dariku, kalian bisa menerimanya dengan baik."Mereka berdua mengangguk. "Bismillah, ini adalah jawaban langsung dari Allah. Aku sudah shalat istikharah berulang kali dan saat ini aku sudah mendapat jawabannya.""Aku juga mau minta maaf kalau di antara kalian ada yang tidak terpilih. Aku dilema untuk memilih salah satu dari kalian. Aku harap kedewasaan dan kelapangan hatinya.""Apapun jawabanmu, Ai. Insya Allah aku, ikhlas," lirih Raffa. Aku menoleh ke arahnya. Tak bisa kubanyangkan bagaimana jika jawabanku justru bisa membuatnya kecewa?"Raffa, maaf, bukan kamu yang hadir dalam mimpiku."Raffa
Baca selengkapnya

125. Hari Bahagia

"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak
Baca selengkapnya

127. Kegelisahan Hati Naura

Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
Baca selengkapnya

128. Suara Hati Sang Pelakor

"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Baca selengkapnya

129. Berusaha Merebut Hati Naura

"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
Baca selengkapnya

130. Kedatangan Arif

"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
Baca selengkapnya

126. Sesurga Bersamamu

Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status