Home / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Gadis Penari Sang Presdir: Chapter 11 - Chapter 20

298 Chapters

11. Kamu Pasti Menginginkanku

Sahara masih berdiri di depan ruang berdinding kaca. Menatap ke dalam ruang ICU dengan wajah mengeras. Hampir saja, pikirnya. Hampir saja dia tak bisa memberikan pengobatan layak pada pengasuhnya sejak usia lima tahun. Bu Mis. Wanita yang berteman dengan ibu kandung dan mengetahui soal ayahnya.   Pengasuhnya selalu mengatakan, bahwa dia tidak boleh kembali ke kampung ibunya. Sebuah desa kecil di Jawa Barat. Dengan alasan yang bahkan dia sendiri tidak boleh tahu. Sahara merasa tidak bisa membiarkan Bu Mis pergi begitu saja. Sebelum dia bisa mengetahui soal sosok ayah yang katanya seorang imigran asing dan pergi begitu saja meninggalkan sang istri.   Siapa ayahnya? Apakah pria itu tahu kalau dia tertinggal sebatang kara sebagai seorang anak keturunan asing yang sering terkucil karena berbeda? Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab. Masih hidup? Atau sudah berteman tanah seperti ibunya? Apa dia punya saudara?   Sejak kecil
Read more

12. Mau Coba ?

Sahara berdiri menatap punggung Roy yang menjauh. Lalu menoleh ke arah pintu ruang ICU karena merasa seseorang sedang memandanginya. Ternyata perawat yang melihat saat Roy mengecup lehernya tadi. Sahara  mengangguk kecil pada perawat. Kemudian berjalan menuju kursi besi yang biasa ditempatinya jika perlu bermalam di tempat itu.   Setelah memastikan perawat tak lagi memandangnya dan Roy telah menghilang di belokan, Sahara perlahan mengangkat buket bunga. Matanya menelusuri tiap bunga baby breath yang dia tahu pasti mahal. Apalagi jika diberikan sebanyak itu.   “Wangi,” bisik Sahara, saat mendekatkan hidungnya di atas bunga. “Ehem!” Dia berdeham. Merasa konyol karena mengkhianati perkataannya barusan pada Roy. “Enggak terlalu wangi. Biasa aja,” gumam Sahara, memperbaiki perkataannya.   “Lalu ... ini apa?” Sahara bergumam sendirian, menarik sebuah kartu dari rumpun bunga.   ‘Polos, put
Read more

13. Tak Menolak

“Sudah sangat gagah,” ujar Novan berdiri dengan tangan menyatu di depan tubuhnya. Dia sedang memandang Roy menggulung kemeja putihnya sampai ke batas siku. Beberapa setelan terhampar di atas sofa sebelah kanan atasannya.   “Kamu minta pihak keamanan rumah selidiki soal dua pemulung yang belakangan sering melintas di luar pagar,” pinta Roy.   “Di luar pagar artinya jauh sekali dari pintu depan, Pak. Anda jangan khawatir,” sahut Novan.   “Pemulung apa yang dini hari tidak tidur?” tanya Roy memutar tubuhnya.   “Banyak, Pak. Orang kelaparan memang biasanya tidak bisa tidur,” jawab Novan.   “Aku tidak kelaparan, Mr. Novan. Tapi, aku selalu tidak bisa tidur.” Roy selesai menggulung dua lengan kemejanya.   “Karena hidup Anda penuh kekhawatiran dan banyak musuh. Anda bisa saja—”   “Musuh itu akan selalu ada, sebaik apa pun kamu memperlakukan oran
Read more

14. Menyentuhmu

Roy bisa mendengar suara Sahara bergetar saat menanyakan hal itu padanya. Putri bungsu keluarga Spencer itu memang cantik sekali. Memang cukup disayangkan Roy tak bisa menatap wajah gadis itu berlama-lama. Seandainya bisa, sejak awal dia pasti meniduri Sahara berkali-kali.   Sahara diselamatkan oleh trauma yang dideritanya belasan tahun. Tangan Sahara menggenggam lemah kejantanannya.   “Kamu harus memegangnya sedikit lebih erat. Itu tidak akan melukaimu, Rara ...,” bisik Roy, menarik napas dan menyandarkan kepalanya ke sofa.   “Om, gimana kalau aku bersedia dinikahi, tapi aku belum siap untuk ... melakukannya?” tanya Sahara, menatap Roy yang memejamkan mata. Dia menunduk memandang bagian tubuh Roy yang sudah mengetat di dalam genggamannya.   “Anggap aku membeli keperawananmu dengan cara yang paling terhormat,” ujar Roy. “Bermalam denganku saat kau siap. Aku akan membereskan soal pengobatan Bu Misrawa
Read more

15. Dan Kamu Pun Terlena

Roy menyesap dan melumat puting Sahara dengan rakusnya. Lingkaran dengan titik kecil menggemaskan itu memang menggodanya sejak pertama kali dia melihat Sahara menari erotis di atas panggung. Tangan kiri Roy meraih satu tangan Sahara dan menggenggam jemarinya sejenak. Menautkan jemari mereka, kemudian perlahan mengangkat tangan gadis itu.   Lumatan keras Roy memaksa tubuh Sahara menjadi condong ke belakang. Memaksa gadis itu untuk merebahkan tubuhnya ke sofa panjang tempat mereka duduk.   “Om, jangan sekarang,” rintih Sahara dengan nada lemah.   Roy mengangkat wajahnya dari atas dada gadis itu. “Kamu nikmati saja. Aku tidak akan meniduri kamu sebelum kamu menjadi istriku. Ini … hanya perkenalan,” bisik Roy. “Satukan kedua tanganmu di atas kepala. Aku mau memegangnya.” Suara Roy berupa perintah.   Dengan tangan kirinya, Roy menggenggam dan menyatukan dua tangan gadis itu di atas kepalanya. “Cium aku,”
Read more

16. Harusnya Kamu

Roy membasuh wajahnya berkali-kali. Sudah sejak tadi ia menahan rasa mual di perutnya. Harusnya tadi dia menelan sebutir saja obat penenang. Setidaknya acara semi bercinta yang sedang dia lakukan tak akan rusak oleh mimpi buruknya.   Walau begitu, Roy sedikit berbangga diri. Yang baru saja terjadi merupakan kemajuan besar. Mengingat dia muntah hebat hanya karena berbicara sebentar dengan Sahara di rumah sakit.   Usai merapikan pakaiannya Roy keluar toilet dan melihat Sahara sudah kembali mengenakan seragamnya, dan duduk memangku tangan. Wajahnya terlihat lesu. Klimaks sesaat yang lalu jelas membuat gadis itu menjadi sedikit lemas. Jika menuruti cara yang benar, harusnya Sahara berbaring di ranjang dan tidur sampai pagi. Gadis itu menoleh takut-takut ke arahnya.   “Sudah dibersihkan?” tanya Roy, memandang ke arah tong sampah yang letaknya sedikit bergeser. Sahara pasti sudah membersihkan cairan yang dikeluarkannya tadi.
Read more

17. Kejutan Pagi

“Siapkan pernikahan untuk besok pagi,” ucap Roy sesaat mobil yang dikemudikan Novan melaju.   “Anda terlihat lelah,” kata Novan, melirik spion tengah.   “Jangan tanya soal apa yang kulakukan di dalam. Harusnya kamu menjawab soal perintahku tadi, Mr. Novan.” Roy merebahkan kepalanya di jok dan memejamkan mata. Perutnya kosong dan tubuhnya sedikit lemas. Dibenaknya sekarang terbayang tatapan Sahara saat dia menindih gadis itu. Matanya persis sama dengan mata kakak laki-lakinya, Thomas Sebastian Spencer.   Roy berdecih. Dia mulai berpikir akan menggunakan alkohol alih-alih obat penenang untuk memberi pelajaran pada Sahara di malam pertama mereka.   “Siap, Pak. Malam ini saya bakal menyiapkan semuanya. Besok pagi Anda akan menikah dan siang hari Anda akan berstatus seorang suami.” Novan sengaja mengatakan hal itu untuk melihat reaksi atasannya.   “Gadis itu mau melanjutkan pendidikan
Read more

18. Menuju Kastil

Malam itu Sahara tak bisa tidur. Usai Roy pulang dari club, Sahara juga meminta izin pada Nancy untuk kembali ke rumah sakit. Tadi dia sempat melihat kondisi Bu Mis. Perawat yang bertugas di ruang ICU mengatakan kondisi wanita itu mulai stabil. Penyakit Bu Mis memang sudah komplikasi. Muncul penyakit baru yang didapatnya setelah berkali-kali cuci darah. Sebelum tidur, Sahara mencuci pakaian kotornya, baru kemudian menghempaskan tubuh di ranjang kamar kos-kosan. Tempat tinggalnya di sebuah jalan persis di sisi kanan gedung rumah sakit. Cukup mahal dan bagus. Tapi, tak berisi banyak barang-barang. Barang miliknya hanya empat koper yang tergeletak di lantai. Televisi pun tak ada, cuma penanak nasi. Penghuni kos-kosan itu rata-rata adalah keluarga pihak pasien yang merasa jauh jika pulang ke rumah. Tubuhnya berbaring dan pikirannya berkelana. Ia tak bisa menghilangkan bayangan sosok Roy yang sedang menindihnya. Rambut Roy yang menutupi sebagian dahinya,
Read more

19. Ucapan Mengesalkan

Sahara belum sempat bertanya pada Rini, tapi wanita itu sudah berbalik dan meninggalkannya. Kamar itu memanjang ke sisi kanan. Pintu yang baru saja dimasukinya, berhadapan dengan jendela bervitrase putih, dengan gantungan kayu di dekatnya, tempat empat buah gaun berjajar. Di sebelahnya ada cekungan dengan tirai putih. Sahara menebak kalau itu adalah tempat berganti pakaian. Berjalan sedikit ke kanan, sebuah ranjang besar bertirai putih terikat di kedua sisinya. Kalau tirai itu dibuka pasti bentuknya seperti kelambu. Di sisi kiri pintu ada lemari kayu besar sewarna dengan pintu. Dengan enam buah partisi, pasti cukup untuk memuat pakaian satu keluarga, pikir Sahara. “Kamar ini luas sekali,” gumamnya, melongok ke luar jendela yang di bawahnya ternyata taman dan pepohonan. “Enggak ada tetangga,” sambungnya lagi. Sahara mendekati gantungan kayu. Ada empat gaun berwarna putih. Maksudnya, semua berwarna putih bagi Sahara. Walau ada dua gaun yang warnanya seperti gad
Read more

20. Pernikahan Tergesa

Di luar pintu, Novan menepuk-nepuk dadanya. Biarlah Rini yang berada di dalam menghadapi Roy yang pasti akan membentak-bentak kekasihnya itu. Rini sudah cukup terlatih dan Novan tak perlu mengkhawatirkan hal itu. Lagipula ada Sahara di dalam. Roy mungkin akan sedikit menghaluskan cercaannya. “Gimana? Ada suara marah-marah dari dalam?” Rini muncul dengan wajah sedikit memerah. Novan membelalak. “Kamu bukannya di dalam? Aku—Wah, sinting! Kita berdua bisa mati,” bisik Novan. “Asal bareng kamu, mati bukan masalah.” Rini meringis. “Jadi Pak Roy—” “Udah di dalam dari tadi. Kamu dari mana, sih?” kesal Novan. “Toilet! Tinggalkan aja si Roy. Ayo kita ke taman belakang. Aku mau bunga yang sama untuk pernikahan kita. Walau pernikahan si tua Roy cuma dihadiri lima orang, tapi aku nggak mau asal-asalan. Dia menikahi gadis muda yang masih perawan. Walau aku nggak tau nanti berakhir gimana.” Rini menyeret tangan Novan menuruni tangga. Meninggalkan kamar yang
Read more
PREV
123456
...
30
DMCA.com Protection Status