Home / Romansa / WANITA SIMPANAN / Chapter 111 - Chapter 120

All Chapters of WANITA SIMPANAN: Chapter 111 - Chapter 120

133 Chapters

111. Curahan Hati Aisyah

"Hanya itu?" tanyaku. Aisyah mengangguk samar. Kepalanya menunduk seketika. Aku tahu apa yang tengah dirasakan oleh Aisyah. Semua wanita juga ingin merasakan namanya menjadi seorang ibu. Kehadiran buah hati adalah dambaan para orang tua. Lantas bagaimana jika.Allah belum berkehendak?Tak dipungkiri bahwa fenomena menantu yang belum memberikan mereka cucu akan meenjadi bulan-bulanan keluarga. Pihak istri adalah korban yang laling tersakiti. Bagi mereka jika seorang wanita yang sudah lama menikah dan belum memberikan mereka keturunan maka dianggap tak berguna. Sungguh miris dan itulah kenyataan yang ada. Harusnya mereka mensupportnya bukan malah menjatuhkan."Anak adalah rejeki dari yang Kuasa. Kita sebagai hamba hanya bisa berdo'a dan ikhtiar. Allah tahu kapan waktu terbaik untuk hamba-Nya.""Tapi, Teh, aku selamanya nggak akan pernah bisa memberikan Bunda seorang cucu," lirihnya. Aku mengernyit tak mengerti maksud dari Aisyah. "Aku
Read more

112. Permintaan Aisyah

Tiga hari telah berlalu dan Aisyah masih dirawat di rumah sakit. Hari ini aku berencana menjenguknya.Menurut informasi yang kudapat, Aisyah sekarang dipindahkan di ruang perawatan. Aku bersyukur, dia bisa kembali sadar. "Umi, Abah, Neng mau ijin jenguk Aisyah, ya?""Neng ke sana mau sama siapa? Abah nggak bisa antar soalnya abah dan umi mau ke rumah keluarga.""Neng bisa ke sana sendiri. Kalau Naura mau ikut sama abah dan Umi, juga boleh. Di rumah sakit anak kecil dilarang masuk."Abah mendekati cucu semata wayangnya. "Nayra ikut kakek dan nenek ya? Bunda mau ke rumah sakit dulu," bujuk Abah. "Siapa yang sakit?""Tante Aisyah, Sayang."Wajah Naura berubah mendung. Aku tahu dia pasti sedih.Aisyah adalah teman mainnya selama ini dan benar saja, selama Naura di sini, mereka tidak pernah lagi bertemu. "Naura ikut, Bunda," rengeknya. Aku berjongkok mensejajarkan tubuh kami. "Sayang, kamu tidak boleh ikut. Di rumah sakit itu
Read more

113. Dilema Hati

"Aisyah mohon, Teh. Aa adalah cinta sejati teteh. Sebelum waktuku tiba, aku ingin melihat Aa bahagia," pintanya. Aku menggeleng pelan. Ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa aku menikahi seorang lelaki yang istrinya tengah menunggu waktunya? Aku tidak setega itu. Terlebih aku yakin Fariz akan menentang keras permohonan istrinya."Maaf, Aisyah, teteh nggak bisa.""Aisyah mohon, aku ingin pergi dengan tenang," ucapnya di sela isak tangis. Aku terdiam. Dilema melanda. Kulihat wajah kurus Aisyah begitu terluka. Aku pun tak tahu, dia terluka karena merasa waktunya sebentar atau memikirkan harus rela berbagi suami. "Maaf, Aisyah. Permintaanmu terlalu berat.""Aisyah mengerti. Teteh bisa pikirkan kembali. Tapi, aku mohon, teteh bisa mengabulkan permintaanku."Kami kembali sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Sungguh, ini di luar dugaanku. *"Neng, kunaon melamun teh?" tanya Umi. "Nggak apa-apa, Umi."Umi men
Read more

114. Aisyahku

Pov. Fariz"Aa, adek ingin dimadu."Tubuhku membeku seketika saat Aisyah-istriku melontarkan permintaan yang membuatku diam seketika. Tubuhku menegang. Tangan yang tengah memegang sendok mendadak kaku. Pandangan kami bertemu. Kami saling diam satu sama lain. Air mata mengalir begitu saja membasahi wajah kurus dan pucat istriku. Ya, Aisyah sakit. Sudah terhitung beberapa bulan ini kondisinya semakin menurun. Jangankan berat badan, bahkan rambutnya perlahan menipis. Kami sudah berikhtiar untuk melakukan berbagai macam pengobatan. Akan tetapi, penyakit ganas itu seolah ingin merenggut dia dari sisiku. Tak terhitung sudah berapa kali kami keluar masuk rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Namun, hasilnya sesuai dengan penjelasan dokter."Melakukan kemoterapi memang untuk melunakkan virus yang menggerogoti tubuh istri bapak. Tapi, kelemahannya adalah imunnya bisa saja perlahan menurun. Tandanya itu seperti penurunan kekuatan otot, berat b
Read more

115. Bertemu Aisyah

[Ai, aku ingin bertemu]Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Aku tertegun sejenak membaca isi pesannya. Untuk apa Fariz ingin ketemu?[Tapi, bagaimana dengan Aisyah?][Ini atas dasar keinginan Aisyah.]Deg. Apa karena hal itu? Tentang ingin dimadu. Ragu ingin membalas apalagi mengiyakan. Aku dilema harus bagaimana. Sebuah panggilan masuk membuatku semakin kalap. [Aku mohon demi Aisyah]Kembali pesan singkat masuk. Kutarik napas dalam kemudian segera membalasnya. [Baiklah. Di mana?] [Di rumahmu biar nggak ada fitnah.]Aku menyetujuinya. Kuhampiri Abah yang sedang menonton dengan Naura. "Abah, Neng mau ngomong."Abahnyang sedang asyik menonton dengan cucunya kemudian menoleh."Kenapa, Nak?""Fariz mau bertamu ke rumah, Bah."Alis abah mengernyit. Aku tahu abah pasti terkejut. "Ini permintaan Aisyah katanya."Abah merubah posisi duduknya. Naura yang sejak tadi asyik menonton menoleh ke arahku.
Read more

116. Selamat jalan, Aisyah

"Bagaimana, Dok?" tanya Fariz. "Untuk saat ini pasien akan masuk di ruangan ICU karena kondisi pasien semakin menurun," ucap dokter dengan name tag Andre.Tubuhku luruh seketika mendengar penjelasan dari dokter. Tak bisa lagi kubendung bagaimana sakitnya hati ini. Fariz terduduk di ruang tunggu. Kepalanya menunduk begitu dalam. Dia pasti sedang terluka. Beberapa perawat keluar dari ruangan dengan mendorong brankar Aisyah. Tubuh kurus itu terbaring seperti mayat hidup. Tak ada pergerakan sama sekali. Kami berempat gegas mengikutinya dari belakang. Tak henti air mata Fariz mengalir begitu derasnya.Melihatnya seperti itu membuatku ikut terpukul. Kami terus melangkah hingga memasuki setiap lorong rumah sakit. Langkah kami terhenti saat sebuah pintu masuk bertuliskan ICU ada di depan mata. Kami menunggu di luar sedangkan Fariz tetap masuk menemani istrinya. "Bunda yang sabar, ya, semua akan baik-baik saja," ucapku berusaha menghibur B
Read more

117. Separuh Jiwaku Pergi

Malam telah menyapa. Malam ini adalah takziah pertama istriku. Rasanya begitu sakit ditinggalkan oleh pemilik separuh jiwa ini. Kupandangai foto pernikahan kami. Raut kebahagiaan tergambar begitu jelas. Dia begitu cantik dengan balutan baju pengantin khas Sunda. Air mataku kembali menetes. Entah untuk yang ke berapa kalinya. Segala kenangan indah bersamanya terputar dengan jelas di dalam ingatan. Dada ini terasa begitu sesak seolah oksigen enggang untuk sekedar singgah sebentar. "Aa teh yakin mau sama Aisyah?" tanyanya waktu itu. Kami duduk berdua di sebuah warung lesehan dekat taman. Ya, kami mampir sebentar setelah duduk bercengkerama di taman kampung ini. "Iya, dek. Aa yakin. Kamu mau kan terus hidup bersamaku? Bangun tidur, eh, ada Aa. Mau makan, eh ada Aa lagi. Mau tidur, kok, Aa lagi?" ucapku sambil terkekeh. Dia tersenyum malu menanggapi ocehanku. "Aisyah, mungkin ini kurang romantis. Ngelamar kok di warung lesehan? Di luar sana di
Read more

118. Bertemu Fariz

"Aku harus kembali ke Jakarta. Butik sudah lama kutinggal, dan juga kasihan Naura yang harus kembali bersekolah."Fariz tertunduk tak tahu harus berkata apa. Tapi, bagaimana jika amanah ini tidak dia jalankan?"Aku ingin bicara sebentar, Ai. Kalau perlu di depan orang tuamu."Ainun yang sudah bersiap menoleh ke arah umi meminta persetujuan. Umi mengangguk seraya masuk ke dalam kamar memanggil suaminya. "Mau bahas soal apa, Riz?" tanya Ainun saat semuanya telah berkumpul. Fariz menarik napas dalam. Otaknya berpikir keras bagaimana cara memyampaikan amanah itu. "Abah, Umi, Ainun. Maaf sebelumnya kalau kedatanganku ke sini begitu mendadak. Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari mendiang istri saya. Aisyah."Ainun mengepal tangannya. Dia sudah menduga arah pembicaraan Fariz. "Sesuai amanah dari mendiang istri saya, almarhumah meminta saya untuk....."Fariz melirik sekilas ke arah Ainun. Matanya terpejam dengan kuat. Tak sanggup untuk mende
Read more

119. Usaha Mantan

"Ayah!" pekik Naura kemudian menghambur ke dalam pelukan Mas Rasha.Mereka saling memeluk erat satu sama lain. Ada binar bahagia di mata Naura. Aku hanya berdiri mematung melihat pemandangan yang ada. Suatu yang sudah sangat langka kulihat. Dulu pemandangan ini sering kali kulihat bahkan aku dan Naura akan saling berebut perhatian mas Rasha."Ayah, Naura kangen," rengek putri semata wayang kami. "Ayah juga, Sayang," balas Mas Rasha sembari terus menghadiahkan kecupan hangat di wajah putrinya."Ayah dari mana saja?" tanya Naura membuat Mas Rasha sedikit tampak salah tingkah."A-ayah dari rumah nenek," jawabnya yang tentu saja suatu kebohongan. Naura hanya ber 'oh' sambil terus memindah wajah ayahnya yang tamlak berbeda. Wajah kurus dengan bulu halus yang tumbuh lebat di sekitar wajah seolah tak terawat. Sangat berbeda dengan Maa Rasha ketika bersamaku."Bunda." Aku terkesiap saat Naura memanggilku. "Iya, Sayang?""Bunda ngga
Read more

120. Menjenguk Nayla

"Ayo, kita rujuk!"Deg. Kuhentikan aktifitasku, lalu menyerahkan alat cukur pada Mas Rasha. "Lanjutkan sendiri, Mas!"Aku beranjak dari tempat kami duduk. Kubasuh tangan ini yang sedikit kotor terkena krim.Aku berhenti sejenak untuk memikirkan segala hal yang telah terjadi. Untuk apa dia melakukan itu?Ada rasa sesal di dalam dada. Untuk apa aku harus bersikap berlebihan padanya? Seolah aku memberinya sedikit ruang untuknya. Setelah bertengkar dengan perasaan sendiri aku memutuskan untuk kembali ke ruang keluarga. Saat kaki baru saja tiba di depan pintu kamar mandi, pemandangan di hadapanku menggoyahkan diri ini. Mas Rasha tampil seperti saat bersamaku. Bulu halus yang menghiasi wajahnya kini dicukur rapi. Dia seolah membawaku kembali pada masa saat pertama kali kami menjadi sepasang suami istri. "Dek?"Aku terhenyak dari lamunan. Segera kuatur kembali jantung yang bertalu. "Hari ini mas mau jengukin Nayla. Sudah
Read more
PREV
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status